Agar Allah Ta’ala Turunkan Keberkahan Kepada Negeri Kita

💢💢💢💢💢💢💢

Allah Ta’ala berfirman:

{ وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ }

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan.

[Surat Al-A’raf: 96]

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

📌 Ayat ini menjelaskan, bahwa Iman dan Taqwa adalah sebab utama melimpahnya keberkahan dari langit dan bumi, baik udaranya, tanahnya, tumbuhannya, buah-buahannya, lautnya, airnya, sinar mataharinya, hujannya, semuanya berkah.

📌 Iman yang dimaksud adalah iman dengan sebenar-benarnya Iman, yaitu meyakini Allah Ta’ala satu-satunya pencipta, pemberi rezki, yang maha menghidupkan dan mematikan, dan maha pengatur kehidupan, tiada sekutu bagi-Nya, baik sekutu dari kalangan Jin dan Manusia, baik dukun, ahli sihir, atau pawang-pawang dusta.

📌 Taqwa, didefinisikan Ibnu Mas’ud sbb:

أن يُطاع فلا يُعْصَى، وأن يُذْكَر فلا يُنْسَى، وأن يُشْكَر فلا يُكْفَر

Yaitu taat dan tidak melanggar, ingat dan tidak lupa, bersyukur dan tidak kufur. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/86-87. Dar Ath Thayyibah)

📌 Namun, jika sebaliknya… penduduk negeri itu mendustakan ayat-ayatNya, mendustakan ajaran rasulNya, maka yang turun kepada mereka adalah hukuman dan siksa dari Allah Ta’ala, bukan keberkahan.

📌 Ini adalah pelajaran bagi manusia zaman ini. Bagi mereka yg bertekad kuat menjadikan negerinya negeri yang berkah dan baldatun thayyibatun ghafur, hendaknga mereka menjadikan tauhid lurus, iman, dan taqwa sebagai landasan.

📌 Maka Jauhi kesyirikan, jangan melembagakan dan membudayakan aktivitas klenik, sebab syirik dan klenik bukan budaya (Islam).

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷🍀🍁🌻🍃🌸🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Ditraktir, Dihadiahi, Atau Transaksi Dengan teman atau tetangga yang pekerjaannya haram, bolehkah menerimanya?

▫▫▫▫▪▪▪▪

Bismillah al Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Dalam pertemanan atau hidup bertetangga adalah hal yang wajar dan biasa jika kita ditraktir atau diberikan hadiah. Kadang hadiah itu berupa barang atau makanan. Lalu bagaimana sikap kita jika pekerjaan dia diketahui berasal dari jenis pekerjaan yang haram, seperti aktifitas yang bergelimangan riba, pabrik minuman keras, atau lainnya?

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

وأما المحرم لكسبه فهو الذي اكتسبه الإنسان بطريق محرم كبيع الخمر ، أو التعامل بالربا ، أو أجرة الغناء والزنا ونحو ذلك ، فهذا المال حرام على من اكتسبه فقط ، أما إذا أخذه منه شخص آخر بطريق مباح فلا حرج في ذلك ، كما لو تبرع به لبناء مسجد ، أو دفعه أجرة لعامل عنده ، أو أنفق منه على زوجته وأولاده ، فلا يحرم على هؤلاء الانتفاع به ، وإنما يحرم على من اكتسبه بطريق محرم فقط

“Harta haram yang dikarenakan usaha memperolehnya, seperti jual khamr, riba, zina, nyanyian, dan semisalnya, maka ini haram hanya bagi yang mendapatkannya saja. Tapi, jika ada ORANG LAIN yang mengambil dari orang itu dengan cara mubah, maka itu tidak apa-apa, seperti dia sumbangkan untuk membangun masjid dengannya, bayar gaji pegawai, nafkah buat anak dan istri, hal-hal ini tidak diharamkan memanfaatkan harta tersebut. Sesungguhnya yang diharamkan adalah bagi orang mencari harta haram tersebut.” [1]

Sebagian salaf pun membolehkan menerima “traktiran” dari orang yang penghasilannya haram. Menurut mereka, keharaman itu berlaku bagi pemiliknya saja.

