Shalat Jadi Ma’mumnya Orang Syiah

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim ..

Kita tahu, bahwa syiah itu beragam. Para ulama membagi syiah secara global ada tiga golongan.

1. Syiah Ghulat,

Syiah ekstrim. Semua ulama sepakat kekafiran mereka krn mereka telah menuduh wahyu kenabian seharusnya ke Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’Anhu, .. mereka menyandarkan sifat-sifat ketuhanan kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’Anhu.

Maka, shalat di belakang mereka jelas tidak sah alias batal. Sebab mereka sudah bukan Islam.

2. Rafidhah,

sering disebut Syiah Imamiyah, dengan 12 imamnya. Di mana mereka mencela para sahabat nabi, bahkan sampai menuduh para sahabat nabi murtad setelah nabi wafat, kecuali Abu Dzar, Miqdad bin Al Aswad, dan Salman Al Farisi.

Para ulama berbeda pendapat tentang mereka, ada yang mengkafirkan seperti Imam Malik Rahimahullah, dan banyak ulama yang setuju dengan fatwa Imam Malik.

Imam Malik mengomentari surat Al Fath ayat 29, khususnya bagian: Liyaghizhabihimul kuffar (adanya sahabat nabi membuat orang-orang kafir marah):

ومن هذه الآية انتزع الإمام مالك -رحمه الله، في رواية عنه-بتكفير الروافض الذين يبغضون الصحابة، قال: لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر لهذه الآية. ووافقه طائفة من العلماء على ذلك. والأحاديث في فضائل الصحابة والنهي عن التعرض لهم بمساءة كثيرة ، ويكفيهم ثناء الله عليهم، ورضاه عنهم

Dari ayat ini, Imam Malik Rahimahullah –dalam sebuah riwayat darinya- memutuskan kafirnya kaum rafidhah, orang-orang yang membenci para sahabat. Beliau berkata: “Karena mereka murka terhadap para sahabat, maka itu adalah kafir menurut ayat ini.” Segolongan ulama menyetujui pendapat ini. Dan telah banyak hadits tentang keutamaan para sahabat dan larangan mencela mereka dengan keburukan, cukuplah bagi mereka pujian dari Allah dan keridhaanNya bagi mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/362)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah berkata:

لقد أحسن مالك في مقالته و أصاب في تأويله، فمن نقص واحداً منهم أو طعن عليه في روايته فقد ردَّ على الله رب العالمين و أبطل شرائع المسلمين

Alangkah bagusnya perkataan Imam Malik dan benarlah ta’wilnya itu, bahwa barang siapa yang mencederai satu saja di antara mereka (para sahabat), atau menyerang mereka pada riwayat riwayat yang di bawa oleh mereka, maka sama saja telah membantah Allah Rabb semesta alam dan membatalkan syariat kaum muslimin. (Tafsir Al Qurthubi, 16/297)

Imam Al Auza’i Rahimahullah Beliau berkata:

من شتم أبا بكر الصديق – رضي الله عنه – فقد ارتد عن دينه و أباح دمه

Barang siapa yang mencela Abu Bakar As Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, maka dia telah murtad dari agamanya dan halal darahnya (maksudnya boleh dihukum mati, pen).

(Syarh Al Ibanah, Hal. 161)

Ini pula yang diikuti oleh umumnya ulama Arab Saudi. Kalau kita pakai pendapat ini tentu terlarang pula shalat dibelakang Rafidhah. Umumnya saat ini mereka di Iran dan Iraq.

Ada juga yang menyebut Rafidhah adalah Ahlul Bid’ah, sesat, tapi tidak sampai kafir. Seperti Hadhratusy Syaikh K.H Hasyim Asy’ari, Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy, dan lainnya. Sehingga, jika pendapat ini yang dipakai, maka masih sah jadi ma’mum mereka tapi makruh.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

روى البخاري ان ابن عمر كان يصلي خلف الحجاج.
وروى مسلم أن أبا سعيد الخدري صلى خلف مروان صلاة العيد، وصلى ابن مسعود خلف الوليد ابن عقبة بن أبي معيط – وقد كان يشرب الخمر، وصلى بهم يوما الصبح أربعا
وجلده عثمان بن عفان على ذلك – وكان الصحابة والتابعون يصلون خلف ابن عبيد، وكان متهما بالالحاد وداعيا إلى الضلال، والاصل الذي ذهب إليه العلماء أن كل من صحت صلاته لنفسه صحت صلاته لغيره، ولكنهم مع ذلك كرهوا الصلاة خلف الفاسق والمبتدع

Ibnu Umar shalat jadi makmumnya Al Hajjaj (HR. Bukhari)

Abu Sa’id Al Khudri jadi makmumnya Al Marwan dalam shalat Id. (HR. Muslim)

Ibnu Mas’ud jadi makmumnya Al Walid bin Uqbah bin Mu’ith, dan dia seorang peminum khamr, shalat subuh 4 rakaat.

