Nilai dari Perbuatan Tergantung Maksud-Maksudnya

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Kaidahnya:

الأمور بمقاصدها

Berbagai pekara/urusan/perbuatan dinilai sesuai maksud-maksudnya. (Imam As Suyuthi’, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Cet. 1, 1991M-1411H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Syaikh Abdullah bin Sa’id Al Hadhrami Al Hasyari, Idhah Al Qawaid Al Fiqhiyah Lithulab Al Madrasah, Hal. 11)

Kaidah ini berasal dari hadits terkenal:

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

“Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu.” (HR. Bukhari No. 45, 163, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553, Muslim No. 1907)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim No. 2564, dari Abu Hurairah)

Hujjatul Islam, Al Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:

وَإِنَّمَا نَظَرَ إِلَى الْقُلُوبِ لأَِنَّهَا مَظِنَّةُ النِّيَّةِ ، وَهَذَا هُوَ سِرُّ اهْتِمَامِ الشَّارِعِ بِالنِّيَّةِ فَأَنَاطَ قَبُول الْعَمَل وَرَدَّهُ وَتَرْتِيبَ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ بِالنِّيَّةِ

“Sesungguhnya Dia melihat kepada hati lantaran hati adalah tempat dugaan niat, inilah rahasia perhatian Allah terhadap niat. Maka, diterima dan ditolaknya amal tergantung niatnya, dan pemberian pahala dan siksa juga karena niat.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/351)

Oleh karena itu, jika ada dua orang saling membunuh, maka yang membunuh dan terbunuh keduanya masuk neraka. Hal ini lantaran keduanya sama-sama berniat untuk membunuh.

Dari Abu Bakrah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِل وَالْمَقْتُول فِي النَّارِ . فَقُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ هَذَا الْقَاتِل فَمَا بَال الْمَقْتُول ؟ قَال : إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْل صَاحِبِهِ

“Jika dua orang muslim masing-masing membawa pedang, maka yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka.” Aku (Abu Bakrah) bertanya: “Wahai Rasulullah, kalau yang membunuh iyalah, lalu kenapa yang terbunuh juga neraka?” Beliau bersabda: “Karena dia juga berhasrat untuk membunuh saudaranya.” (HR. Bukhari No. 31, Muslim No. 2888)

Begitu pula orang yang menikah namun berniat tidak memberikan mahar, maka dia dinilai sebagai pezina. Begitu pula orang yang berhutang namun berniat tidak membayarnya, maka dia dinilai sebagai pencuri.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى صَدَاقٍ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَهُ إِلَيْهَا فَهُوَ زَانٍ ، وَمَنِ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَهُ إِلَى صَاحِبِهِ – أَحْسَبُهُ قَال – : فَهُوَ سَارِقٌ

“Barang siapa yang menikahi wanita wajib memberikan mahar, dan dia berniat tidak membayarkan maharnya kepadanya (si wanita), maka dia adalah pezina. Dan barang siapa yang berhutang dan dia berniat tidak membayarkan kepada yang menghutanginya, maka dia pencuri.” (HR. Al Bazzar , 2/163, dan lainnya, dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 1806)

📌 Niat berbuat baik sudah dinilai sebagai amal kebaikan

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ

“Barang siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka dicatat baginya satu kebaikan. “ (HR. Muslim, 1/118, dari Abu Hurairah)

Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:

فَالنِّيَّةُ فِي نَفْسِهَا خَيْرٌ وَإِنْ تَعَذَّرَ الْعَمَل بِعَائِقٍ

“Maka, niat itu sendiri pada dasarnya sudah merupakan kebaikan, walau pun dia disibukkan oleh uzur untuk melaksanakannya.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/352)

📌 Besar atau kecilnya perbuatan di mata Allah Ta’ala tergantung niatnya

Berkata Imam Al Ghazali:

إِنَّ النِّيَّةَ تُعَظِّمُ الْعَمَل وَتُصَغِّرُهُ ، فَقَدْ وَرَدَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ : رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ

“Sesungguhnya niat dapat membesarkan dan mengecilkan amal. Telah diriwayatkan dari sebagian salaf: bisa jadi ada amal kecil yang menjadi besar karena niatnya, dan bisa jadi ada amal besar menjadi kecil karena niatnya.” (Al Ihya, 4/353)

Hal ini didasarkan pada hadits:

نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

“Niat seorang mu’min lebih baik dari pada amalnya.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 6/185-186, dari Sahl bin Sa’ad As Saidi. Imam Al Haitsami mengatakan: “ Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)

