Full Post Style
Pupuk Organik dari Kotoran Hewan Apakah Najis?
◼◽◼◽◼◽◼
PERTANYAAN:
Ustaz, apakah pupuk organik yg berasal dari pengolahan kotoran hewan tersebut termasuk najis atw nda?
JAWABAN
Bismillahirrahmanirrahim…
MAYORITAS ulama membagi menjadi dua:
1. Hewan yang dagingnya bisa di makan, kotoran dan kencingnya TIDAK NAJIS. Seperti kambing, unta, sapi, ayam.
2. Hewan yang dagingnya TIDAK BOLEH DIMAKAN, maka kotoran dan kencingnya NAJIS.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
واستدل أصحاب مالك وأحمد بهذا الحديث أن بول ما يؤكل لحمه وروثه طاهران
Para sahabat Imam Malik (Malikiyah) dan Imam Ahmad (Hambaliyah) berdalil dengan hadits ini bawah kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya itu SUCI.
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/154)
Dalilnya adalah dalam Shahih Al Bukhari;
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ نَاسًا اجْتَوَوْا فِي الْمَدِينَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ يَعْنِي الْإِبِلَ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا حَتَّى صَلَحَتْ أَبْدَانُهُمْ
Dari Anas Radhiallahu ‘anhu bahwa sekelompok orang sedang menderita sakit ketika berada di Madinah, maka *Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan* mereka supaya menemui penggembala beliau dan meminum susu dan kencing unta, mereka lalu pergi menemui sang penggembala dan meminum air susu dan kencing unta tersebut sehingga badan-badan mereka kembali sehat .
(HR. Bukhari no. 5686)
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah berkata:
نعم، هذا هو الصواب: أن بول ما يؤكل لحمه وروثه كله طاهر؛ مثل الإبل والبقر والغنم والصيد كله طاهر، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي في مرابض الغنم، ولما استوخم العرنيون في المدينة بعثهم إلى إبل الصدقة من وألبانها حتى صحوا، فلما أذن لهم بالشرب من أبوالها دلّ على طهارتها
Ya, inilah yang benar, bahwa air kencing dan kotoran dari hewan yg bisa dimakan dagingnya adalah SUCI. Seperti Unta, sapi, kambing, dan hasil buruan laut, dan dahulu Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam pernah shalat di kandang kambing.
Saat kaum ‘Uraniyun sakit, Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam mengutus kepada mereka para gembala untuk mereka bisa minum susah dan air kencingnya. Saat Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam mengizinkan mereka meminumnya menunjukkan kesuciannya. (selesai)
Ini juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, dan lainnya.
Sementara itu, dalam madzhab Syafi’i, tidak membedakan dua jenis hewan tersebut. Bagi mereka SEMUANYA adalah NAJIS. Ada pun hadits di atas bukan menunjukkan sucinya kencing unta tapi kondisi darurat yang membuat boleh meminumnya.
Imam An Nawawi Rahimahullah melanjutkan;
وأجاب أصحابنا وغيرهم من القائلين بنجاستهما بأن شربهم الأبوال كان للتداوي وهو جائز بكل النجاسات سوى الخمر omوالمسكرات
Para sahabat kami (Syafi’iyyah) dan selainnya yg berpendapat najisnya keduanya (kencing dan kotoran Unta) memberikan jawaban; bahwasanya minumnya mereka terhadap air kencing Unta krn untuk berobat, itu (berobat) memang boleh dgn semua najis kecuali khamr (minuman keras) dan apa pun yang memabukkan. (Ibid)
Dalam konteks madzhab Syafi’iy, Berkata Imam Ibnu Ruslan Rahimahullah:
وَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِنَا يَعْنِي الشَّافِعِيَّةَ جَوَازُ التَّدَاوِي بِجَمِيعِ النَّجَاسَاتِ سِوَى الْمُسْكِرِ لِحَدِيثِ الْعُرَنِيِّينَ فِي الصَّحِيحَيْنِ حَيْثُ أَمَرَهُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّرْبِ مِنْ أَبْوَالِ الْإِبِلِ لِلتَّدَاوِي
“Yang benar dari madzhab kami –yakni Syafi’iyah- bahwa dibolehkan berobat dengan seluruh benda najis kecuali yang memabukkan, dalilnya adalah hadits kaum ‘Uraniyin dalam shahihain (Bukhari-Muslim), ketika mereka diperintah oleh Nabi untuk minum air kencing Unta untuk berobat.”
