Puasa Arafah dan Idul Adha; Keutamaan dan Waktu Pelaksanaanya

💢💢💢💢💢💢💢💢

1. Istilah Arafah memiliki empat makna:

a. Menunjukkan nama tempat. (Umdatul Qari, 1/263, Al Mufradat fi Gharibil Quran, 969)

b. Menunjukkan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim as menyembelih anaknya, dan dia baru ketahui (‘arafa) di keesokkan harinya (tanggal 9 Dzuhijjah). (Al Mughni, 3/58)
Makna peristiwa juga disebutkan Ibnu Abbas yaitu peristiwa ta’aruf-nya Nabi Adam as dan Hawa, keduanya berkenalan di Arafah, karena itulah dinamakan Arafah. (Al Kamil fit Tarikh, 1/12)

c. Nama hari ke-9 Dzulhijjah. (Tafsir Ar Razi, 5/324)

d. Nama salah satu aktivitas ibadah yaitu wuquf, dari hadits al-hajju ‘arafah. (HR. At Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dll)

Maka, dari sini sudah bisa diketahui istilah “Hari Arafah’ sudah dikenal sejak masa para nabi sebelum Rasulullah Saw, dan sebelum adanya wuquf dan puasa arafah itu sendiri. Sehingga istilah “Hari Arafah” tidak mesti merujuk pada wuquf.

2. Berpuasa di tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan puasa Arafah, adalah sunnah dan memiliki keutamaan yang besar yaitu menghapuskan dosa setahun lalu dan setahun setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut:
Dari Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Nabi ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, beliau menjawab: “Menghapuskan dosa tahun lalu dan tahun kemudian.” (HR. Muslim No. 1162)

Sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, senin pertama setiap bulan, dan dua kali kamis. (HR. An Nasa’i No. 2417, shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan an Nasa’i no. 2417)

3. Kesunnahan puasa Arafah berlaku bagi yang sedang tidak wuquf di Arafah. Sedangkan bagi yang sedang wuquf tidak dianjurkan berpuasa.

Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan: “Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari ‘Arafah, kecuali bagi yang sedang di ‘Arafah.” (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No. 749).

Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ

Rasulullah ﷺ melarang berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. (HR. Abu Daud No. 2440. Dinyatakan shahih oleh Imam Hakim, Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Adz Dzahabi, namun dinyatakan dhaif oleh Syaikh Syuaib al Arnauth dan Syaikh al Albani)

4. Puasa Arafah dilakukan tanggal 9 Dzulhijjah di sebuah negeri, maka hendaknya seorang muslim berpuasa berpatokan pada waktu real tanggal 9 Dzulhijjah di negerinya, berdasarkan beberapa alasan berikut:

a. Zahir hadits:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ ….

Bahwa Rasulullah ﷺ berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah … (HR. An Nasa’i No. 2417, shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan an Nasa’i no. 2417)

b. Haji wada’ yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ terjadi pada tahun 10 H. (Tarikh Khalifah bin Khayat, hal. 94, lihat juga Tafsir Ibnu Katsir, 6/378, Tafsir Al Qurthubi, 6/61, Tafsir Ar Razi, 1/1605), sedangkan puasa Arafah dan Shalat Idul Adha sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 Hijriyah. (Bulughul Amani, 6/119, Subulussalam, 1/60).

Ini menunjukkan patokan shaum Arafah saat itu adalah tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan wuqufnya karena wuquf belum ada.

c. Dalam sejarah, haji pernah tidak dilaksanakan selama 40 kali, baik karena konflik, kerusuhan, dan bencana. Namun aktivitas ibadah shaum arafah dan Idul Adha di negara lain tetap berlangsung seperti biasa di tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah.

d. Keterangan para ulama sebagai berikut:

Imam Al Kharasyi Al Maliki mengatakan bahwa puasa Arafah itu ditentukan oleh waktu tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan karena wuqufnya:

(قَوْلُهُ: وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ

“Hari Arafah dan Asyura -sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. Jika ditinjau dari sisi puasa maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut.
Musim adalah waktu yang terkait dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal “Arafah” adalah tempat wukuf, akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya, 9 Dzulhijjah. (Syarh Mukhtashar Al-Khalil, 2/234)

