Bayi yang Wafat Bagaimana Kondisinya di Akhirat?

Pertanyaan 1

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustad Afwan izin bertanya.apakah bayi usia 1 tahun meninggal di hisab juga apa engga ?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Anak kecil yang belum baligh dan dia wafat, maka dia masih berada dalam fitrahnya, yaitu wafat dalam Islam, dan tanpa hisab dan langsung ke surga. Sebab, beban syariat belum ditanggung olehnya. Tidak mungkin anak-anak yang belum tahu apa-apa itu dihisab.

Allah Ta’ala beriman:

وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

Rabbmu tidaklah menzalimi siapa pun (QS. Al Kahfi: 49)

Para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat anak kecil yang wafat dalam keadaan blm baligh, dia lgsung masuk surga.

اتفق أهل العلم على أن مصير أطفال المسلمين – إذا ماتوا بعد نفخ الروح وقبل البلوغ – هو الجنة ، كرامةً من الله تعالى لهم ولآبائهم ، ورحمةً منه سبحانه الذي وسعت رحمته كل شيء

Para ulama sepakat bahwa anak kecil kaum muslimin yg setelah kehidupannya sejak ditiupkan ruh dan wafat sebelum baligh, Maka dia di surga. Itu merupakan kemuliaan dari Allah atas keislaman ayah-ayah mereka. Itu adalah Rahmat dariNya yang begitu luas atas segala hal. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 117432)

Wallahu A’lam


Pertanyaan 2

✉️❔PERTANYAAN:

Ustad izin bertanya.apakah benar jika Di dunia bayi meninggal tapi pas di akhirat udah gede ?mohon penjelasannya ustad ?

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim

Ya, di surga usia penghuninya kisaran 30-33 tahun

يَدْخُلُ أَهْلُ الجَنَّةِ الجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ أَبْنَاءَ ثَلَاثِينَ أَوْ ثَلَاثٍ وَثَلَاثِينَ سَنَةً

Penduduk surga akan masuk surga dalam keadaan jurdan (tidak berbulu), murdan (tidak berjenggot), bercelak, di usia 30 atau 33 tahun.

(HR. Ahmad 7920, At Tirmidzi 2545. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan: isnadnya Shahih)

Baik yg di dunia wafat dalam keadaan tua, muda, remaja, anak kecil, bayi, .. semua dalam usia kisaran 30 atau 33.

Mereka saling mengenal kerabatnya, keluarganya, ayah kepada anak dan sebaliknya, suami kepada istri dan sebaliknya .., semua dgn mudah. Allah Ta’ala yg memudahkan.

Demikian. Wallahu a’lam

Farid Nu’man Hasan

Status Hadits “Mengajari Anak Kebaikan Lebih Baik Dari Sedekah Satu Sha'”

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bismillahirrahmanirrahim. Bagaimana dengan status hadits ini ustadz? Seandainya dhaif, apakah boleh diamalkan? Terimakasih

Dari Jabir bin Samurah ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: “Seseorang yang mengajari anaknya tentang kebaikan adalah lebih baik baginya daripada ia bersedekah sebanyak satu sha’.”
(HR. at-Tirmidzi: 1874)

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Sanad hadits tersebut:

1. Qutaibah bin Sa’ id

Dia seorang al haafizh, tsiqah dan ‘alim, ahli haditsnya khurasan. (Tadzkiratul Huffazh, jilid. 2, hal. 26). Adz Dzahabi berkata: Dia syaikhul Islam, ahli hadits, seorang imam dan tsiqah. (Siyar A’ lam an Nubala, jilid. 9, hal. 86)

2. Yahya bin Ya’ la Al Aslami

Dia didha’ifkan para ulama. Al Bukhari berkata: mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim: dha’if (Mizanul I’tidal, jilid. 4, hal. 415)

3. Nashih bin Al’ Ala

Para ulama mendhaifkan dia. An Nasa’i dan lainnya mengatakan: dha’if. Bukhari berkata: munkarul hadits (haditsnya munkar). Al Falas berkata: matruk (haditsnya dibiarkan). Ibnu Ma’in berkata: laisa bisy syai’ (bukan apa-apa), juga berkata: tidak tsiqah. (Mizanul I’tidal, jilid. 4, hal. 240)

4. Simak bin Harb

Beliau diperselisihkan para imam. Beliau dinilai dha’if oleh Ahmad, Syu’bah, Sufyan, Ibnu ‘Ammar, dan Ibnul Mubarak. Namun dinilai tsiqah, oleh Ibnu Abi Hatim, An Nasa’ i, dan Adz Dzahabi. (Siyar A’lam An Nubala, jilid. 2, hal. 232-233, Tahdzibut Tahdzib, jilid. 4, hal 234)

5. Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu

Jadi, hadits ini dha’if karena ada tiga perawi yang bermasalah.

Sementara Ash Shaghani mengatakan: maudhu’ (palsu). (Kasyful Khafa, jilid. 2, hal. 151)

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Mendoakan Husnul Khatimah Untuk Mayit

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalaamualaikum..Afwan ustadz..terkait do’a atau Kata..Husnul Khotimah bagi mayit…apakah itu salah tadz..?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak terlarang mendoakan husnul khatimah, kepada mayit muslim yang baik-baik, dengan wafat yang baik pula. Hal itu sesuai keumuman dalil anjuran mendoakan sesama muslim baik yang hidup dan mati dengan doa yang baik.

