Doa yang Dibaca Ketika Nyekar

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustad.afwan izin bertanya.doa apa aja jika kita mau nyekar ke makam anak sendiri ?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

– Salam

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ فَكَانَ قَائِلُهُمْ يَقُولُ فِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ وَفِي رِوَايَةِ زُهَيْرٍ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ

Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, katanya: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan mereka jika keluar menuju pekuburan, yang mereka ucapkan –dia katakan dalam riwayat Abu Bakar- : “Salam sejahtera atas penduduk negeri “–dalam riwayat Zuhair- “Salam sejahtera atas kalian penduduk negeri kaum mu’minin dan muslimin, dan kami Insya Allah akan benar-benar menjumpai, aku minta kepada Allah keselamatan untuk kami dan kalian.” (HR. Muslim)

– Membaca Al Fatihah

Dasarnya hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa sallam bersabda, “Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan bacakanlah di samping kuburnya, Surat Al-Fatihah di dekat kepala dan ayat terakhir Surat Al Baqarah di dekat kakinya”.

(HR. At Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 13613, Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman No. 9294)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, imam pakar hadits dizamannya menyatakan bahwa status hadits di atas adalah HASAN. (Fathul Bari, 3/184). Penghasanan ini juga diikuti oleh: Imam Badruddin Al ‘Ainiy. (‘Umdatul Qari, 12/382). Imam Ash Shan’ani (Subulussalam, 2/106). Syaikh Az Zurqani (Syarh Az Zurqaniy, 2/127)

Hadits ini hasan, dan itu sah dijadikan hujjah. Begitu jelas pula hadits ini menunjukkan perintah membaca Al Fatihah dan akhir Al Baqarah untuk jenazah yang sudah dikubur.

Sementara Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid, mengisyaratkan kedhaifannya karena ada perawi bernama Yahya bin Abdillah Al Baabilutty, dia dhaif. (Majma ‘Az Zawaid, 3/44). Juga didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya.

– Mendoakan seperti doa-doa shalat Jenazah, atau doa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada jenazahnya Abu Salamah, sebagaimana hadits Shahih Muslim:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ

“ALLAHUMMAGHFIR LIABI SALAMAH WARFA’ DARAJATAHU FIL MAHDIYYIIN WAKHLUFHU FI ‘AQIBIHI FIL GHAABIRIIN, WAGHFIR LANAA WALAHU YAA RABBAL ‘ALAMIIN, WAFSAH LAHU FII QABRIHI WA NAWWIR LAHU FIIHI (Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikan derajatnya di kalangan orang-orang yang terpimpin dengan petunjuk-Mu dan gantilah ia bagi keluarganya yang ditinggalkannya. Ampunilah kami dan ampunilah dia. Wahai Rabb semesta alam. Lapangkanlah kuburnya dan terangilah dia di dalam kuburnya)

Nama Abu Salamah, bisa diganti dgn nama mayit yang kita doakan..

– Ada pun membaca Al Quran di kubur, diperselisihkan para ulama.

Baca:

Masalah Klasik: Membaca Al Quran di Kuburan

✍ Farid Nu’man Hasan

 

Masalah Klasik: Membaca Al Quran di Kuburan

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Afwan Tadz mengganggu waktunya, mau nanya.. Tp masalah klasik sih, gak apa-apa ya. Soalnya beberapa kali didiskusikan di grup saya, yaitu tentang membaca quran di kuburan. Itu bid’ah atau tidak ya?

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, apa yang antum tanya memang ini permasalahan klasik banget. Sudah didebatkan mungkin sejak 12-13 abad lalu. Hampir-hampir saya enggan membahasnya, karena ini sudah berkali-kali dibahas. Tp, krn ada hak dari antum yang bertanya untuk diberikan jawaban, maka saya jawab.

Yg jelas, ini prokontra sejak dulu, dan tidak pernah ketemu kata final untuk sepakat; baik sepakat boleh atau sepakat tidak boleh (ulama terdahulu yang melarang hanya memakruhkan, kecuali ulama belakangan yang membid’ahkan). Jadi, selalu pro dan kontra. Ini hal biasa sebagaimana permasalahan lainnya juga demikian. Yang penting kita “santuy” aja, lapang dada, toleran.. walau nantinya kita lebih condong ikut salah satu pendapat yg ada, ya adab-adab tetap dijaga.

