Berhubungan Suami Istri Tapi Memikirkan Wanita Lain

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum.. Boleh gak pas hubungan suami istri, kita menghayalkan wanita lain? (A, Jkt)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Ada dua pandangan ulama tentang hal itu.

1. Haram

Ini adalah pendapat mayoritas ulama, baik Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian Syafi’iyah.

Mengkhayalkan wanita lain/laki-laki lain saat berhubungan suami istri dengan pasangan sahnya, hal itu dinilai zina, yaitu zina hati. Seolah yang sedang bergaul dengannya adalah wanita atau laki-laki lain yang dia khayalkan, padahal itu adalah tubuh istri/suaminya sendiri.

Hal ini berdasarkan hadits:

وإنما لكل امرئ ما نوى

Setiap manusia mendapatkan poin sesuai yang dia niatkan (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Kaidah fiqih:

الأمور بمقاصدها

Menilai perkara-perkara berdasarkan maksud-maksudnya

Juga hadits lainnya,

وزنا القلب التمني

Zina hati adalah menginginkan/mengharapkan. (HR. Ahmad no. 8338. Syaikh Ahmad Syakir menyatakan: sanadnya shahih)

Al Hafizh Abu Zur’ah menjelaskan:

قد يستدل به على تحريم تمني الزنى بالقلب

Hadits ini dijadikan dalil haramnya menghayalkan zina dengan hati. (Tharhu At Tatsrib, 7/20)

Al ‘Iraqi mengatakan:

لو جامع أهله، وفي ذهنه مجامعة من تحرم عليه، وصور في ذهنه أنه يجامع تلك الصورة المحرمة، فإنه يحرم عليه ذلك، وكل ذلك؛ لتشبهه بصورة الحرام

Seandainya seseorang menggauli istrinya namun dalam pikirannya dia sedang menggauli wanita yang haram baginya, dan dalam pikirannya ada bayangan gambaran wanita lain yang digauli, maka itu haram, semua itu karena menyerupai perkara yang diharamkan. (Ibid)

Imam Ibnu Muflih Al Hambali mengatakan:

وَقَدْ ذَكَرَ ابْنُ عَقِيلٍ أَنَّهُ لَوْ اسْتَحْضَرَ عِنْدَ جِمَاعِ زَوْجَتِهِ صُورَةَ أَجْنَبِيَّةٍ مُحَرَّمَةٍ أَوْ ذَكَرٍ أَنَّهُ يَأْثَمُ

Ibnu ‘Aqil mengatakan bahwa jika seseorang ketika jima’ dengan istrinya membayangkan gambaran wanita lain yang diharamkan atau laki-laki lain maka itu BERDOSA. (Al Furu’, 5/11)

Maka, walau itu tubuh istri/suaminya sendiri, tapi dia memaksudkan, membayangkan, mengkhayalkan, menginginkan adalah tubuh wanita/laki-laki lain, maka dia mendapatkan sesuai apa yang dimaksudkan, yaitu zina.

Walau tujuannya baik, yaitu untuk melahirkan gairah bagi keduanya, itu tidak mengubah hukumnya menjadi halal. Kaidahnya:

الغاية لا تبرر الوسيلة إلا بالدليل

Sebuah tujuan (yang baik) tidaklah mengubah sarana/cara (yang buruk) menjadi baik, kecuali yang ada dalilnya

2. Boleh tapi dibenci (Makruh)

Ini pendapat mu’tamad (resmi) mazhab Syafi’i. Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

أما الشافعية: فالمعتمد عندهم هو جواز ذلك

Ada pun Syafi’iyah, pendapat yang mu’tamad menurut mereka adalah hal itu boleh. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 15558)

Bagi mereka mengkhayalkan wanita/laki-laki lain saat hubungan suami-istri dengan pasangan sah adalah boleh namun tetap makruh. Mereka mengkategorikannya sebagai lintasan pikiran saja, atau sejenis was was yang dimaafkan, yang belum menjadi tindakan. Namun demikian itu tetap hal yang buruk, jika hal itu diketahui oleh pasangannya tentu dia akan marah krn dirinya dianggap seakan benda mati yang dikhayalkan sebagai orang lain.

Dasarnya adalah:

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إن الله تَجَاوَزَ عن أمتي ما حَدَّثَتْ به أَنْفُسَهَا، ما لم تَعْمَلْ أو تتكلم» قال قتادة: «إذا طَلَّقَ في نفسه فليس بشيء»

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Allah Ta’ala membiarkan yang terjadi pada umatku apa-apa yang masih terlintas dalam jiwanya, selama belum menjadi perkataan atau tindakan.

Qatadah berkata: “Jika seseorang menceraikan istrinya di hati, maka itu tidak ada efeknya (tidak sah).”

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Arti dari tajaawaza adalah:

عفا وصفح وسامح

Memaafkan, mengampuni, membiarkan

Imam Ibnu Hajar al Haitami ditanya tentang suami yang menggauli istrinya tapi membayangkan wanita lainnya:

جمعٌ مُحَقِّقُونَ كَابْنِ الْفِرْكَاحِ وَجَمَالِ الْإِسْلَامِ ابْنِ الْبِزْرِيِّ وَالْكَمَالِ الرَّدَّادِ شَارِحِ الْإِرْشَادِ وَالْجَلَالِ السُّيُوطِيّ وَغَيْرِهِمْ يَحِلُّ ذَلِكَ وَاقْتَضَاهُ كَلَامُ التَّقِيِّ السُّبْكِيّ فِي كَلَامِهِ عَلَى قَاعِدَةِ سَدِّ الذَّرَائِعِ وَاسْتَدَلَّ الْأَوَّلُ لِذَلِكَ بِحَدِيثِ «إنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا

“Para peneliti seperti Ibnu Al Firkah, Ibnu Al Bizri, Ar Radad (pensyarah kitab Al Irsyad), As Suyuthi, dan lainnya sepakat hal itu HALAL. Hal ini berdasarkan perkataan At Taqiyuddin As Subki tentang kaidah Sadudz Dzara’i. Dalil awalnya adalah hadits: Allah Ta’ala membiarkan yang terjadi pada umatku apa-apa yang masih terlintas dalam jiwanya…” (Tuhfatul Muhtaj, 7/205)

Ibnu Al Bizri mengatakan:

وَيَنْبَغِي كَرَاهَةُ ذَلِكَ وَرُدَّ بِأَنَّ الْكَرَاهَةَ لَا بُدَّ فِيهَا مِنْ نَهْيٍ خَاصٍّ

Sepantasnya hal ini dimakruhkan dan ditolak, karena kemakruhan pastilah ada alasan pelarangan yang khusus. (Ibid)

Demikian… Tentunya bagi muslim yang wara’ (hati-hati) hendaknya menghindari hal seperti ini.

Wallahu Waliyut Taufiq

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top