Ambillah Ilmu Dari Ahlinya

Allah Ta’ala berfirman:
قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar, Ayat 9)
Pertanyaan dalam ayat ini jawabannya sudah diketahui; bahwa tidak sama antara orang berilmu dan orang bodoh. Sebagaimana tidak sama antara ilmu dan kebodohan, maka tidak sama pula antara pengusung ilmu dan pengusung kebodohan.
Sementara Imam Al Qurthubi menjelaskan ttg siapa ahli ilmu itu:
قال الزجاج: أي كما لا يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون كذلك لا يستوي المطيع والعاصي. وقال غيره: الذين يعلمون هم الذين ينتفعون بعلمهم ويعملون به، فأما من لم ينتفع بعلمه ولم يعمل به فهو بمنزلة من لم يعلم
Berkata Az Zajaj: “yaitu sebagaimana tidak sama antara orang-orang yangvtahu dan orang-orang yang tidak tahu, maka demikian pula tidak sama antara orang yang taat dan yang maksiat.
Yang lain mengatakan: “Arti orang-orang yang tahu (berilmu) adalah orang-orang yang ilmunya bermanfaat dan dia mengamalkan ilmunya, sedangkan orang yang ilmunya tidak bermanfaat dan dia tidak mengamalkannya maka kedudukannya sama saja dengan orang-orang yang tidak tahu. (Tafsir Al Qurthubi, 9/81)
Maka, ambillah ilmu dari ulama yang ‘amilin, ulama yang menjalankan ilmunya. Kepada merekalah ilmu menjadi hidup, bukan semata di lembar-lembar kertas semata.
Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memuji:
 فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ
“Keutamaan seorang alim dari seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian.”
(HR. At Tirmidzi no. 2685, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih)
Syaikh Abul ‘Ala al Mubarkafuri mengatakan:
وفيه إشارة إلى وجه الأفضلية بأن نفع العلم معتد و نفع العبادة قاصر
Ini menjadi isyarat tentang sisi  keutamaan, karena manfaat ilmu itu berkepenjangan sedangkan manfaat ibadah itu pendek (terbatas).  (Tuhfah al Ahwadzi, 8/106)
Kembali kepada Al Quran dan As Sunnah, tanpa melalui ulama pakar yang menjelaskan makna-maknanya, hikmah, dan hukumnya, adalah tindakan gegabah, sombong, dan berbahaya.
Betapa banyak manusia khususnya lagi anak muda, yg tergelincir hanya bermodalkan semangat tanpa didasari oleh ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan. Akhirnya terjadilah budaya takfir (pengkafiran), tabdi’ (pembid’ahan), dan tafsiq (pemfasikan), tanpa dalil, tidak terkendali dan begitu liar.
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq
✍ Farid Nu’man Hasan 

Menyapih Anak Sebelum Dua Tahun

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum mohon pencerahannya semua,bagaimana seharusnya ibu hamil punya anak umur 1 th sedang menyusui, sementara dalam islam anak disapih umur 2 th,apakah boleh disusui anaknya atau tidak sama sekali?? Bagaimana seharusnya ini dalam islam??? (+62 852-6458-xxxx)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Menyusui sampai dua tahun itu sunnah, jika seorang ibu ada halangan syar’i tidak sampai tuntas dua tahun maka tidak berdosa..

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَا دَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَا مِلَيْنِ لِمَنْ اَرَا دَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَة

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.”

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 233)

Ayat ini menunjukkan bahwa menggenapkan susuan selama dua tahun bukan kewajiban tapi bagi dikembalikan kepada kehendak ibunya.

Imam Al Qurthubi menjelaskan:

فيه دليل على أن إرضاع الحولين ليس حتما فإنه يجوز الفطام قبل الحولين

Ayat ini adalah dalil bahwa menyusui sampai dua tahun bukanlah keharusan, boleh baginya menyapih sebelum dua tahun.

