Beberapa Persoalan Shalat Jumat di Sekolah

PERTANYAAN:

Di sekolah kami baru bangun musholla semi permanen tujuannya supaya anak tidak harus keluar untuk sholat jumat ke Masjid terdekat, karena salah satu kendala selain kemarin gak ada musholla dan dana untuk transport anak antar jemput ke Masjidnya lumayan besar, tapi ternyata ada kendala jumlah jamaah yang kurang dan ada yang belum baligh, apakah dua hal ini menjadi syarat sholat jumat ya ustadz? (DSW NTT)

JAWABAN

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu wa Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Dari pertanyaan di atas ada tiga persoalan yang mencakup di dalamnya, yaitu: shalat Jumat selain di masjid jami’, ta’adudul jum’ah (berbilangnya shalat Jumat di satu tempat), dan jumlah jamaah shalat Jumat.

1. Shalat Jumat Selain di Masjid Jami’

Maksudnya shalat Jumat yang dilakukan di surau, lapangan, aula, basement, atau tempat lapang apa pun selain masjid baik permanen atau bukan. Apa yang ditanyakan bahwa tempat shalat Jumatnya adalah surau yang semi permanen, maka itu boleh menurut mayoritas ulama, kecuali Mailikiyah.

Imam Syihabuddin Ar Ramli mengatakan:

وَلَا يُشْتَرَطُ لَهَا مَسْجِدٌ، وَلَوْ انْهَدَمَتْ أَوْ أُحْرِقَتْ وَأَقَامَ أَهْلُهَا عَلَى عِمَارَتِهَا وَلَوْ فِي غَيْرِ مَظَالٍّ لَمْ يُقْدَحْ فِي صِحَّةِ الْجُمُعَةِ

Masjid tidaklah menjadi syarat untuk shalat Jumat, walau masjid tersebut dihancurkan atau dibakar lalu penduduk tersebut tetap berada di atasnya untuk memakmurkannya walau tanpa atap, itu tidak menodai keabsahan shalat Jumat. (Nihayatul Muhtaj, 2/299)

Imam Sa’id Ribathi al Hadhrami juga mengatakan:

أنه لا يشترط لها مسجد، بل تصح في الفضاء، ولا إذن إمام

Sesungguhnya masjid tidaklah menjadi syarat untuk shalat Jumat, tetapi tetap sah di ruang terbuka, dan tidak (perlu) izin kepada imam. (Syarh al Muqadimah al Hadhramiyah, hal. 387)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

لا يشترط للجمعة أن تقام بمسجد أو جامع ، عند جمهور الفقهاء من الحنفية والشافعية والحنابلة ، خلافا للمالكية

Tidak disyaratkan untuk shalat Jumat itu dilakukan di masjid atau masjid jami’, menurut mayoritas ahli fiqih baik Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah, kecuali Malikiyah. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 153872)

2. Berbilangnya Pelaksanaan Shalat Jumat di Satu Daerah

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagaian mengatakan boleh secara mutlak baik ada sebab atau tidak, sebagian lain mengatakan boleh jika karena ada sebab seperti jumlah jamaah yang tidak tertampung di satu masjid, dan inilah pendapat mayoritas. Apa yang ditanyakan karena ada hajat seperti tempat yang jauh dan kesulitan teknis antar jemput anak-anak tersebut, maka itu tidak masalah.

ٍSyaikh Muhammad Nu’aim Sa’i menjelaskan:

جمهور العلماء على عدم جواز تعدد الجمعة في البلد الواحد إذا لم تدع إلى ذلك حاجة، وبه قال مالك والشافعي وأحمد وهو مذهب أبي حنيفة وأصحابه، وقال عطاء: يجوز التعدد

Mayoritas ulama mengatakan tidak bolehnya berbilangnya shalat Jumat di satu negeri jika tidak ada hajat. Inilah pendapat Malik, Syafi’I, Ahmad, Abu hanifah dan pengikutnya. Atha’ berkata: boleh berbilangnya Shalat Jumat. (Mausu’ah Masail al Jumhur fi Fiqhil Islami, 1/231)

Namun, dalam Al Mausu’ah dikatakan bahwa Hanafiyah membolehkan secara mutlak:

