Hukum Membeli Buket Berisi Uang

PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz… Saat ini sedang marak bisnis buket berisi uang.. bagaimana Islam memandang masalah ini? Syukran …

JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah

Tentang jual beli bouket, perlu dirinci dulu:

1. Jika uang yang ada di bouket adalah milik penjual/pedagang, maka ini riba, yaitu riba Fadhl.

Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan:

وربا الفضل وهو بيع النقود بالنقود أو الطعام بالطعام مع الزيادة وهو محرم بالسنة والاجماع

Riba Fadhl adalah jual beli uang dengan uang, atau makanan dengan makanan dibarengi dengan TAMBAHAN, hal itu diharamkan berdasarkan As Sunnah dan Ijma’. (Fiqhus Sunnah, 3/163, Mausu’ah al Fiqh al Islami, 3/472)

Syaikh Muhammad bin Ibrahim at Tuwaijiri mengatakan:

وهو بيع المال الربوي بجنسه متفاضلاً كأن يبيعه جراماً من الذهب بجرامين منه مع التسليم في الحال

Jual beli harta ribawi yang sejenis dengan memberikan kelebihan, misalnya jual antara 1 gram emas dengan 2 gram, yang diterimanya saat itu juga. (Mausu’ah al Fiqh al Islami, 3/480)

2. Jika uang di bouket adalah MILIK PEMBELI, pihak pedagang hanyalah pembuat saja, hanya penyusun.. Lalu dia diupah karena hal itu, itu tidak apa-apa. Itu masuk ijarah (sewa) atas jasa atau skill membuat bouket. Bukan riba, karena itu uang si pembeli sendiri.

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Dosa Jariyah

PERTANYAAN:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz…
Dalam Al Qur’an ada firman Allah SWT: _“Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. Az-Zumar ayat 7)._

Apa makna ayat di atas dikaitkan dengan dosa jariyah? Misalkan seorang pelopor kemaksiatan sehingga banyak orang yang mengamalkan kemaksiatan tersebut?

JAWABAN

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Konsep dasarnya, perilaku manusia ditanggung oleh manusia itu sendiri, baik dalam hal dosa dan pahala.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اَ لَّا تَزِرُ وَا زِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰى وَاَ نْ لَّيْسَ لِلْاِ نْسَا نِ اِلَّا مَا سَعٰى

“(yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya,”
(QS. An-Najm 53: Ayat 38-39)

Ayat lainnya:

كُلُّ نَفْسٍ بِۢمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya,”
(QS. Al-Muddassir 74: Ayat 38)

Namun, ada keadaan “khusus” yang mana manusia kena dosa atau dampak buruk dari dari perbuatan dosa atau maksiat orang lain, yaitu JIKA:

– Ada kemaksiatan, kezaliman, di hadapan seseorang lalu orang itu tahu dan punya kemampuan untuk mencegahnya tapi dia diam saja, tdk mencegah, tidak menghilangkan, di hati pun tidak ada pengingkaran. Maka, dia kena dosanya dan dampak buruknya juga.

Allah Ta’ala berfirman:

{ وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةٗ لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةٗۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ }

Dan lindungilah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

[Surat Al-Anfal: 25]

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

يُحَذِّرُ تَعَالَى عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِينَ فِتْنَةً أَيِ اخْتِبَارًا وَمِحْنَةً يَعُمُّ بِهَا الْمُسِيءَ وَغَيْرَهُ لَا يَخُصُّ بِهَا أَهْلَ الْمَعَاصِي وَلَا مَنْ بَاشَرَ الذَّنْبَ بَلْ يَعُمُّهُمَا حَيْثُ لَمْ تُدْفَعُ وَتُرْفَعُ

Allah ﷻ memberikan peringatan kepada orang-orang beriman tentang datangnya FITNAH, yaitu ujian dan bala bencana, yang akan ditimpakan secara merata baik orang yang jahat atau yang lainnya, tidak khusus pada pelaku maksiat saja dan pelaku dosa, tetapi merata, yaitu di saat maksiat itu tidak dicegah dan tidak dihapuskan.

(Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 4/32)

– Seorang yang mengawali berbuat buruk atau maksiat, lalu maksiat itu diikuti oleh orang lain, maka dia dapat dosa, dan dapat dosa pula dari dosa orang-orang lain yang mengikutinya setelahnya, kecuali jika dia bertobat.

