PERTANYAAN:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Ustadz Farid, semoga Ustadz selalu dalam keadaan sehat dan penuh barokah.. .. Aamiin Yaa Rabbal’alamiin.. afwan Ustadz mohon pencerahannya..
Mengenai hukum zihar di surat Al-Mujadillah ayat 1-6.
Seperti kita yakini bahwasanya Qur’an adalah petunjuk untuk semua manusia sepanjang masa.
Setelah saya coba pelajari di beberapa tafsir sepertinya kasus zihar lebih dekat kepada adat/budaya Arab.
Dimana ungkapan dari seorang suami (Aus bin Shanit bin Qais) kepada istrinya (Khaulah binti Tsalabah) bahwa istrinya adalah seperti (punggung) Ibunya (ibunya Aus). Konsekuensinya di tradisi jahiliyah Arab adalah bahwa si istri haram dicampuri setelah itu sepanjang masa.
Padahal situasi utamanya “hanyalah” sebuah ungkapan emosional sesaat sebagai reaksi si suami ketika menghadapi keberatan sang istri untuk melayani permintaan suaminya untuk berjimak.
Kemudian perdebatan ini meluas sampai harus mengetuk pintu langit sehingga berlanjut sampai ditetapkannya penetapan hukum baru terhadap ungkapan zihar (yang berbeda/meluruskan tradisi arab jahiliyah) dan kafarat terhadap orang yang menyampaikan pernyataan zihar.
Nah, untuk masyarakat kita atau bangsa lain yang tidak punya tradisi zihar, kira2 pelajaran apa yang bisa kita dapatkan untuk dijadikaan pedoman hidup?
Kira² kalau di masyarakat kita, ungkapan apa ya mungkin bisa setara dengan ungkapan zihar itu? Kadang sering mendengar, ungkapan suami ketika agak jengkel dengan istrinya dengan ucapan: “.. saya pulangin lho.. saya pulangin lho..” (maksudnya ke rumah orang tua perempuan)..
Apakah hal itu sudah bisa terkena kafarah setara zihar?
Demikian Ustadz. Mohon pencerahannya. Jazakumullah ahsanal jaza’, wassalam.. (+62 857-7303-xxxx)
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh
Zhihar adalah kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah, dan mereka memandang itu hal biasa tanpa konsekuensi. Islam datang mengkoreksinya dan menganggap itu perbuatan keliru, mendeskreditkan perempuan, dan memiliki konsekuensi. Konsekuensi tersebut terlarang menggaulinya karena dia menyamakan istri dengan kedudukan ibunya sendiri, dan wajib kafarat untuk bebas dari hal itu.
Namun, zhihar sendiri tidak sederhana. Tidak setiap kalimat “Kau seperti ibuku” adalah zhihar. Para Fuqaha mensyaratkan adanya niat dan maksud zhihar di dalamnya.
Jika kalimat tersebut bermaksud memuliakan, menghormati, maka itu bukan zhihar sehingga tidak ada konsekuensi. Hal ini berdasarkan kaidah al Umuuru bimaqaashidiha (perkara dinilai berdasarkan maksudnya).
Di saat larangan zhihar menjadi aturan dalam AlQuran maka itu sudah tidak lagi sebagai mengatur orang-orang Arab, tapi menjadi terikat bagi semua umat Islam. Sebab, sebuah pelajaran bukan karena semata-mata kekhususan sebabnya, tapi karena makna lafaznya yang berlaku umum.
Perkataan “saya pulangin lho…” itu sama sekali bukan zhihar, seperti penjelasan di atas zhihar itu perkataan suami ke istrinya: “Kamu seperti ibuku”, atau ” Kamu adalah ibuku” atau “punggungmu seperti punggung ibuku”.. dengan niat menzhihar..
Zhihar diambil dari kata Zhahr, yang artinya punggung..
Demikian. Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan