Hukum Mendoakan Husnul Khatimah Untuk Mayit

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalaamualaikum..Afwan ustadz..terkait do’a atau Kata..Husnul Khotimah bagi mayit…apakah itu salah tadz..?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak terlarang mendoakan husnul khatimah, kepada mayit muslim yang baik-baik, dengan wafat yang baik pula. Hal itu sesuai keumuman dalil anjuran mendoakan sesama muslim baik yang hidup dan mati dengan doa yang baik.

“Melarang” itu butuh dalil, tidak boleh sembarang melarang. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mencontohkan berdoa disaat wafatnya Abu Salamah wafat, agar Abu Salamah ditinggikan derajatnya. (HR. Muslim), padahal hidup dia sudah berakhir. Aktifitas memperbaiki diri, meninggikan derajat, memang sudah off. Tapi, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tetap mendoakan sahabatnya agar ditinggikan derajatnya dengan doa Allahummarfa’ darajatahu fil mahdiyyin …

Imam Al ‘Aini menyebutkan:

إِحْسَان الظَّن بِاللَّه عز وَجل وبالمسلمين وَاجِب

Berbaik sangka kepada Allah dan kepada kaum muslimin adalah wajib. (‘Umdatul Qaari, 20/133)

Mendoakan husnul khatimah adalah salah satu wujud baik sangka dan harapan baik kepada sesama muslim. Kecuali bagi mereka yang wafatnya dalam keadaan zalim dan maksiat seperti wafat saat zina, mabuk, merampok..

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Dakwah dan Budaya

عن عائشة أنها زفت امرأة إلى رجل من الأنصار فقال نبي الله-صلى الله عليه وسلم-: “يا عائشة، ما كان معكم لهو، فإن الأنصار يعجبهم اللهو”

Dari ‘Aisyah, bahwa dia menikahkan seorang wanita kepada laki-laki Anshar. Nabi ﷺ berkata: “Wahai ‘Aisyah, kenapa tidak ada hiburan, karena orang Anshar itu suka hiburan” (HR. Bukhari no. 5162)

Beberapa pelajaran:

Pada hadits ini menunjukkan Rasulullah ﷺ memiliki kemampuan memahami budaya masyarakatnya.

Beliau bukanlah orang Anshar (Madinah), tapi Mekkah (Muhajirin), namun Beliau mengenali dengan baik budaya orang Anshar yang suka Al Lahwu (hiburan, nyanyian, permainan), dan Beliau menghargai hal itu.

Hal itu ditunjukkan oleh keheranan Beliau atas pesta pernikahan Anshar yang sepi dari Al Lahwu, padahal kaum Anshar menyukainya.

Peristiwa ini menunjukkan pentingnya bagi seorang muslim apalagi aktivis dakwah, untuk ma’rifatul maidan (mengenal lingkungan) dalam dakwahnya.

Tentu budaya yang dimaksud adalah yang baik dan positif, maka tetap menghargai bahkan ikut menjaganya. Bahkan bisa menjadikannya sbg mimbar untuk nasyrul khair (menyebarkan kebaikan).

Ada pun budaya yang menyimpang, baik secara aqidah, ibadah, akhlak, dan pemikiran, tentu ini mesti diperbaiki dengan cara efektif dan hati-hati.

Di sisi lain, hadits ini menjadi dalil bagi para ulama bolehnya hiburan (nyanyian, permainan) yang baik-baik, pada acara yang baik-baik pula.

Imam Ibnu Baththal menjelaskan:

اتفق العلماء على جواز اللهو فى وليمة النكاح، مثل ضرب الدف وشبهه ما لم يكن محرمًا وخصت الوليمة بذلك ليظهر النكاح وينتشر فتثبت حقوقه وحرمته

“Para ulama sepakat atas dibolehkannya al-lahwu (hiburan, nyanyian, permainan) dalam pesta pernikahan, seperti memukul rebana dan semisalnya, selama tidak mengandung hal yang haram. Dikhususkannya pesta pernikahan dalam hal lahwu bertujuan agar pernikahan menjadi nampak dan tersebar luas, sehingga dapat memenuhi hak-haknya dan kehormatannya.” (Syarh Shahih Al Bukhari, 7/279-280)

Hal ini sejalan dengan hadits shahih lainnya. Ar Rubayyi binti Mu’awidz Radhiallahu ‘Anha bercerita:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ

Pada hari pernikahanku Rasulullah ﷺ datang, dia duduk di permadaniku ini, aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang memainkan rebana, mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika terbunuh dalam perang Badar, maka mereka menyanyikan, “Di tengah kita ada seorang nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ucapan yang ini, janganlah kalian berdua ucapkan.” (HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 44/570)

Karena itulah, Syakh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah mengatakan:

فلا يحرم سماع صوت المرأة ولو مغنية، إلا عند خوف الفتنة

Maka, tidaklah diharamkan mendengarkan suara wanita walau wanita penyanyi kecuali jika khawatir terjadinya fitnah (syahwat). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/116)

Juga sejalan dengan hadits lainnya yg shahih. Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتَُذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ
فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan peperangan, ketika sudah kembali datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan memainkan REBANA dan  BERNYANYI di hadapanmu.” Rasulullah bersabda, “Jika engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya.” Maka wanita itu pun memainkan rebananya, lalu masuklah Abu Bakar dia masih memainkannya. Masuklah Ali dia masih memainkannya. Masuklah Utsman dia masih memainkannya. Lalu ketika Umar yang masuk, dibantinglah rebana itu dan dia duduk (ketakutan). Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Umar syetan saja benar-benar takut kepadamu, ketika aku duduk dia memukul rebana, ketika Abu Bakar masuk dia amsih memainkannya, ketika Ali datang dia masih memainkannya, ketika Utsman datang dia masih memainkannya, tapi ketika Engkau yang datang dia lempar rebana itu.  (HR. At Tirmdzi No. 3690, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)

Imam Ali Al-Qari Rahimahullah mengomentari kisah ini:

دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ

Ini merupakan dalil bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada fitnah. (Mirqah Al-Mafatih, 9/3902)

Namun masalah nyanyian dengan musik, baik suara laki-laki maupun wanita, walau dengan isi nasyid (syair) yang baik-baik adalah perkara pro kontra dalam fiqih para ulama sejak masa salaf dan khalaf. Ini kenyataan yang mesti diakui fakta dan eksistensinya dengan lapang dada oleh kedua pihak dengan mengedepankan adabul ikhtilaf.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

✍ Farid Nu’man Hasan

Tahanlah Olehmu Jari jemarimu

“Tahanlah olehmu Jari jemarimu” bukanlah hadits Nabi ﷺ

Tapi kalimat tsb terinspirasi dari hadits:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir berkata, Aku bertanya: Wahai Rasulullah ﷺ bagaimana supaya selamat? beliau menjawab:

1. Jagalah olehmu lisanmu
2. Hendaklah rumahmu membuatmu lapang
3. dan menangislah karena dosa dosamu (HR. At Tirmidzi no. 2406, hasan)

Menjaga lisan adalah salah satu jalan keselamatan; asalkan mampu menjaganya dari menyebar fitnah (berita bohong), ghibah, adu domba, caci makian, dan semisalnya.

Kebalikannya, mulut (lisan) pula yang paling banyak menyebabkan manusia ke neraka. Sebagaimana hadits:

وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Rasulullah ﷺ ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, maka beliau menjawab: “(karena) Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi no. 2004, hadits hasan)

Namun, zaman media sosial seperti sekarang, komunikasi manusia lebih didominasi atau diwakili oleh jari jemarinya, sehingga jari jemari menjadi delegasi lisannya. Baik mengetik, men-share, men-copas, komen, dll.

Oleh karena itu, pastikan dulu apa yang kita tulis, share, copas, adalah akurat, benar, dan memiliki manfaat.

Bukan berita dusta, atau bukan sesuatu yang tidak ada manfaat. Jangan asal share, asal komen, asal copas.

Rasulullah ﷺ bersabda:

بِحَسْبِ الْمَرْءِ مِنَ الْكَذِبِ أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seseorang termasuk berbohong jika dia membicarakan semua apa yang didengarnya. (HR. Muslim no. 5)