(Tafsir Al Qurthubi, 3/162)

Hamil di masa masih menyusui anak, salah satu alasan syar’i untuk terhentinya menyusui .. Sebab biasanya wanita hamil air susunya sangat sedikit bahkan berhenti. Tapi sebagian wanita ada pula yang tetap memproduksi ASI. Maka bagi yang masih lancar ASI hendaknya tetap menyusui, asalkan ibu tsb menjaga asupannya agar tetap fit. Bagi yang sedikit, lemah, atau bahkan berhenti sama sekali, maka tidak apa-apa baginya tidak sampai dua tahun.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Hormat – Upacara Bendera

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Afwan Ust.,. Mau nanya tentang pandangan Islam mengenai penghormatan bendera saat upacara… krn ada yg berpendapat mengikuti cara org kafir… Syukron (+62 812-5764-xxx)

✒️❕JAWABAN

Bismillah wal hamdulillah ..

Masalah penghormatan kepada bendera para ulama zaman ini berselisih pendapat. Sebagian ada yang melarang dan menilainya sebagai penyerupaan kepada orang kafir. Sebagian lain membolehkan, dan menyatakan tidak ada larangan dalam syariat tentang hal itu berdasarkan dalil-dalil yang begitu jelas.

Pertama, pihak yang melarang.

Mereka menganggap ini adalah bid’ah, tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir), bahkan dianggap dapat memunculkan kesyirikan.

Fatwa Al lajnah Ad Daimah, di kerajaan Arab Saudi, bahwa penghormatan kepada bendera adalah bid’ah. Berikut ini fatwanya:

لا تجوز تحية العلم، بل هي بدعة محدثة، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: « من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد » رواه البخاري ومسلم

Tidak boleh menghormati bendera, bahkan itu adalah bid’ah, dan nabi ﷺ telah bersabda: “Barang siapa yang mengada-ada hal yang baru dalam urusan kami ini maka itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

(Fatwa No. 5963)

Dalam fatwa yang lain, Al Lajnah Ad Daimah menganggap penghormatan bendera adalah tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir). Berikut ini fawanya:

لا يجوز تحية العلم، ويجب الحكم بشريعة الإسلام والتحاكم إليها، ولا يجوز للمسلم أن يحيي الزعماء أو الرؤساء تحية الأعاجم، لما ورد من النهي عن التشبه بهم، ولما في ذلك من الغلو في تعظيمهم

Tidak boleh penghormatan kepada bendera, dan wajib berhukum dengan syaria Islam dan menerapkan hukum kepadanya, dan tidak boleh bagi seornag muslim menghornati para pemimpin dgn cara penghormatan orang ‘ajam (non Arab), sebab adanya larangan untuk menyerupai mereka, dan juga didalamnya ada bentuk melampaui batas dalam menghormati mereka. (fatwa No. 6894)

Atau fatwa lainnya yang lebih lengkap:

لا يجوز للمسلم القيام إعظاماً لأي علم وطني ، أو سلام وطني ، بل هو من البدع المنكرة التي لم تكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ولا في عهد خلفائه الراشدين رضي الله عنهم ، وهي منافية لكمال التوحيد الواجب ، وإخلاص التعظيم لله وحده ، وذريعة إلى الشرك ، وفيها مشابهة للكفار ، وتقليد لهم في عادتهم القبيحة ، ومجاراة لهم في غلوهم في رؤسائهم ومراسيمهم ، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن مشابهتهم أو التشبه بهم

Seorang muslim tidak boleh berdiri untuk menghormati bendera atau salam kebangsaan. Itu adalah bid’ah yg munkar yang tidak ada pada masa Nabi.ﷺ masa Khalifah yang empat. Itu dapat menghilangkan kesempurnaan tauhid yang wajib dan kemurnian dalam menganggungkan Allah satu-satunya, memunculkan syirik dan menyerupai orang kafir serta meniru mereka dalam tradisinya yang jelek dan berlebihan dalam menghormati penguasa. Padahal Rasulullah sudah melarang meniru dan menyerupai orang kafir.

(Fatwa no. 2123)

Fatwa serupa juga dikatakan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani:

هذه -لا شك- من التقاليد الأوروبية الكافرة، وقد نهينا عن تقليدهم بمناهي عامة وخاصة، ولا يجوز لأي دولة مسلمة حقاً أن تتبنى شيئاً من تقاليد الكفار

Hal ini – tidak ragu lagi- termasuk bentuk taklid kepada budaya Eropa yang kafir. Kita telah dilarang mengikuti mereka baik dengan larangan umum dan khusus, maka tidak dibolehkan bagi negera muslim mana pun untuk meniru orang-orang kafir.