Imam Al Baihaqi Rahimahullah meriwayatkan:

عَنْ رَبِيعِ بْنِ عَبْدِ اللهِ , سَمِعَ رَجُلًا , سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ: إِنَّ لِي جَارًا يَأْكُلُ الرِّبَا , أَوْ قَالَ: خَبِيثُ الْكَسْبِ , وَرُبَّمَا دَعَانِي لِطَعَامِهِ أَفَأُجِيبُهُ؟ , قَالَ: ” نَعَمْ “

Dari Rabi’ bin Abdillah mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar: “Saya memiliki tetangga yang memakan riba –atau dia berkata: penghasilannya kotor, bagaimana jika dia mengundang saya makan, apakah saya penuhi?” Ibnu Umar menjawab: “Ya.” [2]

Imam Abdurrazzaq Rahimahullah meriwayatan:

عَنْ ذَرِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: جَاءَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: إِنَّ لِي جَارًا يَأْكُلُ الرِّبَا، وَإِنَّهُ لَا يَزَالُ يَدْعُونِي، فَقَالَ: «مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ»

Dari Dzar bin Abdillah, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud lalu dia berkata: “Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering mengundangku untuk makan.” Ibnu Mas’ud menjawab; Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia.” [3]

Imam Abdurrazzaq Rahimahullah juga meriwayatkan:

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ: «إِذَا كَانَ لَكَ صَدِيقٌ عَامِلٌ، أَوْ جَارٌ عَامِلٌ، أَوْ ذُو قَرَابَةٍ عَامِلٌ، فَأَهْدَى لَكَ هَدِيَّةَ أَوْ دَعَاكَ إِلَى طَعَامٍ، فَاقْبَلْهُ، فَإِنَّ مَهْنَأَهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ»

Dari Salman Al Farisi, dia berkata: “Jika sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! Sesungguhnya, kamu dapat enaknya, dan dia dapat dosanya.” [4]

Namun, sikap di atas bukan satu-satunya sikap. Ada pula yang berhati-hati tetap menghindarnya. Sebagaimana sikap Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, saat memuntahkan lagi makanan yang sudah dimakannya, ketika dia tahu bahwa itu berasal dari cara yang haram. Kisah ini terkenal, diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya.

Sikap berhati-hati juga merupakan sikap yang dituntun Sunnah Rasulullah ﷺ :

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ

“Barangsiapa yang menghindar dari yang samar (syubhat) maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya.” [5]

Ditambah lagi jika muncul keraguan dalam diri kita, maka sebaiknya tinggalkan yang ragu itu. Rasulullah ﷺ bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ

“Tinggalkan apa-apa yang kamu ragukan, dan beralihlah kepada apa-apa yang tidak kamu ragukan.” [6]

Kesimpulan:

– Ada dua sikap para ulama tentang masalah ini, yaitu boleh menerima dan menikmatinya, dan dosanya dikembalikan kepada orang yang menghasilkan harta haram tersebut.

– Sikap lainnya adalah menolaknya sebagai bentuk kehati-hatian.

Demikian. Wallahu a’lam.

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid, Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 75410

[2] Imam Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, no. 10823

[3] Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf no. 14675

[4] Ibid, no. 14677

[5] HR. Muttafaq ‘Alaih, dari An Nu’man bin Bisyr Radhiallahu ‘Anhu

[6] HR. Ahmad no. 1723. Dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib A Arnauth, dan lainnya.

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Sudah Nishab, Sudah Haul? Zakatlah!

💢💢💢💢💢💢💢💢

Zakat adalah kewajiban yang “tidak menarik” buat sebagian orang, karena mereka merasa hartanya berkurang. Padahal zakat salah satu rukun Islam. Bahkan sebagian salaf menjadikan zakat sebagai sebab diterimanya shalat seseorang, yaitu bagi mereka yang memang memiliki harta yang sudah wajib zakat.

