Suami Koruptor, Bagaimana Belanja yang Dimanfaatkan Istrinya dari Hasil Korupsi Suaminya?

PERTANYAAN:

Afwan mau nanya misal si suami koruptor si isteri tahu, bukankah itu si istri ga boleh memakannya?

JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Penghasilan haram bagi pelakunya ada dua jenis:

1. Pekerjaan yang mengambil hak atau harta orang lain atau lembaga, seperti korupsi, mencuri, mencopet, merampas, dan semisalnya.

2. Pekerjaan yang haram namun tidak ada pengambilan harta orang lain secara tidak hak, seperti hasil dari zina, jual khamr, riba, dan sejenisnya.

Harta hasil korupsi -sebagaimana hasil curian, rampok, nyopet- adalah milik pihak lain, baik perorangan atau lembaga, bukan milik si pelaku korupsi tersebut. Maka, tidak dibenarkan seseorang memanfaatkannya, baik pelakunya dan orang lain, yang mesti dilakukan adalah mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya baik perorangan atau lembaga.

Memakan harta milik orang lain secara tidak hak termasuk sebab bangkrut di akhirat dan dimasukan seseorang ke dalam neraka, sebagaimana hadits:

Nabi ﷺ bertanya:

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?”

Para sahabat menjawab,

“Muflis itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”

Tetapi Nabi ﷺ berkata : “Muflis dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci ini, menuduh orang lain (tanpa hak), makan harta si anu, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang yang menjadi korbannya akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka (korban) akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka”

(HR. Muslim No. 2581)

Imam Al Maziri Rahimahullah menjelaskan:

إِنَّمَا عُوقِبَ بِفِعْلِهِ وَوِزْرِهِ وَظُلْمِهِ فَتَوَجَّهَتْ عَلَيْهِ حُقُوقٌ لِغُرَمَائِهِ فَدُفِعَتْ إِلَيْهِمْ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَلَمَّا فَرَغَتْ وَبَقِيَتْ بَقِيَّةٌ قُوبِلَتْ عَلَى حَسَبِ مَا اقْتَضَتْهُ حِكْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى فِي خَلْقِهِ وَعَدْلِهِ فِي عِبَادِهِ فَأُخِذَ قَدْرُهَا مِنْ سَيِّئَاتِ خُصُومِهِ فَوُضِعَ عَلَيْهِ فَعُوقِبَ بِهِ فِي النَّارِ

Sesungguhnya dia disiksa karena perbuatan, dosanya, dan kezalimannya sendiri, maka dia mempertanggungjawabkannya atas orang yang pernah menjadi korban kejahatannya dengan mengembalikan haknya, maka kebaikan-kebaikan dirinya diperuntukan untuk mereka, jika sudah habis maka keburukan mereka yg akan dipindahkan kepada dia sesuai kadarnya, lalu dia dimasukan ke dalam neraka. Ini merupakan kebijaksanaan Allah atas makhlukNya dan keadilanNya pada hambaNya.

(Syarh Shahih Muslim, 6/103)

Maka, bagi istri dan anak jika tahu nafkah yang mereka dapatkan adalah hasil korupsi atau sejenisnya pada hakikatnya juga tidak dibenarkan memakan harta tersebut sebab itu bukan milik suami atau ayah mereka, itu milik orang lain yang diambil secara tidak hak. Sebisa mungkin mereka menolak, mencari alternatif yang halal, kecuali kondisinya sama sekali tidak ada alternatif, darurat, dan terancam kematian. Mereka boleh memanfaatkannya sebatas untuk menyelamatkan nyawanya namun harta itu tetap harta yang mesti dikembalikan kepada pemiliknya.

Hal ini berbeda dengan penghasilan haram jenis kedua, yaitu selain korupsi atau mencuri, seperti riba, jual khamr, dan semisalnya, yang mana menurut para ulama itu haram bagi pemiliknya tapi tidak berdosa bagi orang lain yang menerimanya. Sebab, itu semua adalah milik dia dari usahanya, bukan harta milik orang lain dan tidak ada pihak lain yang dirugikan.

