Salahkah Julukan Az Zahra pada nama Fathimah Az Zahra?

Pertanyaan

Apakah benar tidak boleh menyebut Az Zahra pada nama Fathimah, dan disinyalir itu berasal dari Syiah?

Jawaban:

Bismillahirrahmanirrahim..

Fathimah Radhiallahu ‘Anha, adalah putri kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Penyandaran gelar Az Zahra pada namanya adalah hal yang diakui dalam sejarah dan ditulis dalam kitab-kitab mu’tabarah para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik kalangan ahli haditsnya, fiqih, tafsir, dan sejarah. Maka, melarang menyebut Az Zahra dan menuduh sebutan Az Zahra sebagai pengaruh ajaran Syiah, adalah tidak benar dan ahistoris.

Az Zahra sendiri artinya putih berseri. Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah mengatakan:

فاطمة الزهراء: الزهراء: المرأة المشرقة الوجه ، البيضاء المستنيرة

Fathimah Az Zahra, Az Zahra artinya wanita yang wajahnya cerah, putih bersinar.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 209478)

Para imam pun menyebutnya dengan Fathimah Az Zahra, di antaranya:

– Imam Ibnu Hibban, dalam Shahih-nya ada bab: Dzikru Fathimata Az Zahra ibnati Al Mushthafa Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Radhiallahu ‘Anha
(Tentang Fathimah Az Zahra Radhiallahu ‘Anha, putri Rasulullah Al Mushthafa Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam)

– Imam Al Baghawi, dalam Syarhus Sunnah menulis bab: Bab manaqibi Fathimata Az Zahra Radhiallahu ‘Anha (Bab tentang kebajikan Fathimah Az Zahra Radhiallahu ‘Anha)

– Imam An Nawawi, dalam Tahdzibul Asma wa Lughat menulis dalam pembahasan huruf FA: Fathimah Az Zahra bintu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/352)

– Imam Ibnul Atsir, dalam Usudul Ghabah berkata tentang Fidhah an Nubiyah: “Fidhah an Nubiyah adalah budak wanita dari Fathimah Az Zahra binti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Usudul Ghabah, 7/230)

– Imam Adz Dzahabi, dalam As Siyar menceritakan Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu: “Umar menikahi Ummu Kultsum, putri Fathimah Az Zahra, dengan mahar 40.000 dirham.” (Siyar A’lamin Nubala, 2/433)

– Imam Al Qurthubi, dalam tafsirnya menulis tentang putra putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ada pun anak-anak perempuan di antara anak-anaknya adalah: Fathimah Az Zahra bintu Khadijah ..” (Tafsir Al Qurthubi, 14/241)

– Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dalam tafsirnya mengatakan: “Diriwayatkan bahwa Sayyidah Fathimah Az Zahra tidak pernah haid, oleh karena itulah dia juluki dengan Az Zahra.” (Tafsir Al Manar, 3/246)

Dan masih banyak lainnya, termasuk ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad al Amin Syanqiti dalam tafsir Adhwa’ul Bayan, Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya, termasuk para ulama di Al Lajnah Ad Daimah kerajaan Arab Saudi, dan lainnya.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Shalat Sulit Menghadap Kiblat

Pertanyaan

Saya menyampaikan pertanyaan teman saya yang sedang ditahan didalam penjara, teman saya mengalami kesulitan dalam sholat terutama dalam hal arah kiblat, karena di sel khusus arah kiblat sholat tidak sesuai dengan semestinya karena sangat sempit, apa hukumnya jika sholat dilakukan dengan arah kiblat yang tidak sesuai? Apakah sah sholatnya? Mengingat teman saya sudah lama di dalam sel tersebut. Sandhi, Bandung

Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Salah satu syarat sahnya shalat -dan tidak ada beda pendapat dalam hal ini- adalah menghadap kiblat bagi YANG MAMPU. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, jilid. 32, hal. 302)

Dengan kata lain, bagi yang tidak mampu seperti orang yang berbaring sakit dan lemah, orang yang terikat di kayu, orang yang tenggelam, orang yang dikendaraan dan tidak bisa turun karena khwatir jiwa atau hartanya, atau dia takut tertinggal rombongannya, maka dia shalat sesuai kemampuan kondisinya. (Ibid, jilid. 32, hal. 302)

“Tidak tahu atau sulit ke arah kiblat” seperti yang ditanyakan karena sedang berada di sel atau di penjara, tidak satu pun yang tahu arah kiblat, tidak ada info dari siapa pun, atau dia di penjara seorang diri, dia sudah berusaha kuat untuk mencari arah kiblatnya, atau sudah tahu tapi sangat sulit ke arah kiblat, maka kemana saja dia mengarah maka dia tetap sah.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَا تَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.