Utsman bin Affan pernaj mnghukumnya dgn jild (dicambuk).

Para sahabat dan tabi’in pernah jadi makmum Ibnu Ubaid, padahal dia dituduh ateis dan penyeru kesesatan.

Jadi, pada dasarnya yg menjadi pegangan para ulama bahwasanya shalat yg dilakukan sah untuk diri sendiri maka sah pula untuk org lain.

(Fiqhus Sunnah, 1/237-238)

3. Syiah Zaidiyah,

yaitu syiah yang masih menghormati sahabat nabi, tapi tetap lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’Anhu di atas semua sahabat nabi termasuk Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiyallahu’Anhum.

Mereka tidak sampai disebut kafir, tapi mubtadi’ seperti yang dikatakan Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari Rahimahullah, kecuali bagi yang telah menuduh atau mencela para sahabat nabi.

Maka shalat dibelakang mereka, jika posisinya belum sampai melakukan kekafiran, juga sah sebab mereka masih Muslim.

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu’ala Nabiyyina Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🍃🌻🌱🌸🌷🌿☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Bahaya-Bahaya Melupakan Al Qur’an (Bag. 3)

▫▫▫▫▪▪▪▪

4⃣ Shuhbatusy Syaithan (Bersahabat dengan syetan)

Allah Ta’ala jadikan Al Qur’an sebagai wiqayah (tameng) untuk manusia dari gangguan syetan. Ayat-ayat Al Qur’an sangat menakutkan bagi mereka, oleh karena itu Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Sesungguhnya syetan itu lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah.

(HR. Muslim no. 780)

Maka, sangat logis ketika manusia melupakan Al Qur’an; tidak membacanya, menjauhi ajarannya, tidak mau menjadikannya pedoman hidup, syetanlah yg akan mendekat bahkan menjadi kawannya. Paradigma berpikirnya dipolakan oleh syetan; bagaimana dia mencari rezeki, bertutur kata, bekerja, dsb, .. semuanya dipengaruhi oleh syetan, karena syetan amat dekat dengannya.

Hal ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam Al Qur’an:

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (yaitu Al-Qur’an), Kami biarkan syetan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya.

(QS. Az-Zukhruf, Ayat 36)

Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah menjelaskan:

قال المفسرون: وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمنِ فلم يَخَف عِقابه ولم يلتفت إِلى كلامه نقيِّضْ له أي: نسبب له شيطاناً فنجعل ذلك جزاءَه فهو له قرين لا يفارقه. وَإِنَّهُمْ يعني الشياطين لَيَصُدُّونَهُمْ يعني الكافرين، أي: يمنعونهم عن سبيل الهدى

Para pakar tafsir mengatakan: “Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (yaitu Al-Qur’an)”, dia tidak takut dengan hukumanNya dan tidak menengok pada firmanNya maka “Kami biarkan syetan dengannya” yaitu Kami kaitkan dia dengan syetan sebagai balasannya dan dia menjadi qorinnya (kawan yg lebih dekat dari karib), dia tidak pernah lepas darinya. Sesungguhnya syetan benar-benar menghalangi mereka (orang-orang kafir) dari jalan petunjuk.

(Zaadul Masiir, 4/78)

Demikian. Wallahu a’lam

Bersambung ..

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Bahaya-Bahaya Melupakan Al Qur’an (Bag. 2)

▫▫▫▫▪▪▪▪

3⃣ Kesesatan yang jauh

Al Qur’an adalah huda lin naas, petunjuk bagi semua manusia. Maka, ketika manusia berpaling darinya tentu mereka berpaling dari panduan hidup .., sehingga mereka tersesat dan jauh tersesat.

Allah Ta’ala berfirman:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al Quran) dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.

