Membaca Ta’awudz Sebelum Al Fatihah di dalam Shalat

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz, izin bertanya tentang membaca ta’awudz sebelum membaca Al-Fatihah dalam shalat apakah di rakaat pertama saja atau setiap rakaat? Jazaakallahu sebelumnya (DG)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Membaca ta’awudz sebelum membaca surat Al Fatihah di dalam shalat, diperselisihkan ulama tentang hukumnya.

1. Wajib

Ini adalah pendapat Atha’, Sufyan Ats Tsauri, Al Awza’i, dan Daud azh Zhahiri. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 3/247-248) Ibnu Hazm sendiri ikut pendapat ini.

Yang mengatakan wajib juga dari Ishaq, salah satu riwayat dari Ahmad, dan Ibnu Baththah. (Al Inshaf, 2/199)

Dalil kelompok ini:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Quran, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. [Surat An-Nahl: 98]

Ayat ini menunjukkan kata perintah, dan perintah pada dasarnya menunjukkan wajib selama tidak ada dalil yang membelokkan menjadi tidak wajib. Kewajiban ini berlaku di dalam shalat dan luar shalat.

2. Sunnah

Membaca ta’awudz bukanlah wajib tapi sunnah, yaitu di rakaat pertama saat membaca Al Fatihah, sebagai pengusir dari gangguan syetan.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Baik para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, dan pendapat resmi (mu’tamad) dari Imam Ahmad. (Lihat Tabyin Al Haqaiq, 1/107, Al Majmu’, 3/280-282, Al Mughni, 1/283, Al Fatawa Al Kubra, 5/332)

Dalil kelompok ini, menurut mereka ayat di atas (An Nahl: 98) tidaklah menunjukkan perintah wajib, karena ada indikasi pada dalil yang lain yg menunjukkan tidak wajib. Di antaranya hadits berikut:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Jika engkau hendak shalat maka takbirlah, lalu bacalah yang mudah bagimu dari Al Quran… (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hadits ini menunjukkan tidak ada isti’adzah di awal bacaan shalat.

Di sisi lain, kaum salaf telah ijma’ bahwa itu sunnah. Ijma’ ini menjadi dalil yang telak bahwa itu bukan wajib.

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

واحتجّ الجمهور بأنّ الأمر للنّدب ، وصرفه عن الوجوب إجماع السّلف على سنّيّته

Mayoritas ulama berhujjah bahwa perintah tersebut bermakna nadb (sunnah) dan telah keluar dari makna wajib, yaitu adanya ijma’ kaum salaf atas kesunnahannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 4/6)

Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وإن تركه ناسيا أو جاهلا أو عامدا لم يكن عليه إعادة ولا سجود سهو ، وأكره له تركه عامدا

Jika meninggalkan ta’awudz karena lupa atau jahil (tidak tahu) atau sengaja, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya dan tidak ada sujud sahwi, dan aku menganggap makruh orang yang meninggalkan secara sengaja

Beliau juga berkata:

عَلَّمَ رجلا ما يكفيه في الصلاة فقال : ( كَبِّر ثُمَّ اقْرَأ ) قال : ولم يُروَ عنه أنه أمره بتعوذ ولا افتتاح ، فدل على أن افتتاح رسول الله صلى الله عليه وسلم اختيارٌ ، وأن التعوذ مما لا يُفسِدُ الصلاةَ إن تركه

Rasulullah ﷺ mengajarkan seseorang bacaan yang mencukupi dalam shalat: “bertakbirlah lalu bacalah”, tidak ada riwayat Beliau memerintahkan membaca ta’awudz dan iftitah. Ini menunjukkan ta’awudz dan ifititah-nya Rasulullah ﷺ adalah OPSIONAL (pilihan) saja, sesungguhnya ta’awudz termasuk hal yang jika ditinggalkan tidaklah merusak shalat. (Al Umm, 1/208)

3. Makruh di shalat wajib, boleh di shalat sunnah

Ini adalah pendapat para ulama Malikiyah. Imam Ad Dardir Al Maliki mengatakan:

وكره تعوذ وبسملة قبل الفاتحة والسورة (بفرض) أصلي، وجازا بنفل ولو منذورًا، وتركهما أولى ما لم يراع الخلاف

