Merenggangkan Gigi dengan Tujuan Memperbagus Bacaan Al Qur’an, Bolehkah?

▪▫▪▫▪▫▪▫

PERTANYAAN

maaf ustadz, jadi gini saya memiliki seorang teman, alhamdulillah allah pilih dia menjadi seorang hafidzoh qur’an, tapi dia memiliki sedikit kekurangan, giginya maju, dan berantakan, yang membuat dia agak susah dalam mengucapkan makhroj huruf, lalu dia memasang behel untuk tujuan memperbagus bacaan qur’annya, tahapannya hampir selesai, tapi ditahapan terakhir gigi nya masih agak maju, ada dua pilihan biarkan seperti itu atau dokter nya menyarankan untuk merenggangkan sedikit di sela sela gigi sebesar 1 mili antara taring ke taring lantas memundurkannya, apakah perbuatan merenggangkan gigi tersebut termasuk perbuatan yang haram ditijau dari alasannya? sekian, terimakasih ustadz. (Asyifa K Z- Pekanbaru)

 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Merenggangkan gigi adalah hal terlerang jika tujuannya semata-mata kecantikan. Sebagaimana hadits:

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ تَعَالَى

“Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato, wanita yang dicukur alis, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 4604, 5587, Muslim no. 2125)

Makna Al Mutafalijat, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafizh sebagai berikut:

والمتفلجات جمع متفلجة وهي التي تطلب الفلج أو تصنعه، والفلج بالفاء واللام والجيم انفراج ما بين الثنيتين والتفلج أن يفرج بين المتلاصقين بالمبرد ونحوه وهو مختص عادة بالثنايا والرباعيات

Al Mutafalijat adalah jamak dari mutafalijah artinya membuat atau menciptakan belahan (pembagian). Al Falju dengan fa, lam, dan jim adalah membuat jarak antara dua hal, At Tafalluj adalah membagi antara dua hal yang berdempetan dengan menggunakan alat kikir dan semisalnya, secara khusus biasanya pada gigi yang double dan bagian depan di antara taring. ” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/372. Darul Fikr)

Hal ini diharamkan. Hanya saja diberi keringanan bagi yang berpenyakit, atau jika mengganggu aktiitas mengunyah dan berbicara.

Berkata Imam Ath Thabari Rahimahullah:

ويستثنى من ذلك ما يحصل به الضرر والأذية كمن يكون لها سن زائدة أو طويلة تعيقها في الأكل

“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau kepanjangan (tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr)

Maka, aktifitas memperbaiki gigi seperti menambal, memasang kawat gigi dan gigi palsu, tidaklah termasuk mutafallijah jika tujuannya untuk pengobatan, kesehatan, atau menghilangkan aib.

Hal ini sesuai kaidah:

الأمور بمقاصدها

Permasalahan dinilai sesuai maksudnya. (Imam As Suyuthi, Al Asybah Wan Nazha-ir, kaidah ke 5)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

سئل الشيخ صالح الفوزان عن تقويم الأسنان فقال : إذا احتيج إلى هذا كأن يكون في الأسنان تشويه واحتيج إلى إصلاحها فهذا لا بأس به ، أما إذا لم يُحتج إلى هذا فهو لا يجوز ، بل جاء النهي عن وشر الأسنان وتفليجها للحسن وجاء الوعيد على ذلك لأن هذا من العبث ومن تغيير خلق الله

أما إذا كان هذا لعلاج مثلاً أو لإزالة تشويه أو لحاجة لذلك كأن لا يتمكن الإنسان من الأكل إلا بإصلاح الأسنان وتعديلها فلا بأس بذلك

أما إزالة الأسنان الزائدة فقال الشيخ ابن جبرين : لا بأس بخلع السن الزائد لأنه يشوه المنظر ويضيق منه الإنسان … ، ولا يجوز التفليج ولا الوشر للنهي عنه

Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang hukum merapikan gigi. Beliau menjawab, “Jika ada kebutuhan untuk ini, seperti adanya cacat pada gigi yang membutuhkan perbaikan, maka hal ini tidak mengapa. Namun, jika tidak ada kebutuhan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Bahkan, terdapat larangan untuk mengikir gigi atau membuat jarak antar gigi demi memperindah penampilan, dan ada ancaman bagi yang melakukannya karena termasuk dalam perbuatan sia-sia dan mengubah ciptaan Allah.

