Aurat

I. Makna Aurat

Syaikh ‘Abdul ‘Azīz al-Tharīfī mengatakan:

Makna asalnya adalah Al-Naqsh (kekurangan) dan Al-Khalal (cacat), yang mana pemiliknya benci jika kekurangannya itu nampak dan tersingkap. Termasuk makna aurat adalah apa-apa yang tidak disukai dilihat manusia baik tidak disukai berdasarkan akal, syariat, dan tradisi.

(Al-Hijāb fî Al-Syar’i wa Al-Fithrah, h. 62)

Jadi, sesuatu yg aib, cacat, kekurangan pada seseorang dan dia malu jika terbuka dan terlihat oleh orang lain, itulah aurat.

Ada pun dalam mazhab Syafi’i didefinisikan:

يقصد بكلمة العورة شرعاً: كل ما يجب ستره أو يحرم النظر إليه

Maksud kata aurat secara syariah adalah semua hal yang wajib ditutup dan haram memandangnya.

(Al-Fiqhu al-Manhajī ‘alā Madzhab al-Imām al-Syāfi’ī, vol. 1, h. 124)

Maka, aurat itu sumber munculnya rasa malu bagi seseorang sebab itu adalah aib dan kekurangan dirinya.

II. Macam-Macam Aurat

Ada dua macam aurat:

1. Al-‘Aurah al-Hissiyah, yaitu aurat pada fisik (anggota badan)

Dalam Syarh Riyādh al-Shālihīn, Syaikh ‘Utsaimīn berkata:

فالعورة الحسية: هي ما يحرُم النظر إليه؛ كالقُبُل والدُّبُر، وما أشبه ذلك مما هو معروف في الفقه

‘Aurah Hissiyah yaitu apa-apa yang haram dilihat, seperti kemaluan, dubur, dan semisalnya. Ini termasuk hal yang sdh dikenal dalam fiqih.

2. Al-‘Aurah al-Ma’nawiyah, yaitu aib dan cacat dalam perkara perkataan, perilaku, atau perangai.

والعورة المعنوية: وهي العيب والسُّوء الخلُقي أو العملي

Aurat Ma’nawiyah adalah aib dan keburukan, baik dr sisi akhlak atau perilaku.

(Syaikh Ibnu al-‘Utsaimīn, Syarh Riyādh al-Shālihīn, vol. 3, h. 5)

Kedua jenis aurat ini sama-sama mesti ditutup, kecuali darurat yang mengharuskan untuk membukanya. Orang lain pun dianjurkan menutup aib saudaranya sesama muslim.

Dalam hadits disebutkan:

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dan siapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutup aib dia pada hari kiamat.

(HR. Bukhari no. 2442)

III. Batasan Aurat Hissiyah

Batasan aurat Hissiyah antara laki-laki dan perempuan berbeda.

– Bagi laki-laki, auratnya dari pusar sampai lutut (dengkul). Ini pendapat mayoritas ulama, kecuali Ibnu Hazm yang mengatakan paha bukan aurat. (Fiqhus Sunnah, vol. 1, h. 106-107, Darul Fikr)

Imam Al-Qurthubī
Rahimahullah berkata:

وقال أكثر العلماء في الرجل: من سرته إلى ركبته عورة، لا يجوز أن ترى

Kebanyakan ulama mengatakan bahwa aurat laki-laki adalah dari pusar ke lutut, dan tidak boleh terlihat. (Tafsir Al-Qurthubī, vol. 12, h. 237)

Keterangan di atas menunjukkan pusar, dan kebawah, sampai lutut adalah area aurat kaum laki-laki yang mesti di tutup oleh pemiliknya dan tidak boleh dilihat orang lain kecuali mahramnya.

– Aurat Hissiyah bagi wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, inilah yg masyhur menurut mayoritas ulama.

Sebagian ulama mengatakan wajah dan telapak tangan pun aurat seperti pendapat Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah Al-Salmani, dll.

Imam Al-Qurthubī
Rahimahullah berkata:

أجمع المسلمون على أن السوأتين عورة من الرجل والمرأة، وأن المرأة كلها عورة، إلا وجهها ويديها فإنهم اختلفوا فيهما

“Kaum  muslimin telah ijma’ (sepakat) bahwa kemaluan adalah aurat wajib di tutup baik laki-laki dan wanita, dan wanita seluruh tubuhnya aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, mereka berselisih tentang wajah dan kedua telapak tangan itu.”

(Tafsir Al-Qurthubī, vol. 12, h. 237)

IV. Kapan Aurat Boleh Terlihat Di Hadapan Bukan Mahram?

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, aurat hissiyah, hanya boleh nampak bagi mahram saja. Lalu, dalam keadaan apa pihak yg bukan mahram boleh melihat aurat seseorang? Yaitu dalam keadaan darurat, mendesak, ketika ada ancaman terhadap nyawa atau kerusakan pada badan.