لاَ يَجُوزُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ إِقَامَةُ جُمُعَتَيْنِ فِي بَلَدٍ وَاحِدٍ إِلاَّ لِضَرُورَةٍ، كَضِيقِ الْمَسْجِدِ، لأِنَّ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ بَعْدَهُ لَمْ يُقِيمُوا سِوَى جُمُعَةٍ وَاحِدَةٍ. وَتَعَدُّدُ الْجُمُعَةِ فِي الْبَلَدِ الْوَاحِدِ جَائِزٌ مُطْلَقًا عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ، سَوَاءٌ أَكَانَتْ هُنَاكَ ضَرُورَةٌ أَمْ لاَ

Tidak boleh menurut jumhur ahli fiqih mendirikan dua shalat Jumat di satu negeri kecuali karena darurat, seperti masjid yang sempit, karena Rasulullah dan para khalifah setelahnya tidak pernah mendirikan shalat Jumat selain satu saja. Berbilangnya shalat Jumat di satu negeri adalah boleh secara mutlak menurut Hanafiyah, baik ada darurat atau tidak. (Al mausu’ah al fiqhiyah al kuwaitiyah, 12/230)

3. Jumlah jamaah shalat Jumat

Tentang syarat sahnya jumlah jamaah shalat Jumat, para ulama beragam pendapat bahkan menurut Al Hafizh Ibnu Hajar ada 15 pendapat. (Fathul Bari, 2/243)

Dalam mazhab Syafi’i dan Hambali mensyaratkan 40 laki-laki warga setempat:

تقام الجمعة بحضور أربعين فأكثر بالإمام من أهل القرية المكلفين الأحرار الذكور المستوطنين

Pelaksanaan shalat Jumat dihadiri 40 atau lebih bersama imam dari penduduk yang sudah mukallaf, merdeka, laki-laki, dan pemukim. (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/1279)

Namun tidak ada dalil shahih yang menyebut jumlah spesifik jamaah shalat Jumat, seperti yang dikatakan Syaikh Wahbah Az Zuhaili:

ويظهر لي أن الجمعة تتطلب الاجتماع، فمتى تحققت الجماعة الكثيرة عرفاً، وجبت الجمعة وصحت، وليس هناك نص صريح في اشتراط عدد معين. والجماعة في الجمعة شرط بالاتفاق

Menurutku yang benar adalah shalat Jumat dituntut adanya jamaah, maka ketika terealisir sekumpulan orang yang banyak menurut makna ‘urf (tradisi) maka wajib shalat Jumat dan sah, tidak ada nash yang jelas yang mensyaratkan jumlah secara khusus. Berjamaah dalam shalat Jumat adalah syarat berdasarkan kesepakatan ulama. (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/1279)

Dalam mazhab Hanafi, tiga orang (termasuk imam) pun Sah. Berdasarkan keumuman makna Jamaah.

Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ

“Dua orang atau lebih adalah jamaah.”

(HR. Ibnu Majah, No. 972. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No. 7957. Al Haitsami mengatakan: “Di dalamnya ada Muslimah bin Ali seorang yang dhaif.” Majma’ Az Zawaid, 2/45)

Imam Bukhari telah menjadikan teks hadits ini menjadi judul salah satu Bab dalam kitab Shahih-nya, yakni Bab ke-7 dari Kitabul Jamaah wal Imamah yakni Bab: Itsnan famaa fauqahumaa Al Jama’ah (Dua orang dan lebih adalah jamaah).

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والرأي الراجح أنها تصح باثنين فأكثر

“Dan pendapat yang kuat adalah shalat Jumat tetap sah dengan DUA orang atau lebih.” (Fiqhus Sunnah, 1/305)

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَقَدْ انْعَقَدَتْ سَائِر الصَّلَوَات بِهِمَا بِالْإِجْمَاعِ ، وَالْجُمُعَة صَلَاة فَلَا تَخْتَصّ بِحُكْمٍ يُخَالِف غَيْرهَا إلَّا بِدَلِيلٍ ، وَلَا دَلِيل عَلَى اعْتِبَار عَدَد فِيهَا زَائِد عَلَى الْمُعْتَبَر فِي غَيْرهَا

“Menurut ijma’ (kesepakatan), semua shalat sudah disebut berjamaah walau pun DUA ORANG, dan SHALAT JUMAT JUGA DEMIKIAN, tidak ada kekhususan hukum baginya yang berbeda dengan shalat lainnya, kecuali dengan dalil. Dan tidak dalil yang menunjukkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat mesti lebih dari shalat selainnya.” (Nailul Authar, 5 289)

Hal ini perkuat oleh penelitian sebagian ulama bahwa tidak ada ketentuan baku yang menjadi standar jumlah minimal jamaah shalat Jumat.

