Apakah yang Tidak Dilakukan Rasulullah Otomatis Bid’ah?

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Wr. Wb Ustadz
Mohon ijin bertanya dan semoga dapat pencerahan yang gampang terkait al-Tarku [الترك], yang secara bahasa mempunyai arti meninggalkan.
1. Apakah “Jika tidak dilakukan Nabi ﷺ maka otomatis bid’ah “ ?
2. Adakah teladan dari Ulama Salafus Shalih (selain Khulafaur Rasidin) yang mengamalkan ibadah dengan jumlah bilangan tertentu, waktu tertentu yang itu semua tidak ada contoh dari Rasululloh ﷺ ?
Jazakallah Khoiron

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

1. At Tarku, bukan termasuk bagian dari sumber pengambilan hukum. Hal itu Tidak ditemukan dalam kitab-kitab Qawaid Fiqhiyah.

Beberapa kasus Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meninggalkan perbuatan, tapi perbuatan itu dilakukan sahabat.

– Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengucapkan Taqabbalullahu minnaa wa minkum, tapi para sahabat mengucapkannya.

– Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meninggalkan shalat tarawih berjamaah di malam ke 4 Ramadhan, tapi para sahabat tetap menghidupkannya.

– Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak makan dhabb, tapi Beliau membolehkan sahabatnya.

– Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meninggalkan shalat jenazah orang yang wafat bunuh diri atau masih ada hutang, tapi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membiarkan sahabatnya menyalatkannya.

– Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah Umrah di bulan Ramadhan, tapi secara lisan Beliau mengizinkannya.

– Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak puasa tasu’a, karena keburu wafat.

– Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, azan shalat Jumat hanya sekali, tapi di masa Utsman dst, dua kali sampai saat ini Mekkah dan Madinah masih 2 kali azan Jumat.

Dll

2. Banyak, para sahabat umrah berkali-kali, haji berkali-kali, sementara Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam haji hanya sekali, Umrah empat kali.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam istighfar sehari 100 x, seperti hadits Bukhari, 70 x lebih dalam hadits Muslim..

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

مَنْ وَاظَبَ عَلَى أَرْبَعِينَ مَرَّةً كُلَّ يَوْمٍ بَيْنَ سَنَةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْفَجْرِ: يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ حَصَلَتْ لَهُ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ

Siapa yang getol membaca sebanyak 40 kali setiap pagi antara shalat sunnah fajar (qabliyah subuh) dan fajar (subuh), “Ya Hayyu Ya Qayyum Laa Ilaaha Illa Anta, birahmatika astaghits” maka dia akan mendapatkan hati yang hidup, hatinya tidak akan mati.

(Dikutip Imam Ibnul Qayyim, Madarijus Saalikiin, 1/446)

Angka 40 dalam ucapan Imam Ibnu Taimiyah di atas tidak ada dalam sunnah, itu adalah ijtihad Beliau saja. Begitu pula tentang keutamaannya yang dapat menghidupkan hati, juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Untuk masalah jumlah-jumlah dzikir yang bakukan sendiri ini diperselisihkan ulama. Ada yang membolehkan seperti di atas, ada yang mengatakan cukup mengikuti sunnah saja demi kehati2an.

Wallahu A’lam

✏ Farid Nu’man Hasan

Berhubungan Suami Istri Tapi Memikirkan Wanita Lain

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum.. Boleh gak pas hubungan suami istri, kita menghayalkan wanita lain? (A, Jkt)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Ada dua pandangan ulama tentang hal itu.

1. Haram

Ini adalah pendapat mayoritas ulama, baik Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian Syafi’iyah.

Mengkhayalkan wanita lain/laki-laki lain saat berhubungan suami istri dengan pasangan sahnya, hal itu dinilai zina, yaitu zina hati. Seolah yang sedang bergaul dengannya adalah wanita atau laki-laki lain yang dia khayalkan, padahal itu adalah tubuh istri/suaminya sendiri.

Hal ini berdasarkan hadits:

وإنما لكل امرئ ما نوى

Setiap manusia mendapatkan poin sesuai yang dia niatkan (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Kaidah fiqih:

الأمور بمقاصدها

Menilai perkara-perkara berdasarkan maksud-maksudnya

Juga hadits lainnya,

وزنا القلب التمني

Zina hati adalah menginginkan/mengharapkan. (HR. Ahmad no. 8338. Syaikh Ahmad Syakir menyatakan: sanadnya shahih)

Al Hafizh Abu Zur’ah menjelaskan:

قد يستدل به على تحريم تمني الزنى بالقلب

Hadits ini dijadikan dalil haramnya menghayalkan zina dengan hati. (Tharhu At Tatsrib, 7/20)

Al ‘Iraqi mengatakan:

لو جامع أهله، وفي ذهنه مجامعة من تحرم عليه، وصور في ذهنه أنه يجامع تلك الصورة المحرمة، فإنه يحرم عليه ذلك، وكل ذلك؛ لتشبهه بصورة الحرام