“Melarang” itu butuh dalil, tidak boleh sembarang melarang. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mencontohkan berdoa disaat wafatnya Abu Salamah wafat, agar Abu Salamah ditinggikan derajatnya. (HR. Muslim), padahal hidup dia sudah berakhir. Aktifitas memperbaiki diri, meninggikan derajat, memang sudah off. Tapi, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tetap mendoakan sahabatnya agar ditinggikan derajatnya dengan doa Allahummarfa’ darajatahu fil mahdiyyin …

Imam Al ‘Aini menyebutkan:

إِحْسَان الظَّن بِاللَّه عز وَجل وبالمسلمين وَاجِب

Berbaik sangka kepada Allah dan kepada kaum muslimin adalah wajib. (‘Umdatul Qaari, 20/133)

Mendoakan husnul khatimah adalah salah satu wujud baik sangka dan harapan baik kepada sesama muslim. Kecuali bagi mereka yang wafatnya dalam keadaan zalim dan maksiat seperti wafat saat zina, mabuk, merampok..

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Dakwah dan Budaya

عن عائشة أنها زفت امرأة إلى رجل من الأنصار فقال نبي الله-صلى الله عليه وسلم-: “يا عائشة، ما كان معكم لهو، فإن الأنصار يعجبهم اللهو”

Dari ‘Aisyah, bahwa dia menikahkan seorang wanita kepada laki-laki Anshar. Nabi ﷺ berkata: “Wahai ‘Aisyah, kenapa tidak ada hiburan, karena orang Anshar itu suka hiburan” (HR. Bukhari no. 5162)

Beberapa pelajaran:

Pada hadits ini menunjukkan Rasulullah ﷺ memiliki kemampuan memahami budaya masyarakatnya.

Beliau bukanlah orang Anshar (Madinah), tapi Mekkah (Muhajirin), namun Beliau mengenali dengan baik budaya orang Anshar yang suka Al Lahwu (hiburan, nyanyian, permainan), dan Beliau menghargai hal itu.

Hal itu ditunjukkan oleh keheranan Beliau atas pesta pernikahan Anshar yang sepi dari Al Lahwu, padahal kaum Anshar menyukainya.

Peristiwa ini menunjukkan pentingnya bagi seorang muslim apalagi aktivis dakwah, untuk ma’rifatul maidan (mengenal lingkungan) dalam dakwahnya.

Tentu budaya yang dimaksud adalah yang baik dan positif, maka tetap menghargai bahkan ikut menjaganya. Bahkan bisa menjadikannya sbg mimbar untuk nasyrul khair (menyebarkan kebaikan).

Ada pun budaya yang menyimpang, baik secara aqidah, ibadah, akhlak, dan pemikiran, tentu ini mesti diperbaiki dengan cara efektif dan hati-hati.

Di sisi lain, hadits ini menjadi dalil bagi para ulama bolehnya hiburan (nyanyian, permainan) yang baik-baik, pada acara yang baik-baik pula.

Imam Ibnu Baththal menjelaskan:

اتفق العلماء على جواز اللهو فى وليمة النكاح، مثل ضرب الدف وشبهه ما لم يكن محرمًا وخصت الوليمة بذلك ليظهر النكاح وينتشر فتثبت حقوقه وحرمته

“Para ulama sepakat atas dibolehkannya al-lahwu (hiburan, nyanyian, permainan) dalam pesta pernikahan, seperti memukul rebana dan semisalnya, selama tidak mengandung hal yang haram. Dikhususkannya pesta pernikahan dalam hal lahwu bertujuan agar pernikahan menjadi nampak dan tersebar luas, sehingga dapat memenuhi hak-haknya dan kehormatannya.” (Syarh Shahih Al Bukhari, 7/279-280)

Hal ini sejalan dengan hadits shahih lainnya. Ar Rubayyi binti Mu’awidz Radhiallahu ‘Anha bercerita:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ

Pada hari pernikahanku Rasulullah ﷺ datang, dia duduk di permadaniku ini, aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang memainkan rebana, mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika terbunuh dalam perang Badar, maka mereka menyanyikan, “Di tengah kita ada seorang nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ucapan yang ini, janganlah kalian berdua ucapkan.” (HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 44/570)

Karena itulah, Syakh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah mengatakan:

فلا يحرم سماع صوت المرأة ولو مغنية، إلا عند خوف الفتنة

Maka, tidaklah diharamkan mendengarkan suara wanita walau wanita penyanyi kecuali jika khawatir terjadinya fitnah (syahwat). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/116)

Juga sejalan dengan hadits lainnya yg shahih. Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتَُذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ
فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan peperangan, ketika sudah kembali datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan memainkan REBANA dan  BERNYANYI di hadapanmu.” Rasulullah bersabda, “Jika engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya.” Maka wanita itu pun memainkan rebananya, lalu masuklah Abu Bakar dia masih memainkannya. Masuklah Ali dia masih memainkannya. Masuklah Utsman dia masih memainkannya. Lalu ketika Umar yang masuk, dibantinglah rebana itu dan dia duduk (ketakutan). Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Umar syetan saja benar-benar takut kepadamu, ketika aku duduk dia memukul rebana, ketika Abu Bakar masuk dia amsih memainkannya, ketika Ali datang dia masih memainkannya, ketika Utsman datang dia masih memainkannya, tapi ketika Engkau yang datang dia lempar rebana itu.  (HR. At Tirmdzi No. 3690, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)

Imam Ali Al-Qari Rahimahullah mengomentari kisah ini:

دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ

Ini merupakan dalil bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada fitnah. (Mirqah Al-Mafatih, 9/3902)

Namun masalah nyanyian dengan musik, baik suara laki-laki maupun wanita, walau dengan isi nasyid (syair) yang baik-baik adalah perkara pro kontra dalam fiqih para ulama sejak masa salaf dan khalaf. Ini kenyataan yang mesti diakui fakta dan eksistensinya dengan lapang dada oleh kedua pihak dengan mengedepankan adabul ikhtilaf.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top