Ini berdasarkan hadits berikut:

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Siapa yang dalam Islam mengawali keburukan lalu diikuti orang lain, maka dia berdosa dan juga mendapatkan dosa-dosa mereka yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka. (HR. Muslim)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Dari mana kita mengupah Penjagal?

◼◼◼◼◽◽◽◽

PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, Ustadz. Bagaimana pemberian upah untuk penyembelih hewan qurban/penjagal? (Hengki Hariadi)

JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Para ulama menegaskan tidak boleh memberikan upah dengan mengambil dari daging qurban, atau kepalanya, atau bagian tubuh manapun, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang hal itu dan di sisi lain daging kurban adalah harta yang dipersembahkan dari dan untuk kaum muslimin, oleh karena itu dia tidak boleh dijadikan sebagai alat pembayaran/upah atau dijual belikan, termasuk kulitnya, demikian ijma’ (kesepakatan) para ulama. Namun, “penyembelih dibolehkan diberikan sedekah darinya”, dan tidak dinamakan upah. Sedangkan upahnya diambil dari sumber dana yang lain.

Dalilnya adalah, dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

“Rasulullah ﷺ memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan unta-untanya dan mensedekahkan daging, kulit, dan bagian punuknya, dan saya diamanahkan agar tidak memberikan si tukang potong dari hasil potongan itu (sebagai upah).” Ali berkata: “Kami memberikannya (upah) dari kantong kami sendiri.”

(H.R. Muslim no. 1317)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang hadits tersebut:

وأنه لا يجوز أن يعطى الجزار منه شيئا، على معنى الاجرة، ولكن يعطى أجرة عمله، بدليل قوله: ” نعطيه من عندنا “. وروي عن الحسن أنه قال لا بأس أن يعطى الجازر الجلد

“Bahwa tidak diperbolehkan memberikan tukang potong dari hasil potongannya sedikit pun, maksudnya adalah tidak boleh memberikan upah (berupa dari daging potongan), tetapi dia boleh diberikan upah atas kerjanya itu, dalilnya adalah: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.” Diriwayatkan oleh Al Hasan bahwa dia berkata: “Tidak mengapa memberikan kulit untuk tukang potongnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/742)

Tetapi, penjagal boleh disedekahi dengan daging tersebut, bukan atas nama upah. Sebab hewan qurban adalah hak seluruhnya umat Islam.

Kemudian, dari manakah upah tersebut? Sebaiknya tidak mengambil dari uang kas DKM masjid, sebab itu mesti dikembalikan kepada hak masjid sesuai peruntukkan awalnya.

Syaikh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawiy Rahimullah mengatakan:

فما يجمعه الناس و يبذلونه لعمراتها بنحو نذر أو هبة و صدقة مقبوضين بيد الناظر أو وكيله كالساعى فى العمارة بإذن الناظر يملكه المسجد و يتولى الناظر العمارة بالهدم و البناء و شراء الآلة والاستئجار

Apa yang dikumpulkan oleh manusia dan mereka persembahkan untuk kemakmuran masjid baik dengan jalan nazar, hibah, sedekah, yang dikumpulkan di tangan DKM atau wakilnya, seperti usaha untuk kemakmuran masjid, maka itu milik masjid. DKM diberikan mandat utk memanfaatkannya untuk kemakmuran masjid baik berupa renovasi, membangun, membeli alat atau menyewa. (Bughyah Al Mustarsyidin, Hal. 65)

Jadi, bisa diambil dari biaya operasional yang bisa dipungut ke shahibul qurban sepantasnya, sebagai akad ijarah (sewa) atas jasa atau kerja. Baik biaya upah utk penjagal, sewa tenda, kantong plastik, dan biaya lain-lain yang terkait kelancaran pemotongan.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

F.A.Q Dzulhijjah dan Qurban

1️⃣ Apa sih keutamaan bulan Dzulhijjah?

– Bulan Dzulhijjah adalah salah satu dari asyhurul hurum (bulan-bulan haram), di mana bulan-bulan haram itu ada empat: Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab. (HR. Bukhari no. 3025)

– Bulan Haram, dinamakan demikian karena dahulu haramnya berperang dibulan-bulan itu. Menurut mayoritas ulama larangan tersebut telah mansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat: wa qaatiluuhum haitsu tsaqiftumuuhum (dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka). (Imam Ibnu Jarir, Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif, Hal. 116)

– Di bulan-bulan haram ini, ditekankan lagi keharaman berbuat zalim. (QS. At Taubah: 36), walau sebenarnya kezaliman itu diharamkan sepanjang waktu.

