Tegar di Belantara Fitnah

Allah Ta’ala berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكاذِبِينَ (3)

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al ‘Ankabut: 2-3)

Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan itu ditakar melalui ujian. Ada yang setelah datangnya ujian, iman semakin bagus, ada pula yang menjadi kufur. Yang jujur dan dusta akan tersingkap karena ujian.

Jika dilihat dari sebab turunnya ayat, dalam berbagai versi menunjukkan ayat ini turun bagi kaum muslimin di Mekkah yang diuji atas keislaman, dakwah, dan hijrahnya.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah menceritakan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma tentang sebab turunnya ayat ini:

يُرِيدُ بِالنَّاسِ قَوْمًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ كَانُوا بِمَكَّةَ، وَكَانَ الْكُفَّارُ مِنْ قُرَيْشٍ يُؤْذُونَهُمْ وَيُعَذِّبُونَهُمْ عَلَى الْإِسْلَامِ، كَسَلَمَةَ بْنِ هِشَامٍ وَعَيَّاشِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ وَالْوَلِيدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَعَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ وَيَاسِرٌ أَبُوهُ وَسُمَيَّةُ أُمُّهُ وَعِدَّةٌ مِنْ بَنِي مَخْزُومٍ وَغَيْرِهِمْ

Maksud dari “manusia” pada ayat ini adalah segolongan orang beriman di kota Mekkah, saat itu orang-orang kafir Quraisy menganggu mereka dan menyiksa mereka karena keislamannya, seperti Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, Al Walid bin Al Walid, ‘Ammar bin Yasir, ayahnya, dan ibunya, Sumayyah, serta sejumlah orang dari Bani Makhzum dan lainnya. (Imam al Qurthubi, Jaami’ Li Ahkamil Quran, 8/184)

Muqatil Rahimahullah berkata:

نَزَلَتْ فِي مِهْجَعٍ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ كَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ بَدْرٍ، رَمَاهُ عَامِرُ بْنُ الْحَضْرَمِيِّ بِسَهْمٍ فَقَتَلَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ:” سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ مِهْجَعٌ وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ يُدْعَى إِلَى بَابِ الْجَنَّةِ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ”. فَجَزِعَ عَلَيْهِ أَبَوَاهُ وَامْرَأَتُهُ فَنَزَلَتْ” الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا”

Ayat ini turun tentang Mihja’, pelayan Umar bin al Khathab, dia adalah orang pertama yang terbunuh dalam perang Badar, dia dipanah oleh ‘Amir bin al Hadhrami. Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. bersabda: “Pemimpin para syuhada adalah Mihja’, dia orang pertama yang akan dipanggil di pintu surga dari umat ini.” Kedua orangtuanya dan istrinya pun terkejut, lalu turunlah ayat: “Alif lam mim, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan.” (Ibid, 8/184-185)

Asy Sya’bi Rahimahullah berkata:

نَزَلَ مُفْتَتَحُ هَذِهِ السُّورَةِ فِي أُنَاسٍ كَانُوا بِمَكَّةَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَكَتَبَ إِلَيْهِمْ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنِ الْحُدَيْبِيَةِ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْكُمْ إِقْرَارُ الْإِسْلَامِ حَتَّى تُهَاجِرُوا، فَخَرَجُوا فَأَتْبَعَهُمُ الْمُشْرِكُونَ فَآذَوْهُمْ. فَنَزَلَتْ فِيهِمْ هَذِهِ الْآيَةِ

Permulaan ayat ini turun tentang orang-orang Islam di Mekkah, para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menulis surat kepada mereka dari Hudaibiyah bahwa pengakuan Islam kalian tidaklah diterima sampai kalian berhijrah, lalu mereka pun keluar (hijrah) namun diikuti kaum musyrikin dan mereka menganggunya. Maka turunlah ayat ini tentang mereka. (Ibid, 8/185)

Belasan abad dakwah Islam berjalan, kita bisa melihat beragam ujian dialami kaum muslimin. Baik berupa tuduhan, permusuhan, penangkapan, pengusiran, pemboikotan, sampai pembunuhan. Maka, apa yang dialami umat Islam secara umum hari ini, dan aktifis dakwah secara khusus, berupa berbagai fitnah dari musuh-musuh mereka dengan sebutan radikal, ekstrimis, sumbu pendek, teroris, intoleran dan sebagainya, itu hanyalah pengulangan sejarah yang sudah berkali-kali terjadi sejak masa nabi sampai hari ini.

