Tafsir Surat Al Ikhlas (Bag.4)

Allah Tak Berketurunan, dan Tak Seorangpun Yang Setara dengan-Nya

🍂🍃🍀☘️🌿🌱

 لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  (3 (  وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  ( 4 (

Dia tidak beranak dan tidakpula diperanakkan  (3) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (4)

 

Makna Mufradat

ولد

Anak

لَمْ يَلِدْ

Tidak beranak

كُفُوًا

Setara, sepadan

Allah Maha Ada, Dia bukan berasal dari yang makhluk. Dia Maha Suci dari sifat-sifat makhluk yang terlahir, Dia juga tidak memiliki keturunan, Dia ada sejak awal (qadim)  tak ada yang lebih awal dari Allah, dan Dia Maha Kekal selamanya, sampai kapanpun.[1]

Menurut Abu Bakar Al-Jazairi

Beliau menyebutkan dalam tafsirnya:

لم يلد: أي لا يفنى إذ لا شيء يلد إلا وهو فان بائد لا محالة. ولم يولد: أي ليس بمحدث بأن لم يكن فكان هو كائن أولا وأبدا

Makna “Lam Yalid” yaitu, tidak fana (binasa) karena jika sesuatu berasal dari dilahirkan, maka ia bisa rusak binasa. Dan “wa lam yulad”,”Allah bukanlah baru karena Dia adalah Zat yang ada sejak awal dan selamanya”.[2]

Syekh Wahbah Zuhaili

Terkait makna ayat

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَد

Dia tidak beranak dan tidakpula diperanakkan                         

Beliau menyebutkan:

وهذا نفي للشبه والمجانسة، ووصف بالقدم والأولية، ونفي الحدوث

Penafian dalam ayat ini berfungsi sebagai perumpamaan dan penyetaraan (Allah tiada setara dengan serupa) penyifatan dengan awal mula bermakna menafikan sesuatu yang baru.[3]

Thahir Ibnu Asyur

Beliau menyebutkan dalam tafsirnya:

وَلِأَنَّهُ لَوْ تَوَلَّدَ عَنِ اللَّهِ مَوْجُودٌ آخَرُ لَلَزِمَ انْفِصَالُ جُزْءٍ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى وَذَلِكَ مُنَافٍ لِلْأَحَدِيَّةِ

Karena jika terlahir keturunan dari Allah,berarti ada wujud lain pecahan dari Allah dan inilah yang menafikan sifat Ahad (tungga) Allah. [4]

Sesuai dengan firman Allah:

وَقالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمنُ وَلَداً سُبْحانَهُ بَلْ عِبادٌ مُكْرَمُون

Dan mereka berkata,”Tuhan Yang Maha Pemurah telah memiliki anak, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan” (QS. Al Anbiya[21]:26

Menurut Ibrahim Al Qattan (1404H)

Beliau menyebutkan dalam Taysir At Tafsir:

لم يتَّخِذ ولداً ولا زوجة، ولم يولَد من أبٍ ولا أُم. . فهو قَديمٌ ليس بحادِثٍ، ولو كان مولُودا لكان حادِثا. إنه ليس له بدايةٌ ولا نهاية

Dia (Allah) tidak mengambil anak juga istri, tidak berketurunan dari ayah maupun ibu, Dia qadim (terdahulu) bukan hadits (baru). Karena jika Allah terlahir, maka Dia adalah makhluk baru, padahal Dia tak bermula dan tak berakhir”.[5]

Allah Maha Suci dari segala tuduhan kaum kafir dan musyrik terhadap Allah yang berketurunan. Tuduhan yang sangat tidak pantas ditujukan kepada Allah.