(Nailul Authar, 13/166)
Demikian. Wallahu a’lam
Farid Nu’man Hasan
“Dendam” Para Penghuni Surga
PERTANYAAN:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Mau tanya sehubungan dengan ” DENDAM PARA PENGHUNI SYURGA “.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hal ini : Al a’raf ( 42-43 ) , Al Hijr ( 45-50 ).
Pertanyaannya :
Apakah berarti orang yg hingga meninggal dunia tetap BOLEH, HALAL untuk menyimpan dendam di hatinya ( atas perbuatan dzolim orang jahat atas dirinya namun ia tak kuasa untuk membalasnya sewaktu hidup di dunia ) dan ia tetap berkesempatan untuk terdaftar sebagai golongan ahli syurga ?
Karena seringkali para da’i mubaligh yang MENGANJURKAN supaya ikhlas hati, tak boleh menyimpan dendam meskipun ia tersakiti, terdzolimi sewaktu hidupnya di dunia… ( ?? ).
Contoh kasusnya misalnya :
Pembunuhan, warga sipil, anak anak, wanita, orang tua dll yg tewas terbunuh dalam perang.
Penindasan oleh penguasa yang dzolim.
Harta miliknya yang dirampas oleh penjahat, penjajah, maling, koruptor, penipu, dsb..
Ditinggalkan oleh pasangan hidupnya begitu saja menghilang entah dimana rimbanya
Orang yang berhutang sengaja kabur tak membayar.
DLL…
Terimakasih.
JAWABAN
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Ayat-ayat tersebut menceritakan sifat penghuni surga yang memang berbeda dengan manusia saat di dunia, yaitu tidak memiliki rasa dendam. Berbeda dengan penghuni dunia banyak sifat-sifat manusiawi masih terinstall seperti dendam, cemburu, iri, dll.
Ayat-ayat Itu sama sekali tidak membicarakan tentang bolehnya dendam sepanjang hayat di dunia. Ayat-ayat itu membicarakan Allah Ta’ala mencabut sifat pendendam yang biasa ada dalam diri manusia di dunia.
اي اذهبنا في الجنة ما كان غي قلوبهم من الغل في الدنيا
Yaitu kami hilangkan di surga rasa “ghil” di hati mereka saat dahulu di dunia. (Al Qurthubi, 7/208)
Cemburu pun sudah tidak ada, ketika seorang laki-laki disediakan bidadari di surga, apakah lantas istrinya di dunia cemburu? Tidak. Karena cemburu, bukan sifat wanita surga. Kata-kata yang keluar dari mereka adalah ridha dan kedamaian.
Ada pun membalas kejahatan para penjajah, seperti zionis, atau pembegal itu bukan karena dendam, tapi karena Allah Ta’ala mengizinkan membela diri, sebab Islam selain agama damai juga agama wibawa dan kehormatan sekaligus.
Allah Ta’ala mengizinkan melakukan perlawanan bagi orang-orang yang teraniaya:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصۡرِهِمۡ لَقَدِيرٌ
Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizhalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu, -Surat Al-Hajj, Ayat 39
Dalam ayat lain، Allah Ta’ala membolehkan membalas kejahatan dengan hal yang setimpal, namun memaafkan dan berdamai lebih baik:
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zhalim. -Surat Asy-Syura, Ayat 40
Allah Ta’ala juga mengizinkan bagi korban kezaliman untuk berkata-kata keras kepada pelaku kezaliman tersebut:
۞لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizhalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. -Surat An-Nisa’, Ayat 148
Namun demikian Islam juga mengajarkan tidak berlebihan, sebab berlebihan tanda adanya dendam..
وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. -Surat Al-Baqarah, Ayat 190
Demikian. Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan
Memahami Atsar Tentang Waktu Sahur
Pertanyaan
Assalamualaikum..semoga ustadz sehat selalu.aamin
izin bertanya ustadz terkait beberpa atsar sahabat dibawa ini yg kemudian dijadikan sebagai dalil boleh sahur meskipun sudah azan subuh /terbit fajar shodiq..merka menjadikan atsar sahabt ini sebagai penguat bahwa yg dimaksud dlm hadits bukhari itu adalah azan kedua bukan azan pertama…mohon penjelasannya ustadz .jazakallahu khairan sebelumnya .
Imam al-Daruquthni meriwayatkan di dalam Sunannya (no: 2186) dengan sanad yang shahih dari Salim bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan:
كُنْتُ فِي حِجْرِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَصَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ مَا شَاءَ اللَّهُ , ثُمَّ قَالَ: اخْرُجْ فَانْظُرْ هَلْ طَلَعَ الْفَجْرُ؟، قَالَ: فَخَرَجْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ، فَقُلْتُ: قَدِ ارْتَفَعَ فِي السَّمَاءِ أَبْيَضُ، فَصَلَّى مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ قَالَ: اخْرُجْ فَانْظُرْ هَلْ طَلَعَ الْفَجْرُ؟، فَخَرَجْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَقُلْتُ: لَقَدِ اعْتَرَضَ فِي السَّمَاءِ أَحْمَرُ، فَقَالَ: هَيْتَ الْآنَ فَأَبْلِغْنِي سَحُورِي
Artinya:
Suatu ketika di satu malam, aku berada di dalam bilik Abu Bakar al-Shiddiq, beliau shalat di dalam itu dengan jumlah raka’at yang Allah kehendaki dapat beliau lakukan. Kemudian beliau mengatakan: “keluar dan lihatlah, apakah sudah terbit fajar?”. Akupun keluar kemudian aku kembali, aku katakan: “telah naik tinggi berwarna putih”. Beliaupun melanjutkan shalatnya sebanyak jumlah raka’at yang Allah kehendaki mampu beliau lakukan. Kemudian beliau mengatakan lagi: “keluar dan lihatlah apakah fajar telah terbit?”. Aku pun keluar kemudian aku kembali dan aku katakan: “telah menyebar di langit berwarna merah”. Kemudian (Abu Bakar al-Shiddiq) mengatakan: sekarang waktunya, hidangkan kepadaku makan sahurku!
Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannafnya (no: 8930) dan al-Bukhari secara mukhtashar di dalam Tarikh Kabirnya (no: 301) meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu ‘Aqil Hibban bin Haris, ia mengatakan:
تَسَحَّرْتُ مَعَ عَلِيٍّ ثُمَّ أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ، أَنْ يُقِيمَ
Artinya:
Aku bersantap sahur bersama Ali (bin Abi Thalib) kemudian beliau memerintahkan mu’adzin untuk mengumandangkan iqamah.
demikian ustadz.
Jawaban
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Atsarnya shahih, tapi pemahamannya yg perlu dikritisi..
Dalam atsar Abu Bakar tersebut disebutkan langit itu Ahmar (memerah), padahal subuh itu jika langit itu ASFARA (menguning/terang)..
ثم جاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فصل فصلى العشاءفَصَلَّى الصُّبْحَ “
Kemudian dia (Jibril) mendatanginya untuk Shalat Shubuh ketika langit terang/asfara, lalu dia berkata, ‘Bangunlah dan shalatlah!’ maka beliau (Rasulullah) melaksanakan Shalat Shubuh.” (HR. An Nasa’i No. 526, Ahmad No. 14011, shahih)
Artinya, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu adalah sebelum fajar shadiq, inilah pemahaman 4 madzhab.