Pada dasarnya, dimakruhkan membaca ta’awudz dan basmalah sebelum membaca Al Fatihah dan surah pada shalat wajib, dan dibolehkan pada shalat sunnah walau itu shalat sunnah yang disebabkan nazar, dan meninggalkan keduanya (ta’awudz dan basmalah) adalah lebih utama selagi tidak memperpanjang perselisihan. (Asy Syarh Ash Shaghir, 1/337)

Alasan kelompok ini adalah basmalah dan ta’awudz bukan bagian dari Al Fatihah, dan tidak ada riwayat yang menunjukkan adanya bacaan ta’awudz dalam shalat.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Ulama Madzhab vs Ulama Salafi

Pertanyaan

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dalam banyak hal seringnya dikelompokkan jadi ulama 4 Madzhab Vs Ulama Salafi kontemporer, padahal seringkali yg dijadikan pegangan adalah sama2 Al-Quran dan Hadist, pertanyaan saya :
1. apakah ulama Salafi kontemporer lebih valid dan lebih paham dibanding ulama 4 madzhab terdahulu ?
2. Jika Salafi diartikan sebagai mengikuti Salafus Shalih, bukankah 4 Imam Madzhab termasuk sebagai generasi Salaf, lebih deket sanad keilmuannya dengan para sahabar Rasullulloh, kenapa bisa beda pemahamannya antara ulama generasi Salaf dengan Ulama Salafi kontemporer ?
3. Apakah Salafi kontemporer adalah pengertian bagi “ulama yang “bebas madzhab”
4. Saya pernah baca adanya tudingan bahwa kelompok yang mengaku Salafi sebetulnya “madzhab” baru yang comot sana comot sini dan menafsirkan sesuatu menurut pemahamannya sendiri (seringkali berbeda dengan pemahaman ulama generasi Salaf) karena kodifikasi “madzhab” baru ini blm jelas, betulkah begitu Ustadz ?
5. Manhaj Salaf dan golongan yang mengaku Salafi siapakah tokoh pendirinya (tokoh awalnya) ?
Sebetulnya masih banyak pertanyaan2 yang ingin ditanyakan, insya Allah lain kesempatan akan disampaikan ke Ustadz
Jazakallah Ustadz buat penjelasannya …


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

1. Secara global ulama terdahulu lebih utama dibanding saat ini. Baik secara ketaqwaan, keilmuan, kezuhudan.

Imam Ibnul Baththal berkata:

لِأَنَّهُ يُفْتَحُ لِلصَّحَابَةِ لِفَضْلِهِمْ ثُمَّ لِلتَّابِعِينَ لِفَضْلِهِمْ ثُمَّ لِتَابِعيِهِمْ لِفَضْلِهِمْ قَالَ وَلِذَلِكَ كَانَ الصَّلَاحُ وَالْفَضْلُ وَالنَّصْرُ لِلطَّبَقَةِ الرَّابِعَةِ أَقَلَّ فَكَيْفَ بِمَنْ بعدهمْ

Hadits ini diawali dengan keutamaan para sahabat, lalu para tabi’in dengan keutamaan mereka, lalu para pengikut tabi’in dengan keutamaan mereka. Maka, generasi keempat lebih sedikit lagi keshalihan, keutamaan, dan kewibawaannya dibanding mereka. Lalu, bagaimana dengan manusia setelah mereka? (Dikutip Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid. 6, hal. 89)

Tapi, secara individu bisa saja ada ulama atau manusia zaman kemudian bagus seperti ulama terdahulu.

Ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَثَلُ أُمَّتِي مَثَلُ الْمَطَرِ لاَ يُدْرَى أَوَّلُهُ خَيْرٌ أَمْ آخِرُهُ

Umatku bagaikan air hujan, tidaklah diketahui manakah yang terbaik; awalnyakah atau akhirnya?

(HR. At Tirmidzi no. 2869. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan shahih, karena banyak jalur yang menguatkannya. Fathul Bari, jilid. 7, hal. 6)

Dalil lainnya, Abu ‘Ubaidah Radhiallahu ‘Anhu bertanya:

يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ أَحَدٌ خَيْرٌ مِنَّا؟ أَسْلَمْنَا مَعَكَ وَجَاهَدْنَا مَعَكَ، قَالَ: ” نَعَمْ، قَوْمٌ يَكُونُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي “

“Wahai Rasulullah, apakah ada seorang yang lebih baik dari kami? Kami berislam bersamamu dan kami berjihad bersamamu.” Beliau bersabda: “Ya, yaitu kaum yang datang setelah zaman kalian, mereka beriman kepadaku padahal mereka belum pernah melihatku.”

