Masuk ke WC pakai penutup kepala?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ustad mau tanya, ada hadits tdk klo kekamar mandi maaf ktika sedang buang air kpalanya ditutup…?🙏 (+62 812-1927-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Ya, haditsnya ada…

Pertama:

كَانَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ غَطَّى رَأْسَهُ ، وَإِذَا أَتَى أَهْلَهُ غَطَّى رَأْسَهُ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika masuk ke WC menutup kepalanya dan jika mendatangi istrinya menutup kepalanya.

(HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 455, Abu Nu’aim dalam Al hilyah, 2/182)

Status hadits: dhaif. (Adh Dhaifah no. 4192)

Kedua:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ لَبِسَ حِذَاءَهُ وَغَطَّى رَأْسَهُ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika masuk ke WC memakai kain selimutnya dan menutup kepalanya.

(HR. Al Baihaqi dalamA s Sunan no. 465)

Status: Dhaif. (Dhaiful Jami’ no. 4393)

Syaikh Muh Shalih al Munajiid:

فلا يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم في الباب شيء

Tidak ada yang shahih sama sekali dr Rasulullah dalam bab ini. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 45659)

Tapi yang SHAHIH adalah dari sahabat nabi, seperti Abu Bakar radhiallahu ‘Anhu:

وَرُوِيَ فِي تَغْطِيَةِ الرَّأْسِ عِنْدَ دُخُولِ الْخَلَاءِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ، وَهُوَ عَنْهُ صَحِيحٌ

Diriwayatkan tentang menutup kepala saat masuk ke WC dari Abu Bakar, dan ini shahih darinya. (Al Baihaqi dlm As Sunan Al Kubra no. 455)

Sebagian Ahli fiqih mengatakan SUNNAH, Imam An Nawawi menjelaskan:

قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ وَالْبَغَوِيُّ وَآخَرُونَ : يستحب أن لا يدخل الْخَلَاءَ مَكْشُوفَ الرَّأْسِ

Imam Al Haramain, Al Ghazali, Al Baghawi, dan lainnya mengatakan: disunnahkan tidak memasuki WC dalam keadaan kepala terbuka. (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/93)

Imam Al Mardawi berkata:

يُسْتَحَبُّ تَغْطِيَةُ رَأْسِهِ حَالَ التَّخَلِّي. ذَكَرَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَصْحَابِ

Disunnahkan menutup kepala ketika sendirian di WC … ini dikatakan oleh segolongan para sahabat. (Al Inshaf, 1/97)

Bisa jadi maksudnya adalah agar kita tidak sampai benar-benar tanpa busana saat di dalamnya. Walau tertutup di mata manusia, namun tetap ada rasa malu di hadapan Allah Ta’ala.

Demikian. Wallahu A’lam

🍀🍁🌻🌴🍃🌷

✍️ Farid Nu’man Hasan

Lisan yang Berdzikir Hati yang Merindu

💢💢💢💢💢💢

قال ذو النون رحمه الله : من اشتغل قلبه ولسانه بالذكر قذف الله في قلبه نور الاشتياق إليه

Dzun Nuun Rahimahullah berkata:

Siapa yang hati dan lisannya sibuk dengan dzikir, maka Allah Ta’ala akan lontarkan ke hatinya cahaya kerinduan kepada-Nya.

📚 Imam Ibnu Rajab, Jami’ al ‘Ulum wal Hikam, 2/516

Apa dzikir yang terbaik?

واعلم أن المذهب الصحيح المختار الذي عليه من يعتمد من العلماء أن قراءة القرآن أفضل من التسبيح والتهليل وغيرهما من الأذكار وقد تظاهرت الأدلة على ذلك

Ketahuilah, bahwa madzhab yang benar lagi terpilih yang dipegang kuat para ulama bahwa membaca Al Qur’an lebih utama dibanding tasbih, tahlil, dan dzikir lainnya. Hal itu ditunjukkan oleh sejumlah dalil yang ada.

📚 Imam An Nawawi, At Tibyan Fi Adab Hamalatil Quran, Hlm. 24

🍀🍁🌻🌴🍃🌷

✍️ Farid Nu’man Hasan

Tradisi; Antara Kearifan Lokal dan Kejahiliyahan Lokal?