Imam an Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وَأَمَّا مَعْنَى الْحَدِيثِ وَالْآثَارِ الَّتِي فِي الْبَابِ فَفِيهَا الزَّجْرُ عَنِ التَّحْدِيثِ بِكُلِّ مَا سَمِعَ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ يَسْمَعُ فِي الْعَادَةِ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ فَإِذَا حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَقَدْ كَذَبَ لِإِخْبَارِهِ بِمَا لَمْ يَكُنْ وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ مَذْهَبَ أَهْلِ الْحَقِّ أَنَّ الْكَذِبَ الْإِخْبَارُ عن الشيء بخلاف ماهو وَلَا يُشْتَرَطُ فِيهِ التَّعَمُّدُ لَكِنَّ التَّعَمُّدُ شَرْطٌ فِي كَوْنِهِ إِثْمًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Ada pun makna hadits dan atsar dalam bab ini adalah larangan keras bagi manusia membicarakan semua yang dia dengarkan, sebab aktifitas mendengarkan itu biasanya ada berita yang benar dan berita yang bohong, maka jika dia membicarakan semua yang didengarnya barang tentu dia telah berbohong, karena telah menyebarkannya apa-apa yang tidak terjadi. Telah dijelaskan sebelumnya, menurut madzhab Ahlul haq bahwa yang dikatakan berita bohong adalah sesuatu yang menyelisihi apa yang seharusnya. Dalam hal ini, unsur kesengajaan itu tidaklah menjadi syarat bahwa dia telah berbohong, tetapi kesengajaan itu merupakan syarat yang membuat dirinya berdosa. Wallahu A’lam

(al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/75)

Maka, jangan tergesa-gesa menyebarkan berita, sebab tergesa-gesa itu dari syetan. Rasulullah ﷺ bersabda:

التأني من الله و العجلة من الشيطان

Hati-hati itu dari Allah, tergesa-gesa itu dari syetan.

(HR. al Baihaqi, as Sunan al Kubra, 10/104. Sanadnya: hasan)

Maka, sayangilah diri kita di akhirat nanti … disaat jari jemari akan berbicara dan menjadi saksi atas apa yang telah diperbuatnya.

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq

✍ Farid Nu’man Hasan

Serba-Serbi Salam

“Assalamu’alaikum ” itu syiar Islam, masing-masing umat beragama ada syiar dan ciri khasnya sendiri. Inilah salam Islam, salam penuh keberkahan yang berasal dari Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا دَخَلۡتُم بُيُوتٗا فَسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ تَحِيَّةٗ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ مُبَٰرَكَةٗ طَيِّبَةٗۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ

Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.

(QS. An-Nur: 61)

Salam itu doa, doa keselamatan, kasih sayang, dan keberkahan, untuk yang disalami. Karena itu, perlu diperhatikan cara pengucapan dan kalimatnya, tidak asal-asalan.

Salam itu salah satu sarana memunculkan cinta sesama orang-orang beriman. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu, apabila kalian mengerjakannya niscaya kalian akan saling menyayangi? Sebarkanlah salam di antara kalian.”

(HR. Muslim no. 54)

Mengawali salam adalah sunnah menurut mayoritas ulama. Bahkan Ibnu Abdil Bar mengatakan kesunnahannya adalah ijma’. Sedangkan menjawabnya adalah fardhu (wajib).

(Mishbahuzh Zhalam Syarh Bulugh Al Maram, jilid. 4, hal. 290).

Tapi, kenyataannya para fuqaha tidak ijma’, sebab menurut kalangan Hanafiyah, juga salah riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat yg tidak masyhur dari Malikiyah, mengatakan mengawali salam adalah wajib, bukan sekedar sunnah.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 25/160-161)

Menjawab salam dianjurkan dengan kalimat yang lebih baik, lebih komplit, minimal sepadan.

Allah Ta’ala berfirman:

{ وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا }

Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 86)

Cara salam ada beberapa bentuk:

– Assalamu ‘alaikum (dapat 10 kebaikan)
– Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullah (20 kebaikan)
– Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh (30 kebaikan)

(HR. Ahmad No. 19948, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Sanadnya kuat sesuai syarat Imam Muslim, semua perawinya terpercaya, dan termasuk perawi Bukhari dan Muslim, kecuali Ja’far bin Sulaiman, dia adalah perawinya Imam Muslim, seorang yang jujur dan bagus haditsnya.” Lihat
Ta’liq Musnad Ahmad No. 19948)

Semua kalimat ini disepakati kesunnahannya. Ada pun tambahan wa maghfiratuh diperselisihkan para ulama sejak masa sahabat nabi.

