Daftar Isi
PERTANYAAN:
Ustadz… Saya mau bertanya, apakah itu nafkah iddah. Nafkah madiah. Nafkah mut’ah’?…,
JAWABAN
1. Nafkah Iddah:
Nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istri yang ditalak ketika selama masa ‘iddahnya, selama talaknya belum bain (belum talak tiga). Dalilnya:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُم مِّن وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (istri-istri yang ditalak) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai kemampuanmu.”
(QS. ath-Thalaq: 6)
Ayat ini menunjukkan istri yang ditalak (1 dan 2) masih bersama suaminya di rumah, otomatis masih mendapatkan nafkah di masa iddah. Di masa iddah, istri belum boleh dilamar dan nikah dengan yg lain.
Jika masa iddah selesai, dan mereka tidak rujuk, maka nafkah iddah berakhir, istri berhak nikah lagi dgn laki-laki yg lain.
2. Nafkah Madhiyah
Yaitu nafkah di masa lalu (Madhi) yang tidak diberikan suami. Suami yang tidak menafkahi istrinya maka itu jadi utang suami ke istrinya.
Dalilnya:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْبَاهِلِيِّ الْقُشَيْرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: «أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلا تَضْرِبَ الْوَجْهَ، وَلا تُقَبِّحْ، وَلا تَهْجُرْ إِلا فِي الْبَيْتِ»
Dari Hakim bin Mu‘awiyah al-Bahili al-Qusyairi, dari ayahnya, ia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami atas suaminya?”
Beliau ﷺ bersabda:
“Engkau (suami) memberi makan kepadanya apabila engkau makan, engkau memberinya pakaian apabila engkau berpakaian. Jangan engkau memukul wajahnya, jangan engkau mencela (merendahkan) dirinya, dan jangan engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah.” (HR. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 9/160)
Tentang hadits ini, Imam Al Baghawi mengutip dari Imam Al Khathabi sbb:
في هذا إيجاب النفقة والكسوة لها ، وهو على قدر وسع الزوج ، وإذا جعله النبي ( صلى الله عليه وسلم ) حقا لها ، فهو لازم حضر ، أو غاب ، فإن لم يجد في وقته ، كان دينا عليه كسائر الحقوق الواجبة ، سواء فرض لها القاضي عليه أيام غيبته ، أو لم يفرض
Dalam hal ini terdapat kewajiban nafkah dan pakaian bagi istri, sesuai dengan kemampuan suami. Ketika Nabi ﷺ menetapkannya sebagai hak istri, maka kewajiban itu tetap berlaku baik suami hadir maupun sedang pergi. Jika pada waktunya suami tidak mampu menunaikannya, maka kewajiban itu menjadi UTANG baginya sebagaimana hak-hak wajib lainnya, baik hakim telah menetapkan nafkah untuknya selama masa ketidakhadirannya ataupun belum menetapkannya.
(Syarhus Sunnah, jilid. 9, hal. 160)
3. Nafkah Mut’ah
Yaitu hadiah dari suami ke istri yang dicerai oleh suaminya, sebagai penghibur hati dan bentuk kebaikan setelah perceraian. Istilah Nafkah Mut’ah tidak ada kaitan sama sekali dengan nikah mut’ah.
Dalilnya:
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Dan bagi wanita-wanita yang ditalak, hendaklah diberikan mut‘ah dengan cara yang patut, sebagai kewajiban bagi orang yang bertakwa.”
(QS. al-Baqarah: 241)
Nafkah Mut’ah ini disunnahkan / dianjurkan kuat, sebagian ulama (terutama Syafi‘iyyah dan Hanabilah) mengatakan wajib bagi yang mentalak tanpa alasan kuat.
Bentuknya bisa uang, pakaian, perhiasan, atau barang lainnya sesuai kemampuan suami.
Wallahu A’lam
✍ Farid Nu’man Hasan