Imam Ibnu ‘Abidin juga mengatakan puasa Arafah terkait tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan tempatnya, Beliau menjelaskan jika disebut ‘arafah maka itu nama hari, jika disebut ‘arafaat maka itu nama tempat. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/177)

5. Jika sudah ketahui 9 Dzulhijjah sebagai waktu Shaum Arafah, maka keesokkan harinya adalah hari Idul Adha dan pelaksanaan shalat Id. Maka, hendaknya membersamai manusia di dearahnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi no. 697, Shahih. Lihat Ash Shahihah No. 224)

Imam At Tirmidzi menjelaskan: “Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷🌸🍀🍁🍃🌴🌻

✍️ Farid Nu’man Hasan

Penentuan Lebaran Haji (10 Zulhijjah), Karena Wuquf di Arafah atau Tanggal 9 Zulhijjahnya di Masing-Masing Negeri?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Hari raya dan Aktifitas shaum sunnah arafah, shalat id-nya, dan menyembelih qurban, adalah ditentukan oleh tanggalnya yaitu 9, 10, 11, 12, 13 Zulhijjah. Walau SEANDAINYA di tanah suci tidak berlangsung wuquf tanggal 9 Zulhijjah, tapi tanggal 9 Zulhijjah itu sendiri akan tetap berlangsung di negeri manapun.

Imam Al Kharasyi Al Maliki mengatakan bahwa puasa Arafah itu ditentukan tanggal 9 Dzulhijjahnya. Beliau berkata:

(قَوْلُهُ: وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ

“Hari Arafah dan Asyura -sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. Jika ditinjau dari sisi puasa maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut.

Musim adalah waktu yang terkait dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal “Arafah” adalah tempat wukuf, akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya, 9 Dzulhijjah.”

(Syarh Mukhtashar Al-Khalil, 2/234)

Hal ini berdasarkan hadits:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, senin pertama setiap bulan, dan dua kali kamis.

(HR. An Nasa’i No. 2417, shahih)

Kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa puasa Arafah, dan shalat Idul Adha (sudah ada sejak 2 Hijriyah) alias SEBELUM Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan ibadah haji, dengan kata lain sudah ada sebelum adanya Wuquf. Tentunya patokan saat itu bukan Wuquf karena wuqufnya belum ada baik tahun 2,3,4,5 sampai setahun sebelum haji wada’.

Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa puasa Arafah sudah dikenal dan biasa dilakukan generasi awal Islam di masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat. (Fathul Bari, 6/268)

Artinya “kebiasaan” ini menunjukkan bahwa shaum Arafah (9 Zulhijjah) dan Shalat Idul Adha (10 Zulhijjah) itu terjadi karena waktunya, bukan semata-mata adanya wukuf, sebab wukuf baru dilakukan tahun 10 Hijriyah saat haji wada’. Itulah wukuf satu-satunya yang Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan, hanya sekali. Sejarah ini menunjukkan ibadah-ibadah tersebut sudah dilakukan walau belum ada haji kaum muslimin.

Wallahu A’lam bish Shawwab

🌷🌸🍀🍁🍃🌴🌻

✍️ Farid Nu’man Hasan

Apa Makna: Menguap Berasal Dari Syetan?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

التَّثَاؤُبُ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ الشَّيْطَانُ

Menguap itu dari syetan, jika salah seorang kamu menguap maka tahanlah semampunya, karena jika kamu bersuara “HA” maka syetan tertawa. (HR. Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Hurairah)

Beragam penjelasan para ulama, di antaranya Imam Ibnul Baththal dalam Syarh Shahih Bukhari:

إضافة التثاؤب إلى الشيطان بمعنى إضافة الرضا والإرادة , أي : أن الشيطان يحب أن يرى الإنسان متثائباً ، لأنها حالة تتغير فيها صورته فيضحك منه ، لا أن المراد أن الشيطان فعل التثاؤب

Dikaitkannya menguap berasal dr syetan, maksudnya kaitan ridha dan kehendak. Maknanya syetan suka melihat org nguap sebab itu keadaan berubahnya penampilan manusia dan syetan menertawakannya. Bukan bermakna syetan yang membuatnya nguap.