Diriwayatkan oleh Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى

“Barang siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan shalat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa’i No. 1787. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1344)

Begitu pula orang yang berniat ingin shalat berjamaah di masjid, tetapi sesampainya di sana dia tertinggal jamaah, maka Allah Ta’ala tetap memberikannya nilai pahala berjamaah. Hal ini dengan syarat dia tidak menyengaja untuk berlambat-lambat menuju masjid.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke mesjid (untuk berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. An Nasa’i No. 855, Abu Daud No. 564, Ahmad No. 8590, Al Hakim No. 754, katanya shahih sesuai syarat Imam Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6163)

✅ Contoh penerapannya

– Ada seorang gadis diperkosa, lalu dia melakukan perlawanan sekuat tenaga. Sehingga dia berhasil melukai pelaku dengan alat apa pun yang ada di sekitarnya, bahkan pelaku itu tersungkur sampai mati. Maka, gadis tersebut tidak dikatakan membunuh, sebab dia melakukan itu untuk membela diri dan melindungi kehormatannya, bukan bermaksud dan berniat untuk membunuh orang tersebut.

– Seorang ikut berjihad di medan tempur melawan pasukan kafir. Namun yang dia inginkan dari pertempuran itu adalah harta rampasan perang semata, bukan meraih kemuliaan jihad itu sendiri dan syahid dijalan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka, di akhirat dia akan dibangkitkan sesuai niatnya itu.

– Ada seorang kafir bersyahadat, tetapi dia melakukannya karena tuntutan skenario dalam sebuah drama, bukan karena kesadaran untuk mengucapkannya dan masuk Islam. Maka, kalimat syahadatnya itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi aqidahnya.

Wallahu A’lam

🌸🍃🌾🌴🌺☘🌷🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Apakah Non Muslim Mendapatkan Waris dari Muslim, dan Sebaliknya?

🍃🌷Serial Fiqih Pergaulan Dengan Non Muslim🌸🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Ijma’ (kesepakatan) ulama menyatakan bahwa orang kafir tidak berhak mendapatkan waris (diwarisi) begitu pula orang murtad.

Berkata Imam Ahmad Rahimahullah:

لَيْسَ بَيْنَ النَّاسِ اخْتِلَافٌ فِي أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَرِثُ الْكَافِرَ

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara manusia (umat Islam) bahwa seorang muslim tidak mewariskan hartanya kepada orang kafir”. [1]

Sedangkan sebaliknya apakah orang kafir boleh mewarisi hartanya kepada muslim? jumhur (mayoritas) ulama mengatakan orang kafir tidak boleh mewarisi ke orang Islam. Inilah pandangan empat khulafa’ ar rasyidin, Imam empat madzhab, dan mayoritas fuqaha yang diamalkan oleh umat Islam secara umum. Mereka beralasan hadits-hadits berikut:

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Seorang muslim tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” [2]

Hadits lain:

لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ

“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.” [3]

Imam At Tirmidzi tidak tegas mendhaifkan hadits ini, dia hanya berkata dalam Sunan-nya: “Aku tidak mengetahui hadits Jabir kecuali dari jalur Ibnu Abi Laila.” Tetapi, Al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan tentang Abdurrahman bin Abi Laila ini: “Seorang yang jujur tetapi sangat buruk hafalannya”.[4] Sementara Asy Syaukani mengatakan: “Sementara dari jalur Ibnu Umar, hadits ini juga dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Sikkin, dan dalam sanad Abu Daud terdapat Amru bin Syu’aib, dia shahih”.[5] Sementara Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini, baik jalur Jabir bin Abdullah maupun Usamah bin Zaid.[6]

Namun, sebagian sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin ada yang membolehkan seorang muslim memperoleh harta waris dari orang kafir, yakni Muadz bin Jabal, Muawiyah, Said bin Al Musayyib, Masruq, dan lainnya.[7] Juga Muhammad bin Al Hanafiyah, Ali bin Al Husein, Abdullah bin Ma’qil, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Yahya bin Ya’mar, dan Ishaq.[8] Ini juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim.[9] Ini juga pendapat Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah dalam Fatawa Mu’ashirah Jilid 3. Alasan mereka, makna kafir pada hadits di atas adalah kafir harbi. Alasan lain adalah hadits berikut, Hadits dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Islam itu bertambah, dan tidak berkurang.” [10]

