Berikut ini perilaku kaum laki-laki yang membuatnya tergelincir, celaka, baik di dunia dan akhirat.
Daftar Isi
1. Tidak menjaga keluarga dari api neraka
Ini adalah tugas besar dan tugas berat bagi kaum laki-laki, atau suami. Bukan sekedar menjaga keluarga dari panasnya dunia tapi dari panasnya akhirat.
Allah Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا ….
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …. ” (QS. At-Tahrim: 6)
Bagaimana cara menjaganya?
Di antara penjelasan ulama adalah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata tentang cara menjaga mereka dari api neraka:
ادبوهم و علموهم …
Ajarkan mereka adab dan ajarkan mereka ilmu. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/167)
Ajarkan adab yaitu adab kepada Allah Ta’ala dengan Tauhid dan ibadah yang benar, adab kepada Rasulullah dengan mengimani dan mengikuti semua ajarannya, adab kepada orangtua dengan menghormati, menyayangi, dan mentaatinya dalam kebaikan, dan adab yang lainnya.
Ajarkan ilmu yaitu ilmu-ilmu fardhu ‘ain buat mereka sebagai bekal akhiratnya. Disempurnakan dengan ilmu-ilmu yang sunnah. Jika ayah tidak mampu mengajarkannya sendiri, paling tidak ia memberikan akses dan fasilitas kepada anak dan istrinya untuk belajar.
Jangan sampai sibuknya dengan pekerjaan sampai melupakan tugas mulia ini..
Jangan sampai sibuknya dengan hobi; mancing, goes sepeda, touring, memelihara burung, hiking, … melupakan tugas besar ini…
Kita lihat banyak anak-anak yang fatherless (kehilangan sosok ayah), anak-anak lebih dekat dengan gadget, mabar, dst. Tidak pernah lihat ayahnya shalat ke masjid, membaca Al Quran, bahkan shalat di rumah pun tidak.
Sekalinya di rumah, ayah juga sibuk dengan hobinya atau sibuk dengan HP-nya atau tiduran saja. Anak tidak shalat, anak tidak menutup aurat, istri sibuk dengan instagram dan joget di tiktok.. ia cuek saja.
Ketahuilah, semua ini akan ada tagihan tanggung jawabnya di akhirat:
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia akan dimintai tanggungjawab atas kepemimpinannya. (HR. Bukhari)
Hadits lainnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang ia tanggung.” (HR. Abu Daud no. 1692, hasan)
Wallahul Musta’an wa Ilaihit Tuklan
2. Tidak mau atau malas menafkahi keluarganya
Sebagian laki-laki yang telah berkeluarga ada yang malas menafkahi keluarganya. Kerjaannya hanya hardolin (dahar/makan, modol/BAB, ulin/main). Justru dia “dinafkahi” oleh istrinya yang pontang panting bekerja, jualan, cuci baju tetangga, dsb.
Selain membawa madharat bagi keluarga, apa yg dilakukan suami tersebut tentu membawa malapetaka bagi dirinya sendiri. Di antaranya:
– Berdosa
Seorang suami yang sengaja tidak mau menafkahi keluarganya -bukan krn uzur- maka dia telah berdosa karena meninggalkan kewajiban.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang ia tanggung.” (HR. Abu Daud no. 1692, hasan)
– Dianggap bukan lagi sebagai pemimpin
Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:
أَنَّهُ مَتَى عَجَزَ عَنْ نَفَقَتِهَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا
Sesungguhnya, dikala dia tidak mampu menafkahi istrinya maka lenyaplah kepemimpinannya atas istrinya. (Tafsir Al Qurthubi, jilid. 5, hal. 169)
– Boleh bagi istri memfasakh pernikahan
Imam Al Qurthubi melanjutkan:
وَإِذَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا كَانَ لَهَا فَسْخُ الْعَقْدِ، لِزَوَالِ الْمَقْصُودِ الَّذِي شُرِعَ لِأَجْلِهِ النِّكَاحُ. وَفِيهِ دَلَالَةٌ وَاضِحَةٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ عَلَى ثُبُوتِ فَسْخِ النِّكَاحِ عِنْدَ الْإِعْسَارِ بِالنَّفَقَةِ وَالْكُسْوَةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ
Jika dia sudah tidak lagi sebagai pemimpin, maka istrinya boleh melakukan fasakh (pembatalan) atas nikahnya, karena maksud diadakannya pernikahan (yaitu tanggung jawab nafkah) telah hilang. Ini menjadi dalil yang jelas atas kuatnya kebolehan melakukan fasakh nikah dikala seorang suami kesulitan memberikan nafkah dan pakaian. Inilah pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i. (Ibid)
Namun demikian, jika istri bersabar, membantu dan menyemangati diamin untuk bekerja tentunya itu lebih baik sebelum berpikir untuk memfasakh pernikahan.