(Al Ajwibah Al Albaniyah ‘alal As’ilah Al Kuwaitiyah, Hal. 1-2)

Kedua. Pihak yang membolehkan.

Mereka mengkritik pihak pertama. Menurut golongan ini, penghormatan bendera bukanlah masalah ibadah, dan tidak pantas dikatakan bid’ah. Serta bukan pula penyerupaan kepada orang kafir, sebab menghormati simbol negara tidaklah terlarang secara syariat.

Mufti Mesir, Syaikh Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam Hafizhahullah mengatakan:

لا مانع شرعًا من تحية العلم والوقوف للسلام الوطني؛ فكِلاهُما تعبير عن الحب لرمز الوطن وعلامته وشعاره

Tidak terlarang secara syariat penghormatan bendera dan berdiri untuk salam kenegaraaan. Keduanya merupakan ungkapan rasa cinta kepada simbol tanah air dan syiar-syiarnya …

Beliau juga berkata:

ولا يمكن القول بأن هذا من التعظيم المحرم؛ لأن التعظيم الممنوع هو ما كان على وجه عبادة المعظَّم، كما لا يمكن القول بأنه من التشبه بغير المسلمين المنهي عنه شرعًا؛ فالتشبه إنما يحرم فيما يتعلق بعقائدهم وخصوصياتهم الدينية إذا قصد المسلمُ بها التشبه

Tidak mungkin ini dikatakan sebagai penghormatan yang diharamkan, sebab penghormatan yang dilarang itu adalah pengagungan dlm konteks ibadah, sebagaimana tidak mungkin juga disebut menyerupai non muslim yang telah dilarang oleh syariat, sebab tasyabbuh (penyerupaan) itu diharamkan dalam hal kaitannya dengan aqidah mereka, ciri khusus mereka yang duniawi, jika seorang muslim melakukannya memang bermaksud untuk menyerupai.

(Lihat: http://www.dar-alifta.org/AR/ViewFatwa.aspx?ID=11069)

Begitu pula fatwa dr Lajnah Al Fatwa Darul Ifta Al Mishriyah, mereka mengoreksi pihak yang mengatakan bahwa ta’zhim (pengagungan, pemuliaan) hanya hak Allah semata, dan menganggapnya ini pendapat yang batil ..

Penghormatan bendera sudah ada di masa Nabi ﷺ dan para Sahabatnya. Dalam perang Mu’tah Nabi ﷺ mengangkat Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abdullah bin Rawahah, sebagai pemimpin pasukan dan pemegang bendera. Di masa itu tegaknya bendera merupakan tanda kejayaan dan kemenangan sebuah pasukan perang, oleh karena itu mereka sangat menjaganya .. zaman ini cara penghormatan tidak sama karena sudah berubahnya zaman.

Di akhir fatwa, tertulis:

فإن تحية العلم المعهودة أو الوقوف للسلام الوطني أمران جائزان لا كراهة فيهما ولا حرمة كما شغَّب به مَن لا علمَ له، فإذا كان ذلك في المحافل العامة التي يُعَدُّ فيها القيام بذلك علامة على الاحترام وتركه مشعرًا بترك الاحترام: فإن الوقوف يتأكَّد؛ فيتعيَّن فعلُه حينئذٍ؛ دفعًا لأسباب النفرة والشقاق، واستعمالا لحسن الأدب ومكارم الأخلاق

Penghormatan bendera dan salam kenegaraan adalah dua hal yang dibolehkan, tidak makruh dan tidak pula haram, sebagaimana pandangan picik orang yang tidak memiliki ilmu.

Jika hal itu dilakukan dalam proses umum yang dianggap bahwa berdiri adalah bagian dr penghormatan dan meninggalkannya bernilai tidak hormat, maka berdiri saat itu ditekankan. Sebagai pencegah dari sebab munculnya perpecahan, dan dalam rangka memakai adab yang baik dan akhlak yang mulia.

(Selesai)

Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah mengatakan:

فتحية العلم بالنشيد أو الإشارة باليد في وضع معين إشعار بالولاء للوطن والالتفاف حول قيادته والحرص على حمايته، وذلك لا يدخل فى مفهوم العبادة له، فليس فيها صلاة ولا ذكر حتى يقال : إنها بدعة أو تقرب إلى غير الله

Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan, dalam situasi khusus itu menunjukkan loyalitas pada tanah air, bersatu di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap ini bukan termasuk dalam pengertian menyembah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai-sampai ada yang bilang: “itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah.” (selesai)

Nah, pendapat kedua inilah yg kami ikuti .. sebab memang masalah hormat bendera bukan ibadah, bukan pula tasyabbuh, secara umum ada dasar dalam sejarah Islam.