Penegasian dalam ayat ini merupakan jawaban atas tuduhan kaum Nashrani yang menyangka bahwa Nabi Isa adalah anak Allah, dan orang Yahudi yang berkata bahwa Uzair adalah anak Allah, juga tuduhan sebagian orang Arab yang menyangka bahwa para malaikat adalah puteri-puteri Allah, dan sangkaan orang-orang Hindu yang menyatakan  Tuhan-Tuhan lain kepada Allah dan Allah memiliki keturunan. [6]

Firman Allah:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. Taubah [9]:30)

Tiada yang Setara Dengan Allah

Firman Allah:

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  ( 4 (

“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (4)

Terkait dengan ayat ini Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi menyebutkan dalam tafsirnya:

لم يوجد له مماثل أو مكافئ لا في حقيقة الوجود ولا في حقيقة الفاعلية ولا في أية صفة من الصفات الذاتية

Tiada yang serupa atau setara dengan Allah, tidak pada hakikat keberadaan maupun kenyataan, begitupula pada sifat  Zat-Nya.[7]

Disebutkan dalam hadits Rasulullah riwayat Imam al Hakim:

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، ” أَنَّ الْمُشْرِكِينَ، قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ، انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ} قال: الصمد: الذي لم يلد، {وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}  لِأَنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ يُولَدُ إِلَّا سَيَمُوتُ، وَلَيْسَ شَيْءٌ يَمُوتُ إِلَّا سَيُورَثُ، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمُوتُ وَلَا يُورَثُ {وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} قَالَ: لَمْ يَكُنْ لَهُ شَبِيهٌ، وَلَا عَدْلٌ وَلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ .

Dari Ubay Bin Ka’ab Radhiyallahu Anhu,” Bahwa orang-orang Musyrik berkata,”Wahai Muhammad beritahu nasab Tuhanmu kepada kami, lalu Allah menurunkan ayat:

{قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ}

Katakanlah, Dia –lah Allah, yang Maha Esa,Dia Allah tempat bergantung segala sesuatu).

Ash Shamad adalah,”Dia yang tak beranak,

{وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}

Tiada diperanakkan dan tidak ada yang setara dengan-Nya,

Karena setiap yang di lahirkan, ia akan mati, dan dan setiap yang mati akan mewarisi, dan Allah tak mati dan tak mewarisi,

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}

Tiada sesuatupun yang setara dengan Allah

Allah tak serupa dengan apapun dan tak ada yang sesuatu yang sebanding dengan Allah. (HR. Al Hakim, no. 3897)

والله أعلم

🍃🌸☘🎋🌹🍀🌷

✍ Ust Fauzan Sugiono, MA


[1] Tafsir At Thabari, 24/693

[2] Al Jazairi, Aisar At Tafasir, 5/628

[3] Wahbah Zuhaily, Tafsir Al Munir, 30/465

[4] Thahir bin Asyur, At Tahrir wa Tanwir, 30/618

[5] Ibrahim Al Qattan, Taysir At Tafsir, 3/458

[6] Yusuf Al Qaradhawi, Tafsir Juz Amma, h. 560

[7] Syekh Mutawalli Asy Sya’rawi, Tafsir Juz Amma,  661

Serial Tafsir Surat Al-Ikhlas
Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 1)

Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 2)

Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 3)

Tafsir Surat Al Ikhlas (Bag.4)

Merendahkan Yang Lebih Tinggi

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Yang muda mencela yang tua

📌 Ustadz muda merendahkan yang senior

📌 Para ulama besar direndahkan oleh da’i-da’i yang baru muncul kemarin

📌 Mereka bagaikan domba yang hendak menanduk gunung batu yang besar; sayangilah tandukmu!

📌 Inilah fenomena hari ini, sopan santun bagi para pembawa ilmu pun sudah diabaikan; bagaimana nasib umat?!

