Hukum Menyumbang Untuk Peringatan 17 Agustus

▫▫▫▫▪▪▪▪

 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz… Beredar postingan di medsos tentang larangan menyumbang untuk peringatan 17 Agustus dg alasan karena mendukung kegiatan yg tidak ada tuntunannya dalam Islam.
Bagaimana Islam memandang hal ini?
Mengingat kegiatan ini sdh menjadi agenda tahunan di lingkungan kita tinggal…
Syukran..


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Peringatan hari kemerdekaan adalah ranah adat atau kebiasaan, bukan ranah aqidah dan ibadah. Hukum dasarnya adalah mubah sebagaimana hadits:

الحلال احل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه وهو مما عفو عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitab-Nya, dan apa saja yang di diamkan-Nya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi dishahihkan oleh Imam Hakim dan lainnya)

Kaidahnya:

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى عَدَمِ الْإِبَاحَةِ

Hukum asal dari segala hal adalah mubah sampai adanya dalil yang menunjukkan hilangnya kemubahan tersebut. (Imam Abul ‘Abbas Syihabuddin al Hanafi, Ghamzu ‘Uyun al Bashaa-ir, 1/223)

Namun jika peringatan tersebut mengandung unsur yang diharamkan seperti mengadakan permainan-permainan yang mengandung pornografi, taruhan, atau judi, melalaikan shalat dan kewajiban agama, dan lain-lain yang diharamkan oleh agama, maka yang seperti inilah yang terlarang. (Tidak boleh diselenggarakan dan tidak boleh menyumbang untuk peringatan 17 Agustus seperti ini)

Berbeda dengan urusan ibadah, maka harus ada tuntunannya dalam dalil agama. Sebagaimana kaidah:

الأصل في العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى

Hukum asal peribadalan adalah tauqif (tidak melakukan), maka tidaklah disyariatkan ibadah kecuali apa yang disyariatkan Allah Ta’ala

Demikian. Wallahu A’lam

Baca juga: Hukum Peringatan Hari Besar Agama Islam (PHBI): Isra’ Mi’raj

 Farid Nu’man Hasan

Menyelenggarakan Aqiqah Tidak di Rumah

▪▫▫▫▫▫▫▫▪

 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum… Ustadz, ada yg bertanya. Aqiqah utk anak laki2 kan 2 kambing, kalau dipotongnya dibagi 2 apakah diperbolehkan. 1 di rumah ortu, 1 lg di rumah mertua.. (aqiqah tidak di rumah si anak)


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah

Bismillahirrahmanirrahim..

Aqiqah lebih utama dilakukan dan didistribusikan di tempat anak itu dilahirkan, tapi itu bukan syarat keabsahan, itu hanya keutamaan saja. Jadi jika ingin aqiqah di tempat lain juga sah. Baik kedua kambingnya atau salah satunya. Ini perkara yang luwes dan lapang.

Perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini bukan tentang keabsahannya, mereka sepakat aqiqah di tempat sendiri atau di daerah lain, atau tidak di rumah si anak itu tinggal, sama-sama sah, mereka berbeda dalam masalah mana yang lebih utama.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

اختلف العلماء في المكان الأفضل لذبحها، هل الأفضل ذبحها في بلد الطفل، أم في بلد الوالد، إن كان يقيم في بلد آخر؟
وهذا الخلاف إنما هو في الأفضل، لا في الإجزاء …..

Para ulama berbeda pendapat tentang tempat yang lebih utama dalam penyembelihan aqiqah, apakah lebih utama di tempat bayi itu dilahirkan ataukah di tempat orang tuanya jika dia tinggal di tempat lain? perbedaan pendapat ini tentang keutamaan, bukan pada keabsahan..

