Tentang Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim Al Jauziah

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz Farid Nu’man Hasan. Smga shy sllu
Ustadz, mohon pencerahannya… Siapa sebenarnya Ibnul Qayyim Al Jauzi dan Ibnul Taimiyah? Dan bagaimna dengan aqidah mereka?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Keduanya adalah ulama besar madzhab Hambali, Ibnu Taimiyah adalah guru, Ibnul Qayyim adalah murid. Para ulama mengakui keunggulan dan kecerdasan mereka, baik ulama yang mendukung pemikirannya atau tidak.

Murid-murid Imam Ibnu Taimiyah adalah para imam besar juga seperti Imam Ibnu Katsir dan Imam Adz Dzahabi, walau kedua ulama ini madzhab fiqihnya adalah Syafi’i.

Sementara Imam Ibnul Qayyim, menghasilkan murid yang hebat yaitu Imam Ibnu Rajab Al Hambali.

Karya mereka berdua sangat banyak dan sampai saat ini masih dijadikan rujukan di dunia Islam.

Jika ada yang menyanjungnya, maka itu hal yang wajar karena keilmuannya yang luas. Sampai para ulama menyebut dirinya Syaikhul Islam.

Imam Baha’uddin bin As Subki berkata:

والله يا فلان ما يبغض ابن تيمية إلا جاهل أو صاحب هوى فالجاهل لا يدري ما يقول وصاحب الهوى يصده هواه عن الحق بعد معرفته به

Demi Allah wahai Fulan, tidak ada yang membenci Ibnu Taimiyah kecuali orang bodoh atau pengekor hawa nafsu. Orang bodoh tidaklah paham apa yang dikatakannya, sdgkan pengikut hawa nafsu terhalang oleh hawa nafsunya untuk mengikuti kebenaran.

Pujian juga datang dari para ulama madzhab Syafi’i seperti Imam Ibnu Hajar al Asqalani, Imam Ibnu Abdil Hadi, dan madzhab Hanafi seperti Imam Al ‘Aini, dll.

Jika ada yang mengkritiknya, bahkan mencelanya, itu juga wajar sebab Beliau manusia biasa yang bisa salah dan terbuka untuk dikritisi. Mustahil pula ada manusia yang mampu membuat semua manusia ridha atau suka.

Di antara yg paling keras dan pedas adalah dari Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah:

ابن تيمية عبد خذله الله وأضله وأعماه وأصمه وأذله، وبذلك صرح الأئمة الذين بينوا فساد أحواله وكذب أقواله

Ibnu Taimiyah adalah seseorang yang telah Allah campakkan, sesatkan, butakan, tulikan, dan hinakan begitulah penjelansan para imam yg telah menjelaskan kerusakan keadaannya dan kedustaan ucapannya.

(Al Fatawa Al Haditsiyah, hal. 122)

Sikap kita adalah mengambil manfaat darinya, menyaring dgn ilmu, menolak yang tidak sejalan dengan ilmu, dan tidak mencelanya.

Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Masa Depan Milik Umat Ini

Allah Ta’ala berfirman:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai, dan setelah itu menggantikan rasa takut mereka dengan rasa aman.

(QS. An-Nur, Ayat 55)

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ وَالدِّينِ وَالنَّصْرِ وَالتَّمْكِينِ فِي الْأَرْض

Dari Ubay bin Ka’b dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:

“Berilah kabar gembira kepada umat ini dengan kejayaan, kemulyaan, agama, pertolongan dan kekuasaan di muka bumi.”

(HR. Ahmad no. 20273, Al Hakim dalam Al Mustadrak no. 7862, beliau berkata: Shahih. Disepakati keshahihannya oleh Imam Adz Dzahabi)

ِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ أُمَّتِي مَثَلُ الْمَطَرِ لَا يُدْرَى أَوَّلُهُ خَيْرٌ أَمْ آخِرُهُ

Dari Anas berkata; Rasulullah ﷺ bersabda, “Perumpamaan umatku seperti hujan, tidak diketahui (apakah) yang baik pada permulannya ataukah akhirnya.”

(HR. At Tirmidzi no. 2869, At Tirmidzi berkata: hasan)

Beberapa Pelajaran:

1. Orang beriman dan beramal shalih adalah pewaris sah kekuasaan di muka bumi, yang melalui mereka Allah Ta’ala memberikan manusia kesejahteraan dan keamanan, serta menghilangkan rasa takut.

2. Iman yang benar dan kuat, dan amal shalih yang benar, menjadi syarat yang tidak bisa ditawar untuk kejayaan umat Islam.

3. Iman di sini adalah keimanan yang memunculkan rasa cinta kepada Allah, Rasul, Islam, jihad, dan sesama muslim secara mendalam yang memunculkan pribadi yang rela mati demi kejayaannya, dan menjadikan akhirat adalah tujuan, dunia adalah persinggahan.

4. Amal shalih di sini tidak terhenti pada ibadah ritual, berakhlak baik, dan menghidupkan sunnah, tetapi juga mengumpulkan segenap “sebab-sebab” sunnatullah yang nyata untuk terwujudnya kejayaan. Seperti penguasaan pada ekonomi, militer, media, dan politik.

5. Kekuasaan dan kejayaan pernah dialami umat ini dalam kurun waktu satu milenium, hampir meliputi dua pertiga luas daratan bumi. Tidak ada satu pun tanah melainkan di sana berkumandang adzan. Kita punya peluang dan seperangkat sumber daya yang sama untuk mengembalikan masa-masa itu.

