Merencanakan Amal, Apakah Dihitung Sebagai Nadzar?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Saya mau tanya ustad, apakah kalimat ini (“ini” saya kumpulkan untuk naik haji satu rumah) termasuk nazar ustad dan arti “ini” itu uang. Satu lagi ustad kalimat ini apa juga termasuk nazar (tidak mau di pabruk lagi). Tolong jawabanya ustad, saya agak was-was soal ini. Aditya,

Solo, +62 857-2682-xxxx

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Nadzar itu mesti diucapkan dan diniatkan, tidak cukup direncanakan di hati tapi tidak dilafazkan. Tidak cukup pula diucapkan, tapi tidak ada niat untuk nadzar.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وهل يصح (النذر) بالنية من غير قول ؟ الصحيح باتفاق الأصحاب أنه لا يصح إلا بالقول , ولا تنفع النية وحدها “

Apakah sah nazar dengan niat, tapi tanpa ucapan? Yang shahih menurut kesepakatan para sahabat (Syafi’iyah), maka itu tidak sah kecuali dengan perkataan dan niat saja tidaklah bermanfaat. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 8/435)

Begitu pula dikatakan Imam Al Mardawi Rahimahullah:

ولا يصح (النذر) إلا بالقول ، فإن نواه من غير قول : لم يصح بلا نزاع “

Tidak sah nazar kecuali dgn diucapkan, jika dia meniatkan tapi tanpa ucapan, maka tidak sah dan ini TIDAK ADA BEDA PENDAPAT. (Al Inshaf, 11/118)

Ayat-ayat dan hadits tentang nadzar menunjukkan bahwa nadzar memang diucapkan.

Allah Ta’ala berfirman:

إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 35)

Ayat lainnya:

فَكُلِي وَٱشۡرَبِي وَقَرِّي عَيۡنٗاۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلۡبَشَرِ أَحَدٗا فَقُولِيٓ إِنِّي نَذَرۡتُ لِلرَّحۡمَٰنِ صَوۡمٗا فَلَنۡ أُكَلِّمَ ٱلۡيَوۡمَ إِنسِيّٗا

Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.”

(QS. Maryam, Ayat 26)

Dalam hadits, Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Wahai Rasulullah, aku pernah bernazar pada masa jahiliyah untuk beri’tikaf malam hari di masjidil haram.” Beliau bersabda: “Penuhi nadzarmu!”

(HR. Bukhari No. 6697)

Sebaliknya, ucapan rencana atau janji TAPI tanpa maksud nadzar, itu juga tidak dikatakan nadzar. Misal, seseorang berkata: “Nanti sore saya mau ke rumah Pak Guru”, ini kalimat rencana biasa.

“Saya kumpulkan uang buat pergi haji.” Ini bukan nazar jika tanpa dibarengi niat nazar, ini hanya rencana saja, tidak ada konsekuensi apa-apa baginya.

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 34075:

فالمتلفظ بالنذر إما أنه تلفظ به من غير قصد التلفظ به أصلاً، كأن يريد أن يقول شيئاً فسبق لسانه بلفظ النذر، فهذا لا يلزمه شيء

Orang yang melafazkan kata nazar yang pada asalnya tidak ada maksud melafazkannya, seolah lisannya itu keceplosan mengatakan nadzar, maka ini tidak ada kewajiban apa pun baginya. (selesai).

Demikian. Wallahu a’lam

🌳🌿🌷🍃🌸🍀🌻

✍ Farid Numan Hasan

Cara Menjawab Salam Saat Kita Sedang Shalat

Bagaimana cara menjawab salam saat sedang shalat? Apakah dijawab seperti biasa dengan suara keras? Apakah tidak membatalkan shalat? Simak penjelasannya dalam tanya jawab di bawah!


Pertanyaan

Assalamu alaikum. Afwan ustadz, bagaimana jika qt sedang sholat di masjid kemudian ada orang2 yg masuk masjid menyampaikan salam, apakah wajib kita jawab ? Kalo wajib, maka bagaimanakah cara menjawabnya ? Jazakallahu khoir ustadzy


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Cara Menjawab Salam Saat Sedang Shalat

Boleh dijawab, tapi BUKAN DENGAN WA’ALAIKUMUSALAM.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

أجمع العلماء أن المصلي لا يرد السلام متكلمًا

Ulama telah IJMA’ bahwa orang yang shalat tidaklah menjawab salam dengan ucapan. (Syarh Shahih Bukhari, 3/203)

Dan telah Ijma’ pula cara jawabnya adalah dengan ISYARAT.

