Jenis Bid’ah

 PERTANYAAN:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustadz semoga Allah merahmati ustadz dan keluarga. Aamiin Ya Robbal’aalamiin.

Tanya terkait bid’ah. Dalam hadits disebutkan kullu bid’atin dholalah.
Lalu bagaimana mengkompromikan dalam mazhab syafi’i yg membagi bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah?

Jazaakallah Khairan


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Dalam mazhab Syafi’i dan juga mazhab lainnya, bid’ah itu tidak semuanya dhalalah (sesat) atau sayyi’ah (buruk), berdasarkan beberapa dalil, yaitu:

1. Kata Kullu (setiap, semua) tidak menunjukkan makna semua, itu menunjukkan mubalaghah (hiperbola). Imam Nawawi mengatakan kata kullu menunjukkan sebagian besar, bukan semuanya. (Syarh Shahih Muslim, 6/145)

Beliau berkata:

والمراد غالب البدع

Maksudnya adalah Sebagian besar bid’ah itu sesat

Contoh penggunaan kata kullu Dalam Al Quran yang maknanya sebagian besar, bukan semua:

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Di belakang mereka ada raja yang akan merampas kullu as safinah (semua perahu). (Al Kahfi: 79)

Kenyataannya, tidak semua perahu yang dirampas oleh raja, perahu Nabi Musa ‘alaihissalam tidak dirampas oleh raja tersebut.

2. Hadits kullu bid’atin dhalaalah itu hadits yang muthlaq (umum) dan mujmal (global). Ada hadits lain yang muqayyad, yang mengkhususkan bahwa hal yang baru tidak semuanya buruk, tapi ada yang baik.

Sementara kaidahnya adalah Hamlul Muthlaq Ilal Muqayyad (dalil yang masih umum harus dipahami dengan dalil yang lebih khusus).

Dalil tersebut adalah:

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa menjadi pelopor (memulai) suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya pahala semisal pahala orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)

Kata SANNA dalam hadits di atas adalah memulai, mengawali.

Dalam Al Mu’jam Al Wasith dijelaskan arti SANNA:

وكل من ابتدأ أمرا عمل به قوم من بعده فهو الذي سنه

Setiap orang yang memulai suatu perkara yang kemudian diamalkan oleh orang-orang setelahnya, dialah yang telah menetapkannya sebagai sunnah. (Al Mu’jam Al Wasith, 1/455)

Berkata Imam Al Qurthubi Al Maliki Rahimahullah tentang hadits Imam Muslim di atas:

وهذا إشارة إلى ما ابتدع من قبيح وحسن، وهو أصل هذا الباب، وبالله العصمة والتوفيق، لا رب غيره.

“Ini adalah isyarat bahwa apa-apa yang baru (bid’ah), di antaranya ada yang buruk dan ada yang baik, dan itulah asal dari masalah ini. Dan kepada Allah memohon penjagaan dan taufiq, dan Tiada Rabb selainNya.” (Imam Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam, 2/87. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi)

Sdgkan Imam An Nawawi Rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث تَخْصِيص قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كُلّ مُحْدَثَة بِدْعَة وَكُلّ بِدْعَة ضَلَالَة ” ، وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة ، وَقَدْ سَبَقَ بَيَان هَذَا فِي كِتَاب صَلَاة الْجُمُعَة ، وَذَكَرْنَا هُنَاكَ أَنَّ الْبِدَع خَمْسَة أَقْسَام : وَاجِبَة وَمَنْدُوبَة وَمُحَرَّمَة وَمَكْرُوهَة وَمُبَاحَة

“Pada hadits ini terdapat takhsis (spesifikasi/pengkhususan/penyempitan) dari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Yang dimaksud oleh hadits ini adalah hal-hal baru yang batil dan bid’ah tercela. Telah berlalu penjelasan tentang ini pada pembahasan “Shalat Jum’at”. Kami menyebutkan di sana , bahwa bid’ah ada lima bagian: Wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.” (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/461. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bid’ah yang tercela itu hal baru yang BERTENTANGAN dengan syariat, bukan semata-mata tidak ada dalam syariat.

Ada pun hal baru yang sebelumnya belum ada namun sejalan dengan syariat, sekoridor dengan syariat, masih on the track Al Quran, Aa Sunnah, Ijma’, dan Qiyas, maka sekali pun itu dikatakan muhdats atau bid’ah namun itu adalah hasanah.

Imam As Suyuthi mengatakan:

والحوادث تنقسم إلى: بدعة مستحسنة، وإلى بدع مستقبحة، قال الإمام الشافعي رضي الله عنه: البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم. واحتج بقول عمر رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه. وقال الإمام الشافعي أيضاً رضي الله تعالى عنه: المحدثات في الأمور ضربان: أحدهما ما حدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً فهذه البدعة الضلالة. والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهي محدثة غير مذمومة.

“Perkara-perkara yang baru terbagi atas bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk.

Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu: “Bid’ah itu ada dua; bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Maka, apa-apa saja yang sesuai dengan sunah maka itu terpuji, dan apa-apa saja yang menyelisihi sunah maka itu tercela.” Beliau beralasan dengan ucapan Umar Radhiallahu ‘Anhu: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.”

Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu juga berkata: “Hal-hal yang baru itu ada dua segi; pertama, apa-apa saja yang menyelisihi Al Quran, As Sunnah, Atsar, Ijma’, maka inilah bid’ah dhalalah (sesat).

Kedua, apa-apa saja perbuatan baru yang baik, yang tidak menyelisihi satu saja dari sumber itu, maka perkara baru tersebut tidaklah tercela.”

(Imam As Suyuthi, Al Amru ‘bil Ittiba’ wan Nayu ‘anil Ibtida’, Hal. 6. Juga Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 13/253. Darul Fikr)

Berkata Hujjatul Islam Imam Al Ghazali  dalam Ihya’ ‘Ulumuddin:

فكم من محدث حسن كما قيل في إقامة الجماعات في التراويح إنها من محدثات عمر رضي الله عنه وأنها بدعة حسنة. إنما البدعة المذمومة ما يصادم السنة القديمة أو يكاد يفضي إلى تغييرها

“Maka, betapa banyak perbuatan baru yang baik, sebagaimana dikatakan tentang berjamaahnya shalat tarawih, itu adalah di antara perbuatan barunya Umar Radhiallahu ‘Anhu, dan itu adalah bid’ah hasanah. Sesungguhnya bid’ah tercela itu hanyalah apa-apa yang bertentangan dengan sunah terdahulu atau yang membawa kepada perubahan terhadap sunah.” (Imam Al Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin,  1/286, Mawqi’ Al Warraq)

Demikian. Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Penjelasan Kalimat: Bid’ah Lebih Dicintai Oleh Iblis

 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz ijin bertanya apakah riwayat tentang perkataan sufyan atsauri ini shahih ” bid’ah itu lebih di cintai iblis ketimbang maksiat dst…”
Mohon penjelasannya ustadz

Jazakallahu khairan


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bunyinya:

البدعة أحب إلى إبليس من المعصية، فإن المعصية يُتاب منها، والبدعة لا يُتاب منها

“Bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada maksiat, karena maksiat bisa ditaubati, sedangkan bid’ah tidak (karena dianggap bagian dari agama).” (Dikutip Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahafan, 1/70)

Bid’ah yg dimaksud tentunya bid’ah yg benar-benar bid’ah dan jelas bid’ahnya. Seperti thawaf di kuburan, menyebut Al Quran adalah makhluk, mengubah rukun Islam dan rukun iman.

Bukan sesuatu yang dituduh bid’ah, padahal itu sunnah menurut ulama lainnya seperti qunut subuh, dzikir dikeraskan setelah shalat, dsb.

Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Perhatikan Ujungnya!

 “Ada orang yang biasa melakukan amalan ahli surga, sampai jarak dirinya dan surga tinggal sehasta lagi” kata Rasulullah ﷺ, “tapi dia kesusul oleh catatan takdirnya, di akhir hayatnya melakukan amalan ahli neraka, maka dia masuk neraka.” Hadits ini shahih, Bukhari dan Muslim, dari jalur Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu.

Di kesempatan lain, ada seorang mujahid yang gagah berani memerangi kaum musyrikin, namun mujahid itu mengalami terluka parah akhirnya dia mengakhiri hidupnya sendiri dengan menghujamkan pedang ke tubuhnya. Dia mati bunuh diri padahal sebelumnya begitu heroik. Lalu Rasulullah ﷺ mengatakan: “Siapa yang ingin melihat ahli neraka maka lihatlah orang ini” , lalu Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا

“Sesungguhnya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya, ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sesungguhnya (hasil) amalan itu tergantung pada penutupnya.” (HR. Bukhari no. 6493)

Rasulullah ﷺ mengatakan:

لا عليكم أن لا تعجبوا بعمل أحد حتى تنظروا بم يختم له، فإن العامل يعمل زمانا من عمره أو برهة من دهره بعمل صالح لو مات عليه دخل الجنة، ثم يتحول فيعمل عملا سيئا.

