Perkataan Ulama Yang Membolehkan Melafazkan Niat (Ushalli dan Nawaitu)

Mukadimah

Persoalan ini adalah perkara yang diperselisihkan Ulama, dan MAYORITAS Ulama mengatakan sunnahnya MELAFAZkan niat (sebagaimana keterangan yang nanti akan kami paparkan). Sebagian lain memakruhkan, ada pula yang membid’ahkan. Inilah realita yang mesti diakui, dan jangan paksakan kehendak, lalu menyerang pendapat lain.

Sikap  Para Fuqaha Mazhab

Mereka adalah para imam kaum muslimin, dan mereka merupakan pilar-pilar penting tersebarnya Fiqih Islam. Mereka umumnya mengatakan SUNNAH (pendapat resmi Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, sedangkan Malikiyah, dan sebagian Hanafiyah dan Hanabilah memakruhkan), dan ini menjadi koreksi atas pihak yang selalu mengulang-ulang ‘memanaskan’ saudaranya dengan membid’ahkannya seolah itulah satu-satunya pendapat para fuqaha.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ  .وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ ، وَالأْوْلَى تَرْكُهُ ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ

Pendapat kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) berdasarkan pendapat yang dipilih, dan Syafi’iyah (pengikut imam Asy Syafi’i) serta Hanabilah (Hambaliyah-pengikut Imam Ahmad bin Hambal) menurut pendapat madzhab bahwasanya melafazkan niat dalam peribadatan adalah sunah, agar lisan dapat membimbing hati.

Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa melafazkan niat adalah makruh. Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) mengatakan bolehnya melafazkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka baginya dianjurkan untuk melafazkannya untuk menghilangkan kekacauan dalam pikirannya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/67)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah menyebutkan:

ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند المالكية: ترك التلفظ بها   ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.

“Secara qah’i melafazkan niat tidaklah menjadi syarat sahnya, tetapi disunahkan menurut jumhur (mayoritas) ulama -selain Malikiyah- melafazkannya untuk menolong hati menghadirkan niat, agar pengucapan itu menjadi pembantu dalam mengingat, dan yang lebih utama menurut kalangan Malikiyah adalah meninggalkan pelafazan niat itu, karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tentang melafazkan niat, begitu pula tidak ada riwayat dari imam yang empat.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)

Jadi menurut keterangan di atas, secara umum kebanyakan ulama madzhab adalah menyunnahkan melafazkan niat, ada pun sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah memakruhkan. Sedangkan Malikyah membolehkan walau lebih utama meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka dianjurkan mengucapan niat untuk mengusir was-was tersebut.

Sedangkan para imam perintis empat madzhab, tidak ada riwayat dari mereka tentang pensyariatan melafazkan niat.

Imam Muhammad bin Hasan Al Hanafi Rahimahullah, kawan sekaligus murid Imam Abu Hanifah Rahimahullah

Beliau  mengatakan:

النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل

“Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunah,* dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100)

Imam An Nawawi Rahimahullah

Dalam kitab Minhajut Thalibin, dalam konteks mengucapkan niat shalat, Beliau berkata:

وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَيُنْدَبُ النُّطْقُ قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ

Niat di hati dan DISUNNAHKAN mengucapkan niat menjelang takbir. (Minhajut Thalibin, hal. 25)

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ

“(Disunahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir) agar lisan  membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal),  sunnahnya ini  diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen).” (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)

Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس وللخروج من خلاف من أوجبه

“Dianjurkan (sunnah) mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya.” (Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr)

Imam Al Bahuti Al Hambali  Rahimahullah

Beliau mengatakan ketika membahas niat dalam shalat:

وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا

“Tempatnya niat  adalah  di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunah) diucapkan lisan ..”

(Kasysyaf Al Qina’, 2/442. Mawqi’ Islam)

Dan lain-lain.

Bagaimana Menyikapinya ?

Sebenarnya sederhana saja, silahkan kita ambil pendapat yang menurut kita paling kuat dan menenangkan dihati, tapi jangan inkari pendapat saudara kita yang berbeda, atau memprovokasi orang awam untuk memusuhi pendapat yang berbeda itu.

Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah berkata:

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim Al Asbahani, Hilyatul Auliya, 3/133)

Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan Rahimahullah, beliau berkata:

ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه.

Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.”

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

Maka, belajarlah adabnya ulama jangan sekedar fiqihnya. Di antara penyebab tajamnya lisan sebagian orang saat ini karena kurangnya adab dan akhlak. Mudah mentahdzir dan mencela pihak yang berbeda dengannya. Na’udzubillah min dzaalik!

Abu Abdillah Al Balkhiy Rahimahullah berkata:

أَدَبُ الْعِلْمِ أَكْثَرُ مِنْ الْعِلْمِ

Adabnya ilmu lebih banyak dibanding ilmu itu sendiri. (Al Adab Asy Syar’iyyah, 4/264)

Fokuslah dengan agenda-agenda keumatan yang membawa persatuan hati dan kesatuan gerak. Sebab, ketika Orang-orang kafir bersatu, namun kita selalu berselisih dan bertengkar, kemenangan apa yang bisa diharapkan dari umat seperti ini?

Demikian. Wallahu A’lam wa Ilahil Musytaka

☘️

✍️ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top