Seorang pakar Ushul Fiqh, Syaikh Abdul Wahab Khalaf menjelaskan, tradisi adalah apa yang telah dikenal oleh manusia dan berlangsung dalam kehidupan mereka baik perkataan, perbuatan, atau meninggalkan perbuatan.
(‘Ilmu Ushul al Fiqh wa Khulashah Tarikh at Tasyri’, hal. 85)

Dalam hadits disebutkan:

فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا، فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka di sisi Allah itu juga baik, dan apa yang dipandang buruk maka di sisi Allah juga buruk.

(HR. Ahmad no. 3600. Syaikh Syuaib Al Arnauth: hasan. Ta’liq Musnad Ahmad, 6/84)

Hadits ini, dijadikan alasan bahwa tradisi juga bisa menjadi dasar hukum, jika kebiasaan itu dinilai baik dimata orang mukmin yang berilmu (bukan orang awam), maka itu juga baik di sisi Allah Ta’ala.

Tradisi atau Al ‘Urf, diakui sebagai salah satu “dalil” dalam menetapkan hukum sebuah amal, menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i.

Tradisi bagaimana yang dijadikan sebagai dalil? Yaitu dikala tidak ada nash baik Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, yang membahas tradisi tersebut, dan tradisi itu pun juga tidak bertentangan dengan nash. Jika bertentangan, seperti tradisi minum khamr, zina, dan tiba, maka itu batil dan bukan dalil. (Syaikh Ahmad Al Hajj Al Kurdi, Buhuts fi ‘Ilm Ushul al Fiqh, hal. 118)

Di sinilah pada ulama Hanafi dan Syafi’i mengatakan:

الثابت بالعرف كالثابت بالنص

Ketetapan hukum karena tradisi itu seperti ketetapan hukum dengan Nash/dalil. (Syaikh Muhammad ‘Amim Al Mujadidiy At Turkiy, Qawa’id Al Fiqhiyah, no. 101)

Syaikh Abdul Wahab Khalaf menyebut bahwa tradisi ada dua macam:

1. ‘Urf Shahih, yaitu kebiasaan di tengah manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang Allah Ta’ala haramkan, dan membatalkan yang wajib.

2. ‘Urf fasid (tradisi yang rusak), yaitu kebiasaan di tengah manusia yang menyelisihi dalil syara’, menghalalkan yang Allah Ta’ala haramkan, membatalkan yang wajib, seperti tradisi yang munkar yang biasa ada acara kelahiran, kematian, dan kebiasaan mereka memakan riba dan akad-akad taruhan. (‘Ilmu Ushul al Fiqh wa Khulashah Tarikh at Tasyri’, hal. 85)

Nah, Tradisi yang shahih (‘Urf Shahih), yaitu tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat, itulah yang layak disebut Kearifan Lokal. Seperti tradisi kerja bakti bersih-bersih lingkungan, tradisi gotong royong membantu tetangga yang sakit atau hajatan. Ini justru Islam menguatkannya, sebab Islam datang menguatkan hal-hal yang sejalan dengannya.

Ada pun ‘Urf Fasid, yaitu tradisi yang bertentangan dengan aqidah dan hukum Islam, yg justru sejalan dengan kebiasaan jahiliyah seperti kebiasaan judi, khamr, riba, zina, dan segala macam bentuk kesyirikan yang berlangsung disebuah daerah, maka ini bukan Kearifan Lokal, dalam kaca mata Islam. Tapi, ini bentuk kejahiliyahan yang dipelihara dan dibungkus dengan nama-nama yang manis: “budaya daerah”, ” tradisi leluhur”, “peradaban asli kita”.

Fa’tabiruu Ya Ulil Abshar!

Wallahul Muwafiq Ilaa aqwamith Thariq

✍ Farid Nu’man Hasan

Pernikahan Wanita Muslimah Dengan Laki-Laki Non Muslim, Baik Ahli Kitab atau Musyrikin

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Status pernikahan ini TIDAK SAH, BATAL, DAN HARAM, berdasarkan Al Quran, As Sunnah dan Ijma’.

📌 Allah Ta’ala berfirman:

فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Maka janganlah kamu kembalikan mereka (muslimah) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.

(QS. Al Mumtahanah (60): 10)

Imam Al Qurthubi menjelaskan:

أَيْ لَمْ يَحِلَّ اللَّهُ مُؤْمِنَةً لِكَافِرٍ، وَلَا نِكَاحَ مُؤْمِنٍ لِمُشْرِكَةٍ

“Yaitu Allah tidak menghalalkan wanita beriman untuk laki-laki kafir, dan tidak halal pula laki-laki beriman menikahi wanita musyrik”. (Jami’ Li Ahkamil Quran, jilid. 18, hal. 63)

📌 Ayat lainnya:

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang (laki-laki) musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.