ويجوز أن تُذبح شاة في بلد، وتُذبح الأخرى ببلد آخر لإدخال السرور على بقية الأهل

Boleh menyembelih seekor kambing aqiqah di negerinya, dan kambing satunya lagi di negeri lain, agar mendatangkan kebahagiaan untuk semua anggota keluarga. (Ahkamul ‘Aqiqah, Al Islam Su’aal wa Jawaab)

Baca juga: Mengaqiqahkan Bayi yang Wafat

Mufti Mesir saat ini dalam salah satu fatwanya menjelaskan:

الأولى والآكد ذبح العقائق في بلد القائم بالعقيقة ووطنه، فإن وكَّل في ذبحها خارج بلده أجزأه

Lebih utama dan ditekankan adalah menyembelih aqiqah di negeri orang yang beraqiqah tsb dan tanah kelahirannya, seandainya dia men-tawkil (mewakilkan ke org lain) penyembelihannya di negeri lain maka itu sah.

(Darul Ifta Al Mishriyyah, fatwa no. 7865).

Demikian. Wallahu A’lam

 ☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Allah Ta’ala Punya Tangan Kanan dan Kiri?

 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum…ust,apakah Allah swt punya tangan dan tangan Alloh itu kanan semua,apakah benar ada hadistnya,dan apa makna sesungguhnya hadist tersebut? (0858179xxxx)


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Secara teks ada ayat dan hadits yang menyebutkan kata TANGAN pada sifat Allah, dan juga disebut kan TANGAN KANAN, dan TANGAN KIRI ..

Contohnya:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَيۡدِيهِمۡ ….

Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka … [Surat Al-Fath: 10]

Untuk tangan kanan, disebutkan dalam ayat berikut:

وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦ وَٱلۡأَرۡضُ جَمِيعٗا قَبۡضَتُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطۡوِيَّٰتُۢ بِيَمِينِهِۦۚ سُبۡحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ }

Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan. [Surat Az-Zumar: 67]

Ada pun dalam hadits yang menyebut “tangan kanan”:

يَقْبِضُ اللَّهُ الْأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ …

“Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya … ” (HR. Bukhari no. 7382)

Ada juga yang menyebut dengan “tangan kiri”:

يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ …

Pada hari kiamat kelak, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipat langit. Setelah itu, Allah akan menggenggamnya dengan tangan kanan-Nya sambil berkata, ‘Akulah Sang Maharaja. Di manakah sekarang orang-orang yang selalu berbuat sewenang-wenang? Dan di manakah orang-orang yang selalu sombong dan angkuh?’ Setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan KIRI-Nya… (HR. Muslim no. 2788)

Baca juga: Salaf dan Takwil Sifat-Sifat Allah

Bagaimana penjelasan para ulama (tentang Allah punya tangan)?

Dalam konteks para imam Ahlussunah wal Jamaah, ada dua pendapat besar yang dianut.

Pertama. Sebagian ulama ada yang memahami secara zahir, apa adanya, bahwa Allah Ta’ala memiliki tangan, sebagaimana kalangan Atsariyah.

Tidak mengingkari dan tidak mentakwilnya, tapi juga tidak boleh menyerupakan dengan tangan makhluk-Nya. Karena tidak ada suatu apa pun yg menyerupai-Nya.

Internal kelompok ini berbeda pendapat apakah tangan Allah Ta’ala adalah kanan semua ataukah kanan dan kiri?

Ada yang berpendapat tangan Allah Ta’ala adalah kanan dan kiri, di antaranya:

– Imam Ad Darimi, Beliau berkata:

“Celakah engkau wahai orang yang menentang! Sesungguhnya Rasulullah ﷺ memaksudkan ucapannya tangan kiri sebagai lawan dari yang kanan..” (Radd ‘ala Bisyr al Muraisi, hal. 155),

– Imam Abu Ya’la al Farra (Ibthalut Ta’wilat, hal. 176)
– Imam Shiddiq Hasan Khan (Qathfuts Tsamar, hal. 66)
– Syaikh Muhammad Khalil Hiras (Ta’liq ‘ala Kitabit Tauhid Libni Khuzaimah, hal. 66)
– Syaikh Abdullah Al Ghunaiman (Syarh Kitabut Tauhid, 1/311)

Pendapat lain, tangan Allah Ta’ala hanya kanan, tidak ada kiri. Mereka adalah:

– Imam Ahmad, Beliau berkata:

“Sebagaimana telah sahih kabar dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda: ‘Kedua tangan-Nya adalah kanan.’ Wajib beriman kepada hal tersebut. Barang siapa yang tidak beriman kepada hal itu dan tidak mengetahui bahwa itu adalah kebenaran sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ, maka dia telah mendustakan Rasulullah ﷺ.” (Lihat Thabaqat Al Hanabilah, 1/313)

– Imam Ibnu Khuzaimah (Kitabut Tauhid, 1/151)
– Imam Al Baihaqi (al Asma wash Shifat, 2/55)
– Syaikh Al Albani. (Majalah Ashalah, hal. 48)

Kedua. Sebagian ulama Ahlussunah lainnya khusus kalangan Asya’irah memahaminya tidak secara zahir.

Bagi mereka ayat-ayat sifat zatiyah yang menciptakan gambaran dalam benak manusia tentang rupa fisik Allah Ta’ala mestilah ditakwil. Sebab, jika dipahami secara zahir akan terbuka peluang mendeskripsikan Allah Ta’ala serupa dengan makhluk (karena sebutan Allah punya tangan), dan peluang itu sulit dihindari.

Misalnya, Ibnu Kaisan, menjelaskan ayat “Tangan Allah di atas tangan mereka” (Al Fath: 10), bermakna: “kekuatan Allah dan pertolongan-Nya.”

Al Kalbi berkata: “Nikmat Allah bagi mereka di atas perbuatan bai’at mereka.” (Tafsir Al Qurthubi, 16/266-267)

Imam Al Qurthubi mengatakan makna ayat “Langit digulung pada hari kiamat dengan tangan kanan-Nya”;(Az Zumar: 67), bukanlah benar-benar tangan kanan, tetapi Beliau menjelaskan:

“Kanan dalam perkataan orang Arab adalah bermakna qudrah (kekuasaan) dan milk (kepunyaan). Seperti ayat: aw maa malakat aymaanukum (atau budak yang kalian miliki).” (Tafsir Al Qurthubi, 15/278)

Imam Ibnul Mulaqqin mengkritik keras pihak yang mengartikan ayat atau hadits “Allah menggenggam/menggulung langit dengan tangan kanan-Nya” dengan makna benar-benar genggaman tangan. Beliau mengatakan:

“Ini maknanya adalah fana dan hilang. Jika engkau berkata: ‘Telah disebutkan dalam hadis: Dia menggenggam jari-jari-Nya dan membukanya.’ Ini adalah sifat (yang menunjukkan) anggota tubuh, maka jawabannya adalah bahwa ini adalah pendapat kaum mujassimah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk) dari kalangan Yahudi dan golongan hasyawiyah. Maha Tinggi Allah dari hal tersebut.” (At Taudhih Li Syarh Al Jami’ ash Shaghir, 1/214)

Al Qadhi ‘Iyadh juga mengatakan makna “tangan kanan” adalah keagungan kekuasaan-Nya. (Ikmal Al Mu’lim bifawaid Muslim, 8/317)

Ash Shan’ani berkata: “Itu adalah majas dan kiasan. Maha Tinggi Allah dari sifat-sifat jasmani.” (At Tanwir Syarh Al Jami’ ash Shaghir, 7/351)

Dan masih banyak lainnya.

Baca juga: [Serial Mengenal Firqah dan Mazhab] Asy’ariyah

Catatan:

Masalah ini telah menjadi perdebatan keras sesama muslim, khususnya sesama Ahlussunah sendiri, dengan perdebatan sengit, keras, bahkan berdarah darah, dan begitu lama menyusuri zaman dan tempat. Sebaiknya berlapang dada dan membuka mata bahwa memang perkara ini belum ada kata final. Seharusnya kita bisa menyikapi dengan sikap penuh persaudaraan walau berbeda, karena kedua kelompok sama-sama ingin memuliakan sifat-sifat Allah Ta’ala namun mereka berbeda cara; yang satu melakukan tatsbit (menetapkan) dan yang lain dgn cara ta’wil dengan kaidah bahasa yg benar.