(QS. At-Taghabun: Ayat 16)

Ayat lainnya:

وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَا لْمَغْرِبُ فَاَ يْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَا سِعٌ عَلِيْمٌ

Dan milik Allah Timur dan Barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.
(QS. Al-Baqarah : 115)

Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan:

Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar (sah) adanya, sedangkan shalat yang tepat mengahdap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala. (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, Jilid, 20, hal. 224)

Ada pun jika kondisinya arah kiblat sudah diketahui secara pasti, dan mampu, maka mestilah ke arah itu, dan tidak sah ke arah lainnya.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Menulislah, Agar Kebaikanmu Terus Menemanimu!

Saat kita mati, tubuh kita akan membusuk lalu menjadi tulang belulang.

Saat kita mati, ibadah fisik sudah tidak bisa kita jalankan, tinggal pahalanya yang kita peroleh, itu pun jika amal tsb benar-benar diterima sebagai amal shalih yang berpahala

Saat kita mati, kita sudah tidak bisa lagi mengajar, tidak bisa lagi hadir di majelis ilmu, baik sebagai nara sumber atau peserta

Saat kita mati, bisa jadi manusia perlahan akan melupakan kita, melupakan majelis kita bahkan nama kita

Tapi, ada cara “mengabadikan” dan mendokumentasikan kebaikan itu.. Yaitu tulislah kebaikan, ide, ilmu, gagasan, pengajaran, dan apa pun yang bermanfaat..

Baik buku, jurnal, esay, makalah, artikel, dan lainnya. Tidak apa-apa jika sedikit pembacanya disaat kemunculannya. Sebab, itu tetap menjadi data base diri kita di dunia yang suatu saat manusia akan membutuhkan dan mencarinya.

Imam asy Syafi’i sudah wafat 12 Abad lalu, tapi karyanya masih kita nikmati. Pahala ilmu bermanfaat tiada henti baginya..

Begitu pula para imam hadits seperti Bukhari, Muslim, dan ashabus sunan, mereka wafat sudah 11 Abad lalu.. Tp kumpulan hadits mereka menjadi rujukan miliyaran umat Islam

Inilah cara cerdik mengawetkan manfaat ilmu dan amal shalih…

Telah shahih dari Umar bin Khathab dan Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhuma, mereka berkata:

قَيَّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابَةِ

Ikatlah ilmu dengan tulisan

(Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak, Ath Thabarani dalam Al Kabir, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, dll)

Telah shahih pula dari Anas bin Malik bahwan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قَيَّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

Ikatlah ilmu dengan (menulis) buku

(HR. Khathib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, Ibnu Abdil Bar dalam Jaami’ Al Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlih, Ramahurmuzi dalam Al Muhaddits Al Fashil, dll)

Begitulah, mujahid ditemani dan dikenang karena darahnya, para ulama ditemani dan dikenang karena goresan tintanya.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

Shalat Shubuh di Indonesia Terlalu Pagi?

Bismillahirrahmanirrahim..

Masalah ini beberapa kali kembali ditanyakan, dan sudah pernah kami bahas kira-kira tahun 2008-2009 lalu. Sudah puluhan tahun kaum muslimin menggunakan patokan waktu shalat yang tertera dari tim ahli kementerian agama. Selama itu pula kaum muslimin nyaman dan tenang menggunakannya.

Waktu Subuh adalah Fajar Shadiq (sudah terang), tapi menyegerakannya saat gelap adalah sunnah

Kita mengetahui bahwa Shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktunya. Waktu-waktu itu, sudah diterangkan secara rinci dalam as-Sunah, dan diisyaratkan pula dalam al-Qur’an.