(HR. Ahmad no. 16979, Shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, jilid. 28, hal. 182)

Kemudian, jika disebut “ulama salafi” janganlah menyempitkan pada kelompok tertentu saja. Sebab, esensinya adalah siapa pun yang mengikuti jalan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dalam paradigma dan beramal dalam islam, itulah salafi. Dia bisa ada pada ormas A, B, C, atau komunitas A, B, C.

2. Ulama 4 madzhab itu salaf, sebab mereka hidup di tiga abad atau kurun pertama Islam.

Perbedaan pendapat antara ulama bukan hanya antara ulama terdahulu dan sekarang, tapi juga sesama ulama terdahulu juga banyak berbeda, sejak masa sahabat. Mereka sama dalam prinsip dasar, atau titik tolak utama, tapi bisa saja berbeda dalam sudut pandang dalam aplikasi masalahnya yang praktis. Contoh, semua ulama sepakat RIBA ITU HARAM, baik berdasarkan Al Quran, Sunnah, dan Ijma’. Tapi, ketika ada persoalan baru dalam muamalah (misal go pay), lalu muncul pertanyaan apakah itu BOLEH atau HARAM? Pihak 1 bilang haram karena mengandung RIBA, pihak 2 mengatakan BOLEH karena itu BUKAN RIBA. Jadi, mereka berbeda dalam memberikan batasan atau persepsinya sehingga berdampak pada perbedaan dalam menghukuminya.

3. Salafi Kontemporer, jika yang antum maksud adalah ulama pada kelompok “salafiyah” yang berpusat di Arab Saudi, lalu tersebar di Jordan (Markaz Al Albani), Mesir (Hizbun Nuur, atau kelompoknya Muhammad Raslan), Yaman (Dammaj), atau juga di Indonesia (radio Rodja, yufid, dan mantan-mantan Lasykar Jihad), maka mereka tidak menyatakan secara lugas sebagai Hambaliyah. Namun para ulama Arab Saudi seperti Syaikh Bin Baaz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, fikrah dasarnya memang Hambali. Di Maktabah Syamilah, buku-buku mereka diklasifikasilan sebagai buku-buku Hambaliyah.

Hambaliyah, tidak selalu sama dengan Imam Ahmad. Itu hal biasa. Sebagaimana Syafi’iyah juga tidak selalu sama dengan Imam Asy Syafi’i.

– Imam Ahmad mengatakan boleh baca Al Quran di kuburan, sampai membaca Al Quran buat mayit. Tapi Hambaliyah masa kini umumnya melarang dan membid’ahkan.

– Imam Ahmad membolehkan shalat dengan niat untuk orang yang sudah wafat. Sementara sebagian Hambaliyah saat ini mengatakan tidak boleh.

– Kebalikannya, Imam Asy Syafi’i mengatakan bacaan Al Quran tidak sampai ke mayit, tapi Syafi’iyah mengatakan sampai dan boleh.

4. Mereka yang tidak mau terikat dgn 4 madzhab, sebenarnya bukan saat ini saja. Di Indonesia masalah ini sudah lama, sejak masa Muhammadiyah, Persis, dan Al Irsyad, yang mana mereka tidak terikat dengan madzhab mana pun. Konsep mereka adalah tarjih, dari semua madzhab yang ada, yang dianggap lebih kuat dalilnya. Jadi, secara metodologi kelompok salafi saat ini tidak beda dengan kelompok-kelompok ini. Di luar negeri pun yang seperti ini juga ada.

Tapi, jika kita lihat para IMAM di dunia keilmuan baik fiqih dan hadits khususnya setelah abad ke 3 H, pastilah mereka bermadzhab, sulit dijumpai ulama tanpa madzhab setelah abad itu. Rata-rata imam ahli hadits, fiqih, tafsir, madzhabnya adalah Syafi’i. Nama2 mereka lebih masyhur di dunia Islam.

Al Baihaqi, Ibnu Hibban, Ad Daruquthni, Imam Hakim, An Nawawi, Ibnu Hajar, As Suyuthi, Ibnu Katsir, Adz Dzahabi, Ar Razi, Al Qaffal, Al Mawardi, dll.

Ada pun Maliki, seperti Ibnu Abdul Bar, Al Hathab, Al Khalil, dll.

