Lansia Sakit Berat, Bagaimana Shalatnya?

 

 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz, apa ada keringanan gak sholat untuk orang tua lagi sakit. Udah lansia, lagi di rawat di rumah sakit, kondisi sadar, di infus, gak sanggup bangun dan jalan, selalu pakai pempers. Dibilang gak sanggup sholat krna pusing (+62 852-7173-xxxx)

 JAWABAN

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika kondisi kesadaran masih normal, akal masih berfungsi, kewajiban shalat masih berlaku, walau kondisi kesulitan fisik sudah berat. Hendaknya dilakukan dengan tata cara sesuai kemampuan fisiknya.

Ada pun najis pada pampers, kateter, atau apa pun, karena dalam kondisi sakit dan masyaqqah (kesulitan) maka itu dimaafkan. Kondisi tersebut sama seperti wanita yang selalu keluar darah istihadhah, walau darahnya najis tapi wanita istihadhah tetap wajib shalat krn bukan haid. Darah yang tetap mengalir saat shalat tidak membatalkan shalatnya, sebagaimana kotoran di pampers tersebut.

Dalil-dalilnya, sebagai berikut:

Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu

(QS. At-Taghabun, Ayat 16)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka, jika aku memerintahkan kamu terhadap sesuatu, jalankanlah sejauh yang kalian mampu.

(HR. Muslim no. 1337)

Sementara itu, dalam kaidah fiqih disebutkan:

الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ

Kesulitan itu menarik  kemudahan. (Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddin As Subki:

المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع

Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan. (Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

terdapat dalam Shahih Bukhari di ceritakan oleh Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah:

ﻣَﺎ ﺯَﺍﻝَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮﻥَ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻓِﻰ ﺟِﺮَﺍﺣَﺎﺗِﻬِﻢْ

Kaum muslimin senantiasa shalat dalam keadaan mereka terluka.

Riwayat lain:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي

Dari Aisyah dia berkata; ‘Fathimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata;

‘Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, hingga diriku tidak suci, apakah aku harus meninggalkan shalat?’

Beliau bersabda: “Itu hanyalah darah penyakit, bukan darah haidh, apabila darah haid datang, tinggalkanlah shalat. Apabila darah haid telah berlalu, bersihkanlah darah tersebut dari dirimu kemudian shalatlah.”

(HR. Muslim no. 333)

Dua riwayat ini menunjukkan seorang yang selalu keluar darah istihadhah-nya tetap wajib shalat. Padahal darah itu mengalir dan najis. Ini menunjukkan “kondisi khusus” yang dimaafkan.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وحكم سلس البول والمذي ومن به حدث دائم وجرح سائل حكم المستحاضة على ما سبق

Hukum bagi orang yang beser, dan mudah keluar madzi, dan orang yang selalu berhadats, dan darah luka yang mengalir, adalah sama hukumnya dengan wanita yang istihadhah sebagaimana dijelaskan sebelumnya. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/516)

Ada pun caranya:

1. Sebelum shalat bersih-bersih dulu dari najisnya, ganti pakaian dan pampers, lalu wudhu selayaknya ingin shalat, jika sudah masuk waktu shalat. Ada pun jika wudhunya sebelum masuk waktu shalat, lalu dia keluar najis sebelum shalat maka ini batal, mesti ulangi wudhunya.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

فإن توضأ أحد هؤلاء قبل الوقت، وخرج منه شيء، بطلت طهارته

Jika salah seorang mereka (orang yg disebut di atas) berwudhu sebelum waktunya, lalu keluar najis, maka batal thaharahnya. (Al Mughni, 1/248)

Inilah pendapat mayoritas ulama.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhullah mengatakan:

فإن الذي عليه جمهور الفقهاء أن صاحب السلس يجب عليه الوضوء لكل صلاة بعد دخول وقتها، ولا يجزئه أن يتوضأ لصلاة قبل دخول وقتها، ويجب عليه إذا أراد الصلاة أن يغير ملابسه المصابة بالنجس أو يطهرها إن أمكن ذلك ويغسل المحل جيداً

Sesungguhnya yang dianut oleh mayoritas fuqaha adalah bahwa penderita beser wajib wudhu pada setiap shalat setelah masuk waktunya, tidak sah jika dia berwudhu sebelum masuk waktunya. Dan, wajib baginya jika hendak shalat mengganti pakaiannya yg kena najis atau hendaknya dia sucikan sejauh kemampuannya dan dia cuci yg kotor itu sebaik-baiknya.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 108086)

2. Jika kondisi sulit, atau ketika shalat keluar najis tersebut tanpa disadarinya, jika sudah tidak mampu mengontrol keluarnya najis, maka itu ketidakberdayaan yang dimaafkan dan tidak bisa dihindarkan, dan shalatnya tetap sah jika keluarnya saat shalat.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Numan Hasan

Bukan Sekedar Waqaf Uangnya

  Masalah waqaf dengan uang pernah saya bahas sekitar tiga tahun lalu.

Silakan baca: Waqaf Uang dan Bolehkah Waqaf Dikelola Untuk mendapatkan Uang?