Namun hadits ini tidak bisa dijadikan dalil, karena kelemahannya. Imam Al Munawi mengatakan, dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal) dan dhaif. [11] Begitu pula Syaikh Al Albani telah mendhaifkan hadits ini.[12] Ada jalur sanad lainnya, namun nasibnya lebih buruk, Imam Ibnul Jauzi menyebutnya batil, lantaran adanya seorang rawi bernama Muhammad bin Al Muhajir yang dituduh memalsukan hadits ini. Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa orang ini memalsukan hadits, dia meriwayatkan lalu merubah sanad dan lafaznya. [13]

Andaikan hadits ini shahih, itu juga tidak bisa dijadikan dalil. Imam Al Qurthubi mengatakan:

Hadits ini bukanlah bermaksud seperti itu, tetapi maksudnya adalah tentang keutamaan Islam dibanding agama lainnya, dan tidak ada kaitan dengan warisan. [14]

Dalil lain kelompok yang membolehkan:

الإسلام يعلو ولا يعلى

“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya).” [15]

Imam Az Zaila’i mengatakan hadits ini ada yang marfu’ (sampai pada Rasulullah) dan juga mauquf (terhenti pada sahabat saja) yakni pada ucapan Ibnu Abbas.[16] Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Hasyraj dan ayahnya, oleh Ad Daruquthni kedua orang itu dikatakan majhul (tidak dikenal).[17] oleh karenanya sanad hadits ini dhaif. Namun, Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan hadits ini[18] lantaran dikuatkan oleh riwayat shahih secara mauquf dari Ibnu Abbas[19] dan Syaikh Al Albani juga menghasankannya.[20] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim menshahihkannya.[21] Imam Al ‘Ajluni mengatakan telah masyhur di lisan manusia tambahan ‘Alaih Akharan, tetapi itu sebenarnya riwayat Ahmad, dan juga yang masyhur Ya’lu walaa Yu’laa ‘Alaih. [22] Namun, apa yang dikatakannya perlu ditinjau lagi, sebab tidak ada dalam musnad Ahmad seperti apa yang dikatakannya itu (yakni tambahan ‘alaih akharan).

Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil, sebab hadits ini secara umum membicarakan tentang keutamaan Islam, sama sekali tidak membicarakan warisan.

Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi Rahimahullah mengatakan:

“Maksud hadits ini adalah tentang keunggulan Islam dibanding agama lainnya, dan hadits ini tidak ada pembicaraan tentang warisan, maka jangan alihkan makna nash yang begitu jelas ini.” [23]

Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengkritik pendapat yang membolehkan dan mengatakan:

وَحُجَّة الْجُمْهُور هَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح ، وَلَا حُجَّة فِي حَدِيث ” الْإِسْلَام يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ ” لِأَنَّ الْمُرَاد بِهِ فَضْل الْإِسْلَام عَلَى غَيْره ، وَلَمْ يَتَعَرَّض فِيهِ لِمِيرَاثٍ ، فَكَيْفَ يُتْرَك بِهِ نَصُّ حَدِيث ( لَا يَرِث الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ ) وَلَعَلَّ هَذِهِ الطَّائِفَة لَمْ يَبْلُغهَا هَذَا الْحَدِيث

“Alasan jumhur ulama dengan hadits ini adalah benar dan jelas. Dan tidak dibenarkan berdalil dengan hadits “Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya” sebab maksud hadits ini adalah tentang keunggulan Islam dibanding yang lainnya, tidak ada indikasi pembicaraan tentang warisan. Bagaimana bisa meninggalkan nash “Seorang muslim tidaklah mewariskan orang kafir ..”, semoga penyebabnya adalah karena kelompok ini belum sampai hadits ini kepada mereka.” [24]

📚 Kesimpulan:

– Umat Islam tidak mewariskan harta kepada orang kafir dan murtad, walau itu keluarganya sendiri. Ini sudah ijma’, tanpa perbedaan pendapat.

– Umat Islam juga tidak diwariskan harta dari orang kafir, ini pendapat mayoritas ulama sejak masa empat khalifah dan empat madzhab, tetapi ada sebagian sahabat nabi, tabi’in, juga Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, membolehkan menerima waris dari mereka.