Tidak masalah bagi kalian untuk tidak kagum terhadap amal seseorang sampai kalian melihat bagaimana akhirnya, Sebab, seseorang bisa saja beramal shaleh dalam waktu tertentu dari umurnya atau dalam sebagian masa hidupnya, yang jika ia mati dalam keadaan itu maka ia akan masuk surga. Namun ia kemudian justru berubah dan melakukan amal yang buruk. (HR. Ahmad, dari jalan Anas, dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Lihat Fathul Bari, 11/487)

Semua ini menunjukkan betapa penting akhir perjalanan hidup .. akhir sebuah amal .. apakah Allah Ta’ala menerima, menolak, menjadikan sebab surga atau neraka tergantung akhirnya.

Oleh karenanya, Imam Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan:

إنَّ صلاحَها وفسادَها وقَبُولَها وعدمَه بحسب الخاتمة

Sesungguhnya kebaikan amal-amal tersebut, kerusakannya, diterima atau tidaknya, tergantung bagaimana akhirnya. (Jami’ al ‘Ulum wal Hikam, 3/10)

Imam Ath Thibrizi mengatakan:

العمل السابق ليس بمعتبر، وإنما المعتبر العمل الذي ختم به، وهذا فيه حث على المواظبة على الطاعات ومحافظة الأوقات عن المعاصي؛ خوفاً من أن يكون ذلك آخر عمله، كما فيه زجر عن العجب والتفرح بالأعمال؛ فإنه لا يدري ماذا يصيبه في العاقبة

Amal yang telah lalu tidaklah dianggap, yang dianggap adalah amal yang seseorang akhiri dengannya. Dalam hal ini terdapat dorongan untuk terus-menerus melakukan ketaatan dan menjaga waktu dari perbuatan maksiat, karena dikhawatirkan itu akan menjadi amal terakhirnya. Selain itu, terdapat peringatan agar tidak terjerumus dalam perasaan bangga dan gembira berlebihan terhadap amal yang telah lalu dilakukan, sebab seseorang tidak mengetahui bagaimana akhirnya kelak. (Mir’ah Al Mafatih Syarh Misykah al Mashabih, 1/419)

Maka, di ujung Ramadhan ini, teruslah berlari, semakin kuat, tilawahnya dan shalatnya, tampakkan kesedihan dan kerinduan saat berpisah dengan Ramadhan …

Bukan semakin melemah dan menghilang dari jalan ketaatan, serta kegirangan dengan kepergian Ramadhan..

Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Shalawat Lebih Wajib Daripada Shalat?

 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaykum Ustadz, bagaimana tentang pendapat ini?

https://mantrasukabumi.pikiran-rakyat.com/khazanah/pr-203242057/buya-arrazy-hasyim-sebut-baca-sholawat-lebih-wajib-daripada-sholat-simak-penjelasannya.

JazaakAllaahu khair

 JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah..

Shalawat kepada nabi memiliki keutamaan yang banyak dan besar, dan tidak patut seorang muslim meremehkannya. Namun menganggapnya lebih wajib dari pada shalat lima waktu tentu ini juga tidak benar.

Alasan yang beliau kemukakan adalah retorika kaum sufi -bukan cara berpikir ahli fikih- bahwa shalat tidak diterima jika tidak ada shalawat, dan shalawatlah yang menjadi kendaraan shalat agar sampai kepada Allah Ta’ala.

Jika maksudnya shalawat kepada nabi lebih utama dibanding shalat wajib yang 5, Pemahaman ini keliru juga tidak dikenal dikalangan ulama, sebab logika seperti itu akan membuat orang akan berkata “Kalo gitu Wudhu lebih utama dibanding shalat, sebab Allah tidak menerima shalat seseorang tanpa wudhu”, akhirnya pemahaman-pemahaman ini bisa disalahgunakan: lebih baik shalawat saja atau wudhu saja walau tanpa shalat.