Mayoritas ulama menyatakan TIDAK SAH, sebab karakter waqaf itu adalah harta yang tetap wujud dan manfaatnya. Sehingga waqaf uang dan makanan tidak boleh, karena lenyap dan manfaatnya tidak langgeng.

Kecuali menurut Hanafiyah generasi awal, Al Auza’i, dan Imam Malik. Mereka membolehkan waqaf dengan makanan

(Lihat Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid. 6, hal. 53, Syaikh Wahbah az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid. 8, hal. 126)

Bisa saja panitia waqaf menerima uang, lalu diubah menjadi barang yang langgeng untuk membeli tanah dan itulah yang diwaqafkan atas nama pewaqaf, dan penuhi rukun-rukunnya (waqif, mauquf, mauquf ‘alaih, dan ikrar), maka sah.

Tapi, masalahnya bukan sekedar fiqih waqaf. Ini lebih pada rasa keadilan.

Dana umat waqaf Islam dibidik, tapi Kenapa mereka tidak memangkas gaji para pejabat yang jumlahnya ribuan seantero negeri? Berikanlah contoh.

Dahulu Imam an Nawawi menolak kebijakan Raja Zahir, yang meminta tanda tangan para ulama agar setuju memungut dana umat buat biaya jihad, sementara pihak raja dan istana tidak mencontohkan memberikan dana itu, padahal seandainya kekayaan istana dikumpulkan buat biaya jihad itu sudah cukup tanpa harus meminta ke rakyat yang sudah susah.

Akhirnya Imam an Nawawi diusir Raja Zahir ke Nawa, akibat sikap tegasnya itu. Para ulama yang terlanjur setuju menandatangani akhirnya menyadari kebenaran Imam an Nawawi, mereka pun mengikuti jejak Imam an Nawawi dengan mencabut tanda tangannya. Raja Zahir merayu agar Imam an Nawawi mau kembali, tapi Beliau menolak, tidak akan kembali selama Zahir masih hidup, akhirnya satu bulan kemudian Raja Zahir pun wafat.

Selain itu, kenapa selalu dana umat Islam. Kemana dana umat-umat lainnya?

Orang-orang model begini sering mengatakan lahirnya negeri ini bukan hanya jasa satu agama (Islam), seolah perjuangan dan jihad umat Islam adalah ranting berguguran saja.. tapi giliran negara kolaps, mereka minta-minta uang, restu, dan sumbangsih umat Islam.

Wajar jika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan dengan doa yang begitu pedas:

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ. وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم.

“Ya Allah, siapa saja yang memimpin/mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka SUSAHKANLAH DIA”.

(HR. Muslim no. 1828)

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

✍ Farid Nu’man Hasan

Qadha Qurban

 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum wrwb…Ustadz izin bertanya, apabila seseorang itu berqurban untuk melakukan Qodho’ atas qurban2 yg tahun sebelumnya yg dia lewati tidak berqurban…sebagaimana ada qodho atas sholat yg terlewat…apakah ada aturan secara syariat? mohon pencerahannya ustadz…jazakallah


 JAWABAN

▪▫▪▫▪▫▪▫

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh..

Bismillahirrahmanirrahim..

Mengqadha qurban yang sunnah tidak ada, tapi jika itu qurban wajib seperti nazar, maka wajib qadha:

” من لم يضح حتى فات الوقت ، فإن كان تطوعا لم يضح , بل قد فاتت التضحية هذه السنة , وإن كان منذورا لزمه أن يضحي ويقضي الواجب كالأداء

Siapa yang tidak berqurban sampai lewat waktunya, jika itu qurban sunnah yang dia tidak lakukan maka dia telah terlewat qurban tahun ini, jika itu qurban nazar maka wajib dia berqurban, dan dia meng-qadha yang wajib sebagaimana ibadah yang dilakukan pada waktunya.

(Al Mausu’ah, 34/46)

Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

Transplantasi Rambut

 PERTANYAAN:

Assalmualaikum ustadz ijin bertanya, apa hukum transplasi/menumbuhkan rambut dalam islam??
Mohon penjelasannya ustadz
Jazakallahukhairan katsiran


 JAWABAN

Wa’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Transplantasi Rambut (Ziro’atusy Sya’r), adalah hal baru, dan menurut mayoritas ulama saat ini adalah boleh. Itu bukan termasuk mengubah ciptaan Allah Ta’ala, bukan termasuk menyambung rambut yang terlarang, tapi masuk kategori Izalatul ‘Aib (menghilangkan aib). Para ulama yang menyatakan boleh seperti fatwa Al Azhar di Darul Ifta Al Mishriyah.

Darul-Ifta (Lembaga Fatwa Mesir) menjelaskan bahwa transplantasi rambut diperbolehkan secara syar’i jika bersifat permanen, yakni rambut yang ditanam dapat tumbuh dan menetap seperti rambut alami, dan hal tersebut tidak dianggap sebagai penipuan atau kecurangan.

Adapun jika transplantasi tersebut bersifat sementara dan rambut akan rontok setelah beberapa waktu, maka hukumnya sama seperti penggunaan wig (rambut palsu) yang terlarang.

Ini juga difatwakan oleh para ulama Arab Saudi seperti Syaikh Bin Baaz, Syaikh Utsaimin, dan Lajnah Daimah.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Numan Hasan

scroll to top