6. Benar bahwa sebaik-baiknya zaman adalah zaman Rasulullah ﷺ dan para sahabat, lalu tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Namun, itu tidak berarti umat ini diajarkan pesimis. Sebab, walau kita tidak sehebat mereka tetapi Rasulullah ﷺ memberitakan kejayaan tetap bagi umat ini.

7. Umat ini diumpamakan bagaikan hujan, maksudnya adalah dari sisi manfaatnya kepada manusia. Ada pun keutamaan (afdhaliyah) maka umat terdahulu jelas lebih utama. (Lihat Tuhfah al Ahwdzi, jilid. 8, hal. 305). Itulah yang tidak diketahui mana yang lebih baik generasi awal atau akhir.

8. Tidak ragu lagi, umat terdahulu berjuang dalam peletakan batu pertama dan awal pembangunan, lalu umat setelahnya berkorban dalam menyebarkan dan mengokohkan. Semua yg mereka lakukan patut diapresiasi, semoga Allah Ta’ala berikan ampunan atas kesalahannya dan membalas dengan pahala atas kebaikannya.

Demikian. Wallahul Muwaffiq Ilaa aqwamith Thariq

✍ Farid Nu’man Hasan

Mimpi Erotis Tapi Tidak Keluar Mani, Apakah Tetap Harus Mandi Wajib?

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bismillahirrahmanirrahim. Ustadz, saya pernah melihat jawaban Syaikh Shalih Fauzan atas pertanyaan tentang mandi janabah di Youtube bahwa, wajib mandi bagi yang bermimpi erotis, sekalipun ketika tidur tidak merasakan apa-apa. Mohon penjelasannya, apakah ini benar? Terimakasih

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Mimpi erotis saja, tanpa inzaal (keluar mani), tidaklah mengharuskan mandi. Adanya keluar mani menjadi syarat baginya wajib mandi.

Hal ini berdasarkan hadits, ada seorang wanita bertanya:

فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ فَقَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ

Apakah wanita wajib mandi jika mimpi basah? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, Jika dia lihat adanya air.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Guru dari Syaikh Shalih Fauzan, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan:

لا يجب الغسل على من رأى احتلامًا إلا إذا وجد الماء

Tidak wajib mandi bagi siapa yang mimpi basah kecuali bagi yang dia mendapatkan adanya air (mani)

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah:

فإن مجرد الاحتلام لا يوجب الغسل ما لم يحصل إنزال ولو رأى النائم نفسه في حالة جماع

Semata-mata mimpi basah tidaklah mewajibkannya untuk mandi selama tidak terjadi inzaal, walau orang yang bermimpi itu melihat jima’ dalam mimpinya.

(Fatwa no. 163349)

Ada pun JIKA KASUSNYA lain, yaitu seorang yang berjima’ dengan istrinya, dan keduanya sama-sama BELUM INZAL, ini wajib tetap mandi jika sudah terjadi jima’ itu.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam :

إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ وَجَبَ الْغُسْلُ

Jika khitan sudah bertemu khitan (maksudnya bertemunya kelamin suami dan istri), maka wajib mandi. (HR. At Tirmidzi no. 109, hasan shahih)

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Panduan Kenabian Dalam Memilih Pemimpin

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلَ عَامِلاً مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّ فِيهِمْ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْهُ وَأَعْلَمُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَجَمِيع الْمُسْلِمِينَ
Barang siapa yang memilih seseorang untuk mengurus urusan kaum muslimin padahal dia tahu ada orang lain yang lebih pantas darinya, lebih paham Kitabullah dan Sunnah Rasulnya, maka dia telah mengkhianati Allah, Rasul, dan semua Kaum Muslimin.
(HR.  Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 20861,  Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7023, katanya: shahih)
▶️ Hadits ini mengarahkan kita agar memilih atau mengangkat seorang pemimpin yang paling cakap dalam menjalankan amanahnya, plus paling paham Al Quran dan As Sunnah di antara calon-calon lainnya.
▶️ Jika yang seperti itu tidak dipilih, maka itu adalah pengkhianatan kepada Allah, Rasul, dan semua kaum muslimin.
▶️ Secara implisit menunjukkan pula bahwa pemilihan pemimpin bukan didasari semata-mata kedekatan suku, marga, pergaulan, dengan para pemilihnya, tapi lebih pada kapasitas. Hal ini sejalan dengan hadits lainnya:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah  ﷺ bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَة
َ
“Jika urusan dikembalikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari  No. 59)
▶️ Penerapan masalah ini berlaku atas semua jenis dan level kepemimpinan, baik dari yg terendah di masyarakat maupun kepemimpinan yang tertinggi.
▶️ Dalam banyak hadits sangat sering Rasulullah ﷺ memberikan arahan tentang kepemimpinan, hal ini menunjukkan Islam sangat konsern terhadap kebaikan para pemimpin. Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan:
لو كان لنا دعوة مجابة لدعونا بها للسلطان
Seandainya kami memiliki doa yang mustajab, niscaya akan kami  doakan penguasa (Imam Ibnu Taimiyah, AS Siyasah Asy Syar’iyyah, hal. 169)
▶️ Oleh karenanya, Imam Al Ghazali mengatakan:
 والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع، ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان
“Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan  pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.”
 (Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, 1/17. Mawqi’ Al Warraq)
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq
✍ Farid Nu’man Hasan
scroll to top