– Dianggap utang Jika Istri Yang bekerja dan suami sengaja nganggur
Imam Al Baghawi mengutip dari Imam Al Khathabi sbb:
في هذا إيجاب النفقة والكسوة لها ، وهو على قدر وسع الزوج ، وإذا جعله النبي ( صلى الله عليه وسلم ) حقا لها ، فهو لازم حضر ، أو غاب ، فإن لم يجد في وقته ، كان دينا عليه كسائر الحقوق الواجبة ، سواء فرض لها القاضي عليه أيام غيبته ، أو لم يفرض.
Dalam hal ini terdapat kewajiban nafkah dan pakaian bagi istri, sesuai dengan kemampuan suami. Ketika Nabi ﷺ menetapkannya sebagai hak istri, maka kewajiban itu tetap berlaku baik suami hadir maupun sedang pergi. Jika pada waktunya suami tidak mampu menunaikannya, maka kewajiban itu menjadi UTANG baginya sebagaimana hak-hak wajib lainnya, baik hakim telah menetapkan nafkah untuknya selama masa ketidakhadirannya ataupun belum menetapkannya.
(Syarhus Sunnah, jilid. 9, hal. 160)
Maka, dikala suami ada kemampuan, kehidupan sudah membaik, maka hendaknya dia mengganti apa yg sudah dikeluarkan istrinya selama itu. Inilah bagian yg banyak dilupakan oleh istri dan suami. Namun, jika istri mengikhlaskan tentu tidak mengapa dan itu menjadi amal shaleh baginya. Tetapi, kewajiban suami menafkahi keluarga terus berlaku selama statusnya sebagai suami, walau istrinya kaya raya.
Wallahu A’lam
3. Tidak shalat berjamaah di Masjid
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya memuji laki-laki yang memakmurkan masjid sebagai orang yang beriman. Salah satu bagian dari kemakmurkan masjid adalah dengan shalat berjamaah di dalamnya bersama kaum muslimin.
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
إذا رأيتم الرجل يتعاهد المسجد فاشهدوا له بالإيمان فإن الله تعالى يقول ( إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وآتى الزكاة ) الآية
Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang biasa ke masjid maka saksikanlah bahwa ia benar-benar beriman.
Allah ‘azza wajalla berfirman : Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menegakkan shalat dan menunaikan zakat.
(HR. At Tirmidzi No. 2617, Ibnu Majah No. 802, Ahmad No. 11725)
Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Munawi, Al ‘Ajluni, As Sakhawi, Ahmad Musthafa Al A’zhami. Sedangkan At Tirmidzi, An Nawawi, Muhammad bin Ibrahim, Ibnu Jibrin, mengatakan hasan. Al Albani mengatakan dhaif secara sanad, namun shahih secara makna.