📌 Abu Hazim Rahimahullah (sezaman dengan Imam Malik Rahimahullah) menceritakan manusia di zamannya:

صار الناس في زماننا يعيب الرجل من هو فوقه في العلم ليري الناس أنه ليس به حاجة إليه، ولا يذاكر من هو مثله ويزهو على من هو دونه فذهب العلم وهلك الناس

Manusia di zaman kami, mencela seseorang yang kedudukannya dalam ilmu berada di atasnya, itu dilakukan supaya orang-orang melihat bahwa dia tidak membutuhkan orang itu. Dia juga tidak mau berdiskusi dengan yang setara dengannya, serta sombong di hadapan manusia yang di bawahnya, jika sudah demikian maka lenyaplah ilmu dan binasalah manusia.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jaami’ Bayan al ‘Ilm wa Fadhlih, jilid. 2, hal. 1325, no. 2412)

📌 Apa yang dilihat oleh Abu Hazim Rahimahullah adalah di zamannya, 12 Abad silam .. Lalu apa jadinya jika dia lihat zaman ini?

Laa hawlaa walaa quwwata illa billah

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Pemilik Qurban Boleh Makan Qurbannya Sendiri

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, hal itu sama sekali tidak masalah, baik sedikit atau banyak, bahkan itu SUNNAH.

Allah Ta’ala yang memerintahkannya:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“.. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أَمْرٌ مَعْنَاهُ النَّدْبُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ. وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ هَدْيِهِ وَأُضْحِيَتِهِ وَأَنْ يَتَصَدَّقَ بِالْأَكْثَرِ، مَعَ تَجْوِيزِهِمُ الصَّدَقَةَ بِالْكُلِّ وَأَكْلِ الْكُلِّ

Perintah di sini maknanya adalah anjuran (mandub/sunnah) menurut mayoritas ulama. Hal yg disukai bagi seseorang memakan hewan hadyu (qurban bagi jamaah haji) dan qurbannya, dan menyedekahkannya bagian yang lebih banyak, namun memang dibolehkan baginya untuk menyedekahkan semuanya atau memakan semuanya.

(Tafsir Al Qurthubi, 12/44)

Dahulu, keyakinan mereka memang tidak boleh makan hewan qurbannya sendiri lalu keyakinan itu telah dikoreksi oleh ayat di atas:

قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: قَوْلُهُ تَعَالَى” فَكُلُوا مِنْها” نَاسِخٌ لِفِعْلِهِمْ، لِأَنَّهُمْ كَانُوا يُحَرِّمُونَ لُحُومَ الضَّحَايَا عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَا يَأْكُلُونَ مِنْهَا – كَمَا قُلْنَاهُ فِي الْهَدَايَا- فَنَسَخَ اللَّهُ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ:” فَكُلُوا مِنْها” وَبِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ ضَحَّى فَلْيَأْكُلْ مِنْ أُضْحِيَتِهِ) وَلِأَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَكَلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ وَهَدْيِهِ. وَ

Sebagian ulama berkata: firmanNya: “Makanlah olehmu sebagian darinya” merupakan nasikh (penghapus) perilaku mereka, krn dulu mereka mengharamkan daging qurban mereka sendiri dan tidak memakannya – sebagaimana yg kami ceritakan tentang daging hadyu-, lalu Allah hapuskan hal itu dengan firmanNya: “Makanlah olehmu sebagian darinya”, serta hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Siapa yang berqurban hendaknya dia makan qurbannya”, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pun pernah makan qurban dan hadyu-nya. (Ibid, 12/46)

Imam Al Khathib asy Syarbini Rahimahullah mengatakan:

(وَيَأْكُل من الْأُضْحِية المتطوع بهَا) أَي ينْدب لَهُ ذَلِك قِيَاسا على هدي التَّطَوُّع الثَّابِت بقوله تَعَالَى {فَكُلُوا مِنْهَا وأطعموا البائس الْفَقِير} أَي الشَّديد الْفقر وَفِي الْبَيْهَقِيّ أَنه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم كَانَ يَأْكُل من كبد أضحيته

Hendaknya dia makan hewan qurban sunnahnya, yaitu dianjurkan baginya memakannya diqiyaskan dengan hadyu yang sunnah, sebagaimana begitu kuat dalilnya dalam firman Allah Ta’ala: “Makanlah olehmu sebagian darinya dan sebagian lain berikan kepada orang-orang fakir.” Yaitu yang kefakirannya berat. Dalam riwayat al Baihaqi disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakan hati hewan qurbannya. (Al Iqna’, 2/592)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث

“Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. DIa pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga”. (Fiqhus Sunnah, 1/742-743)

Tapi, jika qurban wajib seperti qurban karena NADZAR para ulama berbeda pendapat atas kebolehan memakannya. Dalam Al Mausu’ah tertulis:

اما اذا وجبت الاضحية ففى حكم الاكل منها اختلاف الفقهاء

Ada pun jika qurban yang wajib, maka hukum memakannya para ulama berselisih pendapat. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, 6/116)

Pihak yang melarang mengatakan qurban yg wajib maka seperti sedekah wajib (misal zakat), di mana pihak yang bersedekah tidak sepatutnya memakan sedekahnya sendiri. Sementara pihak yang membolehkan menegaskan kebolehan itu berdasarkan keumuman dalil anjuran memakannya tanpa memilih qurban sunnah atau wajib.

Jika ingin ambil sikap yang hati-hati dalam qurban nadzar adalah dengan tidak memakannya, tentu itu sangat bagus.

Demikian. Wallahu a’lam.

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Jam Belajar di Kelas Bentur Dengan Waktu Shalat

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum, tadz,.. Apakah termasuk lalai kalau shalat sering tidak di awal waktu krn pas azan masih ada kuliah. Jadi selesainya jam 12.30 kadang lebih, zuhur udah lewat.. Shalat zuhur gak pernah di awal waktu…

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim …

Alangkah baiknya pihak sekolah/kampus dapat menyesuaikan waktu belajarnya dengan waktu-waktu shalat, sehingga siswa/mahasiswa dapat shalat di awal waktu, sehingga baik siswa dan pengajar sama-sama mendapatkan amal yang terbaik. Terutama jika sekolah/kampus yang dimaksud adalah sekolah/kampus Islam.

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, pernah bertanya kepada Rasulullah tentang amal apa yang paling disukai Allah Ta’ala? Rasulullah menyebut tiga perbuatan, dan yang pertama adalah:

الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا

Shalat pada waktunya

Ada pun yang kedua; berbakti kepada kedua orang tua, sedangkan ketiga; jihad fisabilillah. (HR. Bukhari no. 527)

Sebagian ulama mengartikan “shalat pada waktunya” adalah shalat di awal waktunya. Seperti Imam Ibnu Baththal Rahimahullah:

وفيه: أن البدار إلى الصلاة فى أول أوقاتها، أفضل من التراخى فيها؛ لأنه إنما شرط فيها أن تكون أحب الأعمال إلى الله

Dalam hadits ini menunjukkan bersegera melakukan shalat di awal waktunya adalah lebih utama dibanding menundanya, sebab itu menjadi syarat untuk menjadi amal yang paling disukai Allah Ta’ala. (Syarh Shahih Al Bukhari, 2/157)

Namun demikian, dalam penjelasan ini hanya membicarakan tentang mana yang lebih utama, bukan membicarakan salah dan benar. Artinya, seandainya tidak di awal waktu bukanlah kesalahan, bukan pula pembatal shalat, dia tetap shalat pada waktunya hanya saja tidak di awal. Maka, jika pelajar/mahasiswa tersebut tidak shalat di awal waktu, maka mereka tetap sah, tetap mendapatkan pahala dan keutamaan shalat, hanya saja mereka kehilangan keutamaan shalat di awal waktu menurut sebagian ulama.