Ibnu Zaid Rahimahullah berkata:

افترض الله الصلاة والزكاة وأبى أن يفرق بينهما وأبى أن يقبل الصلاة إلا بالزكاة

Allah Ta’ala mewajibkan shalat dan zakat, dan menolak memisahkan keduanya, serta menolak untuk menerima shalat kecuali dengan zakat.

Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أمرتم بالصلاة والزكاة فمن لم يزك فلا صلاة له

Kalian diperintahkan shalat dan zakat, maka siapa yang tidak berzakat tidak ada shalat baginya.

(Tafsir Al Qurthubi, 8/81)

Kata orang-orang “harta tidak dibawa mati”, ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab, ada harta yang tetap kita bawa mati yaitu sedekah yang kita lakukan baik sedekah wajib (seperti zakat) dan sedekah sunnah. Bahkan ini merupakan cara cerdas melanggengkan nilai amal sampai kehidupan setelah kematian.

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Bertanya Agama Kepada Google

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Apakah boleh kita bertanya tentang tata cara atau apapun tentang ibadah ke google bukan pada ustadz? Muhamad, Banten

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Bertanya kepada ahli ilmu adalah salah satu sarana untuk mencari ilmu atau menyelesaikan suatu persoalan. Sebagaimana perintah Allah Ta’ala:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون

“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43)

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب

Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108)

Dahulu, manusia bertanya dengan cara mendatangi ulama ke majelisnya atau rumahnya. Memang belum ada alternatif lainnya.

Zaman berubah, manusia bertanya kod ulama, atau forum ulama, dengan berbagai fasilitas yang memudahkan. Sebelum zaman internet mereka bertanya lewat surat, telp, dan faksimil. Jawabannya ada yg dibalas langsung, ada yang dibukukan, atau diterbitkan di majalah. Ketika orang lain membacanya maka manfaatnya semakin luas. Bukan masalah “orang lain” langsung mengambil manfaat dr situ, walau tidak bertanya langsung ke ulama krn persoalan mereka sdh terwakili oleh jawaban tsb.

Lalu di zaman internet, lewat email, lalu dijawab langsung kepada penanya, dan kadang diterbitkan pula di website konsultasi syariah, agar dibaca org banyak dan manfaatnya semakin luas. Di zaman medsos, tanya jawab dengan para ulama pun juga menghiasi medsos, dst.

Maka, ini semua sarana untuk mengetahui jawaban sebagian persoalan. Tidak apa-apa mencarinya lewat search engine seperti google, asalkan yang dia rujuk adalah dari konsultan, ustadz, ulama, yang terpercaya, dan kredibel keilmuannya. Itu tidak beda dengan bertanya langsung.

Ada pun jika niatnya ingin belajar secara intensif, tentu tidak cukup dengan halaman dan tayangan pada google, atau sejenisnya. Hendaknya tetap bermajelis dengan guru baik formal dan informal. Agar terjadi timbal balik, diskusi yang lebih luas dan mendalam, mengurai kesulitan yang didapatkan dari buku atau artikel google, dan keberkahan bermajelis pun juga didapatkan.

Oleh karenanya, Imam Ahmad bin Hambal memberikan nasihat kepada para penuntut ilmu:

إذا كان عند الرجل الكتب المصنفة فيها قول رسول الله – صلى الله عليه وسلم – واختلاف الصحابة والتابعين فلا يجوز أن يعمل بما شاء ويتخير فيقضي به ويعمل به حتى يسأل أهل العلم ما يؤخذ به فيكون يعمل على أمر صحيح.

Jika seseorang memiliki berbagai buku, yang didalamnya terdapat hadits Rasulullah ﷺ, perselisihan para sahabat, dan tabi’in, maka tidak diperkenankan baginya memilih pendapat (semaunya) lalu dia menetapkan perkaranya dengan itu, dan mengamalkannya, sampai dia bertanya dulu kepada ulama ttg apa yang dijadikan olehnya sebagai pegangan itu, agar itu menjadi perkara yang benar.

(Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/35)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top