Dzar bin Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhuma bercerita:

جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ،
فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه

Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud lalu dia berkata:

“Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering mengundangku untuk makan.”

Ibnu Mas’ud menjawab; Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia.

(Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, no. 14675)

Salman Al Farisi Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

إذا كان لك صديق
عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه

“Jika sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! Sesungguhnya, kamu dapat enaknya, dan dia dapat dosanya.”

(Ibid, No. 14677)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:

وأما المحرم لكسبه فهو الذي اكتسبه الإنسان بطريق محرم كبيع الخمر ، أو التعامل بالربا ، أو أجرة الغناء والزنا ونحو ذلك ، فهذا المال حرام على من اكتسبه فقط ، أما إذا أخذه منه شخص آخر بطريق مباح فلا حرج في ذلك ، كما لو تبرع به لبناء مسجد ، أو دفعه أجرة لعامل عنده ، أو أنفق منه على زوجته وأولاده ، فلا يحرم على هؤلاء الانتفاع به ، وإنما يحرم على من اكتسبه بطريق محرم فقط

Harta haram yang dikarenakan usaha memperolehnya, seperti jual khamr, riba, zina, nyanyian, dan semisalnya, maka ini haram hanya bagi yang mendapatkannya saja. Tapi, jika ada ORANG LAIN yang mengambil dari orang itu dengan cara mubah, maka itu tidak apa-apa, seperti dia sumbangkan untuk masjid dengannya, bayar gaji pegawai, nafkah buat anak dan istri, hal-hal ini tidak diharamkan memanfaatkan harta tersebut. Sesungguhnya yang diharamkan adalah bagi orang mencari harta haram tersebut. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 75410)

Namun demikian, sikap yang paling utama adalah menghindari secara maksimal semua sumber haram baik hasil haram yang merugikan hak milik orang lain seprti korupsi, mencuri, … Atau hasil haram yang tidak merugikan harta orang lain. Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda:

فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ

Maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang syubhat, maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman. Tak ubahnya seperti gembala yang menggembala di tepi pekarangan, dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya.

(HR. Muslim no. 1599)

Jika terhadap yang syubhat saja dianjurkan tetap dihindari maka apalagi yang haram.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Kedudukan Pendapat “Jumhur” (Mayoritas) menurut Para Ulama

Hal biasa dalam persoalan cabang (furu’) terjadi perbedaan pendapat, lalu pihak yang berbeda ada yg mayoritas ikut pendapat tertentu dan berbeda dengan yg minoritas.

Dalam hal ini, tidak dibenarkan pihak yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas menggunakan ayat-ayat untuk orang-orang kafir berisikan celaan kepada mayoritas manusia yg tidak beriman, tidak berpikir, dsb. Misalnya ayat-ayat berikut:

Kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS. Al Baqarah: 243)

Kebanyakan mereka adalah orang-orang fasiq. (QS. Ali Imran: 110)

Kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Al A’raf: 187)

Maka, tidak pada tempatnya, tidak nyambung, menggunakan ayat-ayat ini untuk membela diri dikala berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas ulama dan umat Islam.

Justru Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan mengikuti pendapat mayoritas umat Islam, berdasarkan hadits:

إن أمتي لا تجتمع على ضلالٍ فإذا رأيتم اختلافًا فعليكم بالسواد الأعظم

Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan, maka jika kalian melihat adanya perselisihan hendaknya kalian ikuti kelompok mayoritas (Sawadul A’zham). (HR. Ibnu Majah no. 3950, dan dishahihkan oleh Imam as Suyuthi, didhaifkan lainnya)

Imam as Suyuthi berkata:

وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي الْعَمَلُ بِقَوْلِ الْجُمْهُورِ

Hadits ini menunjukkan bahwa hendaknya amal itu berdasarkan pendapat mayoritas. (Hasyiyah As Sindi ‘ala Sunan Ibni Majah, jilid. 2, hal. 464)

Imam Al Munawi menjelaskan:

أي الزموا متابعة جماهير المسلمين فهو الحق الواجب والفرض الثابت الذي لا يجوز خلافه فمن خالف مات ميتة جاهلية

yaitu peganglah pendapat mayoritas kaum muslimin, itu adalah kewajiban, dan fardhu yang begitu kuat yang mana tidak boleh menyelisihinya dan siapa yang menyelisihi lalu mati maka matinya jahiliyah. (Faidhul Qadir, jilid. 3, hal. 547)

Para imam sejak masa salaf, sangat menghormati pendapat mayoritas dan menjadikannya sebagai hujjah, dan sangat berhati-hati untuk berbeda dengan mereka.