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan:

وأجمَع العلماءُ على أنَّ مَن سُلِّم عليه وهو يُصلِّي لا يردُّ كلامًا، وكذلك أجمعوا على أنَّ مَن ردَّ إشارةً أجزأه، ولا شيءَ عليه

Para ulama telah ijma’, bahwa jika ada orang yg diucapi salam dan dia sdg shalat maka tidaklah menjawabnya dengan ucapan, dan mereka juga ijma’ bahwa jawabnya cukup dengan ISYARAT, dan itu tidak masalah baginya. (At Tamhid, 21/109)

Baca juga: Serba-serbi Salam

Bagaimana cara isyaratnya?

Dari Ibnu Umar: “Aku bertanya kepada Bilal:

كيف كان النبي صلى الله عليه وسلم يرد عليهم حين كانوا يسلمون في الصلاة؟ قال: كان يشير بيده

“Bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab salam kepada mereka ketika beliau sedang shalat?” Bilal menjawab: “Memberikan isyarat dengan tangannya.”

(HR. Ibnu Majah No. 1017, At Tirmidzi No. 368, katanya: hasan shahih)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

ويستوي في ذلك الاشارة بالاصبع أو باليد جميعها أو بالايماء بالرأس فكل ذلك وارد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Dalam hal ini sama saja, baik isyarat dengan jari, tangan atau anggukkan kepala, semua ini adalah boleh karena memiliki dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Fiqhus Sunah, 1/264)

Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:

فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَشَارَ مَرَّةً بِأُصْبُعِهِ وَمَرَّةً بِيَدِهِ

“Maka, dibolehkan memberikan isyarat, sekali dengan jari dan sekali dengan tangannya.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/365. Cet. 2, Al Maktabah As Salafiyah, Madinah)

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Numan Hasan


Demikian artikel mengenai menjawab salam saat sedang shalat. Semoga Allah SWT menyatukan hati orang beriman dalam ukhuwah. Amin.

Baca juga: Hukum Mengucapkan Salam Pembukaan Semua Agama

Ulama-Ulama yang Punya Kemiripan Nama

💢💢💢💢💢💢💢💢

Tidak sedikit ada nama ulama disandang oleh beberapa person, dalam pikiran pembaca nama tersebut orang yang sama, padahal bukan.

Berikut ini beberapa contoh nama-nama ulama yang sama tapi berbeda orangnya dan zamannya.

1. Abu Hatim

Ada dua Abu Hatim yang terkenal, dan sama-sama imam ahli hadits, yaitu Abu Hatim Ar Razi dan Abu Hatim Al Bustiy (ini lebih dikenal dengan Imam Ibnu Hibban).

Abu Hatim Ar Razi, nama aslinya Muhammad bin Idris bin Al Mundzir. Lahir di Ray, tahun 811 M, wafat 890 M. Dia seangkatan dengan Imam Bukhari. Anaknya Abdurrahman bin Abi Hatim juga seorang imam hadits terkenal, penyusun kitab Al Jarh wat Ta’dil.

Ada pun Abu Hatim bin Hibban, dia adalah Muhammad bin Hibban, dia sedikit lebih junior dibanding Abu Hatim Ar Razi, lahir 884M, wafat 965M. Dia penyusun kitab Shahih Ibnu Hibban dan Ats Tsiqaat. Namun, dia juga pakar dalam fiqih, kedokteran, sejarawan, astronomi, bahasa, dan mutakallim.

2. Ibnu Hajar

Ada dua Ibnu Hajar, yaitu Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dan Ibnu Hajar Al Haitsami (ada yang menulis Al Haitsami), keduanya sama-sama madzhab Syafi’i.

Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, dia adalah Ahmad bin Ali Al Kinani Al ‘Asqalani, lahir 1372M wafat 1449M. Baik lahir, besar, dan wafat, di Mesir. Kepakarannya adalah ahli hadits, fiqih, dan sejarah. Karya-karyanya: Fathul Bari, Tahdzibut Tahdzib, Taqribut Tahdzib, Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, dll. Beliau pada puncak kepakaran ilmu hadits, di zamannya dia anggap Amirul Mukminin fil hadits. Dalam kitab-kitab hadits dan syarah, Beliau sering disebut dengan Al Hafizh.

Ibnu Hajar Al Haitsami Al Makki, dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali. Beliau lebih junior dibanding Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, lahir di Mesir 1503M, wafat 1560M di Mekkah. Pakar fiqih dan ahli kalam, dan Beliau alumni Al Azhar. Karya-karyanya seperti Al Fatawa Al Haditsiyah, Az Zawajir, Tuhfatul Muhtaj, dll.

3. Ibnu Qudamah

Ada dua Ibnu Qudamah, yaitu Abu Muhammad bin Qudamah Al Maqdisi dan Abul Faraj bin Qudamah Al Maqdisi. Keduanya sama-sama Hambali.

Abu Muhammad bin Qudamah, dia Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah. Lahir tahun 1147 M di Jama’il, wafat 1223 M di Damaskus. Dia adalah tokoh besar madzhab Hambali, jika di madzhab Syafi’i dia adalah Imam An Nawawinya. Dialah yang mengumpulkan pandangan resmi madzhab Hambali dalam kitabnya: Al Mughni. Selain itu, karyanya yang lain adalah Al Kafi fil Fiqhi Imam Ahmad, ‘Umdatul Fiqh, dll. Dia dijuluki dengan Muwaffaquddin.

Ada pun Abul Faraj bin Qudamah Al Maqdisi, dia lebih junior, lahir 1200 M, wafat 1283 M di Damaskus. Dia salah satu guru haditsnya Imam An Nawawi. Julukannya adalah Syamsuddin. Di antara karyanya: Asy Syarh Al Kabir, Mukhtashar Minhaj Al Qashidin, dll.

4. Ath Thabari

Ada dua Ath Thabari, yaitu Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari (biasa dikenal dengan Ibnu Jarir), dan Muhib Ath Thabari.

Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, dia adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir. Lahir 839 M di Thabaristan, wafat 923M di Baghdad. Imam dibidang fiqih, mujtahid mutlak, bahkan fiqihnya menjadi madzhab sendiri yaitu Jariri, hanya saja madzhab tersebut telah punah. Dia juga imamnya para ahli tafsir, dan sejarawan. Kitab tafsirnya menjadi kitab tafsir tertua dan induk terbesar tafsir, yaitu Jami’ul Bayan yg lebih dikenal dgn: Tafsir Ath Thabari. Karya lainnya yang rata2 berjilid-jilid: Tarikhul Imam wal Muluk, Tahdzibul Atsar, dll.

Ada pun Muhibuddin Ath Thabari, dia adalah Abul Abbas, Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Ath Thabari, dia lahir 4 abad setelah Ibnu Jarir, yaitu 1218 M di Mekkah, wafat 1295 M juga di Mekkah. Dia imam fiqih madzhab Syafi’i. Di antara karyanya: Khulashah Siyar Sayyid Al Basyar, Ar Riyadh An Nadhrah fil Manaqib Al ‘Asyrah, Dzakhair Al’ Uqba fil Manaqib Dzawil Qurba, dll.

5. Al Qurthubi

Ada dua Al Qurthubi yaitu Abu Abdillah Al Qurthubi (ahli tafsir terkenal) dan Abul ‘Abbas Al Qurthubi.

Abu Abdillah Al Qurthubi adalah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh. Lahir 1204 M di Qurthubah (Kordoba), Spanyol, wafat 1273 di Menya (Mesir). Fiqihnya adalah Maliki, aqidahnya Asy’ariy. Dia pakar tafsir, fiqih, hadits, dan bahasa. Karyanya yang terkenal adalah Al Jami’ Liahkamil Quran (Tafsir Al Qurthubi), At Tadzkirah, At Taqrib fi Kitabit Tamhid, dll.