Hanafi seperti Az Zaila’i, Ibnu Abidin, Ali Al Qari.

Ada pun Hambali seperti Ibnul Jauzi, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim.

5. Manhaj Salaf, itu bukan kelompok tapi metode. Kalo manhaj tentu sudah ada sejak zaman salaf. Namun di buku-buku klasik, lebih dikenal istilah Madzhab Salaf, bukan manhaj salaf.

Kelompok itu jamaah, atau firqah. Kelompok atau firqah, atau komunitas yang disebut salafi baru ramai sekitar tahun 80an awal. Tokohnya adalah Syaikh Bin Baaz dan murid-muridnya, yang merupakan estafeta dakwah dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang juga estafeta dari Imam IbnubTaimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Mereka semua madzhabnya Hambali. Oleh karena itu mereka juga di sebut golongan ATSARIYAH (AHLI HADITS), yg dimotori oleh Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah.

Imam As Safarayini Rahimahullah mengatakan:

الفائدة الرابعة التعريف بأهل السنة]
(الرَّابِعَةُ) : أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثَلَاثُ فِرَقٍ: الْأَثَرِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَالْأَشْعَرِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ، وَالْمَاتُرِيدِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَبُو مَنْصُورٍ الْمَاتُرِيدِيُّ، وَأَمَّا فِرَقُ الضَّلَالِ فَكَثِيرَةٌ جِدًّا

Faidah yg keempat: Definisi Ahlus Sunnah.
Keempat: Ahlus Sunnah ada tiga kelompok.

1. Al Atsariyah, imam mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

2. Al Asy’ariyah, imam mereka adalah Imam Abul Hasan Al Asy’ariy Rahimahullah

3. Al Maturidiyah, imam mereka adalah Imam Abu Manshur Al Maturidiy Rahimahullah
Adapun firqoh sesat sangat banyak… (Imam Syamsuddin As Safarayini, Lawami’ Al Anwar Al Bahiyah wa Sawathi’ Al Asrar Al Atsariyah, 1/73)

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Allah Memerintahkan Suami Berkata Lembut

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alikum, Bagaimana hukumnya klw seorang istri yang tidak betah ga nyaman lg tinggal bersama satu rumah dgn swami. Karna kata2 swami yg sering pedes…. Syukran Ustadz.

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Suami mesti bikin nyaman, ciptakan suasana yang membuat istrinya betah. Istri adalah amanah Allah, bukan hanya amanah mertua.

Berkata-kata lembut itu hal yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada para suami.

Allah Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا

Dan bergaullah dengan mereka (istri) menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.

(QS. An-Nisa’, Ayat 19)

Dalam hadits:

خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي

Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap istrinya, dan aku yang terbaik terhadap istriku.

(HR. At Tirmidzi No. 3895, dari ‘Aisyah. Imam At Tirmidzi berkata: hasan shahih)

Ada pun istri, jangan terburu-buru minta cerai, atau lari dari rumah tanpa izin. Semestinya bersabar dan memperbaiki suaminya, nasihati dgn baik, jika selama suami masih “manusia” selama itu pula masih ada hati yang bisa berubah. Sebab, hati manusia di genggaman Allah Ta’ala. Doakan dia dan bantu dia untuk berubah.

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Menghilangkan Najis Babi Pada Wadah dan Badan

Pertanyaan

Assalamualaikumwarahmatuallahi wabarkatuh
Ustad saya bekerja di laboratorium mikro swasta. Ada larutan yang kami pakai untuk analisa itu mengandung babi. Pertanyaan yang ingin saya tanyakan:

1. Setahu saya najis babi dibersihkan dengan cukup mencuci saja hingga bersih tanpa tergantung 7x cuci dan 1 satu dg debu. Apakah boleh saya mencucinya dengan air dicampur sabun cuci biasa? Apakah harus pakai sabun khusus? Karena tempat kerja saya hanya menyediakan sabun cuci biasa.