▶️ Pihak yang PRO

Pihak yang pro memiliki sejumlah alasan baik sunnah, dan perilaku salafush shalih. Menurut mereka ini diriwayatkan dengan jalur yang kuat dan bisa dijadikan hujjah.

Sehingga salah besar jika dikatakan pendapat ini tidak berdasar, dan tidak ada sandarannya.

Di antara alasannya adalah:

1. Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa sallam bersabda, “Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan bacakanlah di samping kuburnya, Surat Al-Fatihah di dekat kepala dan ayat terakhir Surat Al Baqarah di dekat kakinya”.

(HR. At Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 13613, Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman No. 9294)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, imam pakar hadits dizamannya menyatakan bahwa status hadits di atas adalah HASAN. (Fathul Bari, 3/184)

Penghasanan terhadap hadits ini juga diikuti oleh: Imam Badruddin Al ‘Ainiy. (‘Umdatul Qari, 12/382). Imam Ash Shan’aniy (Subulussalam, 2/106). Imam Az Zurqaniy (Syarh Az Zurqaniy, 2/127)

Hadits ini hasan, dan hadits hasan itu sah dijadikan hujjah. Begitu jelas pula hadits ini menunjukkan perintah membaca Al Fatihah dan akhir Al Baqarah untuk jenazah yang sudah dikubur.

Sementara Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid, mengisyaratkan kedhaifannya karena ada perawi bernama Yahya bin Abdillah Al Baabilutty, dia dhaif. (Majma ‘Az Zawaid, 3/44). Juga didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya.

2. Abdullah bin Umar Radhiallahu’ Anhuma

Beliau adalah salah satu sahabat nabi yang dikenal sangat ketat dalam mengamalkan sunnah. Beliau pun menyunnahkan membaca Al Quran bagi jenazah yang baru di kubur.

Hal ini diriwayatkan oleh Imam Yahya bin Ma’in Rahimahullah, seorang imam besar jarh wa ta’dil, dan imam yang begitu ketat dalam penelitian hadits.

Beliau ditanya tentang hukum membaca Al Quran di sisi kubur, Beliau menjawab:

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺒﺸﺮ ﺑﻦ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ اﻟﺤﻠﺒﻲ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ اﻟﻌﻼء ﺑﻦ اﻟﻠﺠﻼﺝ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻟﺒﻨﻴﻪ ﺇﺫا ﺃﺩﺧﻠﺖ اﻟﻘﺒﺮ ﻓﻀﻌﻮﻧﻲ ﻓﻲ اﻟﻠﺤﺪ ﻭﻗﻮﻟﻮا ﺑﺴﻢ اﻟﻠﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﻭﺳﻨﻮا ﻋﻠﻰ اﻟﺘﺮاﺏ ﺳﻨﺎ ﻭاﻗﺮﺅﻭا ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻲ ﺃﻭﻝ اﻟﺒﻘﺮﺓ ﻭﺧﺎﺗﻤﺘﻬﺎ ﻓﺈﻧﻲ ﺭﺃﻳﺖ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺫاﻙ

Berkata kepadaku Mubasysyir bin Ismail al Halabi, dari Abdurrahman bin al ‘Ala dari ayahnya, bahwa dia berkata kepada anaknya:

“Jika engkau memasukkan aku ke kubur, letakkanlah aku di Lahad, bacalah “Bismillah wa’ ala Sunnati Rasulillah,” dan dan bacakanlah dibagian kepalaku awal surat Al Baqarah dan penutupnya, SEBAB AKU MELIHAT IBNU UMAR menyukai (menyunnahkan) hal itu.

(Tarikh Ibnu Ma’in, 4 /502)

Demikianlah dari Imam Ibnu Ma’in, seandainya riwayat ini dhaif, tidak mungkin Beliau menjadikannya hujjah dan jawaban atas pertanyaan itu.

3. Para sahabat Anshar

Imam Amir Asy Sya’bi Rahimahullah berkata:

كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن

Orang-orang Anshar (para sahabat) jika ada yang wafat si antara mereka, mereka berkumpul di kubur mayit tersebut, dan mereka membaca Al Quran di sisinya.