(QS. An-Nisa’, Ayat 60)

Ayat ini menceritakan tentang tersesatnya manusia yang memakai Al Qur’an dan As Sunnah tapi juga menggunakan petunjuk, ketetapan, dan hukum selain Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka lebih memilih selain Al Qur’an, dan Allah Ta’ala menyebutnya sebagai ketetapan Thaghut. Tapi mereka mengklaim telah ikut Al Qur’an, Allah Ta’ala menyebut mereka tersesat. Ini menunjukkan mengikuti Al Qur’an mesti tulus dan total.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan ayat ini:

هَذَا إِنْكَارٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَنْ يَدَّعِي الْإِيمَانَ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْأَنْبِيَاءِ الْأَقْدَمِينَ، وَهُوَ مع ذلك يريد أن يتحاكم فِي فَصْلِ الْخُصُومَاتِ إِلَى غَيْرِ كِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ، كَمَا ذُكِرَ فِي سَبَبِ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّهَا فِي رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ ورجل من اليهود تخصاما، فَجَعَلَ الْيَهُودِيُّ يَقُولُ: بَيْنِي وَبَيْنَكَ مُحَمَّدٌ، وَذَاكَ يَقُولُ: بَيْنِي وَبَيْنَكَ كَعْبُ بْنُ الْأَشْرَفِ، وَقِيلَ: فِي جَمَاعَةٍ مِنَ الْمُنَافِقِينَ مِمَّنْ أَظْهَرُوا الْإِسْلَامَ، أَرَادُوا أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى حُكَّامِ الْجَاهِلِيَّةِ، وَقِيلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَالْآيَةُ أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَإِنَّهَا ذَامَّةٌ لِمَنْ عَدَلَ عَنِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ. وَتَحَاكَمُوا إِلَى مَا سِوَاهُمَا مِنَ الْبَاطِلِ، وَهُوَ الْمُرَادُ بِالطَّاغُوتِ هَاهُنَا، وَلِهَذَا قَالَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ إلىآخرها

Ayat ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengklaim beriman kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ (Al Qur’an) dan apa yang diturunkan kepada para nabi terdahulu. Saat yang bersamaan, mereka ingin mendamaikan pertengkaran manusia tapi tidak menggunakan Al Qur’an dan sunnah RasulNya, sebagaimana tertera di dalam sebab turunnya ayat ini.

Ayat ini turun tentang pertengkaran seorang laki-laki Anshar, dgn org Yahudi. Si Yahudi berkata: “Antara saya dan kamu ada Muhammad.” Lalu laki-laki Anshar berkata: “Antara saya dan kamu ada Ka’ab bin Asyraf (tokoh Yahudi Madinah).” Ada yg mengatakan, ayat ini tentang segolongan orang-orang munafiq yang menampakkan keislaman, tapi mereka hendak menetapkan perkara dengan hukum jahiliyah. Ada pula versi lainnya.

Ayat ini berlaku lebih umum dari semua itu. Ini merupakan kecaman bagi mereka yang mengadili dari Al Qur’an dan As Sunnah, tapi juga menggunakan ketetapan selain keduanya dengan batil. Inilah maksud berhukum dengan hukum Thaghut di ayat ini. Oleh karenanya Allah berfirman: “Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Thaghut.”

(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/305)

Inilah yg membuat mereka tersesat, ketika tidak puas dengan Al Qur’an, mereka tambahkan lagi dengan ketetapan dari sumber-sumber jahiliyah. Padahal semua itu mesti mereka inkari, sebagaimana penekanan dalam ayat tersebut:

وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ

” .. padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu.”

Sebagian ahli tafsir generasi awal, memaknai hukum Thaghut dalam konteks ayat itu maksudnya hukum yang ditetapkan oleh tokoh Yahudi Madinah, Ka’ab bin Asyraf.

Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah mengatakan:

والطاغوت: كعب بن الأشرف، قاله ابن عباس، ومجاهد، والضحاك، والربيع، ومقاتل

Thaghut yaitu Ka’ab bin Asyraf. Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Adh Dhahak, Ar Rabi’, dan Muqatil.

(Zaadul Masiir, 1/426)

Namun, yg terjadi bukannya Thaghut ini diingkari justru malah diikuti. Akhirnya syetan menyesatkan mereka dengan kesesatan yang begitu nyata.

Allah Ta’ala menutup ayat itu dengan:

وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.

Demikian. Wallahu a’lam

(Bersambung)

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Bahaya-Bahaya Melupakan Al Qur’an (Bag. 1)

▫▫▫▫▪▪▪▪

Sejak 14-15 Abad lalu, Allah Ta’ala sudah menyebutkan akan datangnya masa umat Islam menjauh dari Al Qur’an. Menjauh artinya tidak membacanya, mentabburinya, apalagi mengamalkannya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

Dan Rasul (Muhammad) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang dijauhi.”