Imam Abu az Zinad (pembesar tabi’in) berkata:

وربَّما اختلفوا في الشيء فأخذنا بقول أكثرهم وأفضلهم رأيًا

Bisa jadi para mereka (ulama) berbeda pendapat dalam suatu hal, maka kami akan mengambil pendapat mayoritas mereka dan yang paling utama.

(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid. 12, hal. 214)

Imam Malik berkata:

إن حقّا على من طلب العلم أن يكون له وقار وسكينة وخشية، وأن يكون متبعًا لأكثر مَنْ مضى قبله

Adalah hal yg patut bagi para penuntut ilmu untuk memiliki kehormatan, tenang, dan takut (kepada Allah), dan hendaknya mengikuti mayoritas manusia yang telah mendahuluinya.

(Syaikh Muhammad Na’im Hani Sa’i, Mausu’ah Masail Al Jumhur fil Fiqh Al Islami, jilid. 1, hal. 15)

Syaikh Muhammad Na’im Hani Sa’i berkata:

ونقل عن ابن الحاجب أن إجماع الأكثر حجة ولكنه ليس إجماعًا

Dikutip dari Ibnu Al Hajib bahwa kesepakatan mayoritas ulama adalah hujjah, tetapi itu (kesepakatan mayoritas) bukanlah ijma’. (Ibid, jilid. 1, hal. 16)

Walau ada juga yang mengatakan kesepakatan mayoritas adalah lebih utama, walau bukan hujjah. (bid, jilid. 1, hal. 16-17)

Beberapa keputusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun diambil berdasarkan pendapat mayoritas, seperti pembebasan tawanan perang Badar, itu pendapat Abu Bakar dan diikuti mayoritas manusia, walau kemudian Allah Ta’ala membenarkan pendapat minoritas yaitu pendapat Umar bin Al Khathab yg memilih utk membunuh semua tawanan.

Tempat terjadinya perang Uhud di Uhud pun ditentukan pendapat mayoritas, ada pun minoritas berpendapat perang di dalam kota, sebagai pendapat nabi dan sahabat senior namun umumnya memilih di luar kota yaitu Uhud.

Pendapat minoritas belum tentu salah, dan mesti diberikan ruang, sebagai mana pendapat Umar dlm hal tawanan Badar, namun seseorang memilih atau berhujjah dengan pendapat mayoritas adalah sikap yang lebih utama dan hati-hati serta tidak pada tempatnya dicibir dengan kalimat: “Kebanyakan manusia adalah tersesat, tidak paham, tidak tahu.”

Maka, jangan nyinyir kepada sesama muslim yang ikut pendapat mayoritas -semisal- tidak haramnya isbal, tidak wajibnya cadar, sampainya bacaan Al Quran untuk mayit, bolehnya membaca Al Quran di kubur, bahkan peringatan Maulid Nabi yg disetujui umumnya ulama Islam sejak beberapa abad lalu sampai sekarang di berbagai negeri Islam kecuali beberapa yang tidak menyetujuinya. Sebagaimana jangan nyinyir pula kepada yang mengikuti pendapat minoritas.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin Wa ‘ala Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

Ngaku Cinta Rasul? Buktikan!

Mencintai Rasulullah ﷺ adalah konsekuensi logis dari dua kalimat Syahadat

Siapa yang bagus pemahaman dan penghayatannya thdp dua kalimat syahadat maka bagus pula cintanya kepada Rasulullah ﷺ.

Bahkan itu tanda kesempurnaan iman seseorang sebagaimana hadits:

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين

Tidaklah sempurna iman kalian sampai aku lebih dicintai olehnya dibandingkan ayahnya, anaknya, dan semua manusia.