Tak terkecuali Shalat Subuh. Shalat Subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq (langit sudah mulai agak terang di ufuk secara merata) hingga terbitnya matahari. Hal ini berdasarkan hadits Jibril ‘Alaihissalam berikut (haditsnya cukup panjang, saya kutip bagian waktu Shalat Subuh saja),

ثُمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فصل فصلى العشاءفَصَلَّى الصُّبْحَ

“Kemudian dia (Jibril) mendatanginya untuk Shalat Subuh ketika langit terang, lalu dia berkata, ‘Bangunlah dan shalatlah!’ maka Beliau (Rasulullah) melaksanakan Shalat Subuh.”  (HR.  An Nasa’i no. 526 , Ahmad no. 14011, shahih)

Dalam hadits ini disebutkan, “Hiina Asfara Jiddan” (ketika langit benar-benar menguning). Maksudnya ketika langit benar-benar terang. Inilah yang disebut dengan fajar shadiq dan inilah dimulainya waktu Subuh. Tetapi disukai untuk menyegerakannya.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

بتدئ الصبح من طلوع الفجر الصادق ويستمر إلى طلوع الشمس، كما تقدم في الحديث.استحباب المبادرة لها

“Shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq dan terus berlangsung hingga terbit matahari, sebagaimana yang telah lalu dijelaskan dalam hadits. Dan disukai untuk menyegerakannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/104. Darul Kitab al-‘Arabi)

Kapan menyegerakannya?

Disunahkan untuk disegerakan, apa maksud “menyegerakannya”? yakni ketika masih gelap (ghalas), berdasarkan riwayat shahih berikut:

Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلَاتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ التَّغْلِيسَ حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ

“Dan Beliau (Rasulullah) Shalat Subuh di saat gelap pada akhir malam. Kemudian beliau shalat pada kesempatan lain ketika mulai terang. Kemudian setelah itu shalat beliau dilakukan saat gelap dan itu dilakukannya sampai wafat. Beliau tidak lagi melakukannya di waktu hari telah terang.”

(HR. Abu Daud No. 394, diriwayatkan pula dari jalur Jabir dengan sanad shahih, Abu hurairah dengan sanad hasan, dan Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dengan sanad hasan)

Menyegerakan subuh di waktu gelap merupakan mayoritas dilakukan di negeri-negeri muslim, dan pendapat sebagian sahabat nabi, seperti Umar, Utsman, Anas, Abu Hurairah, Ibnu Zubeir, Abu Musa, Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud, penduduk Hijaz, dan dikalangan imam kaum muslimin seperti Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al Auza’I, Daud, dan Abu Ja’far Ath Thabari.

Hadits di atas menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Shalat subuh saat ghalas. Imam Ibnul Atsir mengatakan ghalas adalah kegelapan malam bagian akhir ketika akan bercampur dengan terangnya pagi. (‘Aunul Ma’bud, 2/45. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah menjelaskan:

وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى اِسْتِحْبَاب التَّغْلِيس وَأَنَّهُ أَفْضَل مِنْ الْإِسْفَار وَلَوْلَا ذَلِكَ لَمَا لَازَمَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى مَاتَ ، وَبِذَلِكَ اِحْتَجَّ مَنْ قَالَ بِاسْتِحْبَابِ التَّغْلِيس . وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي ذَلِكَ فَذَهَبَ مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَأَبُو ثَوْر وَالْأَوْزَاعِيُّ وَدَاوُدُ وَأَبُو جَعْفَر الطَّبَرِيُّ وَهُوَ الْمَرْوِيّ عَنْ عُمَر وَعُثْمَان وَابْن الزُّبَيْر وَأَنَس وَأَبِي مُوسَى وَأَبِي هُرَيْرَة إِلَى أَنَّ التَّغْلِيس أَفْضَل وَأَنَّ الْإِسْفَار غَيْر مَنْدُوب ، وَحَكَى هَذَا الْقَوْل الْحَازِمِيُّ عَنْ بَقِيَّة الْخُلَفَاء الْأَرْبَعَة وَابْن مَسْعُود وَأَبِي مَسْعُود الْأَنْصَارِيّ وَأَهْل الْحِجَاز ، وَاحْتَجُّوا بِالْأَحَادِيثِ الْمَذْكُورَة فِي هَذَا الْبَاب وَغَيْرهَا ، وَلِتَصْرِيحِ أَبِي مَسْعُود فِي هَذَا الْحَدِيث بِأَنَّهَا كَانَتْ صَلَاة النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّغْلِيس حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى الْإِسْفَار . وَقَدْ حَقَّقَ شَيْخنَا الْعَلَّامَة السَّيِّد مُحَمَّد نَذِير حُسَيْن الْمُحَدِّث هَذِهِ الْمَسْأَلَة فِي كِتَابه مِعْيَار الْحَقّ : وَرَجَّحَ التَّغْلِيس عَلَى الْإِسْفَار وَهُوَ كَمَا قَالَ . وَذَهَبَ الْكُوفِيُّونَ أَبُو حَنِيفَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُ وَأَصْحَابه وَالثَّوْرِيُّ وَالْحَسَن بْن حَيّ ، وَأَكْثَر الْعِرَاقِيِّينَ وَهُوَ مَرْوِيّ عَنْ عَلِيّ وَابْن مَسْعُود إِلَى أَنَّ الْإِسْفَار أَفْضَل