Atsar-atsar ini perlu penjelasan ulama, bukan penjelasan diri sendiri. Tidak mungkin pula 4 madzhab sepakat dalam kesalahan dalam memahaminya.
Termasuk Atsar dari Abi Aqil bin Haris di atas. Imam Ibnu Abi Syaibah memasukkan dalam Bab Man Kana Yastahibbu ta’khir As Sahuur (Siapa yang menyukai mengakhirkan makan sahur). Bukan bab tentang bolehnya makan sahur saat azan subuh.
Bab tersebut banyak sekali riwayat tentang ta’khir sahur, dan tidak satu pun menyebutkan setelah berkumandang azan. Jika 1 saja yg nampak “beda” maka mesti ditawfiq (kompromi) dgn yg lain., sehingga riwayat tersebut tidak bertentangan.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
ذكرنا أن من طلع الفجر وفي فيه (فمه) طعام فليلفظه ويتم صومه , فإن ابتلعه بعد علمه بالفجر بطل صومه , وهذا لا خلاف فيه
Kami telah menyebutkan bahwa siapa yang mengalami terbitnya fajar (subuh), dan di mulutnya ada makanan hendaknya dia membuangnya dan dia lanjutkan puasanya. Jika dia telan setelah dia tahu sudah fajar, maka batal puasanya. Dan ini TIDAK ADA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid. 6, hal. 333)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:
وذهب الجمهور إلى امتناع السحور بطلوع الفجر, وهو قول الأئمة الأربعة, وعامة فقهاء الأمصار, وروي معناه عن عمر وابن عباس رضي الله عنهم
Mayoritas ulama menyatakan larangan sahur disaat terbitnya fajar, inilah pendapat imam yang empat dan seluruh ulama di penjuru negeri. Telah diriwayatkan makna seperti itu dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma. (Imam Ibnul Qayyim, Syarh Sunan Abi Daud, jilid. 6, hal. 341)
Syaikh Al Kasymiri Rahimahullah menjelaskan:
وهو الذي قبل الفجر وقال بعضُ العلماء: إن الأذان قبل الفجر في عهد صلى الله عليه وسلّم كان لتعليمهم وقت السُّحُور، ثم لمَّا عَرَفُوه تُرِكَ
Adzan tersebut adalah sebelum fajar (subuh). Sebagian ulama mengatakan bahwa adzan sebelum subuh di zaman Rasulullah ﷺ dilakukan untuk memberitahu mereka datangnya waktu sahur, lalu ketika mereka sudah mengetahui hal itu mereka pun meninggalkannya. (Syaikh Muhammad Anwarsyah Al Kasymiri, Faidhul Bari, jilid. 2, hal. 222)
Hal serupa juga dikatakan Imam an Nawawi Rahimahullah sebagai berikut:
وهذا إن صح محمول عند عوام أهل العلم على أنه صلى الله عليه وسلم علم أنه ينادي قبل طلوع الفجر بحيث يقع شربه قبيل طلوع الفجر
Hadits ini jika shahih, maknanya menurut umumnya ulama adalah bahwa Rasulullah ﷺ tahu azan tersebut dikumandangkan sebelum terbitnya fajar dan minumnya pun menjelang fajar.
(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, jilid. 6, hal. 333)
Beliau juga mengatakan:
ويكون قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ) خبراً عن النداء الأول
Sabda Nabi ﷺ: “Apabila salah seorang diantara kalian mendengar azan, sedangkan bejana (makanan) masih ada di tangannya” menunjukkan berita bahwa itu azan pertama. (Ibid)
Demikian. Wallahu a’lam
Farid Nu’man Hasan