Misal, pasien wanita berobat kepada dokter laki-laki, dalam kondisi tidak ada dokter wanita atau sulit mendapatkan dokter wanita, sementara dia dlm keadaan terancam jiwanya atau tubuhnya.

Hal ini berdasarkan kaidah:

 الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ

Kesulitan membawa pada kemudahan. (Imam Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa al-Nazhāir, h. 75. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddīn Al-Subkī:

المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع

Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan. (Imam Tajuddin As Subki, Al-Asybah wa al-Nazhāir, vol. 1, h. 61. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah)

V. Aurat Mughallazhah, Mutawasithah, dan Mukhaffafah

Syaikh Ali bin Abdullah al-Namī dalam artikelnya berjudul Aqsamul ‘Aurah mengatakan aurat ada tiga bagian:

1. Mughallazhah (berat), yaitu kemaluan dan dubur, dan sekitarnya.

2. Mutawassithah (pertengahan), yaitu antara pusar sampai lutut.

3. Mukhaffafah (ringan), yaitu selain yang di atas, yang biasa nampak saat di rumah dengan pakaian rumahnya. (Selesai)

Dari ketiga jenis di atas, mahramnya hanya boleh melihat yang mukhaffafah (ringan) seperti kepala, tangan, leher, kaki sampai betis.

Imam Ibnu Qudamah berkata:

ويَجوز للرجل أن يَنظر من ذوات محارمه إلى ما يظهر غالبًا؛ كالرقبة والرأس والكفَّين والقدمين ونحو ذلك، وليس له النظر إلى ما يستُر غالبًا؛ كالصدر والظَّهر ونحوهما

Boleh bagi seseorang laki-laki melihat wanita yang mahramnya pada bagian yang biasa nampak, seperti pundak, kepala, dua telapak tangan, dua telapak kaki, dan semisalnya. Dia tidak berhak melihat bagian yang biasa tertutup seperti dada, punggung, dan semisalnya.

(Al-Mughnī, vol. 4, h. 291-292)

Batasan yang boleh nampak bagi laki-laki mahram adalah batasan yg boleh juga nampak bagi sesama wanita muslimah.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Mengapa Jamaah Tidak Langsung Duduk Ketika Adzan Jum’at

PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum warohmatulohi wabarakatuh. Ijin bertanya. Mengapa ketika muadzin sedang melantunkan adzan di masjid saat menjelang khutbah Jum’at, para jamaah yang baru datang tetap berdiri dulu, tidak langsung duduk atau tidak langsung melaksanakan sholat qobliyah Jum’at?

JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Hal itu terkait hukum menjawab azan, yaitu sunnah muakkadah, alias sunnah yang sangat ditekankan. Sehingga sebagian jamaah ada yg menuntaskan dulu menjawab azan sehingga mereka tidak langsung shalat tahiyatul masjid atau qabliyah, dan tidak pula langsung duduk.

Dalilnya adalah:

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ

Jika kalian mendengar azannya muazin maka katakanlah olehmu seperti yang dikatakan muazin, lalu bershalawatlah kepadaku.

(HR. Muslim no. 384)

Imam An Nawawi memasukkan hadits ini dalam Bab berjudul: Istihbab Al Qauli Mitsli Qaulil Mu’adzin liman sami’ahu (SUNNAHNYA MENGATAKAN SEPERTI YANG DIKATAKAN MUAZIN BAGI YANG MENDENGARNYA)

Bahkan Ibnu Baththal mengutip dari Imam Ath Thahawi:

وقال الطحاوى: وقد قال قوم: إن قول الرسول: (إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثلما يقول) على الوجوب، وخالفهم آخرون وقالوا: هو على الاستحباب والندب

Berkata Ath Thahawi: Segolongan kaum berkata: ada kaum yang mengatakan bahwa sabda Rasul “Jika kalian mendengar azannya muazin maka katakanlah olehmu seperti yang dikatakan muazin”, menunjukkan WAJIB, namun pihak yang lain menyelisihinya. Mereka mengatakan: “Maknanya menunjukkan hal yg disukai dan dianjurkan (sunnah).”

(Syarh Shahih Al Bukhari, 2/241)

Dalam kondisi itu, ibadah yang terbaik adalah menjawab azan, dibanding lainnya, menurut sebagian ulama ibadah terbaik adalah ibadah yang sesuai kondisi tuntutan momennya. Misalnya Imam Ibnul Qayyim, Beliau berkata:

إِنَّ أَفْضَلَ الْعِبَادَةِ الْعَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الْوَقْتِ وَوَظِيفَتُهُ

Sesungguhnya ibadah paling utama adalah sebuah amal utk mencari ridhaNya dengan melakukan amalan yang sesuai dengan tuntutan dan tugasnya. (Madarijus Salikin, 1/88)

Lalu, kenapa mesti berdiri, tidak sambil duduk saja ?

Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan sbb:

إِذَا دَخَلَ أحَدُكُمُ المَسْجِدَ ، فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Jika salah seorang di antara kamu masuk ke masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia shalat dua rakaat. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Jadi, dia berdiri karena rencananya seusai tuntas menjawab azan dia akan shalat dua rakaat. Itulah kenapa sebagian jamaah ada yg berdiri dulu sambil menjawab azan.

Lalu, seandainya dia shalat langsung dan tidak menjawa azan bagaimana? Tidak apa-apa, krn menjawab azan adalah sunnah menurut jumhur. Dia beralih dari satu sunnah ke sunnah lainnya. Jika dia mau dapat keduanya juga bisa, yaitu dengarkan azan dan jawab, lalu dia shalat dua rakaat setelahnya.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Salat Bagi Penderita Ambeien dan Fistula Ani

PERTANYAAN:

Saya pengidap ambeien dan fistula ani, jadi ketika penyakit saya kambuh dari dubur kadang keluar cairan sendiri atau kadang dari ambeien keluar nanah atau cairan kadang darah karena fistula ani itu ada jaringan abnormal seperti lubang yang kecil dekat anus kadang keluar nanah atau cairan juga. Pertanyaan : apakah ketika saya selesai wudhu dan terjadi hal hal tersebut itu membatalkan wudhu?Topas, Banyuwangi,

JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Shalat adalah kewajiban atas muslim mukallaf mana pun selama akalnya masih berjalan dengan baik. Artinya, keadaan di atas bukanlah keringanan meninggalkan shalat. Sedangkan sahnya shalat, mensyaratkan suci dari berbagai najis.

Lalu, bagaimana dgn cairan atau nanah yang keluar tanpa bs di kontrol seperti kasus yg ditanyakan?

Itu adalah kondisi udzur dan masyaqqah (kesulitan) bagi dia. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu

(QS. At-Taghabun, Ayat 16)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka, jika aku memerintahkan kamu terhadap sesuatu, jalankanlah sejauh yang kalian mampu.

(HR. Muslim no. 1337)

Sementara itu, dalam kaidah fiqih disebutkan:

الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ

Kesulitan itu menarik kemudahan. (Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddin As Subki:

المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع

Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan. (Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Maka, kondisi yang ditanyakan saudara penanya yaitu adanya najis yang bisa keluar tanpa disadari termasuk saat shalat, mirip seperti orang yang keluarnya beser yg tdk bisa dikontrol, atau orang yang luka terus menerus, atau seperti wanita yang darah istihadhah keluar terus menerus, dia mengalami kesulitan yang digambarkan oleh kaidah-kaidah di atas, maka shalatnya tetap SAH.

Dalilnya adalah, terdapat dalam Shahih Bukhari di ceritakan oleh Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah:

ﻣَﺎ ﺯَﺍﻝَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮﻥَ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻓِﻰ ﺟِﺮَﺍﺣَﺎﺗِﻬِﻢْ

Kaum muslimin senantiasa shalat dalam keadaan mereka terluka.

Riwayat lain:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي

Dari Aisyah dia berkata; ‘Fathimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; ‘Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, hingga diriku tidak suci, apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Beliau bersabda: “Itu hanyalah darah penyakit, bukan darah haidh, apabila darah haid datang, tinggalkanlah shalat. Apabila darah haid telah berlalu, bersihkanlah darah tersebut dari dirimu kemudian shalatlah.”

(HR. Muslim no. 333)

Dua riwayat ini menunjukkan wanita yg selalu keluar darah istihadhah-nya tetap wajib shalat. Padahal darah itu mengalir dan najis. Ini menunjukkan “kondisi khusus” yang dimaafkan.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وحكم سلس البول والمذي ومن به حدث دائم وجرح سائل حكم المستحاضة على ما سبق

Hukum bagi orang yang beser, dan mudah keluar madzi, dan orang yang selalu berhadats, dan darah luka yang mengalir, adalah sama hukumnya dengan wanita yang istihadhah sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/516)

Kesimpulannya:

1. Sebelum shalat bersih-bersih dulu termasuk bagian anus. Lalu wudhu selayaknya ingin shalat, jika sudah masuk waktu shalat. Ada pun jika wudhunya sebelum masuk waktu shalat, lalu dia keluar najis sebelum shalat maka ini batal, mesti ulangi wudhunya.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