Kadang ujian datang dari keluarga terdekat dan masyarakatnya sendiri, bahkan tidak sedikit diuji dengan kesenangan dunia; harta, kedudukan, ketenaran, sanjungan, dan syahwat. Ada yang lulus dan ada yang gagal.

Setelah kita tahu tabiat kehidupan dunia seperti itu, apalagi tabiat jalan dakwah, maka yang kita lakukan bukannya lari dari kenyataan. Tapi, perkuat kaki dan punggung untuk tegar menghadapi semuanya. Di antaranya adalah dengan beramal jama’i bersama semua komponen umat, agar beban dakwah menjadi tanggung jawab bersama dan lebih ringan. Mintalah kepada Allah Ta’ala kesabaran dan kekuatan pendirian (istiqamah) di jalan dakwah, baik saat bersama yang lain atau seorang diri dalam dakwah.

Imam al Munawi menceritakan nasihat Luqman al Hakim kepada anaknya:

يا بني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء

Wahai anakku, emas dan perak itu ditempa dengan api, sedangkan orang beriman ditempa dengan musibah. (Faidhul Qadir, 2/459)

Emas dan perak menjadi logam mulia dan berharga setelah diuji dengan panasnya api, maka mulianya manusia setelah dia lulus uji dengan musibah dan bencana. Syaikh Ahmad Farid Hafizhahullah berkata:

قد تداول الإمام أحمد أربع خلفاء, بعضهم بالتهديد والوعيد وبعضهم بالضرب والحبس وبعضهم بالنفي والتشريد وبعضهم بالترغيب في الرياسة و المال, ولا يزداد الإمام الا ثقة و إيمانا ويقينا وهذا شأن الإيمان الصادق ; وقال الله تعالي : وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا

Imam Ahmad telah melewati pergantian empat orang khalifah, di antara mereka ada yang melakukan intimidasi dan ancaman, ada yang mencambuk dan memenjara, ada yang menolak dan mengusirnya, ada pula yang merayunya dengan jabatan. Namun, tidaklah menambah apa-apa bagi Imam Ahmad kecuali kepercayaan, keimanan, dan keyakinan. Inilah makna dari iman yang benar. Allah Ta’ala berfirman: Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (A’lamus Salaf, hal. 340)

Demikianlah para pemenang, mereka tidak menyerah, tidak lemah, dan tidak diam, implementasi sabar yang aktif dan positif bukan diam dan pasif berpangku tangan.

Wallahul Musta’an

✍ Farid Nu’man Hasan

Hijrah dan Profesionalitas

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah: 218)

Jalan hijrah dan jihad tidak bisa dipisahkan. Tidak mungkin seseorang bisa maksimal jihad tanpa diawali hijrah yang benar. Oleh karena itu, Syaikh Abdullah ‘Azzam Rahimahullah menegaskan dari ayat di atas bahwa Islam dibangun atas tiga prinsip: iman, hijrah, dan jihad. Iman adalah fondasinya, hijrah disertai i’dad (persiapan) adalah prosesnya, dan jihad adalah puncaknya. Kemudian Allah Ta’ala turunkan rahmat yaitu ampunan dan surgaNya, sebagaimana kata Imam Ibnul Jauzi. (Zaadul Masir, 1/183)

Dua Model Hijrah

Hijrah bermakna at tarku (meninggalkan) dan al intiqaal (perpindahan), yaitu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Para ulama sering mengartikan perpindahan dari negeri kufur ke negeri tauhid, inilah Hijrah Makani. Minimal perpindahan dari daerah yang memusuhi dakwah ke daerah yang kondusif bagi dakwah seperti dahulu dari Mekkah ke Madinah. Para ulama mengatakan hijrah jenis ini wajib disaat umat Islam tidak dapat menjalankan kewajiban agamanya dengan bebas.

Syaikh Sa’di Abu Habib mengatakan, hijrah itu tarku maa nahallahu ‘anhu – meninggalkan apa yang Allah Ta’ala larang, sebagaimana yang dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Al Qamus Al Fiqhi, hlm. 365). Inilah yang diistilahkan dengan Hijrah Ma’nawi, yaitu hijrah secara value, nilai hidup, pandangan hidup, dan sikap. Dari syirik menjadi tauhid, maksiat menjadi ta’at, malas menjadi giat, membangkang menjadi tunduk dan pasrah kepada syariat, musik menjadi murattal, komunitas fasiq dan sekuler menjadi komunitas Islami, cuek dengan nasib kaum muslimin menjadi peduli, bakhil menjadi dermawan, terbuka aurat menjadi tertutup rapat sempurna, dst.