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Mencintai Rasulullah ﷺ mesti ada pembuktian, bukan hanya rasa di hati dan ucapan lisan

Di antara pembuktian itu adalah:

1️⃣ Bershalawat kepadanya

Allah ﷻ berfirman:

إن الله وملائكته يصلون على النَّبِيّ يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما

Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat kepada Nabi, wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al Ahzab: 56)

Lalu buat siapa manfaat shalawat itu? Buat diri pembacanya, buat umatnya sendiri. Sebagaimana hadits Nabi ﷺ:

من صلى علي صلاة من تلقاء نفسه صلى الله بها عليه عشرا

Barang siapa yang shalawat kepadaku sekali saja, maka Allah ﷻ akan bershalawat kepadanya sebanyak 10 kali. (HR. Musim No. 384)

Apa maksud Allah ﷻ bershalawat kepada orang itu?

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri menjelaskan:

أي عشر صلوات والمعنى رحمه وضاعف أجره

Yaitu sepuluh kali shalawat (doa), maknanya adalah kasih sayangNya dan berlipat-lipat pahala baginya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/496)

2️⃣ Menghidupkan Sunnahnya dan Ajarannya

Allah ﷻ berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31)

3️⃣ Mencintai apa-apa dan siapa-siapa yang dia cintai

Apa-apa yang menjadi kecintaan Rasulullah ﷺ, hendaknya kita juga mencintainya seperti ahli baitnya, para sahabatnya, dll. Maka, sangatlah dusta ketika ada yang mengaku mencintai Rasulullah ﷺ tapi dia cela para sahabatnya dan keluarganya serta keturunannya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

َ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebanyak bukit uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya”.
(HR.Bukhari no. 3637)

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَحِبُّوا اللَّهَ لِمَا يَغْذُوكُمْ مِنْ نِعَمِهِ وَأَحِبُّونِي بِحُبِّ اللَّهِ وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي بِحُبِّي

“Cintailah Allah atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, dan cintailah aku karena cinta kepada Allah serta cintailah ahli baitku karena cinta kepadaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3789, At Tirmidzi berkata: hasan)

4️⃣ Membenci Apa-Apa dan Siapa-Siapa Yang Dibencinya

Ini pun konsekuensi dari cinta, yaitu membenci apa yang tidak disukainya. Rasulullah ﷺ membenci orang yang berakhlak buruk, korup, suap, berhutang tidak ada itikad baik membayar, bunuh diri, dekil dan kotor, menyakiti sesama muslim, mengganggu hewan, dll.

5️⃣ Menjadi Pembelanya

Jika seseorang mencintai orang lain, maka biasanya dia siap menjadi pelindung dan pembelanya. Maka begitu juga bagi yang mengaku mencintai Rasulullah ﷺ, dia mesti siap menjadi penolongnya dikala dihina kepribadiannya, sunnahnya, dan ajaran yang dia bawa.

Dahulu para sahabat siap menjadi perisai hidup dikala Rasulullah ﷺ diserang puluhan anak panah kepadanya dikala perang Uhud.

Zaman ini Rasulullah ﷺ diserang dr berbagai arah: maka hendaknya kita menjadi pasukan yg menjadi pembelanya dengan cara yang elegan, ilmiyah, dan kuat, agar para pencelanya justru berubah menjadi pendukung dan mencintainya.

Demkian. WallahuA’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, Seorang Imam dan Faqihul Islam

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, bersabda:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Tidak termasuk ummatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak mengasihi yang lebih muda dan tidak pula mengerti hak seorang ulama.” (HR. Ahmad no. 21693. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih)

Pertama kali kami membaca karyanya sewaktu masih SMA, yaitu Halal dan Haram Dalam Islam, serta Urgensi Harakah Islamiyah.

Setelah itu selalu memburu karya-karya Beliau seperti Min Fiqhid Daulah (Fiqih Negara), Fiqhul Awlawiyat (Fiqih Prioritas), Fatawa Mu’ashirah (Fatwa-Fatwa Kontemporer), Fiqhuz Zakah (Fiqih Zakat), dan karya-karya Beliau lainnya di berbagai bidang.

