Ambillah Ilmu Dari Ahlinya

Allah Ta’ala berfirman:
قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar, Ayat 9)
Pertanyaan dalam ayat ini jawabannya sudah diketahui; bahwa tidak sama antara orang berilmu dan orang bodoh. Sebagaimana tidak sama antara ilmu dan kebodohan, maka tidak sama pula antara pengusung ilmu dan pengusung kebodohan.
Sementara Imam Al Qurthubi menjelaskan ttg siapa ahli ilmu itu:
قال الزجاج: أي كما لا يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون كذلك لا يستوي المطيع والعاصي. وقال غيره: الذين يعلمون هم الذين ينتفعون بعلمهم ويعملون به، فأما من لم ينتفع بعلمه ولم يعمل به فهو بمنزلة من لم يعلم
Berkata Az Zajaj: “yaitu sebagaimana tidak sama antara orang-orang yangvtahu dan orang-orang yang tidak tahu, maka demikian pula tidak sama antara orang yang taat dan yang maksiat.
Yang lain mengatakan: “Arti orang-orang yang tahu (berilmu) adalah orang-orang yang ilmunya bermanfaat dan dia mengamalkan ilmunya, sedangkan orang yang ilmunya tidak bermanfaat dan dia tidak mengamalkannya maka kedudukannya sama saja dengan orang-orang yang tidak tahu. (Tafsir Al Qurthubi, 9/81)
Maka, ambillah ilmu dari ulama yang ‘amilin, ulama yang menjalankan ilmunya. Kepada merekalah ilmu menjadi hidup, bukan semata di lembar-lembar kertas semata.
Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memuji:
 فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ
“Keutamaan seorang alim dari seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian.”
(HR. At Tirmidzi no. 2685, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih)
Syaikh Abul ‘Ala al Mubarkafuri mengatakan:
وفيه إشارة إلى وجه الأفضلية بأن نفع العلم معتد و نفع العبادة قاصر
Ini menjadi isyarat tentang sisi  keutamaan, karena manfaat ilmu itu berkepenjangan sedangkan manfaat ibadah itu pendek (terbatas).  (Tuhfah al Ahwadzi, 8/106)
Kembali kepada Al Quran dan As Sunnah, tanpa melalui ulama pakar yang menjelaskan makna-maknanya, hikmah, dan hukumnya, adalah tindakan gegabah, sombong, dan berbahaya.
Betapa banyak manusia khususnya lagi anak muda, yg tergelincir hanya bermodalkan semangat tanpa didasari oleh ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan. Akhirnya terjadilah budaya takfir (pengkafiran), tabdi’ (pembid’ahan), dan tafsiq (pemfasikan), tanpa dalil, tidak terkendali dan begitu liar.
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq
✍ Farid Nu’man Hasan 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top