2. Salah satu peralatan yang terkena najis babi itu Petri (wadah cawan berbahan beling). Jumlah petri tersebut yg harus kami cuci tiap hari minimal 200 petri. Apakah boleh mencucinya petri tersebut l dengan direndam air dan sabun dalam baskom. Terus setelah itu direndam lagi dengan air saja dibaskom lain? Karena dilab seperti itu caramembersihkan peralatan lab nya. Saya berpikir banyak sekali air yang harus dipakai di lab bila harus di alirakan dengan air satu satu. Padahal jumlahnya ratusan dan yang bekerja juga bukan saya saja, soalnya rekan kerja saya juga bertugas mencuci bersama. Dan tiap minggu akan bergilir 2 orang mencuci. Saya tidak berani menegur dan mengajari mereka. Saya takut dibenci.

3. Saya memakai sarung tangan saat mencuci.setelah selesai dahulu saya selalu cuci dengan 7x cuci dan salah satu dg tanah. Tapi setelah saya mendengar ceramah katanya tidak apa2 mencuci sekali saja tanpa tanah. Jadi saya cuci tangan saya dengan air dan sabun tanpa jumlah tertentu. Apakah itu sudah suci ya ustad?

4. Apakah baskom dan basin sink (wastafel) tempat mencuci tersebut harus dicuci dengan air dan sabun juga kalau sudah selesai mencuci peralatan lab yg terkena najis ya ustad?

5. Rekan rekan kerja saya beragama islam, mereka tahu itu najis tapi mereka biasa saja. Mereka tidak memakai sarung saat cuci. Jadi saya takut mereka tidak mensucikan setalah memegang najis. Saya jadi was was najis akan menyebar di lab dan ruangan lain. Saya ingin menegur juga tidak berani ustad, saya takut mereka marah, mengucilkan saya.

6. Karena najis ini saya jadi terpikir terusan. Apalagi saat akan shalat. Saya takut shalat saya tidak diterima. Bahkan saya pernah mengguyur seluruh tubuh saya 7 kali dan 1 satunya dengan tanah saking parnonya dengan najis. Ibadah saya jadi terganggu ustad. Apa yang harus saya lakukan ustad dengan pikiran badan saya yang terkena najis ini?
Saya mohon bantuan jawabannya ustad. Terima kasih sebulumnya dan maaf kalo pertanyaan saya panjang ustad.
(Tia – Palembang)


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Semoga Allah Ta’ala merahmati Anda dan keluarga..

Semua pertanyaan di atas secara substansi sama, yaitu tentang tata cara menghilangkan najis babi, apakah cukup dengan air saja sampai sebersih bersihnya ataukah mesti dengan tujuh kali cucian dengan tanah diawalnya diqiyaskan dengan najisnya liur anjing.

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, yaitu:

1. Dibersihkan dengan cara seperti membersihkan najis liur anjing

Inilah pendapat sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah. Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah:

ويكون تطهير الإناء إذا ولغ فيه بأن يغسل سبعا إحداهن بالتراب – عند الشافعية والحنابلة – لحديث أبي هريرة – رضي الله عنه -: {إذا شرب الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبع مرات} وفي رواية: {فليرقه ثم ليغسله سبع مرات} وفي أخرى: {طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب}. قالوا: فإذا ثبت هذا في الكلب فالخنزير أولى لأنه أسوأ حالا من الكلب وتحريمه أشد

Mensucikan wadah jika anjing minum di dalamnya adalah dengan cara dicuci tujuh kali dan salah satunya dengan tanah menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, berdasarkan hadits: “Jika seekor anjing minum di bejana kalian maka cucilah tujuh kali”. Dalam riwayat lain: “Sucikanlah bejana kalian jika anjing minum padanya dengan tujuh kali cucian dan awalnya dengan tanah”.

Mereka mengatakan jika telah shahih hal ini atas anjing, maka babi lebih layak disikapi seperti itu, sebab kenajisannya lebih berat dan keharamannya lebih tegas. (Al Mausu’ah, 20/34)

2. Dicuci tiga kali

Ini adalah pendapat mazhab Hanafi. Sebagaimana tertera dalam Al Mausu’ah:

وَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ: يَكُونُ تَطْهِيرُ الإِْنَاءِ إِذَا وَلَغَ فِيهِ خِنْزِيرٌ بِأَنْ يُغْسَل ثَلاَثًا

Menurut Hanafiyah cara mensucikan bejana yang mana Babi minum padanya adalah dengan dicuci tiga kali. (Ibid)

Artinya tidak perlu pakai pasir/tanah dan tujuh kali cucian. Dengan sabun lebih sempurna lagi.

3. Dicuci sekali saja

Ini adalah pendapat Imam asy Syafi’i. Menurut Imam An Nawawi inilah pendapat yang lebih shahih.