Seandainya seseorang menggauli istrinya namun dalam pikirannya dia sedang menggauli wanita yang haram baginya, dan dalam pikirannya ada bayangan gambaran wanita lain yang digauli, maka itu haram, semua itu karena menyerupai perkara yang diharamkan. (Ibid)

Imam Ibnu Muflih Al Hambali mengatakan:

وَقَدْ ذَكَرَ ابْنُ عَقِيلٍ أَنَّهُ لَوْ اسْتَحْضَرَ عِنْدَ جِمَاعِ زَوْجَتِهِ صُورَةَ أَجْنَبِيَّةٍ مُحَرَّمَةٍ أَوْ ذَكَرٍ أَنَّهُ يَأْثَمُ

Ibnu ‘Aqil mengatakan bahwa jika seseorang ketika jima’ dengan istrinya membayangkan gambaran wanita lain yang diharamkan atau laki-laki lain maka itu BERDOSA. (Al Furu’, 5/11)

Maka, walau itu tubuh istri/suaminya sendiri, tapi dia memaksudkan, membayangkan, mengkhayalkan, menginginkan adalah tubuh wanita/laki-laki lain, maka dia mendapatkan sesuai apa yang dimaksudkan, yaitu zina.

Walau tujuannya baik, yaitu untuk melahirkan gairah bagi keduanya, itu tidak mengubah hukumnya menjadi halal. Kaidahnya:

الغاية لا تبرر الوسيلة إلا بالدليل

Sebuah tujuan (yang baik) tidaklah mengubah sarana/cara (yang buruk) menjadi baik, kecuali yang ada dalilnya

2. Boleh tapi dibenci (Makruh)

Ini pendapat mu’tamad (resmi) mazhab Syafi’i. Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

أما الشافعية: فالمعتمد عندهم هو جواز ذلك

Ada pun Syafi’iyah, pendapat yang mu’tamad menurut mereka adalah hal itu boleh. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 15558)

Bagi mereka mengkhayalkan wanita/laki-laki lain saat hubungan suami-istri dengan pasangan sah adalah boleh namun tetap makruh. Mereka mengkategorikannya sebagai lintasan pikiran saja, atau sejenis was was yang dimaafkan, yang belum menjadi tindakan. Namun demikian itu tetap hal yang buruk, jika hal itu diketahui oleh pasangannya tentu dia akan marah krn dirinya dianggap seakan benda mati yang dikhayalkan sebagai orang lain.

Dasarnya adalah:

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إن الله تَجَاوَزَ عن أمتي ما حَدَّثَتْ به أَنْفُسَهَا، ما لم تَعْمَلْ أو تتكلم» قال قتادة: «إذا طَلَّقَ في نفسه فليس بشيء»

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Allah Ta’ala membiarkan yang terjadi pada umatku apa-apa yang masih terlintas dalam jiwanya, selama belum menjadi perkataan atau tindakan.

Qatadah berkata: “Jika seseorang menceraikan istrinya di hati, maka itu tidak ada efeknya (tidak sah).”

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Arti dari tajaawaza adalah:

عفا وصفح وسامح

Memaafkan, mengampuni, membiarkan

Imam Ibnu Hajar al Haitami ditanya tentang suami yang menggauli istrinya tapi membayangkan wanita lainnya:

جمعٌ مُحَقِّقُونَ كَابْنِ الْفِرْكَاحِ وَجَمَالِ الْإِسْلَامِ ابْنِ الْبِزْرِيِّ وَالْكَمَالِ الرَّدَّادِ شَارِحِ الْإِرْشَادِ وَالْجَلَالِ السُّيُوطِيّ وَغَيْرِهِمْ يَحِلُّ ذَلِكَ وَاقْتَضَاهُ كَلَامُ التَّقِيِّ السُّبْكِيّ فِي كَلَامِهِ عَلَى قَاعِدَةِ سَدِّ الذَّرَائِعِ وَاسْتَدَلَّ الْأَوَّلُ لِذَلِكَ بِحَدِيثِ «إنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا

“Para peneliti seperti Ibnu Al Firkah, Ibnu Al Bizri, Ar Radad (pensyarah kitab Al Irsyad), As Suyuthi, dan lainnya sepakat hal itu HALAL. Hal ini berdasarkan perkataan At Taqiyuddin As Subki tentang kaidah Sadudz Dzara’i. Dalil awalnya adalah hadits: Allah Ta’ala membiarkan yang terjadi pada umatku apa-apa yang masih terlintas dalam jiwanya…” (Tuhfatul Muhtaj, 7/205)

Ibnu Al Bizri mengatakan:

وَيَنْبَغِي كَرَاهَةُ ذَلِكَ وَرُدَّ بِأَنَّ الْكَرَاهَةَ لَا بُدَّ فِيهَا مِنْ نَهْيٍ خَاصٍّ

Sepantasnya hal ini dimakruhkan dan ditolak, karena kemakruhan pastilah ada alasan pelarangan yang khusus. (Ibid)

Demikian… Tentunya bagi muslim yang wara’ (hati-hati) hendaknya menghindari hal seperti ini.