Sangat nikmat membaca karya-karyanya. Ada corak dan karakter yang berbeda membaca pemikiran Syaikh Yusuf Al Qaradhawi ketika membahas persoalan terutama dalam fiqih dan fatwa, yaitu membangun struktur berpikir, memaparkan persoalan dari banyak sisi, menyelaraskan dengan ayat dan hadits yang terkait, ditambah penjelasan ulama salaf dan khalaf, analisa pendapat-pendapat tersebut, lalu kesimpulan menurut pandangannya dan ditutup dengan nasihat.

Oleh karenanya, kita dapatkan pembahasan Beliau Rahimahullah pada satu persoalan membutuhkan uraian lebih dari dua halaman buku. Seolah Beliau bukan hanya ingin menjawab tapi juga mendidik, mengarahkan, menasihati, dan mengobati, karena sejatinya seorang ulama dan mufti juga seorang da’i, dokter, dan orang tua bagi umat.

Kalau boleh kami bandingkan, gaya Beliau berbeda dengan para mufti dan ulama lain di masanya, yang memberikan jawaban atas persoalan langsung menjawab Iya dan Tidak, Boleh dan Terlarang, dengan sedikit pembahasan kadang hanya satu atau dua paragraf. Hal ini bisa dibuktikan dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer di semua jilid, dengan kitab-kitab fatwa selainnya.

Ibarat permainan sepak bola, nampaknya bukan hanya ingin gol tapi juga keindahan permainan dan sportivitas. Tidak langsung tendangan bebas apalagi pinalti.

Hal lain yang menarik adalah Beliau juga memperhatikan dari negeri mana penanya berasal, apa profesinya, dsb, sehingga Beliau bisa memberikan jawaban yang tepat dengan kondisi penanya, dan tidak terpaku pada teks saja.

Cara Beliau mengingatkan kami pada nasihat Imam Al Qarafi kepada para mufti:

فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح  والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين

“Bagaimanapun yang baru dari adat istiadat perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu.

Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas.

Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan tentang tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.”

(Imam Al Qarafi, Al Furuq, Juz. 1, Hal. 176-177. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Beirut. 1418H-1989M. Tahqiq: Khalil Al Manshur)

Beliau bukan hanya seorang yang pakar dalam fiqih, tapi juga keilmuan lainnya seperti Aqidah, Hadits, Ushul Fiqih, Dakwah dan Harakah dan jihad, Biografi Ulama, Tazkiyatun Nafs, Pemikiran, dan Sejarah. Dari hampir 200 judul karya tulisnya, semua bidang ini Beliau tulis lebih dari dua judul. Hampir semuanya Best Seller.

Maka tidak salah jika banyak tokoh di berbagai negeri Islam menyebutnya al ‘allamah, mujtahid zaman ini, mausu’i (ensiklopedi), dan seorang imam zaman ini.

Ditambah lagi keterlibatan Beliau di Medan jihad melawan Inggris di masa mudanya, serta medan amal di masa dewasa dan tuanya, serta sikap istiqamahnya dalam menjaga jarak dengan penguasa zalim.

Beliau manusia biasa yang juga bisa salah dan tergelincir, baik pada ucapan, tulisan, dan fatwanya, karena ma’shum hanya milik Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Kita tidak selalu setuju dengan pendapatnya, tapi bukan berarti menjadi halal menjelek-jelekkannya apalagi menghinanya dan menuduhnya dengan tuduhan yang buruk.

Kematiannya pekan lalu membuat rasa kehilangan jutaan pengagumnya dan ribuan murid-muridnya. Doa kebaikan dan shalat ghaib dilakukan di banyak negeri Islam. Keabadian hanya milik Allah Ta’ala.

Sebaliknya, kematiannya pula membuat senang zionis, liberal, penguasa zalim dan para pendukungnya, kaum munafik, ahlul fitnah, dan orang-orang yang dengki terhadap dirinya. Karena tidak ada satu pun ulama dulu dan sekarang yang selamat dari lisan kaum

Semoga Allah Ta’ala limpahkan kasih sayangNya kepada Syaikh Al Qaradhawi, kesejukan dan kelapangan di alam kuburnya, memasukannya ke surgaNya bersama Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin. Aamiin.

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top