Demikian. Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahibihi wa Sallam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 14/58

[2] HR. Bukhari No. 6764, Muslim No. 1614

[3] HR. At Tirmidzi No. 2108, dari Jabir bin Abdullah

[4] Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 2/105

[5] Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar, 6/73

[6] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albaniy, Shahihul Jami’ , No. 7613

[7] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, hadits No. 3027

[8] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 14/58

[9] Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahludz Dzimmah, 3/322-325

[10] HR. Abu Daud, No. 2912. Ahmad, No. 20998

[11] Imam Al Munawiy, Faidhul Qadir, 3/232, No. 3062

[12] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albaniy, Dha’if Jami’us Shaghir No. 2282

[13] Imam Ibnul Jauziy, Al Maudhu’at, 3/230

[14] Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 3/323

[15] HR. Ad Daruquthni, No. 30, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 6/205. Keduanya dari ‘A’idz bin Amru Al Muzanni. Demikianlah lafaz hadits ini adalah Al Islam Ya’lu wa Laa Yu’la, tanpa tambahan ‘Alaih. Ada pun tambahan ‘Alaih ada dalam riwayat Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Syarh Al Ma’ani Al Aatsar No. 4869

[16] Imam Az Zaila’iy, Nashbur Rayyah, 6/174

[17] Ibid

[18] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 3/220

[19] Lihat Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz, Bab Idza Aslama Ash Shabiyyu famaata hal yushalli ‘alaih wa hal yu’radhu ‘ala Ash Shabiyyi Al Islam

[20] Syaikh Al Albaniy, Shahihul Jami’ No. 2778

[21] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/86

[22] Imam Al ‘Ajluniy, Kasyful Khafa, 1/127. Darul Kutub Al ‘Ilmiah

[23] Imam Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, 8/86

[24] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/496

 

Membaca Surat Al Mulk dan As Sajadah Sebelum Tidur

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Asslamualaikum …maaf ustadz ..saya tanya..apakah ada perintahnya membaca Quran surat As sajdah..surat Addukhan…dan surat Al mulk..setiap malam sebelum tidur…agar amalan2 ni ada manfaatnya ustadz..makasi ustadz

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam, Bismillah wal Hamdulillah

Ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa membaca As Sajadah dan Al Mulk sebelum tidurnya.

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كان النبي صلى الله عليه و سلم لاينام حتى يقرأ بتنزيل السجدة وبتبارك

Dahulu Nabi tidaklah tidur sampai dia membaca surat As Sajadah dan Tabarak (Al Mulk). (Hr. At Tirmidzi No. 3404, Ahmad No. 14659, Al Hakim No. 3545)

Hadits ini SHAHIH, seperti yang dikatakan Imam Al Hakim (Al Mustadrak No. 3545), Imam As Suyuthi (Al Jaami’ Ash Shaghiir No. 6921), Syaikh Syu’aib Al Arna’uth (Ta’liq Musnad Ahmad, 23/26), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 4873), dll.

Ada pun untuk Ad Dukhan, haditsnya didhaifkan para ulama bahkan ada yg menyebut palsu ..

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من قرأ حم الدخان في ليلة أصبح يستغفر له سبعون ألف ملك

Barangsiapa yg membaca Ham Miim Ad Dukhan pd malam hari maka pagi harinya 70 ribu malaikan memohonkan ampun kepadanya. (Hr. At Tirmidzi No. 2888)

Dalam sanadnya terdapat perawi bernama: Umar bin Abi Khats’am.

Imam At Tirmidzi berkata: “Muhammad (yaitu Imam Al Bukhari) berkata: “Dia haditsnya munkar.” (Sunan At Tirmidzi No. 2888, Bab Maa Jaa’a Fi Fadhlil Ham Mim Ad Dukhan)

Begitu pula yang dikatakan Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnu ‘Adi dalam Al Kaamil, bahwa Umar bin Abi Khats’am adalah munkarul hadits. (Imam Az Zaila’iy, Takhrijul Ahadits wal Aatsar, 3/271)

Al ‘Allamah Muhammad Thahir Al Fataniy mengatakan: “Dia tidak pernah dikritik sebagai pembohong, maka haditsnya tidaklah ditolak.” (Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 80)

Sementara Al ‘Allamah Abul Hasan Ali Al Kattaniy mengatakan: “Dia tidak pernah dikritik sebagai pembohong, maka haditsnya tidaklah palsu.” (Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’ah, 1/329)

Sementara Imam Ibnul Jauzi memasukan hadits ini dalam kitab Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu), 1/248.

Syaikh Sulaiman bin Naashir Al ‘Ulwan mengatakan: “Hadits ini munkar, tidak shahih satu pun dalam Bab ini.” (As’ilah ‘an Shihati Ba’dhil Ahadits, Hal. 16)

Syaikh Al Albani mengatakan dibanyak kitabnya bahwa hadits ini maudhu’ (palsu).