(QS. Al-Furqan, Ayat 30)

Sungguh, menjauh dari Al Qur’an adalah berbahaya bagi seorang muslim, atau masyarakat muslim, bahkan bagi umat manusia. Hal ini ditegaskan dalam banyak ayatNya.

Di antaranya:

1⃣ Penghidupan yang sempit (Ma’isyatan Dhanka)

Hal ini Allah Ta’ala tegaskan dalam Al Qur’an:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا

Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, …

(QS. Tha-Ha, Ayat 124)

Maksud dari “berpaling dari peringatanKu” adalah berpaling dari Al Qur’an.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

أي خالف أمري وما أنزلته على رسولي أعرض عنه وتناساه وأخذ من غيره هداه

Yaitu menyelisihi perintahKu dan menyelisihi apa-apa yang Aku turunkan kepada RasulKu (Al Qur’an), berpaling darinya dan melupakannya dan menjadikan selainnya sebagai petunjuk.

(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 5/283)

Ada pun “penghidupan yang sempit” yaitu kehidupan dunianya, baik hakiki yaitu sempit nafkahnya, atau sempit secara maknawi yaitu dadanya sempit dan gelisah, karena dia hidup di atas kesesatan, atau permasalahan yang tidak kunjung usai, dan lainnya.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

أي ضنكا في الدنيا، فلا طمأنينة له ولا انشراح لصدره، بل صدره ضيق حرج لضلاله، وإن تنعم ظاهره ولبس ما شاء وأكل ما شاء وسكن حيث شاء، فإن قلبه ما لم يخلص إلى اليقين والهدى فهو في قلق وحيرة وشك، فلا يزال في ريبة يتردد فهذا من ضنك المعيشة

Yaitu sempit di dunia, tidak tenang, dan tidak lapang dadanya, tapi hatinya sempit karena kesesatannya. Walau zahirnya menampakkan nikmat hidup, memakai pakaian apa saja yg dia suka, memakan apa yang dia mau, dia tinggal di mana pun dia suka, tapi hatinya belum bersih kepada keyakinan dan petunjuk, hatinya gelisah dan dipenuhi keraguan, terus menerus dikuasai kebimbangan. Itulah kehidupan dunia yang sempit. (Ibid)

Maka, jika kita dirundung kegelisahan, ditimpa masalah demi masalah .. coba lihat dan evaluasi bagaimana hubungan kita dengan Al Qur’an ..

Sementara itu, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Rasulullah ﷺ bersabda tentang makna “penghidupan yang sempit”, maksudnya adalah “Azab Kubur.” Sanadnya jayyid. (Imam Ibnu Katsir, Ibid, 5/284)

2⃣ Dikumpulkan di akhirat dalam keadaan buta

Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang sama dengan poin pertama:

وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

” … dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”

(QS. Tha-Ha, Ayat 124)

Ini sesuatu yang menakutkan. Di dunia, kebutaan saja sudah tidak mengenakkan dan membingungkan, walau banyak manusia yang dapat membantu kita. Lalu, bagaimana kebutaan di akhirat, di mana manusia tidak bisa membantu satu sama lainnya karena masing-masing bertanggungjawab atas amalnya sendiri?

Buta di sini bermakna hilangnya penglihatan, hilangnya arah, petunjuk, dan kendali, di akhirat nanti ..

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

أي مَسْلُوبَ الْبَصَرِ، وَقِيلَ: المراد العمى عَنِ الْحُجَّةِ، وَقِيلَ: أَعْمَى عَنْ جِهَاتِ الْخَيْرِ لَا يَهْتَدِي إِلَى شَيْءٍ مِنْهَا

Yaitu kaburnya penglihatan. Dikatakan bahwa maksud dari buta adalah buta dari hujjah. Dikatakan pula, buta terhadap arah kebaikan, dan dia tidak ada pentunjuk untuk sedikit pun mencapai ke sana.

(Fathul Qadir, 3/462)

Sebab, Al Qur’an adalah kitab petunjuk bagi manusia, ke arah yang lurus dan paling benar .. maka melupakannya akan membuatnya jauh melenceng dari kebenaran. Penyesalan itu pun datang kemudian ..

Allah Ta’ala berfirman:

Dia berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?”

Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.”

(QS. Tha-Ha, Ayat 125-126)

Demikian. Wallahu a’lam

(Bersambung ..)

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top