Imam Asy Syaukani mengatakan pula:

وقد قال عبد الحق: إنه لا يثبت في عدد الجمعة حديث، وكذلك قال السيوطي: لم يثبت في شئ من الاحاديث تعيين عدد مخصوص

Abdul Haq telah berkata: “Tidak ada hadits yang shahih tentang jumlah jamaah shalat Jumat.” Begitu pula kata Imam As Suyuthi: “Tidak ada satu pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengkhususkan jumlah tertentu.” (Ibid, 5/289)

Pandangan Syaikh Wahbah Az Zuhaili nampaknya paling pertengahan di antara semuanya.

Maka, untuk soal yang ditanyakan, jika anak-anak jumlahnya sudah cukup dikatakan banyak secara tradisi -walau sdh dikurangi dgn yang belum baligh, maka sudah sah shalat Jumat.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Jima’ Dikala Nifas, Kafaratkah?

PERTANYAAN:

Pertama semoga Allah mengampuni dosa2 saya beserta suami, Aamiin Allahuma Aamiin. Saya seorang istri berusia 35th, suami saya minta untuk dilayani padahal saya masih dalam masa nifas pasca kuret karena alasan medis. Saat ini masuk minggu kedua pasca kuret.

Walaupun darah sudah berkurang dan tidak berwarna merah lagi melainkan kecoklatan. Tapi saya tau hukumnya tetap haram dan tidak boleh namun suami saya tetap meminta dan jika saya menolakpun saya perkirakan dia akan marah dan dampak bagi rumah tangga saya juga buruk jadi saya ini dalam dilema dan takut juga merasa berdosa Sebelumnya saya sudah bilang bahwa saya masih mengeluarkan darah tapi beliau tetap meminta. Pertanyaan saya :

1. Bagaimana sebenarnya hukum dan hadits tentang membayar kafarat, sahih atau dhoif? Karena saya baca beberapa artikel sebagian menyebutkan shahih yang lain nya dhoif.

2. Jika wajib kafarat, siapakah yang wajib, hanya suami atau kami berdua masing2 membayar 1 Dinar? (Tentunya setelah itu kami wajib sholat taubat dan sebenar benarnya taubat pada Allah ).

3. Apakah membayar kafarat boleh di cicil?

4. Adakah doa khusus untuk memohon ampun Allah terkait masalah ini? Mohon bimbingan nya. (N, Bekasi)

JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Hukum-hukum yang terkait nifas adalah sama dengan haid. Berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

وحكمه حكم الحيض في كل شئ لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم لعائشة: (أنفست؟ قالت: نعم (فسمى الحيض نفاسا، وكذلك الغسل منه واجب باجماع

Hukumnya sama dengan hukum haid dalam segala hal, karena Rasulullah ﷺ bersabda kepada ‘Aisyah: “Apakah engkau sedang nifas?” ‘Aisyah menjawab: “Ya.” Pada hadits ini Rasulullah menamakan haid dengan nifas, maka mandi bagi wanita nifas (setelah berhenti, pen) adalah wajib menurut ijma’ (kesepakatan ulama). (Al Muhalla, 2/184)

Maka, larangan jima’ pada wanita nifas tentu juga sama sebagaimana larangan jima’ pada wanita haid.

Keharaman hubungan suami istri saat nifas adalah hal yang telah ijma atau disepakati para Fuqaha. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 44/19, lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/85)

Imam An Nawawi menjelaskan:

– siapa yang melakukannya karena meyakini itu adalah HALAL, maka dia murtad.

– siapa yang melakukan karena lupa, tidak tahu, dan masih meyakini haram, maka dia tidak berdosa dan tidak kafarat.