– Dosa maksiat berlipat. Imam Ibnu Katsir mengatakan:

أي: في هذه الأشهر المحرمة؛ لأنه آكد وأبلغ في الإثم من غيرها، كما أن المعاصي في البلد الحرام تضاعف

Di bulan-bulan haram ini, berbuat zalim itu lebih berat lagi dosanya, sebagaimana maksiat di tanah haram juga berlipat-lipat dosanya.
(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/148)

– Allah Ta’ala bersumpah dengan 10 hari awal Dzulhijjah

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan malam yang sepuluh. (Q.S. Al Fajr (89): 1-2)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan maknanya:

والليالي العشر: المراد بها عشر ذي الحجة. كما قاله ابن عباس، وابن الزبير، ومجاهد، وغير واحد من السلف والخلف

(Dan demi malam yang sepuluh): maksudnya adalah sepuluh hari pada Dzulhijjah.
Sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubeir, Mujahid, dan lebih dari satu kalangan salaf dan khalaf. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Dar Ath Thayyibah)

Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah sepuluh hari awal Muharram, ada juga ulama yang memaknai sepuluh hari awal Ramadhan. Namun yang benar adalah pendapat yang pertama. (Ibid) yakni sepuluh awal bulan Dzulhijjah.

– Nilai istimewa bagi Ibadah 10 hari pertama Dzulhijjah

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ

Tidak ada amal yang lebih afdhal dibanding amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya: “Tidak juga jihad?” Beliau menjawab: “Tidak pula oleh jihad, kecuali seseorang yang keluar untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu dia tidak kembali dengan sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari No. 969)

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya membahas kalimat “pada hari-hari ini”,
maksudnya sepuluh hari Dzulhijjah. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390). Maka, fadhilah jihad bahkan lebih bagi amal-amal shalih apa pun yang bisa kita lakukan antara tanggal satu hingga sepuluh Dzulhijjah; sedekah, shalat sunnah, shaum –kecuali pada sepuluh Dzulhijjah-, silaturrahim, dakwah, dan lainnya.

2️⃣ Apa sajakah program ibadah unggulan terkait bulan Dzulhijjah?

– Haji
– Shaum (puasa),
– Shalat ‘Id
– Qurban

3️⃣ Apakah sunnah shaum sejak awal Dzulhijjah?

Ya, itu sunnah dan tidak ada perbedaan pendapat tentang itu, yaitu sejak 1 s.d 9 Dzulhijjah. Dalilnya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

“Bahwa Nabi ﷺ berpuasa pada hari Asyura, sembilan hari dari bulan Dzulhijjah dan tiga hari setiap bulan, hari Senin pertama tiap bulan dan dua hari Kamis.” (HR. An Nasa’i no. 2372. Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i no. 2372)

Tertulis dalam Al Mausu’ah :

اتفق الفقهاء على استحباب صوم الأيام الثمانية التي من أول ذي الحجة قبل يوم عرفة

Para ahli fiqih sepakat sunahnya puasa di hari-hari delapan di awal dzulhijjah sebelum hari arafah .. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/91)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

ومن المسنون صوم شعبان ومنه صوم الايام التسعة من اول ذى الحجة وجاءت في هذا كله احاديث كثيرة

Di antara shaum yang disunnakan adalah shaum bulan sya’ban, shaum 9 hari di awal Dzulhijjah, dan tentang semua ini haditsnya begitu banyak. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/386)

4️⃣ Saya kok mendapatkan hadits bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah?