(Imam Abu Bakar Al Khalal, Al Qira’ah ‘Indal Qubur, no. 7)

4. Imam Asy Syafi’i Rahimahullah

Tercatat dalam kitab Riyadhushshalihin-nya Imam an Nawawi Rahimahullah:

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أن يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسن

Berkata Imam Asy Syafi’i Rahimahullah: Hal yang disukai membaca Al Quran di sisi kubur dan jika sampai khatam maka itu bagus. (Hal. 295, Muasasah Ar Risalah)

Imam Abu Bakar Al Khalal berkata:

أخبرني روح بن الفرج ، قال : سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني ، يقول : « سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال : لا بأس به »

Mengabarkan kepadaku Ruh bin Al Faraj, katanya: Aku mendengar Al Hasan bin Ash Shabaah Az Za’farani berkata: “Aku bertanya kepada Asy Syafi’i tentang membaca Al Quran di sisi kubur, Beliau menjawab: Tidak apa-apa.”

(Lihat riwayat No. 6)

5. Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

Dari Salamah bin Syabib, dia berkata:

أتيت أحمد بن حنبل فقلت له : إني رأيت عفان يقرأ عند قبر في المصحف ، فقال لي أحمد بن حنبل : ختم له بخير

Aku datangi Ahmad bin Hambal, aku berkata kepadanya: “Aku melihat ‘Affan membaca Al Quran di kubur dengan mushaf.” Ahmad bin Hambal berkata kepadaku: “Baca sampai Khatam lebih baik baginya.”

(Al Qira’ah’ Indal Qubur, no. 4)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Syarhul Kabir:

وقال أحمد ويقرءون عند الميت إذا حضر ليخفف عنه بالقرآن يقرأ (يس) وأمر بقراءة فاتحة الكتاب

Berkata Ahmad: bahwa mereka (para salaf) membacakan Al Quran (surat Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah. (Imam Ibnu Qudamah, Syarh Al Kabir, 2/305. Darul Kitab Al ‘Arabi)

6. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau mengatakan bahwa talqin (membaca doa-doa talqin, beberapa ayat, tahlil) di kubur, setelah mayit dimakamkan adalah BOLEH, itulah pendapat yang paling lurus menurutnya. Menurutnya talqin dilakukan para sahabat nabi seperti Abu Umamah, Watsilah bin al Asqa, dan lainnya.

Dalam fatwanya Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan:

الجواب: تلقينه بعد موته ليس واجبا، بالإجماع. ولا كان من عمل المسلمين المشهور بينهم على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – وخلفائه. بل ذلك مأثور عن طائفة من الصحابة؛ كأبي أمامة، وواثلة بن الأسقع. فمن الأئمة من رخص فيه كالإمام أحمد، وقد استحبه طائفة من أصحابه، وأصحاب الشافعي. ومن العلماء من يكرهه لاعتقاده أنه بدعة. فالأقوال فيه ثلاثة: الاستحباب، والكراهة، والإباحة، وهذا أعدل الأقوال

Jawaban: Talqin setelah mati bukanlah kewajiban berdasarkan ijma’. Dan itu juga bukan perbuatan kaum muslimin pada masa Nabi ﷺ dan para khalifahnya, tetapi itu ma’tsur dari segolongan sahabat seperti Abu Umamah dan Watsilah bin Al Asqa’. Di antara para imam yang memberikan keringanan masalah ini seperti Imam Ahmad, segolongan sahabat menyunnahkannya, juga para pengikut Asy Syafi’i. Di antara ulama yeng memakruhkan meyakini itu adalah bid’ah. Jadi, pendapat dalam hal ini ada tiga: SUNAH, MAKRUH, DAN MUBAH, DAN INILAH PENDAPAT HANG PALING LURUS.

(al Fatawa al Kubra, 3/25)

7. Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah

Beliau mengatakan:

أَنَّ سُنَّةَ الْإِطْعَامِ سَبْعَةُ أَيَّامٍ، بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى الْآنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى الْآنَ، وَأَنَّهُمْ أَخَذُوهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ الْأَوَّلِ. [وَرَأَيْتُ] فِي التَّوَارِيخِ كَثِيرًا فِي تَرَاجِمِ الْأَئِمَّةِ يَقُولُونَ: وَأَقَامَ النَّاسُ عَلَى قَبْرِهِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَأَخْرَجَ الْحَافِظُ الْكَبِيرُ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ عَسَاكِرَ فِي كِتَابِهِ الْمُسَمَّى ” تَبْيِينُ كَذِبِ الْمُفْتَرِي فِيمَا نُسِبَ إِلَى الْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ “: سَمِعْتُ الشَّيْخَ الْفَقِيهَ أَبَا الْفَتْحِ نَصْرَ اللَّهِ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْقَوِيِّ الْمِصِّيصِيَّ يَقُولُ: تُوُفِّيَ الشَّيْخُ نَصْرُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيُّ فِي يَوْمِ الثُّلَاثَاءِ التَّاسِعِ مِنَ الْمُحَرَّمِ سَنَةَ تِسْعِينَ وَأَرْبَعِمِائَةٍ بِدِمَشْقَ، وَأَقَمْنَا عَلَى قَبْرِهِ سَبْعَ لَيَالٍ نَقْرَأُ كُلَّ لَيْلَةٍ عِشْرِينَ خَتْمَةً

Bahwasanya disunahkan memberikan makanan selama tujuh hari (di rumah mayit, pen), telah sampai kepadaku bahwa hal itu terus berlangsung sampai saat ini di Mekkah dan Madinah. Kenyataannya hal itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat Nabi ﷺ sampai saat ini (zaman Imam As Suyuthi), dan sesungguhnya generasi khalaf telah mengambil dari generasi salaf sampai generasi awal Islam. Aku melihat dalam banyak kitab-kitab sejarah dan biografi para imam, bahwa mereka mengatakan: “Manusia menetap di kuburnya (para imam, pen) selama tujuh hari membaca Al Quran. Diriwayatkan oleh Al Hafizh Al Kabir Abul Qasim bin ‘Asakir dalam kitabnya yang bernama “Tabyin Kadzib Al Muftara” yang disandarkan sebagaikarya Imam Abul Hasan Al Asy’ari: “Aku mendengar Asy Syaikh Al Faqih Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bin Abdul Qawwi Al Mishshishiy berkata: Telah wafat Asy Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisiy di hari selasa, tanggal 9 Muharam, 490H di Damaskus, kamu menetap di kuburnya selama tujuh malam dan membaca Al Quran tiap malam sebanyak 20 kali khatam.

(Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hawi Lil Fatawi, Juz. 2 Hlm. 234)

Dan masih banyak para imam lainnya yang menyetujui hal ini sampai dikatakan mayoritas ulama membolehkannya.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

ﻗﺮاءﺓ اﻟﻘﺮﺁﻥ: ﻭﻫﺬا ﺭﺃﻱ اﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ

Membaca Al Quran (buat mayit) ini adalah pendapat mayoritas ulama Ahlus Sunnah. (Fiqhus Sunnah, 1/569)

Bahkan Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin Rahimahullah membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al Quran untuk mayit, walau itu bukan anjuran:

الذي نرى أن هذا من الأمور الجائزة التي لا يندب إلى فعلها، وإنما يندب إلى الدعاء للميت والاستغفار له وما أشبه ذلك مما نسأل الله تعالى أن ينفعه به، وأما فعل العبادات وإهداؤها فهذا أقل ما فيه أن يكون جائزاً فقط، وليس من الأمور المندوبة، ولهذا لم يندب النبي صلى الله عليه وسلم أمته إليه، بل أرشدهم إلى الدعاء للميت فيكون الدعاء أفضل من الإهداء

Dalam pandangan kami, permasalahan ini adalah hal yang dibolehkan, namun nukan anjuran (sunnah). Yang dianjurkan itu adalah doa, memohonkan ampun, dan semisalnya berupa permintaan kepada Allah yang bermanfaat baginya. Ada pun menghadiahkan pahala ibadah itu BOLEH SAJA, bukan suatu yang sunnah. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menganjurkan itu, yang lebih utama adalah mendoakan dibanding menghadiahkan pahala ibadah.

(Majmu’ Fatawa wa Rasail, Jilid. 2, Babul Bid’ah)

▶️ Pihak yang Kontra

Sebagian ulama memakruhkan membaca Al Quran di kubur.

1. Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu dan sebagian pengikutnya

Syaikh Athiyah Shaqr mengatakan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik memakruhkan membaca Al Quran di kubur, alasannya karena tak ada yang sah dari sunah tentang hal itu. (Fatawa Al Azhar, 7/458)

Namun, kami dapati dalam sumber lainnya adanya perbedaan pendapat sesama Hanafiyah:

تُكْرَهُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ عِنْدَ الْمَيِّتِ حَتَّى يُغَسَّل وَأَمَّا حَدِيثُ مَعْقِل بْنِ يَسَارٍ مَرْفُوعًا اقْرَءُوا سُورَةَ يس عَلَى مَوْتَاكُمْ فَقَال ابْنُ حِبَّانَ : الْمُرَادُ بِهِ مَنْ حَضَرَهُ الْمَوْتُ ، وَيُؤَيِّدُهُ مَا أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا وَابْنُ مَرْدُوَيْهِ مَرْفُوعًا مَا مِنْ مَيِّتٍ يُقْرَأُ عِنْدَهُ يس إِلاَّ هَوَّنَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَخَالَفَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْمُحَقِّقِينَ ، فَأَخَذَ بِظَاهِرِ الْخَبَرِ وَقَال : بَل يُقْرَأُ عَلَيْهِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَهُوَ مُسَجًّى وَفِي الْمَسْأَلَةِ خِلاَفٌ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَيْضًا . قَال ابْنُ عَابِدِينَ : الْحَاصِل أَنَّ الْمَيِّتَ إِنْ كَانَ مُحْدِثًا فَلاَ كَرَاهَةَ ، وَإِنْ كَانَ نَجِسًا كُرِهَ . وَالظَّاهِرُ أَنَّ هَذَا أَيْضًا إِذَا لَمْ يَكُنِ الْمَيِّتُ مُسَجًّى بِثَوْبٍ يَسْتُرُ جَمِيعَ بَدَنِهِ ، وَكَذَا يَنْبَغِي تَقْيِيدُ الْكَرَاهَةِ بِمَا إِذَا قَرَأَ جَهْرًا

“Dimakruhkan menurut Hanafiyah membaca Al Quran di sisi mayit sampai dia dimandikan. Ada pun hadits Ma’qil bin Yasar, secara marfu’: Bacalah surat Yasin atas orang yang mengalami sakaratul maut di antara kalian. Ibnu Hibban mengatakan maksudnya adalah bagi orang yang sedang menghadapi kematian. Hal ini didukung oleh riwayat Ibnu Abi Dunia dan Ibnu Mardawaih, secara marfu’: Tidaklah seorang mayit dibacakan di sisinya surat Yasin, melainkan Allah akan mudahkan baginya. Sebagian peneliti muta’akhir (masa belakangan) berbeda dengannya, dengan mengambil makna zhahir dari khabar (hadits) itu, dengan berkata: “Bahkan dibacakan atasnya setelah wafatnya dan dia sudah dibungkus oleh kafan.” Ada pun tentang doa, kalangan Hanafiyah juga terjadi perbedaan pendapat. Berkata Ibnu ‘Abidin: “Kesimpulannya, sesungguhnya jika mayit itu dalam kondisi hadats maka tidaklah makruh, jika dia bernajis maka makruh. Secara zhahir ini juga berlaku jika mayit belum dibungkus dengan kain yang menutup seluruh tubuhnya. Demikian juga pemakruhan dibatasi jika membacanya secara Jahr (dikeraskan). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/8)

2. Imam Malik Rahimahullah

Syaikh Ibnu Abi Jamrah mengatakan bahwa Imam Malik memakruhkan membaca Al Quran di kuburan. (Syarh Mukhtashar Khalil, 5 /467)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan dalam Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu:

قال المالكية: تكره القراءة عند الموت إن فعله استناناً كما يكره القراءة بعد الموت، وعلى القبر؛ لأنه ليس من عمل السلف

Berkata kalangan Malikiyah: dimakruhkan membaca Al Quran baik ketika naza’ (sakaratul maut) jika dilakukan menjadi kebiasaan, sebagaimana makruh membacanya setelah wafat, begitu pula di kubur, karena hal itu tidak pernah dilakukan para salaf (orang terdahulu).

(Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/599)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ يُكْرَهُ قِرَاءَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ مُطْلَقًا

“Menurut Malikiyah, dimakruhkan secara mutlak membaca apa pun dari Al Quran.”

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/8)

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik memakruhkan bukan membid’ahkan. Pembid’ahan terjadi pada masa ulama abad pertengahan dan belakangan.

3. Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Beliau mengatakan:

وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَعْزِيَةُ أَهْلِ الْمَيّتِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ هَدْيِهِ أَنْ يَجْتَمِعَ لِلْعَزَاءِ وَيَقْرَأَ لَهُ الْقُرْآنَ لَا عِنْدَ قَبْرِهِ وَلَا غَيْرِهِ وَكُلّ هَذَا بِدْعَةٌ حَادِثَةٌ مَكْرُوهَةٌ

“Di antara petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bertakziah ke keluarga mayit. Dan, bukanlah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkumpul di rumah keluarga mayit untuk menghibur, lalu membaca Al Quran untuk si mayit baik di kuburnya, atau di tempat lain. Semua ini adalah bid’ah yang dibenci.”

(Zaadul Ma’ad, 1/527. Muasasah Ar Risalah)

Namun, dalam kitab beliau yang lain yakni Ar Ruh, Beliau membolehkannya dan mengetengahkan beberapa riwayat yang menguatkan kebolehannya, termasuk riwayat Imam Ahmad bin Hambal yang menganjurkan membaca Al Baqarah di kubur.

4. Para ulama Arab Saudi dan yang mengikutinya

Mereka membid’ahkannya seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Majmu’ al Fatawa Libni Baaz, 13/397), Syaikh Shalih al Fauzan (al Mulakhash al Fiqhi, 1/297), Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad al Badr (Syarh Sunan Abi Daud, 225/34), dan lain-lainnya.

Seperti yang sering kami sampaikan, dalam masalah yang masih diperselisihkan hendaknya lapang dada, ambil yang kita yakini namun jangan cegah yang lain apalagi saling mencela.

Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah menasihati:

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”

(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)

Karena “pencegahan” hanyalah kepada perkara-perkara yang jelas dan disepakati haramnya, jelas dan disepakati munkarnya, dan jelas dan disepakati sesatnya.

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Membaca Al Fatihah Setelah Salat Atau Zikir Pagi Petang

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Mohon izin bertanya ustadz, tentang hukum membaca Al Fatihah setelah sholat atau dalam bacaan zikir pagi/petang. Karena ada yang berpendapat itu bid’ah. Mohon penjelasannya ustadz

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Salah satu adab berdoa adalah mengawali dengan pujian. Salah satu surat yg isinya penuh dengan pujian adalah surat Al Fatihah.

Sehingga tidak mengapa mengawali doa dan dzikir dengan membaca Al Fatihah, tertulis dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah:

وأما الابتداء في دعائك بالفاتحة، فلا حرج عليك فيه؛ لأن الفاتحة تشتمل على الثناء على الله تعالى، وتمجيده، كما في صحيح مسلم وتقديم الثناء في الدعاء محمود في الدعاء

Ada pun memulai doa dengan membaca Al Fatihah, tidak masalah bagi Anda melakukannya, sebab di dalam Al Fatihah mengandung pujian dan pemuliaan kepada Allah ﷻ, dan mendahulukan pujian saat berdoa adalah hal terpuji dalam berdoa. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 256792)

Hal serupa juga dikatakan dalam lembaga fatwa Jordania:

قراءة الفاتحة – بعد الدعاء أو قبله – بقصد التوسل لقبول الدعاء أمر مشروع ولا حرج فيه، وذلك لسببين اثنين:
الأول: أن التوسل بالقرآن الكريم هو توسل بصفة من صفات الله تعالى، والتوسل بصفات الله عز وجل مشروع باتفاق العلماء.
الثاني: أن التوسل بتلاوة الفاتحة توسل بعمل صالح، وهو أيضا مشروع باتفاق العلماء، واختيار سورة الفاتحة خاصة له وجه مقبول شرعا؛ وذلك لأنها أم الكتاب، وتجتمع فيها جميع معاني القرآن العظيم. والله أعلم.

Membaca surat Al Fatihah baik setelah dan sebelum berdoa dengan maksud tawassul dengannya adalah diperbolehkan oleh syariat. Hal krn ada dua sebab:

1. Tawassul dengan Al Quran adalah tawassul dengan sifat di antara sifat-sifat Allah Ta’ala. Ini masyru’ (sesuai syariat) menurut kesepakatan ulama.