Adapun jika dilakukan untuk tujuan pengobatan, menghilangkan cacat, atau kebutuhan tertentu—seperti seseorang yang kesulitan makan kecuali dengan memperbaiki dan merapikan gigi—maka hal ini diperbolehkan.”

Sedangkan mengenai pencabutan gigi berlebih, Syaikh Ibnu Jibrin mengatakan, “Tidak mengapa mencabut gigi yang berlebih karena merusak penampilan dan dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman. Namun, tidak diperbolehkan membuat jarak atau mengikir gigi karena ada larangan dalam hal ini.” (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 21255)

Demikian. Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

Tidak Menafkahi Istri yang Durhaka

✉️❔PERTANYAAN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Ustadz…. Saya mau bertanya, apakah Seorang wanita/Istri yang Nusyuz wajib diNafkahi?

✒️❕JAWABAN

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاتة

Istri yang nusyuz (durhaka) menjadi penghalang baginya mendapatkan nafkah.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

والناشز لا نفقة لها، فإن كان لها منه ولد، أعطاها نفقة ولدها …. فمتى امتنعت من فراشه، أو خرجت من منزله بغير إذنه، أو امتنعت من الانتقال معه إلى مسكن مثلها، أو من السفر معه، فلا نفقة لها ولا سكنى، في قول عامة أهل العلم؛ منهم الشعبي ، وحماد، ومالك، والأوزاعي، والشافعي، وأصحاب الرأي، وأبو ثور.
وقال الحكم: لها النفقة. وقال ابن المنذر: لا أعلم أحدا خالف هؤلاء إلا الحكم

Dan istri yang nusyuz (membangkang) tidak berhak mendapatkan nafkah. Jika ia memiliki anak dari suaminya, maka suaminya tetap memberikan nafkah untuk anaknya. …. Kapan pun istri menolak berada di ranjang suaminya, atau keluar dari rumahnya tanpa izin, atau menolak pindah ke tempat tinggal yang sesuai dengannya, atau menolak bepergian bersama suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal, menurut pendapat umum para ulama; di antaranya adalah asy-Sya’bi, Hammad, Malik, al-Awza’i, asy-Syafi’i, para ashhabur ra’yi (pengikut Abu Hanifah), dan Abu Tsaur.

Namun, al-Hakam berpendapat bahwa ia tetap mendapatkan nafkah. Ibnu al-Mundzir berkata, ‘Saya tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi pendapat mereka ini, kecuali al-Hakam.
(Al Mughni, jilid. 8, hal. 236)

Namun dalam Islam seorang suami hendaknya mendidik dulu istrinya sebagaimana arahan dalam Al-Qur’an, jadi tidak langsung memberikan hukuman atas kedurhakaannya.

Bagaimana cara mendidiknya? Yaitu nasihat dengan baik, jika tidak mempan maka pisah ranjang, jika tidak mempan maka pukul dibagian yang tidak menyakitkan.

Allah ﷻ berfirman:

وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا

Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyūz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. [Surat An-Nisa’: 34]

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Membaca Syahadat Ulang

✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaikum tadz, ketika membahas ttg Al ‘araf 172, ada beberapa kelompok yang beranggapan bahwa ketika kita sdh faham ttg makna ayat itu, maka kita wajib bersyahadat ulang untuk kedua kalinya, mohon penjelasan ttg pemahaman itu tadz, syukron jazaa sebelumnya

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Itu tdk ada dasar dari para ulama salaf dan khalaf. Tidak perlu syahadat ulang selama dia tidak diubah oleh keluarganya menjadi kafir. Sebab, semua bayi yang lahir adalah muslim.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)

Makna “fitrah” dalam hadits ini yg masyhur dan benar adalah Islam.