(Syarh Shahih al Bukhari, 9/370)

Sementara Imam An Nawawi mengatakan itu adalah peringatan atas sebab munculnya nguap yaitu banyak makan:

التحذير من السبب الذي يتولد منه ذلك ، وهو التوسع المأكل

Warning terhadap sebab yang melahirkan hal tersebut, yaitu memperluas berbagai makanan.

(Syarh Shahih Muslim, 18/122)

Ada pun Imam Ibnul ‘Arabi mengaitkan menguap dgn kemalasan, itulah disebut berasal dari syetan:

والتثاؤب من الامتلاء ، وينشأ عنه التكاسل ، وذلك بواسطة الشيطان

Menguap disebabkan kekenyangan, dan itu menghasilkan kemalasan, dan itu perantarai oleh setan.

(Dikutip oleh Allah Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/612)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🌸🍀🍁🍃🌴🌻

✍️ Farid Nu’man Hasan

Shalat Qadha Sambil Duduk Karena Sakit

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum, saya ayu dari bekasi, maaf izin bertanya, saya sedang qodho sholat saya yang sudah bertahun” saya tinggalkan, karena jumlah yang sangat banyak terkadang saat mengqodho saya pusing (seperti ingin pingsan/mual) dan juga sangat lelah, apakah dalam hal ini diperbolehkan sholat sambil duduk? Ayu, Bekasi

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika rasa sakitnya benar-benar tidak membuat mampu berdiri, maka tidak apa-apa shalat wajib -termasuk shalat qadha- dengan duduk.

Dalil-dalil umum:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, Dia tidak menghendaki kesulitan bagimu.

(QS. Al Baqarah: 185)

Ayat lain:

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya.

(QS. Al Baqarah: 286)

Dalil khususnya:

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Salatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan”.

(HR. Bukhari no. 1117)

Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan:

من حصل له عذر من مرض ونحوه لا يستطيع معه القيام في الفرض يجوز أن يصلي قاعدا، فإن لم يستطع القعود صلى على جنبه يومئ بالركوع والسجود ويجعل سجوده أخفض من ركوعه

ٍSiapa yang mengalami udzur berupa sakit dan semisalnya, dia tidak mapu shalat wajib dengan berdiri, maka boleh baginya shalat dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka shalat dengan berbaring, dengan cara mengangguk saat ruku’ dan sujud, dengan sujud lebih nunduk dibanding ruku’nya.

(Fiqhus Sunnah, jilid. 1, hal. 277)

Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah disebutkan:

فَمَنْ عَجَزَ عَنْ أَدَاءِ الصَّلاَةِ عَلَى الصِّفَةِ الْمَشْرُوعَةِ جَازَ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِالصِّفَةِ الَّتِي يَسْتَطِيعُ بِهَا أَدَاءَ الصَّلاَةِ، فَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ صَلَّى جَالِسًا، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ. وَهَذَا بِاتِّفَاقٍ لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ: صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Siapa yang tidak mampu menunaikan shalat dengan bentuk yang ditetapkan syariat, maka boleh baginya shalat dengan bentuk sejauh kemampuannya. Maka, Siapa yang tidak bisa berdiri hendaknya dia shalat duduk, siapa yang tidak mampu duduk maka hendaknya berbaring. Ini adalah hal yang disepakati ulama, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Imran bin Hushain: “Salatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan.”

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, jilid. 2, hal. 332)

Namun jika sebenarnya dia MASIH MAMPU BERDIRI, tapi memilih untuk duduk, maka shalatnya tidak sah.

Imam Ath Thibiy menjelaskan:

وصلاة الفرض قاعداً مع قدرته علي القيام لم يصح، بل يأثم فيه

Shalat wajib dengan cara duduk padahal dia mampu berdiri maka tidak sah shalatnya, bahkan dia berdosa.

(Al Kasyif ‘an Al Haqaiq, jilid. 4, hal. 1215)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🌸🍀🍁🍃🌴🌻

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top