“Hadits ini menunjukkan bahwa disunahkannya (Shalat Subuh) pada saat gelap. Ini lebih afdhal dibanding ketika terang. Seandainya tidak demikian, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merutinkannya hingga beliau wafat? Dan dengan inilah hujjah orang-orang yang mengatakan disukainya waktu gelap (akhir malam). Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, al-Auza’i, Daud, Abu Ja’far ath-Thabari, dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibnu Zubeir, Anas, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abu Hurairah, bahwa ketika gelap adalah lebih utama. Sedangkan ketika terang tidaklah dianjurkan (ghairu mandub). Secara kuat disebutkan bahwa ini juga pendapat Khulafa’ur Rasyidin lainnya, juga Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud al-Anshari, dan penduduk Hijaz. Mereka berhujjah dengan hadits-hadits yang telah disebutkan dalam masalah ini dan hadits lainnya. Dan juga penjelasan Abu Mas’ud dalam hadits ini bahwa shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dalam keadaan gelap (at-Taghlis) dilakukannya sampai beliau wafat, dan dia tidak lagi melakukan dalam keadaan terang. Syaikh kami al-‘Allamah as-Sayyid Muhammad Nadzir Husain telah meneliti masalah ini dalam kitabnya, Mi’yar Al Haq: Bahwa beliau menguatkan shalat ketika gelap dibanding terang, dan pendapat itu sebagaimana yang dikatakan. Adapun kalangan Kuffiyyin (penduduk kufah), seperti Abu Hanifah dan para sahabatnya, ats-Tsauri, al-Hasan bin Hay, kebanyakan penduduk Iraq, dan itu juga diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud, bahwa shalat ketika terang adalah lebih utama.” (‘Aunul Ma’bud, 2/45)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:

وإنما فعله في بعض الأحيان لبيان الجواز ولبيان أن ذلك سائغ، ولكن الذي داوم عليه والمعروف من فعله صلى الله عليه وسلم أنه كان يصليها بغلس

“Sesungguhnya perbuatan Nabi pada sebagian waktu (melakukan saat terang) sebagai penjelas kebolehannya dan menjelaskan bahwa masalah ini lapang saja, tetapi yang menjadi rutinitasnya dan diketahui sebagai perbuatannya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bahwa beliau Shalat Subuh pada saat masih gelap.” (Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr, Syarh Sunan Abi Daud No. 60. Maktabah Misykah)

Namun, demikian ada sebagian ulama yang mengatakan ketika terang adalah lebih utama, yaitu pendapat sebagian salaf dan fuqaha, seperti Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Hanifah dan sahabatnya, Sufyan Ats Tsauri, dan mayoritas penduduk Iraq .

Maka, tidak masalah dengan waktu shalat subuh di Indonesia saat ini. Ini hal yang lapang saja. Bagi yang menginginkan di waktu sudah terang, silahkan. Bagi yang ingin menyegerakannya di waktu masih gelap akhirnya malam (ghalas), silahkan, inilah yang lebih utama menurut mayoritas ulama dan dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai wafatnya.

Demikian. Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top