🍃🌷Serial Fiqih Pergaulan Dengan Non Muslim🌸🍃
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:
Ijma’ (kesepakatan) ulama menyatakan bahwa orang kafir tidak berhak mendapatkan waris (diwarisi) begitu pula orang murtad.
Berkata Imam Ahmad Rahimahullah:
لَيْسَ بَيْنَ النَّاسِ اخْتِلَافٌ فِي أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَرِثُ الْكَافِرَ
“Tidak ada perbedaan pendapat di antara manusia (umat Islam) bahwa seorang muslim tidak mewariskan hartanya kepada orang kafir”. [1]
Sedangkan sebaliknya apakah orang kafir boleh mewarisi hartanya kepada muslim? jumhur (mayoritas) ulama mengatakan orang kafir tidak boleh mewarisi ke orang Islam. Inilah pandangan empat khulafa’ ar rasyidin, Imam empat madzhab, dan mayoritas fuqaha yang diamalkan oleh umat Islam secara umum. Mereka beralasan hadits-hadits berikut:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Seorang muslim tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” [2]
Hadits lain:
لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ
“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.” [3]
Imam At Tirmidzi tidak tegas mendhaifkan hadits ini, dia hanya berkata dalam Sunan-nya: “Aku tidak mengetahui hadits Jabir kecuali dari jalur Ibnu Abi Laila.” Tetapi, Al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan tentang Abdurrahman bin Abi Laila ini: “Seorang yang jujur tetapi sangat buruk hafalannya”.[4] Sementara Asy Syaukani mengatakan: “Sementara dari jalur Ibnu Umar, hadits ini juga dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Sikkin, dan dalam sanad Abu Daud terdapat Amru bin Syu’aib, dia shahih”.[5] Sementara Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini, baik jalur Jabir bin Abdullah maupun Usamah bin Zaid.[6]
Namun, sebagian sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin ada yang membolehkan seorang muslim memperoleh harta waris dari orang kafir, yakni Muadz bin Jabal, Muawiyah, Said bin Al Musayyib, Masruq, dan lainnya.[7] Juga Muhammad bin Al Hanafiyah, Ali bin Al Husein, Abdullah bin Ma’qil, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Yahya bin Ya’mar, dan Ishaq.[8] Ini juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim.[9] Ini juga pendapat Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah dalam Fatawa Mu’ashirah Jilid 3. Alasan mereka, makna kafir pada hadits di atas adalah kafir harbi. Alasan lain adalah hadits berikut, Hadits dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Islam itu bertambah, dan tidak berkurang.” [10]
Namun hadits ini tidak bisa dijadikan dalil, karena kelemahannya. Imam Al Munawi mengatakan, dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal) dan dhaif. [11] Begitu pula Syaikh Al Albani telah mendhaifkan hadits ini.[12] Ada jalur sanad lainnya, namun nasibnya lebih buruk, Imam Ibnul Jauzi menyebutnya batil, lantaran adanya seorang rawi bernama Muhammad bin Al Muhajir yang dituduh memalsukan hadits ini. Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa orang ini memalsukan hadits, dia meriwayatkan lalu merubah sanad dan lafaznya. [13]
Andaikan hadits ini shahih, itu juga tidak bisa dijadikan dalil. Imam Al Qurthubi mengatakan:
Hadits ini bukanlah bermaksud seperti itu, tetapi maksudnya adalah tentang keutamaan Islam dibanding agama lainnya, dan tidak ada kaitan dengan warisan. [14]
Dalil lain kelompok yang membolehkan:
الإسلام يعلو ولا يعلى
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya).” [15]
Imam Az Zaila’i mengatakan hadits ini ada yang marfu’ (sampai pada Rasulullah) dan juga mauquf (terhenti pada sahabat saja) yakni pada ucapan Ibnu Abbas.[16] Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Hasyraj dan ayahnya, oleh Ad Daruquthni kedua orang itu dikatakan majhul (tidak dikenal).[17] oleh karenanya sanad hadits ini dhaif. Namun, Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan hadits ini[18] lantaran dikuatkan oleh riwayat shahih secara mauquf dari Ibnu Abbas[19] dan Syaikh Al Albani juga menghasankannya.[20] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim menshahihkannya.[21] Imam Al ‘Ajluni mengatakan telah masyhur di lisan manusia tambahan ‘Alaih Akharan, tetapi itu sebenarnya riwayat Ahmad, dan juga yang masyhur Ya’lu walaa Yu’laa ‘Alaih. [22] Namun, apa yang dikatakannya perlu ditinjau lagi, sebab tidak ada dalam musnad Ahmad seperti apa yang dikatakannya itu (yakni tambahan ‘alaih akharan).
Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil, sebab hadits ini secara umum membicarakan tentang keutamaan Islam, sama sekali tidak membicarakan warisan.
Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi Rahimahullah mengatakan:
“Maksud hadits ini adalah tentang keunggulan Islam dibanding agama lainnya, dan hadits ini tidak ada pembicaraan tentang warisan, maka jangan alihkan makna nash yang begitu jelas ini.” [23]
Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengkritik pendapat yang membolehkan dan mengatakan:
وَحُجَّة الْجُمْهُور هَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح ، وَلَا حُجَّة فِي حَدِيث ” الْإِسْلَام يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ ” لِأَنَّ الْمُرَاد بِهِ فَضْل الْإِسْلَام عَلَى غَيْره ، وَلَمْ يَتَعَرَّض فِيهِ لِمِيرَاثٍ ، فَكَيْفَ يُتْرَك بِهِ نَصُّ حَدِيث ( لَا يَرِث الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ ) وَلَعَلَّ هَذِهِ الطَّائِفَة لَمْ يَبْلُغهَا هَذَا الْحَدِيث
“Alasan jumhur ulama dengan hadits ini adalah benar dan jelas. Dan tidak dibenarkan berdalil dengan hadits “Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya” sebab maksud hadits ini adalah tentang keunggulan Islam dibanding yang lainnya, tidak ada indikasi pembicaraan tentang warisan. Bagaimana bisa meninggalkan nash “Seorang muslim tidaklah mewariskan orang kafir ..”, semoga penyebabnya adalah karena kelompok ini belum sampai hadits ini kepada mereka.” [24]
📚 Kesimpulan:
– Umat Islam tidak mewariskan harta kepada orang kafir dan murtad, walau itu keluarganya sendiri. Ini sudah ijma’, tanpa perbedaan pendapat.
– Umat Islam juga tidak diwariskan harta dari orang kafir, ini pendapat mayoritas ulama sejak masa empat khalifah dan empat madzhab, tetapi ada sebagian sahabat nabi, tabi’in, juga Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, membolehkan menerima waris dari mereka.
Demikian. Wallahu A’lam.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahibihi wa Sallam
📙📘📕📒📔📓📗
🖋 Farid Nu’man Hasan
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
[1] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 14/58
[2] HR. Bukhari No. 6764, Muslim No. 1614
[3] HR. At Tirmidzi No. 2108, dari Jabir bin Abdullah
[4] Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 2/105
[5] Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar, 6/73
[6] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albaniy, Shahihul Jami’ , No. 7613
[7] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, hadits No. 3027
[8] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 14/58
[9] Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahludz Dzimmah, 3/322-325
[10] HR. Abu Daud, No. 2912. Ahmad, No. 20998
[11] Imam Al Munawiy, Faidhul Qadir, 3/232, No. 3062
[12] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albaniy, Dha’if Jami’us Shaghir No. 2282
[13] Imam Ibnul Jauziy, Al Maudhu’at, 3/230
[14] Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 3/323
[15] HR. Ad Daruquthni, No. 30, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 6/205. Keduanya dari ‘A’idz bin Amru Al Muzanni. Demikianlah lafaz hadits ini adalah Al Islam Ya’lu wa Laa Yu’la, tanpa tambahan ‘Alaih. Ada pun tambahan ‘Alaih ada dalam riwayat Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Syarh Al Ma’ani Al Aatsar No. 4869
[16] Imam Az Zaila’iy, Nashbur Rayyah, 6/174
[17] Ibid
[18] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 3/220
[19] Lihat Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz, Bab Idza Aslama Ash Shabiyyu famaata hal yushalli ‘alaih wa hal yu’radhu ‘ala Ash Shabiyyi Al Islam
[20] Syaikh Al Albaniy, Shahihul Jami’ No. 2778
[21] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/86
[22] Imam Al ‘Ajluniy, Kasyful Khafa, 1/127. Darul Kutub Al ‘Ilmiah
[23] Imam Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, 8/86
[24] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/496