فإن توضأ أحد هؤلاء قبل الوقت، وخرج منه شيء، بطلت طهارته

Jika salah seorang mereka (orang yg disebut di atas) berwudhu sebelum waktunya, lalu keluar najis, maka batal thaharahnya. (Al Mughni, 1/248)

Demikianlah pendapat mayoritas ulama.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhullah mengatakan:

فإن الذي عليه جمهور الفقهاء أن صاحب السلس يجب عليه الوضوء لكل صلاة بعد دخول وقتها، ولا يجزئه أن يتوضأ لصلاة قبل دخول وقتها، ويجب عليه إذا أراد الصلاة أن يغير ملابسه المصابة بالنجس أو يطهرها إن أمكن ذلك ويغسل المحل جيداً

Sesungguhnya yang dianut oleh mayoritas fuqaha adalah bahwa penderita beser wajib wudhu pada setiap shalat setelah masuk waktunya, tidak sah jika dia berwudhu sebelum masuk waktunya. Dan, wajib baginya jika hendak shalat mengganti pakaiannya yg kena najis atau hendaknya dia sucikan sejauh kemampuannya dan dia cuci yg kotor itu sebaik-baiknya.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 108086)

2. Jika mengalami kesulitan ketika shalat yaitu tetap keluar najis tersebut tanpa bisa dia kendalikan, maka itu ketidakberdayaan yang dimaafkan dan tidak bisa dihindarkan, dan shalatnya tetap sah. Sebagaimana dalil-dalil dan penjelasan para imam di atas.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Sedekah Laut/Sungai

PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustazd,saya dari banyu asin sumatera selatan,izin bertanya tentang sedekah sungai biar selamat dari bahaya buaya,gimana menurut islam

JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah .

Masalah sedekah sungai, juga sedekah laut.. Ini mesti diperinci dulu persepsinya ..

1. Jika menyembelih hewan halal (ayam, kambing, sapi) atau sedekah makanan halal apa pun, dalam rangka taqarrub (mendekatakan diri kepada Allah), lalu disedekahkan kepada fakir miskin, lalu dari situ berharap tertolaknya bala yg ada pada sungai tersebut. Maka ini tidak masalah, ini sama seperti sedekah2 biasa.

Imam Ibnul Qayyim berkata:

فإن للصدقة تأثيرا عجيبا في دفع أنواع البلاء ولو كانت من فاجر أو من ظالم بل من كافر فإن الله تعالى يدفع بها عنه أنواعا من البلاء وهذا أمر معلوم عند الناس خاصتهم وعامتهم وأهل الأرض كلهم مقرون به لأنهم جربوه

Sedekah itu memiliki efek mengagumkan dalam menolak berbagai macam bala, walau dilakukan oleh orang jahat, zalim, bahkan kafir sekali pun, sesungguhnya Allah Ta’ala mencegah berbagai macam bala dengannya. Ini adalah perkara yang sdh diketahui oleh manusia baik orang khususnya dan umumnya. Semua penduduk bumi mengakuinya karena mereka sudah mmbuktikannya.

(Al Wabil ash Shayib, hal. 31)

2. Jika sedekah itu untuk taqarrub ilallah, tapi juga meminta bantuan kepada jin, atau arwah-arwah, lalu mereka letakkan di tempat2 yang dianggap keramat, maka ini haram. Makanannya pun haram dimakan karena termasuk anshoob.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَا لْمَيْسِرُ وَا لْاَ نْصَا بُ وَا لْاَ زْلَا مُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَا جْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, anshoob (berkurban untuk berhala-para dewa) , dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
(QS. Al-Ma’idah: Ayat 90)

Anshoob, menurut Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Atha, Sa’id bin Jubeir, Al Hasan, dan lainnya: adalah bebatuan yang tempat mereka menyembelih qurban mereka.

(Tafsir Ibnu Katsir, 3/179)

3. Jika menyembelih atau sedekah itu bukan untuk taqarrub ilallah, tapi dipersembahkan kepada jin-jin, untuk menolak bala, dan menganggap merekalah yang membawa manfaat dan madharat, maka ini syirik dan kekufuran.

Allah Ta’ala berfirman:

وَّاَنَّهٗ كَا نَ رِجَا لٌ مِّنَ الْاِ نْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَا لٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَا دُوْهُمْ رَهَقًا

“dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat.”
(QS. Al-Jinn: Ayat 6)

Makna فَزَا دُوْهُمْ رَهَقًا  : tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat, kata Sa’id bin Jubeir adalah Kekafiran. As Suddi mengatakan: bertambah gangguan dari jin.

(Tafsir Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 6/111)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top