Hendak Nikah Sedangkan Suami Masih CALON MUALLAF?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalammualaikum warohmatullohi wabarokatuh, calon suami anak saya berkebangsaan Amerika, hendak menikah secara Islam, alhamdulillah ia berniat masuk Islam. Apa yang harus diprioritaskan dalam proses untuk mualaf, apakah: mempelajari agama Islam terlebih dahulu atau melakukan syahadat, baru kemudian mempelajari agama Islam? (HS, Jakarta)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Paling utama yang mesti dilakukan adalah pastikan keislaman calon suaminya dulu, ajak dia bersyahadat utk masuk Islam, SEBELUM akad nikah.

Sebab, para ulama sepakat atas larangan laki-laki non Muslim menikah dengan wanita muslimah.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan bahwa larangan tersebut adalah ijma’ (konsensus), katanya:

وَالْإِجْمَاعُ الْمُنْعَقِدُ عَلَى تَحْرِيمِ تَزَوُّجِ الْمُسْلِمَاتِ عَلَى الْكُفَّارِ

Dan, telah menjadi ijma’ (konsensus) yang kuat atas haramnya wanita muslimah menikahi orang-orang kafir.

(Al Mughni, jilid. 7, hal. 155)

Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah juga berkata:

أجمع على هذا كل من نحفظ عنه من أهل العلم

Telah ijma’ atas hal ini (yaitu haram dan batalnya pernikahan muslimah dengan non Muslim) dari setiap orang yang kami ketahui dari kalangan ulama. (Dikutip oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Asy Syarh Al Kabir, jilid. 20, hal. 193)

Setelah dia syahadat, nikah dgn anak ibu, maka bantu dia untuk belajar tentang Islam. Bisa melalui Islamic Center di AS atau jika dia tinggal di sini bisa datangkan guru. Minimal ajarkan hal paling pokok yaitu ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, dan kewajiban-kewajjban dasar seorg muslim.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Sengaja Mengeraskan Suara di Shalat Zuhur Untuk Mengajar Shalat

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Mohon maaf ustadz mau tanya, berkaitan dengan mengajarkan shalat untuk anak2 dibawah 10 tahun. Ketika shalat dhuhur bolehkah dibaca keras seluruh bacaan shalat itu dalam rangka mengajarkan bacaan yang baik dan benar?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Sengaja menjahrkan (mengeraskan) suara dalam shalat yang seharusnya lirih, seperti zuhur atau ashar, dengan sengaja walau utk keperluan mengajar, diperselisihkan para ulama.

Sebagian mengatakan hal itu meninggalkan sunnah, tapi shalatnya tetap sah. Sebagian lain mengatakan batal shalatnya. Namun umumnya mengatakan tetap sah.

Dalam mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

الجهر في مواضع الجهر والإسرار في مواضع الإسرار لا خلاف في استحبابه، والأصل فيه فعل النبي صلى الله عليه وسلم وقد ثبت ذلك بنقل الخلف عن السلف. فإن جهر في موضع الإسرار أو أسر في موضع الجهر ترك السنة وصحت صلاته

Jahr (mengeraskan suara) hendaknya dilakukan di shalat jahr, sirr (lirih) juga hendaknya di shalat lirih, tidak ada beda pendapat atas kesunnahan hal itu.

Dasarnya adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, hal itu telah shahih, dan dinukil oleh generasi khalaf dari kaum salaf.

Jika Jahr di shalat sirr, atau sirr di shalat Jahr, maka itu meninggalkan sunnah dan tetap sah shalatnya. (Al Mughni, 1/407)

Dalam mazhab Imam Malik, mayoritas mengatakan tidak batal, namun dari Imam Malik ada dua riwayat, pertama mengatakan wajib sujud sahwi, yg kedua mengatakan tidak sujud sahwi. Sementara Ibnul Qasim (Maliki), mengatakan wajib mengulang shalatnya (alias batal).

Imam Abu al Walid al Baji mengatakan:

وَقَدْ رَوَى أَشْهَبُ عَنْ مَالِكٍ لَا سُجُودَ عَلَيْهِ وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَامِدًا قَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ يُعِيدُ الصَّلَاةَ

Asyhab meriwayatkan dari Malik tidak usah sujud sahwi, Ibnul Qasim mengatakan: ulangi shalatnya.

(Al Muntaqa Syarh Al Muwatha’, 1/161)

Solusinya adalah ajarkan saja di luar shalat sambil mempraktikkan latihan shalat, ini dalam rangka keluar dari perbedaan pendapat.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Syarah Kalimat: Jika Shahih Sebuah Hadits, Maka Itu Madzhabku

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Anak-anak pengajian mungkin tidak asing dengan perkataan dalam judul di atas.

📌 Ya, itu perkataan Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata:

إذا صح الحديث فهو مذهبي، وإذا صح الحديث فاضربوا بقولي الحائط

Jika sebuah hadits shahih, maka itulah mazhabku (pendapatku), jika Shahih sebuah hadits maka buanglah pendapatku ke tembok.

(Abdul Qasim al-Rafi’i, Syarh Musnad Asy Syafi’i, 1/19)

📌 Para imam yang lain pun mengucapkan ucapan senada dengan redaksi yang berbeda namun substansinya sama

📌 Lalu, Apa maksud ucapan ini? Apakah berarti setiap hadits shahih pasti menjadi mazhab resmi Syafi’i? Tentu tidak, betapa banyak pendapat Imam Asy Syafi’i mengambil dari suatu hadits shahih namun tidak dari hadits shahih lainnya yg mungkin dipandangnya mansukh, atau tidak pas konteksnya, atau alasan lainnya.