Hijrah Mekkah ke Madinah; Profesionalitas yang menyejarah

Jika kita kaji proses hijrah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah, kita akan dapati apa yang namanya profesional (al Itqan) dalam amal. Sebelum hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirim Mush’ab bin Umair Radhiallahu ‘Anhu, untuk lebih dulu berangkat untuk melakukan conditioning masyarakat Madinah. Mengenalkan Islam kepada masyarakat Madinah sebelum hijrah terlaksana, agar mereka sudah siap menyambut kedatangan kaum muslimin Muhajirin (Mekkah). Dipilihnya kota Yastrib (Madinah), juga pilihan yang jitu, sebab mata pencaharian masyarakatnya yang umumnya petani dan berkebun, membentuk mereka untuk tidak gampang curiga dengan pendatang. Berbeda dengan Mekkah yang umumnya para pedagang yang hidupnya dipenuhi intrik dan tipu menipu.

Kemudian, ketika menjelang hijrah, orang Quraisy mengepung rumah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk membunuhnya agar hijrah tidak terlaksana, sebuah rencana yang mereka sepakati di Darun Nadwah. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjuk Ali Radhiallahu ‘Anhu sebagai penggantinya di kasur. Dipilihnya Ali, karena Beliau anak Abu Thalib, yang jika dibunuh maka murkalah Bani Hasyim. Ditambah lagi cara orang Quraisy membunuh tidak pernah asal bunuh dibalik selimut, tapi mereka membukanya dulu agar tidak salah sasaran. Artinya, sudah diperkirakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu tidak akan terbunuh. Bebas dari situ, dengan izin Allah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersembunyi di gua Hira, bersama Abu Bakar, di temani seorang pemandu bernama Abdullah bin Uraiqith, yang masih musyrik. Ada pun makanan diurus oleh Asma binti Abu Bakar, sementara yang mengamati kondisi kota Mekkah adalah putra Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, yaitu Abdullah. Sedangkan sang Jawara, Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu, hijrah paling akhir sebagai tim sapu jagat, karena sudah diketahui tidak akan ada yang mengganggunya walau dia sendirian. Akhirnya, mereka sampai ke Madinah dengan selamat dan menjadi tonggak baru sejarah dakwah Islam. Hijrah ini begitu berjalan berat, jauh, sulit, namun dijalankan dengan begitu rapi sejak awal sampai akhirnya. Maka, Allah Ta’ala memuji mereka dengan ayat “kalian umat yang terbaik”, Imam Ibnu Jarir mengatakan umat terbaik dalam ayat ini adalah para sahabat nabi yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah. (Tafsir Ath Thabari, 7/100-101)

Bagaimana dengan kita?

Proses hijrah hanyalah salah satu contoh saja tentang aksi munazhzham fi syu’unih – rapi dan teratur aktifitasnya, yang terjadi pada masa awal Islam. Hari ini, kita ada perhelatan besar yang mau tidak mau kita mesti mengikutinya sebagai bagian dari umat Islam dan warga negara Indonesia, yaitu kontestasi dalam politik. Tentunya kembali kepada kita, apakah kita hanya menjadi pembaca sejarah atau ingin mengambil pelajaran dari sejarah?

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسانِ

Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat adil dan Ihsan. (QS. An nahl: 90)

Wallahu yahdina ilaa sawaa’is sabiil

✍ Farid Nu’man Hasan

Ijtihad Para Sahabat

PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustad.
Mohon kesediaannya menjelaskan pertanyaan saya.

Dalam berijtihad seseorang bisa salah atau benar,jika benar maka mendapatkan 2 fahala jika salah mendapatkan satu fahala bagi Mujtahid.

Apakah Para sahabat pernah salah dalam berijtihad,jika pernah adalah qoul ulama yg menjelaskan tentang larangan tidak boleh mngikuti ijtihad tersebut ?

Trimaksih ustad.

JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Para sahabat pernah salah dalam ijtihad, misalnya:

– Berkenaan tawanan perang Badr. Abu Bakar berpendapat BEBASKAN saja, sedangkan Umar berpendapat bunuh semua. Umumnya para sahabat ikut pendapat Abu Bakar. Ternyata Allah Ta’ala membenarkan pendapat Umar, radhiallahu ‘anhum.

– Terjadinya Perang Shiffin, antara pengikut Ali dan Muawiyah, menurut Imam an Nawawi karena perbedaan ijtihad mereka. Muawiyah berpendapat cari dan hukum pembunuh Utsman, sementara Ali berkehendak menunda hal itu tetapi lebih memilih menstabilkan kondisi negara terlebih dahulu yang banyak pemberontakan sana sini. Para ulama ahlus sunnah umumnya mengatakan pendapat Ali yang benar, Muawiyah yang keliru. Radhiallahu ‘anhuma.

Sebuah ijtihad jika telah jelas salahnya maka TIDAK BOLEH DIIKUTI. Tapi jika masih samar, sehingga sebagian orang memilih ijtihad yang satu, pihak lain memilih yang lain, maka tidak boleh ada pengingkaran yang satu atas yang lainnya, sebab belum ada kejelasan mana yang benar-benar salah atau benar dalam ijtihadnya.

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id menjelaskan sbb:

والعلماء إنما ينكرون ما أجمع عليه أما المختلف فيه فلا إنكار فيه لأن على أحد المذهبين: أن كل مجتهد مصيب وهو المختار عند كثير من المحققين. وعلى المذهب الآخر: أن المصيب واحد والمخطئ غير متعين لنا والإثم موضوع عنه لكن على جهة النصيحة للخروج من الخلاف فهو حسن مندوب إلى فعله برفق

Para ulama hanyalah mengingkari apa-apa yang telah ijma’ (kemungkarannya), sedangkan perkara yg masih diperselisihkan tidak boleh ada pengingkaran dalam hal itu. Sebab, bagi seseorang ada dua madzhab yang berlaku:

1. Seluruh Mujtahid itu benar. Inilah yang dipilih oleh banyak muhaqqiq (peneliti).

2. Yang benar hanya satu yang lainnya salah, namun yg salah itu tidak tentu yg mana, dan dosa tidak berlaku.

Namun dia dinasihati agar keluar dari perselisihan. Ini adalah hal yang bagus dan diajurkan melakukannya dengan lembut.

(Imam Ibnu Daqiq al ‘Id, Syarah al Arbain an Nawawiyah, Hal. 113)

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Talfiq Dalam Mazhab

Definisi Talfiq

Talfiq adalah:

هو ما كان في المسألة الواحدة بالأخذ بأقوال عدد من الأئمة فيها، أما الأخذ بأقوال الأئمة في مسائل متعددة فليس تلفيقا، وإنما هو تنقل بين المذاهب أو تخير منها

Yaitu mengambil beberapa pendapat para imam dalam satu permasalahan, ada pun mengambil beberapa pendapat imam dalam beberapa permasalahan bukanlah talfiq, itu adalah menukil atau memilih di antara pendapat-pendapat mazhab.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 13/294)

Contoh talfiq:

– Dalam hal akad nikah, seseorang yang nikah tanpa wali dan tanpa saksi, hanya ada penganten, ijab qabul dan mahar. Alasannya, karena menurut Hanafiyah adanya wali bukanlah rukun nikah. Ada pun tanpa saksi, karena menurut Malikiyah saksi bukanlah rukun nikah. Ini adalah tatabbu’ ar rukhash (nyari yang enak-enak) dari perbedaan mazhab, ini tercela dan batil.

– Dalam hal shalat, seseorang meyakini mimisan tidak batal shalat, sebagaimana Syafi’iyah. Dia tidak ikut pendapat Hanafiyah yang menyatakan batal. Tp, saat yang bersamaan dia bersentuhan wanita bukan mahram, dia ambil pendapat Hanafiyah bahwa itu tidak batal wudhunya yang dapat membatalkan shalatnya, dia tidak ambil pendapat Syafi’iyyah yang mengatakan batal.

Hukum Talfiq

Imam Ibnu ‘Abidin mengatakan:

والْحُكْمَ الْمُلَفَّقَ بَاطِلٌ بِالإِْجْمَاعِ

Keputusan hukum berdasarkan talfiq adalah batil berdasarkan ijma’. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 4/363)

Adakah talfiq yang diperbolehkan?