Hanya saja, jika ini dikaitkan dgn upacara bendera, maka mesti diperhatikan: jangan sampai ikhtilat, jangan pula cara doa meniru orang kafir yaitu doa dgn diiringi musik dan bernyanyi, dan tidak boleh memunculkan rasa nasionalisme sempit dan chauvinist (merasa lebih tinggi dibanding bangsa lain), seraya mendeskreditkan bendera negara muslim lainnya termasuk bendera yang bertuliskan kalimat tauhid.

Demikian. Wallahu a’lam

Farid Nu’man Hasan

Qabliyah Maghrib, Adakah?

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuhu.. Afwan ustaz, adakah salat rawatib qobliyah magrib? Jazakumullahu khoiron (AN)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Keberadaan shalat Qabliyah maghrib, diperselisihkan para ulama sejak masa sahabat nabi. Sebagian mengatakan tidak ada, sebagian mengatakan ada, bahkan bagus, namun tidak termasuk sunnah mu’akkadah.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

ولم يختلف العلماء في التطوع بين الأذان والإقامة إلا في المغرب

Para ulama tidak berselisih pendapat tentang shalat sunah di antara adzan dan iqamah, kecuali pada shalat maghrib. (Fathul Bari, 2/106)

Imam At Tirmdzi Rahimahullah menjelaskan:

وَقَدْ اخْتَلَفَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّلَاةِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ و قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ إِنْ صَلَّاهُمَا فَحَسَنٌ وَهَذَا عِنْدَهُمَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ

Para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berbeda pendapat tentang shalat sebelum maghrib. Sebagian mereka tidak menganggap adanya shalat sebelum maghrib. Telah diriwayatkan lebih dari satu sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa mereka melakukan shalat sebelum maghrib sebanyak dua rakaat di antara iqamat dan adzan. Berkata Imam Ahmad dan Imam Ishaq bin Rahawaih, jika melakukan   dua rakaat itu adalah hal yang bagus, dan hal itu bagi mereka berdua adalah sunah (istihbab). (Sunan At Tirmidzi No. 185)

Namun pendapat yang kami ikuti adalah bahwa Qabliyah Maghrib itu sunnah, berdasarkan dalil-dalil umum dan khusus.

▶️ Dalil-Dalil Umum

Pertama. Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ

“Antara dua adzan itu ada shalat sunnah! Antara dua adzan ada shalat sunnah!.” Ketika beliau bersabda ketiga kalinya, maka sabdanya diteruskan dengan, “bagi siapa saja yang menghendakinya.” (HR.  Bukhari No. 624, Muslim No. 838)

Maksud dari ‘di antara dua adzan’ adalah di antara adzan dan iqamah. Hadits ini menunjukkan bahwa di semua shalat wajib hendaknya ada shalat sunnah sebelumya yaitu antara azan dan iqamahnya.

Kedua. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Zubeir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ما من صلاة مفروضة إلا وبين يديها ركعتان

“Tiada satu shalat fardhu pun, melainkan pasti sebelumnya ada dua rakaat sunah.” (HR. Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 2265, Ibnu Hibban No. 2455, shahih)

▶️ Dalil-Dalil Khusus

Pertama. Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Sallam bersabda:

صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

“Kerjakanlah shalat sebelum shalat maghrib.”  Lalu ketiga kalinya ia bersabda: “bagi yang mau.” Beliau berkata demikian karena ditakutkan bahwa shalat tersebut akan dianggap sunah  oleh umat Islam. (HR. Bukhari No. 1183, 7368)

Hadits ini menunjukkan shalat Qabliyah maghrib itu sunnah, tapi bagi yang mau, kalimat ini menunjukkan tdk mu’akkadah.