(QS. Al Baqarah (2): 221)

Syaikh Ibnu ‘Asyur Rahimahullah menjelaskan:

وَنَصُّ هَذِهِ الْآيَةِ تَحْرِيمُ تَزَوُّجِ الْمُسْلِمِ الْمَرْأَةَ الْمُشْرِكَةَ وَتَحْرِيمُ تَزْوِيجِ الْمُسْلِمَةِ الرَّجُلَ الْمُشْرِكَ فَهِيَ صَرِيحَةٌ فِي ذَلِكَ

Ayat ini menunjukkan haramnya pernikahan seorang (laki-laki) muslim dengan wanita musyrik dan haramnya pernikahan muslimah dengan laki-laki musyrik. Hal ini begitu jelas.

(At Tahrir wat Tanwir, jilid. 2, hal. 360)

📌 Dalam As Sunnah, adalah Zainab puteri Rasulullah ﷺ nikah dengan Abu Al ‘Ash yang saat itu masih kafir. Saat itu belum turun ayat larangan pernikahan yang seperti ini. Ketika turun ayat larangannya, maka mereka dipisahkan selama enam tahun hingga akhirnya Abu Al ‘Ash masuk Islam. Akhirnya Nabi ﷺ mengulangi pernikahan mereka dengan akad yang baru.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:

رَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَتَهُ زَيْنَبَ عَلَى أَبِي الْعَاصِي بْنِ الرَّبِيعِ بَعْدَ سِتِّ سِنِينَ بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ

Nabi ﷺ mengembalikan puterinya, Zainab, kepada Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ setelah enam tahun lamanya, dengan pernikahan awal.

(HR. At Tirmidzi No. 1143, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2811, katanya: shahih. Imam Ibnul Qayyim mengatakan: “Dishahihkan oleh Imam Ahmad.” Lihat Tahdzibus Sunan, 1/357)

📌 Ada pun ijma’, Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan bahwa larangan tersebut adalah ijma’ (konsensus), katanya:

وَالْإِجْمَاعُ الْمُنْعَقِدُ عَلَى تَحْرِيمِ تَزَوُّجِ الْمُسْلِمَاتِ عَلَى الْكُفَّارِ

Dan, telah menjadi ijma’ (konsensus) yang kuat atas haramnya wanita muslimah menikahi orang-orang kafir.

(Al Mughni, jilid. 7, hal. 155)

Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah juga berkata:

أجمع على هذا كل من نحفظ عنه من أهل العلم

Telah ijma’ atas hal ini (yaitu haram dan batalnya pernikahan muslimah dengan non Muslim) dari setiap orang yang kami ketahui dari kalangan ulama. (Dikutip oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Asy Syarh Al Kabir, jilid. 20, hal. 193)

📌 Apa hikmah pelarangan ini? Syaikh Wahbah Az Zuhailli Rahimahullah menjelaskan:

“Dikarenakan pada pernikahan ini khawatir terjatuhnya wanita muslimah dalam kekafiran, karena biasanya suami akan mengajaknya kepada agamanya, dan para isteri biasanya mengikuti para suami, dan mengekor agama mereka, ini telah diisyaratkan pada akhir ayat: (mereka itu mengajak kepada neraka). (QS. Al Baqarah (2): 221), yaitu metreka mengajak wanita-wanita beriman kepada kekafiran, dan ajakan kepada kekafiran merupakan ajakan kepada neraka, karena kekafiran mesti masuk ke neraka, maka menikahnya laki-laki kafir dengan muslimah merupakan sebab kepada keharaman, maka itu adalah haram dan batil.” (Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, jilid. 9, hal. 144)

Dalam Majalah Majma’ Al Fiqh Al Islamiy (Majalah Lembaga Fiqih Islam) disebutkan sebuah jawaban dari masalah ini:

“Tidak boleh muslimah menikahi non muslim, apa pun keadaanya, karena itu menjadi sebab perubahan bagi muslimah karena dia lemah. Dalilnya adalah firmanNya: (Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu), dan ayat (Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka).” (Majalah Majma’Al Fiqh Al Islami, 3/1067. Syamilah)

Hari ini, pernikahan beda agama khususnya Muslimah dan Laki-Laki Non Muslim, sudah menjadi agenda dan gerakan kaum liberal. Mereka membuat propaganda lewat video di tengah anak-anak muda agar ikut racun pemikiran mereka. Allahul Musta’an!

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🍀🍁🌻🍃🌸🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top