Ada pun Abul Abbas Al Qurthubi, dia adalah Ahmad bin Umar bin Muhammd Al Anshari. Dia sedikit lebih senior, lahir 1182 M di Qurthubah, wafat di Iskandariyah (Mesir) 1258 M. Dia adalah pakar hadits dan fiqih, dan madzhabnya Maliki. Di antara karyanya: Al Mufhim Lima Asykala min talkhish kitab Muslim, Ikhtishar Shahih Al Bukhari, dll.

6. An Nawawi

Ada dua An Nawawi, yaitu Abu Zakariya An Nawawi dan An Nawawi Al Bantani. Keduanya sama-sama Syafi’i dan Asy’ariy.

Abu Zakariya An Nawawi, adalah Yahya bin Syaraf, dijuluki Muhyiddin. Lahir di Nawa 1234 M, wafat tahun 1278 M, tidak menikah. Dia fiqihnya Syafi’i dan aqidahnya Asy’ariy. Karya-karyanya memenuhi dunia Islam, seperti: Riyadhusshalihin, Al Arba’un An Nawawiyah, Al Adzkar, Minjahut Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Syarh Shahih Muslim, Tahdzibul Asma wal Lughat, dll.

Ada pun An Nawawi Al Bantani, dia adalah Muhammad An Nawawi bin Umar, lahir di Serang, Banten, tahun 1813 M, dan wafat 1897 di Mekkah. Dia menjadi tokoh di Hijaz dan Fiqihnya Syafi’i. Di antara karyanya: Tafsir Al Munir, Ats Tsamar Al Yani’ah, Nihayatuz Zain, dll

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌳🌿🌷🍃🌸🍀🌻

✍ Farid Numan Hasan

Tambahan “Innaka Laa Tukhliful Mii’ad” dalam Doa Setelah Azan, Bid’ah?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak benar tambahan tersebut dikatakan bid’ah, pembid’ahan tersebut adalah hal yang berlebihan.

Tambahan tersebut ada dalam hadits Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra -nya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءُ: اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ الْمَقَامَ الْمَحْمُودَ الَّذِي وَعَدْتَهُ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي “

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Siapa yang ketika mendengar azan dia membaca: “Allahumma rabba hadzihid da’watit taammah, wash shalatil qaaimah aati Muhammadanil wasiilah wal fadhiilah wab’atshu maqaaman mahmuuda alladzi wa ‘adtah innaka laa tukhliful mii’ad”, maka baginya syafaatku pada hari kiamat nanti.

(HR. Al Baihaqi, dalam As Sunan Al Kubra no. 1933, dan Ad Da’awat Al Kabir no. 49)

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah mengatakan hadits ini hasan, Beliau sendiri menegaskannya sebagai doa setelah azan yang disyariatkan:

وإذا ختم الأذان يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم، ثم يقول: اللهم رب هذه الدعوة التامة، والصلاة القائمة، آت محمدا الوسيلة والفضيلة وابعثه المقام المحمود الذي وعدته إنك لا تخلف الميعاد.
رواه البخاري في الصحيح لكن بغير زيادة: إنك لا تخلف الميعاد.
أما هذه الزيادة فرواها البيهقي بإسناد حسن.

Jika adzan sudah selesai, hendaknya bershalawat kepada nabi, lalu berdoa: Allahumma rabba hadzihid da’watit taammah, wash shalatil qaaimah aati Muhammadanil wasiilah wal fadhiilah wab’atshu maqaaman mahmuuda alladzi wa ‘adtah innaka laa tukhliful mii’ad”. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, tapi tanpa tambahan innaka laa tukhliful mii’ad. Tambahan tersebut diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad hasan.

(Fatawa Nuur ‘Alad Darb, 6/357)

Ini pun dikatakan oleh para fuqaha empat madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah:

1. Hanafiyah (Lihat Majma’ Al Anhar, 1/76)

2. Malikiyah (Fiqhul ‘Ibadat ‘alal Madzhab Al Malikiy, 1/127)

3. Syafi’iyah (Nihatuz Zain, 1/98)

4. Hambaliyah ( Ar Raudhul Murbi’, 1/55)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌳🌿🌷🍃🌸🍀🌻

✍ Farid Numan Hasan

scroll to top