📌 Ataukah kalimat itu rekomendasi bagi semua orang untuk menghakimi pendapat para imam lalu dianggap bertentangan dengan hadits shahih? Juga tidak, “Emangnya siapa kita, dibanding mereka?”

📌 Ataukah benar pendapat mereka tidak memiliki sandaran? Tidak juga, bisa jadi ada sandaran lain, seperti Mazhabnya Imam Malik, mereka mengunggulkan amalan penduduk Madinah dibanding hadits Ahad walau shahih.

📌 Yang jelas, ucapan Imam Asy Syafi’i ini merupakan stimulus kepada murid-muridnya yang juga mencapai level para imam, seperti Al Buwaithi, Al Muzani, dan Ar Rabi’ bin Sulaiman. Mereka yang sudah paham seluk beluk dan kerumitan ilmu fiqih dan ushulnya, serta hadits dan mushthalahnya.

📌 Oleh karena itu, Imam Ibnu Shalah berkata:

ليس العمل بظاهر ما قاله الشّافعي بالهيِّن، فليس كلّ فقيه له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث

Tidaklah mudah mengamalkan zhahirnya ucapan Asy Syafi’i, karena tidak setiap pakar fiqih punya independensi mengambil tindakan dengan apa yang dia lihat sebagai hujjah dari hadits. (Adabul Fatwa Wa Mustafti, 1/53)

📌 Imam An Nawawi juga berkata:

إنما هذا- يعني كلام الشّافعي-فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب

Sesungguhnya ini -yakni perkataan Asy Syafi’i- adalah bagi orang yang sudah sampai derajat mampu berijtihad dalam mazhab. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/64)

📌 Lalu, penjelasan mereka berdua dikomentari oleh Imam As Subki:

وهذا الذّي قالاه ليس ردا لما قاله الشّافعي، ولا لكونه فضيلة امتاز بها عن غيره، ولكنّه تبيين لصعوبة هذا المقام، حتىّ لا يغتر به كلّ أحد

Perkataan mereka berdua (Ibnush Shalah dan An Nawawi) bukanlah penolakan terhadap ucapan Imam Asy Syafi’i, bukan pula memposisikan keunggulan ucapan itu dibanding orang lain, tetapi menjelaskan betapa sulitnya kedudukan ini, agar jangan sampai seorang pun terpedaya olehnya. (Ma’na Qaul al-Mathlabi, hal. 93)

📌 Jadi, bukan untuk manusia yang baru belajar, atau baru menyelesaikan satu buku atau bahkan satu bab, tapi sudah merasa menjadi murid langsung para imam tersebut dan menjadi juri atas fatwa dan pendapat para imam, dengan gagah mengatakan: “Saya taklid kepada dalil, bukan kepada ulama.” Subhanallah!

📌 Semoga Allah Ta’ala merahmati orang yang tahu kadar dan kemampuan dirinya.

Wallahu A’lam. Wa Shallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin Wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷🌸🍀🍁🍃🌴🌻

✍️ Farid Nu’man Hasan

Makmum Memperlama Sujud

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Mohon penjelasannya Ustadz pada saat sujud terakhir dalam sholat berjamaah,suka ada makmum yang imam sudah bangun dari sujudnya,tetapi makmum tersebut masih sujud (sengaja telat,untuk meneruskan berdoa di sujud terakhir). Jazakallah khoir ustadz..
(089538469xxxx, Padalarang)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Berdoa dalam sujud memang dianjurkan, sebagaimana hadits berikut:

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa.” (HR. Muslim no. 482)

Pada sujud yang manakah itu? Tidak ada dalil khusus yang menunjukkan bahwa sujud terakhir adalah waktu untuk memperbanyak doa yang di maksud, sehingga dia lebih lama dibanding sujud lainnya. Oleh karenanya, ketiadaan dalilnya secara khusus membuat hal ini berlaku umum pada sujud mana pun, bebas saja.

Jika kita perhatikan dalam sunah, semua bagian gerakan yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan adalah sama panjangnya, baik ruku’, sujud, dan i’tidalnya.

Hal ini diterangkan oleh berita dari Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ رُكُوعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ

Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pada ruku, sujud, dan jika bangun dari ruku’nya (i’tidal), serta duduk di antara dua sujud, lama (tuma’ninah)-nya kurang lebih sama. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Bagi yang posisinya sebagai imam maka hendaknya perhatikan makmumnya, tidak dianjurkan memperlama sebab dapat menimbulkan fitnah.

Jika posisinya makmum, maka jangan sampai dia tertinggal imam, sebab itu menyelisihi imam.

Dalam hadits:

ِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تختلفوا عليه

Sesunguhnya Imam diangkat untuk diikuti, maka janganlah menyelisihinya. (HR. Muslim)

Jika si makmum sampai ketinggalan satu rukun, maka itu batal sebagaimana dijelaskan para ahli fiqih. Misal, Imam sudah sujud kedua, dia masih sujud pertama, tertinggal satu rukun: duduk diantara dua sujud dan sujud akhirnya. Ini tidak boleh.

Imam Ahmad berkata:

وإن فعل ذلك لغير عذر بطلت صلاته لأنه ترك الائتمام بإمامه عمدا.انتهى

Jika dia (makmum) melakukan itu (memperlama sampai tertinggal imam) tanpa uzur maka BATAL SHALATNYA, karena dia sengaja tidak mengikuti imam. (Dikutip oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni)

Tapi, jika ada uzur seperti lupa, atau imamnya yg terlalu cepat, maka tidak apa-apa bagi si makmum tsb.

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🌸🍀🍁🍃🌴🌻

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top