Sebaliknya, terdapat kritikan keras terhadap seorang laki-laki yang shalatnya enggan ke masjid. Di antaranya berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ، فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ، أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا، أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ، لَشَهِدَ العِشَاءَ»
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku berkeinginan memerintahkan seseorang mengumpulkan kayu bakar kemudian aku perintahkan seseorang untuk azan dan aku perintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat. Sedangkan aku akan mendatangi orang yang tidak shalat berjamaah lalu aku bakar rumah-rumah mereka. Demi yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya salah seorang mereka tahu bahwa dia akan mendapatkan daging yang gemuk atau dua daging yang bagus niscaya mereka akan ikut shalat Isya berjamaah.” *(HR. Bukhari no. 644.
Hadits lainnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ فِتْيَتِي أَنْ يَجْمَعُوا حُزَمَ الحَطَبِ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ، ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى أَقْوَامٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ»
Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Aku sangat berkeinginan untuk memerintahkan para pemudaku mengumpulkan kayu bakar, lalu aku perintahkan agar shalat didirikan, setelah itu aku membakar rumah orang-orang yang tidak ikut melaksanakan shalat berjama’ah.” (HR. At Tirmidzi no. 217, Beliau mengatakan: HASAN SHAHIH. Hadits ini juga diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Abu Darda, Ibnu Abbas, Mu’adz bin Anas dan Jabir Telah diriwayatkan dari sahabat Nabi dengan banyak jalur, mereka mengatakan, “Barangsiapa mendengar adzan lalu tidak memenuhi panggilannya, maka tidak ada shalat baginya.” Dan sebagian para ahli ilmu berkata; “Hal ini sangat ditekankan dan tidak dan keringanan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat berjama’ah kecuali dengan udzur.”)
Dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنِ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِي صَلَّى ” قَالُوا: وَمَا الْعُذْرُ؟ قَالَ: ” خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ “
Dari Ibnu Abbas, Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang mendengarkan panggilan muadzin dan tidak ada udzur yang menghalangi untuk mengikuti panggilan itu, maka shalat yang dilakukannya tidak diterima.”
Mereka bertanya: “Apakah udzur itu?” Beliau bersabda: “Rasa takut dan sakit.” (HR. Al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 5047. Imam Az Zaila’i, mengatakan: shahih. Lihat Nashbur Rayah, 2/23)
Bahkan bagi yang tuna netra pun tetap dianjurkan ke masjid.
Dari Amr bin Ummi Maktum Radhiallahu ‘Anhu
عَنْ عَمْرِو بْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، قَالَ: جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، كُنْتُ ضَرِيرًا، شَاسِعَ الدَّارِ، وَلِي قَائِدٌ لَا يُلَائِمُنِي، فَهَلْ تَجِدُ لِي رُخْصَةً أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِي؟ قَالَ: ” أَتَسْمَعُ النِّدَاءَ؟ ” قَالَ: قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: ” مَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً “
Dari Amr bin Ummi Maktum, dia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah ﷺ, aku berkata: “Wahai Rasulullah, saya ini buta dan rumah saya jauh, saya punya penuntun yang tidak cocok dengan saya, apakah ada rukhshah (keringanan) bagi saya untuk shalat di rumah saja?”
Rasulullah bertanya: “Apakah kamu dengar azan?” Aku berkata: “Ya.”
Beliau menjawab: “Tidak ada keringanan bagimu.” (HR. Ahmad no. 15490. Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan: SHAHIH. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 24/243)
Dari hadits-hadits ini para ulama beragam memposisikan hukum shalat Jumat berjamaah di masjid buat laki-laki:
1. Ada yg mengatakan syarat sahnya shalat. Mazhab zhahiri, sebagian Hanabilah
2. Fardhu ‘Ain, berdosa jika tidak berjamaah kecuali ada uzur. Ini pendapat Atha,Al Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Al Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban.
3. Fardhu kifayah, ini pendapat Imam Syafi’i, Imam An Nawawi
4. Sunnah Muakkadah, jika ditinggalkan mengurangi kesempurnaan shalat. Ini mazhab mayoritas. Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Ats Tsauri.
Wallahu A’lam
Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam
✍️Farid Numan Hasan