Imam asy Syathibi memberikan nasihat:

وَمِنْ أَشَدِّ مَسَائِلِ الْخِلَافِ -مَثَلًا- مَسْأَلَةُ إِثْبَاتِ الصِّفَاتِ؛ حَيْثُ نَفَاهَا مَنْ نَفَاهَا، فَإِنَّا إِذَا نَظَرْنَا إِلَى مَقَاصِدَ الْفَرِيقَيْنِ وَجَدْنَا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَائِمًا حَوْلَ حِمَى التَّنْزِيهِ وَنَفْيِ النَّقَائِصِ وَسِمَاتِ الْحُدُوثِ، وَهُوَ مَطْلُوبُ الْأَدِلَّةِ. وَإِنَّمَا وَقَعَ اخْتِلَافُهُمْ فِي الطَّرِيقِ، وَذَلِكَ لَا يُخِلُّ بِهَذَا الْقَصْدِ فِي الطَّرَفَيْنِ مَعًا، فَحَصَلَ فِي هَذَا الخلاف أشبه الواقع بينه وبين الخلاف والواقع في الفروع

Salah satu contoh perdebatan sengit adalah perdebatan masalah penetapan sifat, apabila kita teliti maksud kedua kelompok, kita dapatkan bahwa keduanya berkeyakinan melindungi kesucian, menafikan kekurangan, dan ini diperintahkan oleh banyak dalil. Perbedaan mereka hanyalah pada cara yang ditempuh, dan ini sama sekali tidak membuat noda niat mereka sama sekali. Alhasil, kadar perbedaan ini layaknya seperti perbedaan furu’ saja.

(Asy Syathibi, Al I’tisham, hal. 502. Kairo: Dar Ibnil Jauzi)

Demikian pembahasan tentang “Allah punya tangan”. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

Baca juga: Pertanyaan di Mana Allah

✍ Farid Nu’man Hasan

Warisan Santunan BPJS

 PERTANYAAN:

Bismillahirrahmanirrahim, Izin bertanya Ust. Apabila seorang pekerja baik di lembaga negeri atau swasta yang tempat kerjanya membayarkan iuran BPJS ketenagakerjaan, lalu saat sakit atau bahkan meninggal ahli warisnya mendapat santunan (warisan BPJS). Bagaimana menurut syara terkait itu, apa boleh diterima? Jazakallahu. Syukron


 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Ahli warisnya boleh memanfaatkan hasil (warisan santunan) BPJS tersebut baik pokoknya maupun bunganya karena yang terlarang adalah untuk pemiliknya, pemiliknya hanya boleh memanfaatkan sebanyak iuran pokoknya saja.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

وأما المحرم لكسبه فهو الذي اكتسبه الإنسان بطريق محرم كبيع الخمر ، أو التعامل بالربا ، أو أجرة الغناء والزنا ونحو ذلك ، فهذا المال حرام على من اكتسبه فقط ، أما إذا أخذه منه شخص آخر بطريق مباح فلا حرج في ذلك ، كما لو تبرع به لبناء مسجد ، أو دفعه أجرة لعامل عنده ، أو أنفق منه على زوجته وأولاده ، فلا يحرم على هؤلاء الانتفاع به ، وإنما يحرم على من اكتسبه بطريق محرم فقط

Harta haram yang dikarenakan usaha memperolehnya, seperti jual khamr, riba, zina, nyanyian, dan semisalnya, maka ini haram hanya bagi yang mendapatkannya saja. Tapi, jika ada ORANG LAIN yang mengambil dari orang itu dengan cara mubah, maka itu tidak apa-apa, seperti dia sumbangkan untuk membangun masjid dengannya, bayar gaji pegawai, nafkah buat anak dan istri, hal-hal ini tidak diharamkan memanfaatkan harta tersebut. Sesungguhnya yang diharamkan adalah bagi orang mencari harta haram tersebut.”

Baca juga: Warisan Untuk Empat Anak Perempuan dan Satu Istri

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top