Hal ini ditegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah:

وَأَشْهَرُ الْأَقْوَال أَنَّ الْمُرَاد بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَام ، قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : وَهُوَ الْمَعْرُوف عِنْد عَامَّة السَّلَف . وَأَجْمَعَ أَهْل الْعِلْم بِالتَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا ) الْإِسْلَام

“Pendapat yang paling masyhur adalah bahwa maksud dari fitrah adalah Islam. Berkata Ibnu Abdil Bar: ‘Itu sudah dikenal oleh umumnya kaum salaf.’ Para ulama telah ijma’ (sepakat) dengan ta’wil maksud ayat: “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” adalah Islam.”

(Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)

Sehingga, dengan berdalil pada hadits ini, maka jika ada seorang bayi yang wafat dan dia lahir dari orang tua yang kafir maka dia tetaplah Islam menurut sebagian ulama dan tetap dishalatkan, sebagaimana penjelasan Imam Az Zuhri dan Imam Ahmad bin Hambal.

Berkata Imam Ahmad Rahimahullah:

مَنْ مَاتَ أَبَوَاهُ وَهُمَا كَافِرَانِ حُكِمَ بِإِسْلَامِهِ

“Barangsiapa yang kedua orangtuanya wafat, dan mereka berdua kafir, maka bayi itu dihukumi sebagai Islam.” (Ibid)

Maka, apalagi jika kedua ortuanya muslim.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Pengidap Hyperhidrosis, Bolehkah Ditunda Salatnya Demi Kenyamanan Sekitar?

✉️❔PERTANYAAN

Assalamualaikum, izin bertanya,
saya kan pengidap hyperhidrosis (keringat berlebih). nah di tempat saya kerja itu ada masjid namun panas sekali, jadi saya tidak pernah solat disana karena jika saya solat disana maka saya akan berkeringat dan bau badan (segala jenis parfum/deodorant tidak ada yang mempan) alhasil tidak bisa melanjutkan kerja. saya selesai kerja itu jam 3 sore. jadi apa boleh jika sholat dzuhurnya di tunda sampai saya ada di rumah alias di barengin sholat azhar ? (Duhan Pyung-Tangerang)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Jika memang kondisinya seperti itu, dan belum sembuh, maka tidak mengapa baginya shalat tidak di awal waktu membersamai jamaah lainnya. Dia bisa shalat saat jamaah sudah sepi di tengah waktu.

Dalilnya adalah:

إن للصلاة أولا وآخرا، وإن أول وقت الظهر حين تزول الشمس، وإن آخر وقتها حين يدخل وقت العصر..

Shalat itu ada awal waktunya dan akhirnya, awal waktu zhuhur adalah saat tergelincir matahari, waktu akhirnya adalah saat masuk waktu ashar .. Dst (HR. Ahmad no. 7172, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Ta’liq Musnad Ahmad, no. 7172)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

يجوز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها بلا خلاف، فقد دل الكتاب، والسنة، وأقوال أهل العلم على جواز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها، ولا أعلم أحداً قال بتحريم ذلك

Dibolehkan menunda shalat sampai akhir waktunya tanpa adanya perselisihan pendapat, hal itu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Perkataan para ulama juga membolehkan menunda sampai akhir waktunya, tidak ada seorang ulama yang mengatakan haram hal itu. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/58)

Penundaan ini bukanlah saahuun (melalaikan shalat), sebab makna saahuun adalah menunda shalat sampai habis waktunya. Sebagaimana penjelasan Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Abbas, Masruq, Ibnu Abza, Abu Adh Dhuha, Muslim bin Shabih. (Tafsir Ath Thabari, 24/630)

Seorang ulama mazhab Hambali di Saudi abad ini mengatakan:

وقد بين النبي صلى الله عليه وسلم مواقيتها من كذا إلى كذا فمن أداها فيما بين أول الوقت وآخره فقد صلاها في الزمن الموقوت لها

Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa waktu shalat itu sejak waktu ini ke ini, maka barang siapa yang menjalankan di antara awal waktu dan akhirnya, maka dia telah menunaikan shalat di waktu yang telah ditentukan. (Syaikh Utsaimin, Majmu’ Al Fatawa wa Rasail, Jilid. 12, Bab Shalat)

Namun saat yg bersamaan dia hendaknya berusaha untuk menyembuhkan atau meringankan penyakit keirngat berlebihnya itu, agar bisa shalat di awal waktu bersama kaum muslimin lainnya.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top