2. Tawassul dengan membaca Al Fatihah adalah tawassul dengan amal shalih. Ini pun juga disepakati kebolehannya para ulama. Dipilihnya surat Al Fatihah secara khusus, karena Al Fatihah adalah Ummul Kitab, di dalamnya terkandung semua makna Al Quran yang mulia. Wallahu a’lam

(Al Ifta no. 928)

Lajnah fatwa Darul Ifta Al Mishriyyah, bahwa membaca Al Fatihah di pendahuluan doa dan penutupnya adalah hal yang disyariatkan berdasarkan keumuman dalil-dalil keistimewaan Al Fatihah. Mereka mengatakan:

وعلى ذلك جرى عمل السلف والخلف حتى صنف الشيخ العلاّمة يوسف بن عبد الهادي الحنبلي الشهير بابن المِبْرَد رسالةً في ذلك سمّاها “الاستعانة بالفاتحة على نجاح الأمور” نقل فيها كلام العلامة ابن القيم السابق إيراده من كتابه “زاد المعاد”،

Ini adalah amalan kaum Salaf dan Khalaf, sampai sampai Al ‘Allamah Syaikh Yusuf bin Abdul Hadi Al Hambali yg dikenal dengan Ibnul Mibrad, membuat kitab khusus tentang itu berjudul: “Al Isti’anah bil Fatihah’ ala Najahil Umuur”. Di dalamnya terdapat kutipan dari Ibnul Qayyim yg lalu dari Zaadul Ma’ad. (selesai)

Wallahu A’lam

✏ Farid Nu’man Hasan

Saat Kaset Murattal Terdengar, Apakah Wajib Mendengarkan?

Salah satu adab bagi seorang muslim dikala Al Qur’an dibacakan baik secara langsung atau melalui kaset murattal adalah mendengarkannya dengan seksama. Hal itu sebagai bentuk pemuliaan dan pengagungan atas Kalamullah.

Hanya saja, para fuqaha sejak dahulu memang berbeda pendapat apakah diam dan mendengarkan bacaan Al Quran di luar shalat itu WAJIB atau SUNNAH.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.“ (QS. Al A’raf (7): 204)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan ketika Al Quran dibacakan hendaknya dengarkan dan perhatikan. Namun menurut penjelasan jumhur ulama, ayat ini konteksnya adalah perintah di dalam shalat, bukan di luar shalat. Artinya, jika imam sedang membaca surah maka hendaknya makmum diam, mendengarkan, dan perhatikan.

Pemahaman bahwa itu berlaku di dalam shalat sejalan dengan hadits:

إنما جعل الإمام ليؤتم به ، فإذا كبر فكبروا ، وإذا قرأ فأنصتوا

Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti. Jika dia takbir maka takbirlah, jika dia membaca Al Quran maka diamlah (HR. Muslim)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan beberapa riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat ini, di antaranya:

– Pertama. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Beliau berkata:

كانوا يتكلمون في الصلاة ، فلما نزلت هذه الآية : ( وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له [ وأنصتوا ] ) والآية الأخرى ، أمروا بالإنصات

Dahulu mereka ngobrol di saat shalat, lalu ketika turun ayat ini “Jika dibacakan Al Quran maka dengarkan dan perhatikan” dan ayat lainnya, maka mereka pun diam.

– Kedua. Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, Beliau berkata:

كنا يسلم بعضنا على بعض في الصلاة : سلام على فلان ، وسلام على فلان ، فجاء القرآن ( وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون )

Dahulu kami mengucapkan salam satu sama lain di dalam shalat: “Salam atas fulan, salam atas fulan.” Maka turunlah ayat Al Quran: “Jika dibacakan Al Quran maka dengarkan dan perhatikan agar kamu mendapatkan rahmat”

– Az Zuhri berkata:

نزلت هذه الآية في فتى من الأنصار ، كان رسول الله صلى الله عليه وسلم كلما قرأ شيئا قرأه ، فنزلت : ( وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا )

Turunnya ayat ini berkenaan tentang seorang pemuda Anshar, dahulu jika Rasulullah ﷺ membaca ayat Al Quran (sebagai imam) pemuda itu ikut juga membacanya. Maka turunlah ayat: “Jika dibacakan Al Quran maka dengarkan dan perhatikan agar kamu mendapatkan rahmat”

(Tafsir Ibnu Katsir, 3/536)

Dalam Tafsir Al Qurthubi juga disebutkan:

قيل : إن هذا نزل في الصلاة ، روي عن ابن مسعود وأبي هريرة وجابر والزهري وعبيد الله بن عمير وعطاء بن أبي رباح وسعيد بن المسيب . قال سعيد : كان المشركون يأتون رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى ; فيقول بعضهم لبعض بمكة : لا تسمعوا لهذا القرآن والغوا فيه . فأنزل الله جل وعز جوابا لهم وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا

Dikatakan bahwa ayat ini turun tentang bacaan Al Quran di dalam shalat. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Jabir, Az Zuhri, ‘Ubaidullah bin ‘Amir, Atha’ bin Abu Rabah, dan Sa’id bin al Musayyab.