Dari sisi pendekatan hukum juga tidak bisa diterima:

– Shalawat adalah kewajiban sekali saja seumur hidup, seperti yg dikatakan Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya:

لا خلاف في أن الصلاة عليه فرض في العمر مرة، وفي كل حين من الواجبات

Tidak ada perselisihan pendapat bahwa shalawat kepada nabi adalah wajib sekali seumur hidup dan di setiap momen2 yang wajib.

– Di antara momen yang wajib adalah saat tasyahud akhir, itu pun hanya pendapat sedikit ulama seperti Imam Asy Syafi’i. Mayoritas ulama mengatakan shalawat di dalam shalat adalah sunnah baik tasyahud awal dan akhir. Bahkan Ibnul Qayyim -dalam Jala’ul Afham- mengatakan dalam hal ini Imam Asy Syafi’i sendirian dalam pendapatnya itu.

– Shalawat bukan rukun Islam

– Shalawat wajib dalam Seumur hidup sebanyak satu kali maka jika sudah melakukannya sekali, dia sunnah melakukannya di waktu-waktu lainnya dan tidak berdosa jika tidak melakukannya, namun tapi tidak patut seorg muslim meninggalkan shalawat kepada nabinya.

Ada pun shalat wajib yang 5:

– Rukun Islam

– Pembeda muslim dan kafir

– Jika tidak melakukannya karena malas walau masih meyakini wajib maka dinilai sebagai dosa besar, menurut jumhur adalah fasik. Sebagian mengatakan kafir seperti Nafi’, Atha’, Ibnu Uyainah, umumnya ahli hadits, juga Imam Ahmad bin Hambal.

– Shalat adalah yang pertama kali akan diperiksa pada hari kiamat

– Orang yang tidak shalat diancam dengan neraka saqor, sebagaimana Al Muddatsir 42-43

– Kewajiban shalat ditetapkan saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ke langit (mi’raj) sedangkan ibadah lainnya saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di bumi.

Semua kedudukan ini tidak kita dapatkan pada kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam Al Mausu’ah:

لِلصَّلاَةِ مَكَانَةٌ عَظِيمَةٌ فِي الإِْسْلاَمِ. فَهِيَ آ كَدُ الْفُرُوضِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَأَفْضَلُهَا، وَأَحَدُ أَرْكَانِ الإِْسْلاَمِ الْخَمْسَةِ …. فَالصَّلاَةُ عَمُودُ الدِّينِ الَّذِي لاَ يَقُومُ إِلاَّ بِهِ

Dalam Islam, Shalat memiliki kedudukan yang sangat agung, dia adalah kewajiban yang paling ditekankan setelah dua kalimat syahadat dan YANG PALING UTAMA, dan salah satu rukun Islam yang lima.. shalat adalah tiang agama yang mana agama tidaklah tegak kecuali dengannya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 27/51)

Syaikh Abdurrahman Al Juzairi mengatakan:

أما الصلاة فهي أهم أركان الدين الإسلامي؛ فقد فرضها الله سبحانه على عباده ليعبدوه وحده، ولا يشركوا معه أحداً من خلقه في عبادته، … وقد وردت أحاديث كثيرة في تعظيم شأن الصلاة، والحث على أدائها في أوقاتها

Ada pun shalat, adalah rukun Islam yang PALING PENTING (UTAMA) dalam agama Islam, Allah Ta’ala telah mewajibkan atas hamba-hambaNya agar menyembah kepadaNya semata, dan tidak menyekutukanNya dengan apa pun di antara makhlukNya, … hadits-hadits yang menceritakan keagungan shalat begitu banyak dan dorongan untuk menunaikannya pada waktu-waktunya (juga banyak).

(Al Fiqhus ‘al all Madzahib Al Arba’ah, 1/157)

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

وللصلاة في الاسلام منزلة لا تعدلها منزلة أية عبادة أخرى، فهي عماد الدين الذي لا يقوم إلا به

Dalam Islam, Shalat memiliki kedudukan yang tidak bisa disetarakan dengan ibadah apa pun yang lainnya, shalat adalah tiang agama yang mana agama tidaklah tegak kecuali dengannya. (Fiqhus Sunnah, 1/90)

Ada pun jika maksudnya SHALAWAT LEBIH WAJIB DIBANDING SHALAT SUNNAH, maka tentu lain lagi pembahasannya. Shalawat yang wajib sekali seumur hidup jelas lebih utama, namun untuk shalawat-shalawat yang sunnah muakkadah hendaknya jangan dibenturkan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya.

Demikian. Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top