– Jika talfiq tersebut adalah mencampur beberapa pendapat mazhab dalam satu masalah, atas dasar hawa nafsu, mencari yang ringan-ringan dan enak-enak, maka ini terlarang dan tidak ada beda pendapat ulama dalam larangannya.

– Jika talfiq terjadi karena adanya situasi haraj (sulit) atau masyaqqah (sempit/payah), maka hal itu diperbolehkan.

Misal, seorang khathib yang ikut Syafi’iyyah meyakini bahwa Shalawat itu salah satu rukun khutbah Jumat, sedangkan menurut Malikiyah dan Hanafiyah bukan rukun. Lalu saat khutbah Jumat, dia kejatuhan tahi burung, dan itu najis menurut Syafi’iyyah. Jika dia keukeuh dengan pendapat itu, maka dia akan mengalami kesulitan, dia mesti ganti pakaian dulu, atau pulang dulu ganti pakaian, tentu ini mengacaukan prosesi khutbah dan shalat Jumat. Dalam kondisi seperti itu, dia boleh ambil pendapat Malikiyah yang mengatakan kotoran burung itu bukan najis, sementara itu menurut Malikiyah Shalawat bukanlah rukun khutbah. Ini boleh dilakukan untuk raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan) bagi dirinya dan mendapatkan maslahat bagi jamaah. Kasus-kasus seperti ini juga dilakukan para ulama terdahulu.

– Sebagian ulama membolehkan talfiq jika didasari tarjih, adu kuat dalil, bukan mencari yg enak-enak, di antara yg menyatakan demikian adl Syaikh Ahmad Ad Dusuqi Al Maliki. (Hasyiyah Ad Dusuqi, 1/20). Ini bukan domain org awam.

Ini juga pendapat Imam Ar Ruhaibani Al Hambali:

وَاَلَّذِي أَذْهَبُ إلَيْهِ وَأَخْتَارُهُ : الْقَوْلُ بِجَوَازِ التَّقْلِيدِ فِي التَّلْفِيقِ ، لَا بِقَصْدِ تَتَبُّعِ ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ مَنْ تَتَبَّعَ الرُّخَصَ فَسَقَ

Pendapat yang aku ikuti dan aku pilih adalah pendapat yg mengatakan bolehnya taklid dalam talfiq, bukan bermaksud untuk mencari yang ringan-ringan, karena mencari yang ringan-ringan adalah kefasikan.

(Mathalib Ulin Nuha, 1/391)

Yang Bukan Talfiq

Ada pun mengikuti mazhab tertentu dalam satu masalah, lalu dia ikut mazhab lain dalam masalah lain, maka ini bukan talfiq.

Syaikh Walid bin Rasyid As Su’aidan mengutip dari Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah, pemuka madzhab Syafi’i yang dijuluki Sulthanul ‘Ulama di masanya:

يجوز تقليد كل واحدٍ من الأئمة الأربعة رضي الله عنهم ، ويجوز لكل واحدٍ أن يقلد واحداً منهم في مسألة ويقلد إماماً آخر منهم في مسألة أخرى ، ولا يجوز تتبع الرخص

Diperbolehkan taklid terhadap salah satu imam madzhab yang empat, dan setiap orang boleh saja mengikuti salah satu dari pendapat mereka dalam satu masalah dan mengikuti pendapat imam lainnya dalam masalah yang lain, namun tidak diperkenankan mencari-cari rukhshah (yang gampang-gampang). (Syaikh Walid bin Rasyid As Su’aidan,

Ta’rif ath Thulab bi Ushul al Fiqh fi Su’al wa Jawab, hal. 102)

Syaikh Abdul Fattah Rawwah Al Makki menjelaskan:

(انه) يجوز تقليد كل واحد من الآئمة الآربعة رضي الله عنهم ويجوز لكل واحد آن يقلد واحدا منهم فى مسالة ويقلد اماما آخر في مسالة آخرى ولا يتعين تقليد واحد بعينه في كل المسائل

Bahwa sesungguh nya diperbolehkan taklid terhadap salah satu imam madzhab yang empat, dan setiap orang boleh saja mengikuti salah satu dari mereka dalam satu masalah dan mengikuti imam lainnya dalam masalah yang lain. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan mengikuti satu mazhab dalam semua masalah.

(Syaikh Abdul Fattah Rawwah Al Makki, Al Ifshah ‘ala Masailil Idhah ‘alal Madzahib al Arba’ah, hal. 219)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top