Sa’id berkata: “Dahulu kaum musyrikin Mekkah mendatangi Rasulullah ﷺ saat sedang shalat, mereka satu sama lain berkata ‘Jangan dengarkan Al Quran, abaikan saja’. Maka turunlah ayat ini sebagai jawaban bagi mereka. (Tafsir Al Qurthubi, 7/353)

Imam Al Qurthubi juga menjelaskan:

ﻗﺎﻝ اﻟﻨﻘﺎﺵ: ﺃﺟﻤﻊ ﺃﻫﻞ اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺃﻥ ﻫﺬا اﻻﺳﺘﻤﺎﻉ ﻓﻲ اﻟﺼﻼﺓ اﻟﻤﻜﺘﻮﺑﺔ ﻭﻏﻴﺮ اﻟﻤﻜﺘﻮﺑﺔ

An Niqasy berkata: para ahli tafsir telah ijma’ bahwa ini berlaku dalam hal mendengarkan bacaan Al Quran di shalat wajib dan selain shalat wajib. (Ibid, 7/354)

Jadi, jika kita rinci adalah sebagai berikut:

– Mendengarkan bacaan Al Quran di dalam shalat yang jahr adalah wajib. Ini ijma’.

– Mendengarkan bacaan Al Quran di luar shalat, diperselisihkan para ulama. Namun mayoritas mengatakan tidak wajib, tapi sunnah.

Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid mengatakan:

الاستحباب والندب ، وحملوا الآية التي في سورة الأعراف في حال الصلاة فقط ، أما في غير الصلاة فالأمر على الندب والاستحباب ، وهذا قول جماهير أهل العلم

Hukum (mendengarkannya) Sunnah dan anjuran, mereka memahami surat Al A’raf tersebut tentang keadaan di dalam shalat saja. Ada pun di luar shalat hanya anjuran dan disukai (sunnah). Inilah pendapat mayoritas ulama. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 88728)

Ada pun mazhab Hanafi dan yang lainnya mengatakan wajib mendengarkan bagi yg tidak ada uzur, sebagaimana wajib mendengarkan di dalam shalat sebab menurut mereka ayat tersebut berlaku umum.

Imam Al Qurthubi berkata:

اﻟﻨﺤﺎﺱ: ﻭﻓﻲ اﻟﻠﻐﺔ ﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﻲء، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺪﻝ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ اﺧﺘﺼﺎﺹ ﺷﻲء

Menurut An Nuhas: menurut bahasa kewajiban ini ada di segala hal, kecuali ada dalil yang menunjukkan khusus pada suatu hal saja. (Ibid, 7/354)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

اﻻﺳﺘﻤﺎﻉ ﺇﻟﻰ ﺗﻼﻭﺓ اﻟﻘﺮﺁﻥ اﻟﻜﺮﻳﻢ ﺣﻴﻦ ﻳﻘﺮﺃ ﻭاﺟﺐ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻫﻨﺎﻙ ﻋﺬﺭ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﻟﺘﺮﻙ اﻻﺳﺘﻤﺎﻉ

Mendengarkan tilawah Al Quran ketika dibacakan adalah wajib jika tidak ada halangan syar’i untuk mendengarkannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 4/85)

Hanya saja Hanafi berbeda pendapat sesama mereka apakah fardhu ‘ain atau kifayah. (Ibid)

Kesimpulan, hal ini memang diperselisihkan, namun demikian alangkah baiknya ketika Al Quran dibacakan hendaknya kita dengarkan dengan seksama terlepas dari apa hukumnya dalam rangka khurujan minal khilaf (keluar dr perselisihan pendapat).

Ada pun disaat kondisi tidak siap mendengarkan Al Quran, ada kesibukan yang menyita perhatian dan pendengaran maka lebih baik tidak menyetel murattal agar murattal tersebut tidak diabaikan.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top