Namun tidak sedikit ulama yang punya pandangan lain, Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengutip dari Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah bahwa hadits di atas tidak membicarakan awal atau akhir waktu, tapi merupakan warning agar jangan sampai shalat di luar waktunya sehingga membuatnya qadha. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:

قُلْتُ وَفِي أَخْذِ ذَلِك من اللَّفْظ الْمَذْكُور نظر قَالَ بن دَقِيقِ الْعِيدِ لَيْسَ فِي هَذَا اللَّفْظِ مَا يَقْتَضِي أَوَّلًا وَلَا آخِرًا وَكَأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ الِاحْتِرَازُ عَمَّا إِذَا وَقَعَتْ قَضَاءً وَتُعُقِّبَ بِأَنَّ إِخْرَاجَهَا عَنْ وَقْتِهَا مُحَرَّمٌ

Aku berkata: memahami lafaz tersebut seperti itu adalah hal yang mesti dipertimbangkan. Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan lafaz tersebut tidak berkonsekuensi tentang awal dan akhir waktu, sebab maksud darinya adalah agar menghindar jangan sampai melakukan qadha yang diakibatkan karena shalat di luar waktunya yang merupakan perbuatan haram. (Fathul Bari, 2/9)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

اتفق الفقهاء على تحريم تأخير الصلاة حتى يخرج وقتها بلا عذر شرعي

Para fuqaha sepakat haramnya menunda shalat sampai habis waktunya tanpa uzur syar’iy. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/8)

Maka, yang dilarang adalah menunda shalat sampai habis waktunya secara sengaja, akhirnya dia shalat di luar waktunya, misal sengaja shalat zuhur di waktu ashar tanpa alasan syar’i. Walau shalatnya sah, namun dia melakukan keharaman, merekalah salah satu yang dimaksud dalam surat Al Ma’uun (ayat. 4-5): “Celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang yang saahuun (lalai dalam shalatnya).”

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan:

عني بذلك أنهم يؤخرونها عن وقتها، فلا يصلونها إلا بعد خروج وقتها

Maknanya, bahwa mereka mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka tidaklah shalat kecuali setelah keluar dari waktunya. (Tafsir Ath Thabariy, 10/8786)

Ada pun jika shalatnya masih di waktunya; baik di awal, tengah, atau akhir, maka itu tetap disebut shalat pada waktunya, dia tidak dikatakan saahuun sebagaimana ayat di atas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’, Ayat 103)

Sehingga selama shalat dilakukan di interval waktu shalat tersebut, belum masuk waktu shalat berikutnya, maka sah dan boleh.

Dalam hadits:

إن للصلاة أولا وآخرا، وإن أول وقت الظهر حين تزول الشمس، وإن آخر وقتها حين يدخل وقت العصر..

Shalat itu ada awal waktunya dan akhirnya, awal waktu zhuhur adalah saat tergelincir matahari, waktu akhirnya adalah saat masuk waktu ashar .. (HR. Ahmad no. 7172, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Ta’liq Musnad Ahmad, no. 7172)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

يجوز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها بلا خلاف، فقد دل الكتاب، والسنة، وأقوال أهل العلم على جواز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها، ولا أعلم أحداً قال بتحريم ذلك

Dibolehkan menunda shalat sampai akhir waktunya tanpa adanya perselisihan, hal itu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Perkataan para ulama juga membolehkan menunda sampai akhir waktunya, tidak ada seorang ulama yang mengatakan haram hal itu. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/58)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

وقد بين النبي صلى الله عليه وسلم مواقيتها من كذا إلى كذا فمن أداها فيما بين أول الوقت وآخره فقد صلاها في الزمن الموقوت لها

Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa waktu shalat itu sejak waktu ini ke ini, maka barang siapa yang menjalankan di antara awal waktu dan akhirnya, maka dia telah menunaikan di waktu yang telah ditentukan.
(Majmu’ Al Fatawa wa Rasail, Jilid. 12, Bab Shalat)

Kesimpulan, sebaiknya usahakan dengan sungguh-sungguh shalat di awal waktu, tapi jika memang sangat sulit, maka tidak apa-apa baginya jika memang akhirnya shalat di tengah, atau akhir waktunya. Sebab itu masih rentang “waktu shalat”. Namun, haram baginya menunda shalat secara sadar dan sengaja tanpa ‘udzur sampai habis waktunya.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top