Berikut ini keterangannya:

قال الحسن: إِذا قال أخوك المسلم: السلام عليكم، فردَّ السلام، وزد: ورحمة الله. أو رُد ما قال ولا تزد. وقال الضحاك: إِذا قال: السلام عليك، قلت: وعليكم السلام ورحمة الله، وإِذا قال:
السلام عليك ورحمة الله، قلتَ: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته، وهذا منتهى السلام

Berkata Al Hasan: “Jika saudaramu muslim berkata: Assalamu ‘alaikum, maka jawablah salamnya dan tambahkan “ wa Rahmatullah”, atau jawablah secara sama tanpa tambahan.

Adh Dhahak mengatakan: “Jika dia berkata: Assalamu ‘Alaika, maka engkau katakan: “Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah.” Jika dia berkata: “As Salamu ‘Alaika wa Rahmatullah, maka kau katakan: “Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.” Ini adalah akhir salam. (Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Zaadul Masiir, jilid. 1, hal. 441)

Imam An Nawawi Rahimahullah juga menjelaskan:

يستحب أن يقول المبتدئ بالسلام:”السلام عليكم ورحمة الله وبركاته”فيأتي بضمير الجمع, وإن كان المسلم عليه واحداً, ويقول المجيب: “وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته”فيأتي بواو العطف في قوله: وعليكم

Disunahkan bagi yang mengawali ucapan salam dengan kalimat: “Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.” Menggunakan dhamir (kata ganti orang) jamak (plural), walaupun yang menerima salam adalah satu orang muslim saja. Sedangkan yang menjawab mengucapkan: “Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh,” dengan menggunakan huruf “wau ‘athaf” pada kalimat: “Wa ‘alaikum.”

(Riyadhushshalihin, Kitabus Salam Bab Kaifiyah As Salam, Hal. 274)

Dalam riwayat Zaid bin Arqam disebutkan bahwa, “Jika Nabi ﷺ mengucapkan salam kepada kami maka kami menjawab: Wa ‘Alaikas salam wa Rahmatullah wa Barakatuh wa Maghfiratuh.

(HR. Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir, 1/1/330. Sanadnya Jayyid dan semua perawinya terpercaya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1449)

Dalam atsar shahih, dari Kharijah bin Said, bahwa jika beliau menulis suratnya Zaid memulai dengan salam:

السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وبركاته ومغفرته وطيب صلواته

As Salamu ‘Alaika – Ya Amiral Mu’minin- wa Rahmatullah wa Barakatuh wa Maghfiratuh wa Thayyibu shalawatih. (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 1001. Lihat Shahih Adabil Mufrad, 1/436)

Sementara Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma tidak menyukai hal itu, sebab hal itu tidak sesuai Al Quran, yakni ayat tentang perkataan malaikat kepada istrinya Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam: wa rahmatullah wa barakatuhu ‘alaikum ahlal bait. (QS. Huud: 73)

‘Atha berkata tentang sikap Ibnu ‘Abbas Radhiallah ‘Anhuma:

كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَقُلْتُ: وَعَلَيْكُمُ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ وَمَغْفِرَتُهُ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «انْتَهِ إِلَى مَا انْتَهَتْ إِلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ»

Aku bersama Abdullah bin Abbas, saat itu datang seorang laki-laki lalu mengucapkan salam kepadanya. Maka aku menjawab: “Wa ‘Alaikumus Salam wa Rahmtullah wa Barakatuh wa Maghfiratuh.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Berhentilah pada kalimat di mana Malaikat juga berhenti.” (Imam Al Hakim, Al Mustadrak No. 3316, katanya: shahih. Lihat juga Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8487)

Ketidaksukaan ini juga ditunjukkan oleh Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Imam Al Baihaqi meriwayatkan sebagai berikut:

أَنَّهُ كَانَ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ رَجُلٌ، فَقَالَ: سَلَامٌ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ وَمَغْفِرَتُهُ، فَانْتَهَرَهُ ابْنُ عُمَرَ، وَقَالَ: ” حَسْبُكَ إِذَا انْتَهَيْتَ إِلَى: وَبَرَكَاتُهُ، إِلَى مَا قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ “

Bahwa ada seorang laki-laki yang mengucapkan salam kepada Ibnu Umar, dengan ucapan: “Salamun ‘Alaika wa Rahmatullah wa Barakatuh wa Maghfiratuh.” Maka Ibnu Umar mencelanya, dan berkata: “Cukup bagimu jika kamu akhiri dengan “wa Barakatuh” mengikuti apa yang Allah ﷻ firmankan.” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 8490. As Suyuthi, Ad Durul Mantsur, 4/454)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top