Wallahu Waliyut Taufiq

✍ Farid Nu’man Hasan

Adab Mendoakan Mayit di Medsos

◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bismillah ustadz Farid Hafidzahullah bagaimana Adab Mendoakan Mayit di Medsos.

✒️❕JAWABAN

☘️⭐☘️⭐☘️⭐☘️⭐

Bismillahirrahmanirrahim..

Tulisan dan lisan itu kedudukannya sama.

Sesuai kaidah fiqih:

الكتابة تنزل منزلة القول

Tulisan itu kedudukannya sama dengan ucapan

Sehingga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pun menulis Bismillah dalam sebagian surat dakwahnya ke raja-raja kafir..

Juga para ulama menulis shalawat pada awal dan akhir buku-buku mereka..

Baik bismillah dan shalawat, keduanya adalah dzikir dan doa..

Dalam ruqyah pun, dibolehkan ayat dan dzikir juga ditulis di kertas lalu dicelupkan ke air dan diminum atau diusap..

Maka, tulis saja doa-doa yang baik untuk orang yang wafat. Baik diawali dgn istirja’, lalu Allahummaghfirlahu dst.. Ini jika mayit muslim.

Untuk mayit kafir, hanya cukup istirja’, tidak boleh doa ampunan..

Wallahu A’lam

✏ Farid Nu’man Hasan

Merencanakan Anak Shalih Sudah Dimulai Sejak Memilih Pasangan Hidup

Ini salah satu keistimewaan Islam di antara keistimewaan lainnya. Mendidik anak itu sudah dimulai sejak memilih suami atau istri, begitu dini dan antisipatif. Sebab, semua teori pendidikan anak –sehebat apa pun- tidak akan efektif dan berdaya di tangan orang tua yang tidak mampu memerankan dirinya sebagai pendidik; sebagai ayah dan ibu. Apa gunanya pedang tajam jika dipegang oleh orang yang tidak bisa membedakan mana kayu dan besi? Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” تُنْكَحُ المَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi SAW, Beliau bersabda: “Wanita dinikahi karena empat hal: karena kekayaannya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah karena agamanya niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090)

Dari empat kriteria ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menekankan “agama” sebagai kriteria utama dalam memilih istri (tentu juga suami). Maksud agama di sini bukan sekedar dia seorang muslim, tapi bagaimana kualitasnya. Sebab, kualitas agama seseorang baik pemahaman dan amalan merupakan pangkal dari semua keshalihan, termasuk keshalihan keluarga mereka nantinya.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ الْحَثُّ عَلَى مُصَاحَبَةِ أَهْلِ الدِّينِ فِي كُلِّ شَيْءٍ لِأَنَّ صَاحِبَهُمْ يَسْتَفِيدُ مِنْ أَخِلَاقِهِمْ وَبَرَكَتِهِمْ وَحُسْنِ طَرَائِقِهِمْ وَيَأْمَنُ الْمَفْسَدَةَ من جهتهم

Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berdekatan dengan ahli agama dalam segala hal. Sebab, berdekatan dengan mereka akan mendapatkan manfaat baik dari sisi akhlaknya, keberkahan, bagusnya jalan mereka, serta aman dari kerusakan dari sisi mereka. (Syarh Shahih Muslim, 10/52)

Allah Ta’ala sendiri mengajarkan agar memilih teman hidup yang beriman, sebab merekalah sebaik-baiknya perhiasan, walau yang kafir itu begitu menawan dan menarik perhatian.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (QS. Al Baqarah: 221)

Keshalihan orang tua, memang belum tentu lantas bisa diwariskan ke anaknya. Kisah keluarga Nabi Nuh ‘Alaihissalam bisa menjadi contoh. Tapi, yang menjadi umumnya adalah orang tua yang shalih yang mampu menciptakan lingkungan yang shalih, begitu besar pengaruhnya dalam melahirkan anak-cucu yang shalih pula. Hal ini terlihat dari ayat berikut:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath Thur: 21)

Syaikh Abduurahman as Sa’di Rahimahullah menjelaskan:

وهذا من تمام نعيم أهل الجنة، أن ألحق الله بهم ذريتهم الذين اتبعوهم بإيمان أي: الذين لحقوهم بالإيمان الصادر من آبائهم، فصارت الذرية تبعا لهم بالإيمان، ومن باب أولى إذا تبعتهم ذريتهم بإيمانهم الصادر منهم أنفسهم

Ini di antara sempurnanya kenikmatan penduduk surga, bahwa mereka dikumpulkan bersama keturunan mereka yang telah mengikuti mereka dalam keimanan, yaitu orang-orang yang menyertai mereka dalam keimanan yang muncul dari ayah-ayah mereka, maka keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka terlebih lagi jika keimanan keturunan itu muncul dari diri mereka sendiri.

(Tafsir As Sa’di, Hal. 815)

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top