– Siapa yang melakukan secara sengaja dan dia sdh tahu ilmunya, maka dia melakukan keharaman, maksiat besar, dan wajib tobat.

(Lihat Syarah Shahih Muslim, 3/204)

Maka, wajib bagi pelakunya untuk bertobat dengan menyesal, dan bertekad tidak mengulangi lagi selamanya, banyak beramal shalih dan sedekah.

Lalu, apakah wajib membayar kafarat?

Maka dalam hal ini kata Imam An Nawawi ada dua pendapat:

Pendapat Pertama. Tidak wajib kafarat.

Ini pendapat mayoritas ulama. Ini pendapat yg lebih shahih dari Imam Asy Syafi’i dalam pendapat baru (Qaul Jadid), Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, dan mayoritas salaf, bahwasanya tidak ada kafarat bagi yang melakukannya. Di antara salaf: Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Makhul, Az Zuhri, Abu az Zinad, Rabi’ah, Hammad bin Abu Sulaiman, Ayyub as Sikhtiyani, Sufyan Ats Tsauri, dan Laits bin Sa’ad.

Pendapat Kedua. Wajib Kafarat.

Ini pendapat Imam Asy Syafi’i dalam pendapat lama (Qaul Qadim) namun lemah, juga diriwayatkan sebagai pendapat Ibnu Abbas, Hasan Al Bashri, Said bin Jubeir, Qatadah, Al Awza’i, Ishaq, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat lainnya.

Kelompok ini juga berbeda pendapat tentang apa yang dikeluarkan untuk kafarat, Hasan Al Bashri dan Qatadah mengatakan membebaskan budak. Ada pun yang lain mengatakan satu dinar atau setengah dinar.

Mereka juga beda pendapat kondisi yang membedakan satu dinar dan setengah dinar; apakah satu dinar itu jika jima’nya di awal darah nifas dan setengahnya di akhir nifas, ataukah satu dinar itu di masa keluarnya, darah sedangkan setengah dinar itu setelah terhentinya darah.

Alasan kelompok ini adalah hadits Ibnu Abbas secara marfu’:

“Siapa yang mendatangi istrinya yang sedang haid maka hendaknya sedekah sebanyak satu dinar atau setengahnya.”

Ini adalah hadits DHAIF menurut kesepakatan para huffazh. Yang benar adalah TIDAK KAFFARAT. Wallahu A’lam.

(Demikian penjelasan Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 3/204-205)

Sementara Imam Ibnu ‘Abidin menyebutkan adanya pendapat “ketiga” bukan wajib, tapi MANDUD (ANJURAN) utk kaffarat, dan ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah. Beliau mengatakan:

ويندب تصدقه بدينار أو نصفه

Dianjurkan untuk bersedekah satu dinar atau setengahnya. (Ar Radd Al Mukhtar, 1/298)

Status hadits:

Pada ulama memang berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut dengan perdebatan yang panjang.

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Al Hakim, Ibnul Qathan, dan Ibnu Daqiq Al ‘Id menilai shahih hadits ini, dan menurut Al Hafizh Ibnu Hajar inilah yang benar. Menurut Ibnu Hajar ini merupakan bantahan atas klaim Imam An Nawawi yang mengatakan: Semua Imam telah menyelisihi penshahihannya Imam al Hakim dan yang benar adalah dhaif menurut kesepakatan mereka.

(Lihat At Talkhish Al Habir, 1/429-430)

Jika ingin mengambil sikap yang hati-hati, yaitu tetap membayar kaffarat dengan satu atau setengah dinar, maka itu lebih baik.

Ada ulasan bagus dari Syaikh Utsaimin yang boleh juga dijadikan pertimbangan:

وجوبُ الكفَّارة من مفردات المذهب [ يعني : مذهب الحنابلة ] ، والأئمة الثَّلاثة يرون أنَّه آثم بلا كفارة .
والحديثُ صحيحٌ، لأنَّ رجالَه كلَّهم ثقاتٌ، وإذا صحَّ فلا يضرُّ انفرادُ أحمد بالقول به.
فالصحيح: أنها واجبةٌ ، وعلى الأقل نقولُ بالوجوب احتياطاً .”