Demikian. Wallahu A’lam

🍃☘🌺🌴🌾🌻🌸🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Tidak Cukup Melihat Dalil, Tapi Lihat Juga Kondisi Manusia

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Kita dapati saat seseorang mufti atau pengkaji, menjawab atau membahas sebuah masalah, mereka akan menggalinya dari Al Quran dan As Sunnah, lalu dia ambil keputusan dari situ. Istilahnya FIQHUN NUSHUSH – pemahaman terhadap dalil, dan konklusinya bisa benar bisa juga salah tergantung kemampuannya dalam memahaminya.

Tapi, bagi da’i, ustadz, muballigh, ulama .. hendaknya kajiannya tidak hanya sampai disitu, sebab yang dia lakukan baru tahapan kajian pustaka. Imam Al Qarrafi mengkritik ulama yang berfatwa hanya berdasarkan apa yang dia bacadi kitab-kitab, tanpa memperhatikan apa yang terlihat dan terjadi secara real di masyarakat.

Seharusnya tahapan juga dilanjutkan dengan FIQHUL WAAQI’ .. memahami realita, kondisi, keadaan dilapangan, apalagi jika menelurkan fatwa menyangkut kehormatan, nyawa, dan keislaman person to person.

Lalu FIQHUT TAWAQU’ WAL MA’ALAT .. Yaitu pemahaman terhadap akibat, dampak, dan konsekuensi terhadap penerapan fiqihnya.

Tahapan-tahapan ini banyak dilupakan ustadz-ustadz sekarang, hanya menilik dan puas pada fiqhun nushush melupakan variabel lainnya yang begitu penting.

Fatwa-fatwa Salafush Shalih itu sangat memperhatikan “spesifikasi” kasus dan kepribadian orgnya, bukan hanya nilai normatif nash syariatnya.

Sebagai contoh .. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, sangat perhatian tethadap kondisi manusia secara khusus dalam fatwanya.

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubaidah:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ : لِمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا تَوْبَةٌ ؟ قَالَ : لاَ ، إِلاَّ النَّارُ ، فَلَمَّا ذَهَبَ قَالَ لَهُ جُلَسَاؤُهُ : مَا هَكَذَا كُنْتَ تُفْتِينَا ، كُنْتَ تُفْتِينَا أَنَّ لِمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا تَوْبَةٌ مَقْبُولَةٌ ، فَمَا بَالُ الْيَوْمِ ؟ قَالَ : إِنِّي أَحْسِبُهُ رَجُلاً مُغْضَبًا يُرِيدُ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا ، قَالَ : فَبَعَثُوا فِي أَثَرِهِ فَوَجَدُوهُ كَذَلِكَ

Ada seorang datang kepada Ibnu Abbas dan bertanya:

“Apakah seorang yang membunuh mu’min taubatnya bisa diterima?”

Ibnu Abbas menjawab: “Tidak, dia neraka!”

Ketika orang itu pergi, orang-orang yang duduk disekitar Ibnu Abbas bertanya:

“Dulu engkau menjawab kepada kami tidak seperti itu, kau katakan dulu taubat seorang pembunuh diterima, emang kenapa hari ini?”

Beliau menjawab: “Saya melihat dia sedang marah dan ingin membunuh seorang mu’min.” Lalu mereka mengikuti orang tersebut dan mereka mendapatkan demikian. (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 28326)

Inilah Ibnu Abbas! Dengan pandangannya yang mendalam, beliau melihat kemarahan pada orang itu. Pertanyaan yang diajukan orang itu hanyalah mencari jalan agar menjadi ringan dan pembenaran membunuh seorang mu’min jika seandainya dijawab “tobatnya diterima.”

Tetapi, dengan dijawab “tobatnya tidak diterima” maka dia mengurungkan niatnya, dan terhindarlah orang itu dalam dosa dan kebinasaan yang besar.

Ada nilai dan jawaban normatif yakni “tobat dr dosa membunuh akan diterima” .. ada pun ketika sdh tahqiqul manath/realisasi ke objek fiqihnya, Ibnu Abbas menjawab “tidak diterima tobatnya” agar orang itu mengurungkan niatnya ..

Hikmahnya adalah kalau sudah menyangkut pribadi-pribadi pelakunya, masalahnya tidak berhenti pada kajian dalil-dalil, tapi juga kondisi, keadaan, situasi, dampak, dan sebagainya, pada orang tersebut.

Manhajiyah Ijtihadiyah (metodologi ijtihad) ini mesti diperhatikan oleh para ulama, apalagi mufti ..

Wallahu A’lam

🍃🌸🌻🌾🌷☘🌺🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top