Kedua. Abu Tamim Al Jaisyani pernah shalat dua rakaat sebelum maghrib, ketika ia ditanya oleh ‘Uqbah bin Amir Al Juhani tentang shalat apa itu, ia menjawab:

هَذِهِ صَلَاةٌ كُنَّا نُصَلِّيهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ini adalah shalat yang kami lakukan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. An Nasa’i No. 582, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 374, shahih)

Ketiga. Imam Ibnu Abi Syaibah juga menyebutkan:

حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ ، عَنْ شُعْبَةَ ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ ، عَنْ أَبِي فَزَارَةَ ، قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسًا ، عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ ، فَقَالَ : كُنَّا نَبْتَدِرُهُمَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

Berkata kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Ya’la bin ‘Atha, dari Abu Fazarah, katanya: Aku bertanya kepada Anas tentang dua rakaat sebelum maghrib, dia menjawab: “Kami dahulu menyegerakan dua rakaat itu pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Al Mushannaf No. 8458)

Al Hakam menceritakan bahwa Ibnu Abi Laila melakukan dua rakaat sebelum maghrib. (Ibid, No. 8459)

Keempat. Masih dari Imam Ibnu Abi Syaibah:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ إبْرَاهِيمَ ، قَالَ : قَالَ تَمِيمُ بْنُ سَلاَّمٍ ، أَوْ سَلاَّمُ بْنُ تَمِيمٍ لِلْحَسَنِ : مَا تَقُولُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ ، فَقَالَ : حَسَنَتَانِ جَمِيلَتَانِ لِمَنْ أَرَاْدَ اللَّهُ بِهِمَا

Berkata kepada kami Waki’, dari Yazid bin Ibrahim, katanya: berkata Tamim bin Sallam, atau Sallam bin Tamim, kepada Al Hasan: “Apa pendapatmu tentang dua rakaat sebelum maghrib? Dia berkata: “Dua rakaat yang bagus dan indah, bagi siapa yang Allah kehendaki terhadap keduanya.” (Ibid, No. 8463)

Kelima. Imam Ibnu Hibban menceritakan, bahwa Ibnu Buraidah melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib. (Shahih Ibnu Hibban No. 1559)

Keenam. Imam Ibnu Hibban ada Bab khusus tentang ini berjudul:

ذكر البيان بأن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم كانوا يصلون الركعتين قبل المغرب والمصطفى صلى الله عليه وسلم حاضر فلم ينكر عليهم ذلك

Penjelasan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat sebelum maghrib, dan Al Mushthafa (Nabi) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada, dan dia tidak mengingkari mereka atas hal itu. (Shahih Ibnu Hibban, 4/458)

Ketujuh. Dari Mukhtar bin Fulful: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang shalat dua rakaat setelah ashar, Dia menjawab:

كَانَ عُمَرُ يَضْرِبُ الْأَيْدِي عَلَى صَلَاةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ وَكُنَّا نُصَلِّي عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ فَقُلْتُ لَهُ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّاهُمَا قَالَ كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا

Umar memukul tanganku lantaran shalat setelah ashar, dan kami pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat setelah terbenamnya matahari sebelum shalat maghrib. Aku (Mukhtar) bertanya kepadanya: “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dua rakaat itu?” Beliau menjawab: “Dia melihat kami shalat, tidak memerintahkan dan tidak pula mencegah kami.” (HR. Muslim No. 836)

Dari sekian banyak hadits, dan perilaku para salaf, berkatalah Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهَا تُنْدَبُ الصَّلَاةُ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ إذْ هُوَ الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ ” قَبْلَ الْمَغْرِبِ ” لَا أَنَّ الْمُرَادَ قَبْلَ الْوَقْتِ لِمَا عُلِمَ مِنْ أَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْ الصَّلَاةِ فِيهِ “وفي رواية لابن حبان” أي من حديث عبد الله المذكور “أن النبي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم صلى قبل المغرب ركعتين” فثبت شرعيتهما بالقول والفعل

“Itu adalah dalil bahwa dianjurkan (sunah) shalat sebelum shalat maghrib, jika yang dimaksud adalah shalat qabla maghrib, bukannya shalat sebelum waktu maghrib yang telah diketahui bahwa itu memang termasuk waktu dilarang shalat. Dalam riwayat Ibnu Hibban, yaitu hadits dari Abdullah yang telah disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat sebelum maghrib sebanyak dua rakaat. Maka, telah pasti syariat shalat dua rakaat itu secara qaul (ucapan) dan fi’il (perkataan) nabi.” (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 2/52. Lihat juga ‘Aunul Ma’bud, 4/113)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top