Imam An Nawawi menjelaskan:

وذهب أكثر العلماء إلى أن الخنزير لا يفتقر إلى غسله سبعا ، وهو قول الشافعي ، وهو قوي في الدليل

Mayoritas ulama mengatakan bahwa najis Babi tidak perlu dicuci tujuh kali, ini adalah pendapat Asy Syafi’i, dan dalilnya kuat. (Syarh Shahih Muslim, 1/448)

Beliau juga berkata:

واعلم أن الراجح من حيث الدليل أنه يكفي غسلة واحدة بلا تراب ، وبه قال أكثر العلماء الذين قالوا بنجاسة الخنزير . وهذا هو المختار ; لأن الأصل عدم الوجوب حتى يرد الشرع

Ketahuilah bahwa yang rajih (lebih kuat dalilnya) adalah cukup mencucinya sekali saja tanpa tanah. Inilah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan najisnya babi. Inilah pendapat yang terpilih. Sebab, hukum asalnya adalah tidak ada kewajiban sampai adanya dalil syariat. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 2/604)

4. Tidak perlu dicuci, karena tidak najis.

Ini pendapat Malikiyah, yaitu jika Babi itu masih hidup maka suci yaitu kulit dan bulunya. Kalau pun dicuci karena faktor kebersihan saja, bukan karena itu najis. Ini juga pendapat Ibnu Taimiyah, Sayyid Sabiq, dll.

وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى عَدَمِ نَجَاسَةِ سُؤْرِ الْخِنْزِيرِ وَذَلِكَ لِطَهَارَةِ لُعَابِهِ عِنْدَهُمْ

Malikiyah mengatakan tidak najisnya bulu babi, hal karena liurnya Babi suci menurut mereka. (Ibid)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

وَالْقَوْلُ الرَّاجِحُ هُوَ طَهَارَةُ الشُّعُورِ كُلِّهَا : شَعْرُ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ وَغَيْرُهُمَابِخِلَافِ الرِّيقِ

“Dan pendapat yang kuat adalah sucinya bulu seluruh hewan: bulu anjing, babi, dan selain keduanya. Sedangkan liur terjadi perbedaan pendapat.”

Apa alasan Beliau?

وَذَلِكَ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْأَعْيَانِ الطَّهَارَةُ فَلَا يَجُوزُ تَنْجِيسُ شَيْءٍ وَلَا تَحْرِيمُهُ إلَّابِدَلِيلِ

“Hal itu karena asal dari berbagai benda adalah suci, maka tidak boleh menajiskan sesuatu dan mengharamkannya kecuali dengan dalil.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/617)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

ويجوز الحرز بشعر الخنزير في أظهر قولي العلماء

Dibolehkan membuat benang dari bulu Babi menurut pendapat yang benar di antara dua pendapat ulama. (Fiqhus Sunnah, 1/25)

Dalam  Syarhush Shaghir:

وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى طَهَارَةِ عَيْنِ الْخِنْزِيرِ حَال الْحَيَاةِ ، وَذَلِكَ لأِ نَّ الأْ صْل فِي كُل حَيٍّ الطَّهَارَةُ

Kalangan Malikiyah berpendapat sucinya Babi secara zat dalam keadaan hidup, hal itu karena hukum asal segala hal yang hidup adalah suci. (Syarhus Shaghir, 1/43)

Lalu disebutkan:

فَطَهَارَةُ عَيْنِهِ بِسَبَبِ الْحَيَاةِ ، وَكَذَلِكَ طَهَارَةُ عَرَقِهِ وَلُعَابِهِ وَدَمْعِهِ وَمُخَاطِهِ

Maka sucinya zat Babi karena sebab hidupnya, demikian juga sucinya keringat, air liur, dan ingusnya.(Ibid)

Ada pun ketika babi itu mati (bangkai) maka najis seluruh bagian tubuhnya baik luar dan dalamnya, dan sepakat semua imam atas hal itu.

Melihat kondisi yg ditanyakan Saudara penanya, yang keadaannya begitu sulit menghindar, dan begitu banyak bejana bahkan sampai ratusan, maka pendapat kedua yang dipilih Imam asy Syafi’i, Imam An Nawawi yaitu cukup dengan sekali cucian yg bersih dan tanpa tanah, adalah pendapat yang paling pas dengan kondisinya .

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top