Wajibnya kaffarat termasuk pendapat yang ‘menyendiri’ dalam mazhab Hanabilah, ada pun tiga imam mengatakan pelakunya berdosa tapi tidak wajib kaffarat. Haditsnya shahih semua perawinya terpercaya, jika haditsnya shahih maka tidak masalah menyendirinya Imam Ahmad dengan pendapatnya. Pendapat yang benar adalah wajib, kami katakan MINIMAL untuk kehati-hatian adalah wajib.

(Asy Syarhul Mumti’, 1/255)

Membayar kaffarat boleh saja ditunda sampai memiliki dana yang cukup untuk membayarkannya.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Bingung, Shalat Berjamaah di Masjid Yang Jauh dan Banyak Jama’ahnya atau Masjid Yang Dekat dan Sedikit Jamaahnya

PERTANYAAN:

Assalamualikum warahmatullahi wabarakat saya tinggal di suatu cluster perumahan sekutar 30 kk, kami bersama2 warga membangun Mushola kecil untuk pengajian anak2 dan tempat ibadah, yang ingin saya tanyakan adalah apakah lebih utama sholat berjamah di mesjid yang diluar komplek atau sholat sendiri (terkadang dengan anak2 kecil sekitar 3-5 orang) di mushola yang telah kita bangun untuk memakmurkan mushola yang telah dibangun bersama? (HA, Bogor)

JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Hal ini masalah yang lapang, luwes, dan lentur. Bebas saja mana yang kita pilih, keduanya sama-sama punya keutamaan.

Jika kita memilih shalat di luar cluster maka kita dapatkan dua keutamaan:

– Langkah kaki kita semakin jauh, maka semakin banyak pula keutamaan kita dapat.

Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang dapat menghapus kesalahan dan mengangkat derajat?” Mereka menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu pada keadaan tidak suka untuk berwudhu, banyak berjalan ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat, itulah ribath.” (HR. Muslim no. 251)

Hadits lainnya:

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ …

Dari Abu Musa katanya; Rasulullah ﷺ bersabda: “Manusia paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalannya, lalu yang selanjutnya ..” (HR. Muslim no. 662)

– Shalat bersama Jama’ah yg lebih banyak lebih utama dibanding Jama’ah yg lebih sedikit

Sebagaimana hadits:

وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى

Shalatnya seseorang dengan seseorang, itu lebih utama dibanding shalatnya seorang diri. Shalatnya bersama dua orang lebih utama dibanding bersama satu orang. Semakin banyak Jama’ahnya semakin Allah Ta’ala sukai.

(HR. Abu Daud no. 554, hadits hasan)

Ada pun shalat di mushalla yg baru dibangun di cluster sendiri dan lebih dekat, dgn Jama’ah yang hanya beberapa orang, tentu tidak mendapatkan keutamaan di atas. Namun, semoga dapat keutamaan lain yaitu sebagai perintis shalat berjamaah yg dengannya menjadi contoh dan kebiasaan kebaikan (sunnah hasanah) bagi warga lainnya.

Sebagaimana hadits:

من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء

“Barangsiapa memulai suatu kebaikan dalam Islam, maka dia mendapatkan pahala kebaikan, dan pahala orang-orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka. (HR. Muslim no. 1017)

Ada pun shalat berjamaah dengan anak-anak, jika anak itu sudah mumayyiz maka sudah sah di sebut Jama’ah. Mumayyiz menurut sebagian ulama adalah tujuh tahun atau lebih. Sebagian lain mengatakan tidak ada batas usia, yang terpenting adalah akalnya sudah berfungsi dan mampu berniat dan menjalankan shalat. (Imam An Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/248)

Demikian. WallahuA’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Ayat Tentang Bayang-Bayang

PERTANYAAN:

Ustadz bagaimana memahami ayat ini :

أَوَلَمۡ يَرَوۡاْ إِلَىٰ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ مِن شَيۡءٖ يَتَفَيَّؤُاْ ظِلَٰلُهُۥ عَنِ ٱلۡيَمِينِ وَٱلشَّمَآئِلِ سُجَّدٗا لِّلَّهِ وَهُمۡ دَٰخِرُونَ

Dan apakah mereka tidak memperhatikan suatu benda yang diciptakan Allah, bayang-bayangnya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri, dalam keadaan sujud kepada Allah, dan mereka (bersikap) rendah hati (Surat An-Nahl, Ayat 48)

Di sini di sebutkan bayangan berbolak-balik ke kanan & ke kiri, padahal posisi kanan kiri bayangan tergantung posisi bendanya?

JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim… Wal hamdulillah, washsholatu wassalaamu ‘alaa Rasulillah.. wa ba’d..

Ayat tersebut pada intinya menegaskan tentang ketundukan segala makhluk kepada kehendak dan kekuasaan Allah SWT, ketundukan itu ditandai dengan penegasan bahwa segala sesuatu yang memiliki bayangan, pasti bersujud kepada Allah SWT sesuai dengan caranya masing-masing.

Hal ini senada misalnya dengan firman Allah SWT di ayat yang lain :

وَلِلّٰهِ يَسْجُدُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ طَوْعًا وَّكَرْهًا وَّظِلٰلُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ ۩ ١٥

Hanya kepada Allahlah siapa saja yang ada di langit dan di bumi bersujud, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa. (Bersujud pula kepada-Nya) bayang-bayang mereka pada waktu pagi dan petang hari. (QS Ar-Ra’d: 15)

Mengapa Allah SWT menggunakan ungkapan bayang-bayang? Jika kita renungkan, ini mengisyaratkan dua hikmah utama :

1. Segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT dan terlihat secara kasat mata, pasti memiliki bayang-bayang, dan segala yang memiliki bayang-bayang adalah makhluk, semua makhluk tanpa terkecuali tunduk dan bersujud kepada Allah swt. Tidak ada yang keluar dari garis kehendak dan aturan Allah SWT.

Lalu bukankah ada makhluk yang diciptakan Allah dan tidak terlihat bayang-bayangnya? Seperti hal-hal yang ghaib? Ya betul, namun pengkhususan penyebutan makhluk yang berbayang dimaksudkan agar manusia mengambil pelajaran ketundukan dari segala makhluk yang ada di sekitarnya dan mudah dilihat secara kasat mata.

2. Penyebutan bayang-bayang sebagai subjek (fa’il) dari ungkapan يتفيؤ ظلاله عن اليمين والشمائل““ sebenarnya mengisyaratkan akan keadaan para makhluk tersebut yang terus menerus dalam keadaan beribadah dan bersujud kepada Allah swt, seiring dengan perubahan waktu baik itu pagi, siang, petang, maupun malam. karena pada dasarnya keberadaan bayang-bayang makhluk sangat dipengaruhi oleh pergerakan sinar matahari. Matahari bergerak maka posisi bayang-bayang pun akan berubah, dan sepanjang waktu itu pula seluruh makhluk akan bersujud kepada Allah SWT.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan ayat ini :

يُخْبِرُ تَعَالَى عَنْ عَظَمَتِهِ وَجَلَالِهِ وَكِبْرِيَائِهِ الَّذِي خَضَعَ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ، وَدَانَتْ لَهُ الْأَشْيَاءُ وَالْمَخْلُوقَاتُ بِأَسْرِهَا: جَمَادُهَا وَحَيَوَانَاتُهَا، وَمُكَلَّفُوهَا مِنَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ وَالْمَلَائِكَةِ، فَأَخْبَرَ(١) أَنَّ كُلَّ مَا لَهُ ظل يتفيأ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ، أَيْ: بُكْرَةً وَعَشِيًّا، فَإِنَّهُ سَاجِدٌ بِظِلِّهِ لِلَّهِ تَعَالَى

“Allah Ta’ala mengabarkan tentang keagungan, kebesaran, dan ketinggianNya, segala sesuatu tunduk kepadaNya, seluruh makhluk patuh padaNya; baik benda mati dan hidup, termasuk makhluk yang mendapatkan Taklif (pembebanan) dari kalangan manusia, jin dan malaikat. DIA menegaskan bahwa segala sesuatu yang bayangannya bergerak ke kanan dan ke kiri, yakni : di pagi dan petang, maka sejatinya ia sedang bersujud diiringi bayangannya itu, kepada Allah Ta’ala”.

Wallahu a’lam

Ustadz Faris Jihady

scroll to top