Ya, haditsnya dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

ما رأيت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- صائما فى العشر قط

Sedikit pun aku belum pernah lihat Rasulullah ﷺ berpuasa di 10 hari Dzulhijjah. (HR. Muslim no. 2846)

Para ulama menjelaskan bawa Rasulullah ﷺ meninggalkan puasa di hari-hari tersebut karena khawatir dianggap kewajiban. Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, memasukkan hadits ini dalam bab: Dzikr Ifthar An Nabi fi ‘Asyri Dzil Hijjah – Tentang Nabi tidak berpuasa di 10 hari Dzulhijjah. Setelah itu Imam Ibnu Khuzaimah membuat Bab:

بَاب ذِكْر عِلَّةٍ قَدْ كَانَ النَبِيّ – صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتْرُكُ لَهَا بَعْضَ أَعْمَالِ التَّطَوُّعِ وَإِنْ كَانَ يَحُثُّ عَلَيْهَا، وَهِيَ خَشْيَةَ أَنْ يُفْرَضَ عَلَيْهِمْ

Tentang alasan Nabi meninggalkan sebagian amal sunnah walaupun itu begitu dianjurkan sebab khawatir hal itu diwajibkan atas mereka.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah juga menjelaskan:

لاحتمال أن يكون ذلك لكونه كان يترك العمل وهو يحب أن يعمله خشية أن يفرض على أمته

Kemungkinannya, Beliau ﷺ meninggalkan sebuah amal padahal dia suka dengan amal itu, khawatir itu menjadi wajib bagi umatnya. (Fathul Bari, 2/593)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

فقال العلماء هو متأول على أنها لم تره ولا يلزم منه تركه في نفس الأمر لأنه صلى الله عليه وسلم كان يكون عندها في يوم من تسعة أيام والباقي عند باقي أمهات المؤمنين رضي الله عنهن أو لعله صلى الله عليه وسلم ، كان يصوم بعضه في بعض الأوقات وكله في بعضها ويتركه في بعضها لعارض سفر أو مرض أو غيرهما وبهذا يجمع بين الاحاديث

Para ulama memberikan takwil bahwa Aisyah tidak melihatnya bukan berarti Rasulullah tidak melakukannya, sebab Rasulullah ﷺ bersama Aisyah di sebagian waktu di 9 hari Dzulhijjah dan sebagian lain bersama Ummahatul Mu’minin (istri-istri) yang lain. Atau bisa jadi Rasulullah ﷺ puasa pada sebagian waktu dan semuanya saat bersama sebagin istriya dan meninggalkan puasa di saat bersama istrinya yang lain baik karena safar, sakit, atau sebab lainnya. Seperti inilah cara kompromi berbagai hadits. *(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/387)**

5️⃣ Bagaimana dengan Shaum Tarwiyah (8 Dzulhijjah)?

Hadits-hadits tentang keutamaan shaum Tarwiyah didhaifkan para ulama. Namun, shaum di hari Tarwiyah tetaplah sunnah, sebab itu masuk cakupan shaum diawal-awal Dzulhijjah sebagaimana pembahasan sebelumnya.

Syaikh Shalah Muhammad Abul Haj Al Hanafi Hafizhahullah menjawab:

أقول وبالله التوفيق: يوم التروية هو الثامن من ذي الحجة، ويستحب صوم الأيّام الثّمانية الّتي من أوّل ذي الحجّة قبل يوم عرفة ويدخل فيها يوم التروية؛ لحديث ابن عبّاس رضي الله عنهما مرفوعاً: ((ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا: يا رسول اللّه، ولا الجهاد في سبيل اللّه؟ قال: ولا الجهاد في سبيل اللّه، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله، فلم يرجع من ذلك بشيء))، في سنن أبي داوود، 5: 102، وصححه الألباني، والسنن الكبرى، 17: 138. والله أعلم

Wabillahi wat Tawfiq.

Hari Tarwiyah adalah hari ke 8 di bulan. Dan disunnahkan berpuasa selama 8 hari di hari-hari awal Dzulhijjah sebelum hari Arafah, dan hari Tarwiyah termasuk di dalamnya.

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, secara marfu’:

Tidak ada hari yang lebih dicintai Allah dibandingkan hari-hari ini -yakni 10 hari Zulhijjah.

Mereka bertanya: “Tidak juga dengan jihad wahai Rasulullah?”
Nabi menjawab: “Tidak juga dengan jihad, kecuali seorang laki-laki yang keluar membawa harta dan jiwanya, dan dia tidaklah kembali dengan itu semua (maksudnya: mati syahid).” (HR. Abu Daud, dishahihkan Al Albani).
Wallahu a’lam. (Fatwa Markaz Anwaar Al ‘Ulama Ats Tsaqafiy Ad Dauliy, No. 1323)

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top