Mengaqiqahkan Bayi yang Wafat

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum. Setahun lalu saya melahirkan dan anak saya langsung di rawat di rs. Sampe usianya 3bulan 15hari pas 30 desember anak saya meninggal dunia. Saya berniat tgl 30 Desember nanti mau mengaqiqah kan anak saya yng sudah meninggal itu di barengi dengan Haul nya satu tahun. Apakah boleh. (Intan-Bandung)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Biasanya acara haul berisikan doa ampunan buat yang wafat, sementara yang wafat adalah bayi yang masih suci dan fitrah. Sehingga anak bayi yang wafat tidak perlu dihaulkan, karena dalam aqidah Islam anak bayi yang wafat sudah pasti masuk surga karena wafat dalam keadaan fitrah.

Imam An Nawawi menjelaskan:

أجمع من يعتد به من علماء المسلمين على أن من مات من أطفال المسلمين فهو من أهل الجنة

Pada ulama kaum muslimin telah Ijma’ (sepakat) bahwa jika anak kecil kaum muslimin wafat maka dia termasuk penduduk surga. (Syarh Shahih Muslim, jilid. 16, hal. 207)

Bukan hanya itu, wafatnya anak tersebut juga dapat menjadi syafa’at bagi kedua orangtuanya untuk masuk ke surga. Sebagaimana hadits shahih berikut:

يُقَالُ لَهُمْ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَيَقُولُونَ حَتَّى يَدْخُلَ آبَاؤُنَا فَيُقَالُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ

“Dikatakan kepada mereka (anak-anak kecil yang wafat), ‘Masuklah kalian ke surga’, lalu mereka berkata, ‘-Kami tidak akan masuk- hingga bapak-bapak kami masuk!’ lalu dikatakan, ‘Masuklah kalian dan bapak-bapak kalian ke surga.'” (HR. An Nasa’i no. 51768. Shahih)

Ada pun aqiqah bagi bayi yang sudah wafat dan bayi itu sempat hidup beberapa bulan lamanya, maka ini tetap sunnah.

Syaikh Utsaimin Rahimahullah mengatakan ada empat pembahasan tentang ini:

1. Lahir dalam keadaan belum ditiupkan ruh, maka tidak ada aqiqah baginya.

2. Lahir dalam keadaan wafat setelah ditiupkan ruh (keguguran), maka ada dua pendapat ulama (aqiqah dan tidak aqiqah)

3. Lahir dalam keadaan hidup, lalu wafat sebelum hari ke-7, ini juga ada dua pendapat (aqiqah dan tidak aqiqah), tapi yang mengatakan aqiqah lebih kuat dibandingkan seperti keadaan nomor dua.

4. Lahir dalam keadaan hidup sampai hari ke-7, tapi hari ke-8 wafat, maka ini hanya ada satu pendapat yaitu diaqiqahkan. (Syarhul Mumti’, 7/494)

Apa yang ditanyakan Sdr penanya masuk ke poin yang ke-4.

Sedangkan Imam Ibnu Hazm Rahimahullah membolehkan untuk bayi yang wafat sebelum hari ke-7 untuk diaqiqahkan:

وَإِنْ مَاتَ قبل السَّابِعِ عُقَّ عنه كما ذَكَرْنَا وَلاَ بُدَّ

Dan jika bayi wafat sebelum hari ke-7, maka diaqiqahkan untuknya sebagaimana yang telah kami sebutkan tapi itu bukan keharusan. (Al Muhalla, 7/524)

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

لو مات المولود قبل السابع استحبت العقيقة عندنا وقال الحسن البصري ومالك لا تستحب

Seandainya bayi wafat sebelum hari ke-7 maka disunahkan aqiqah menurut kami (Syafi’iyah). Al Hasan A bashri dan Malik mengatakan: tidak sunah. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdab, 8/448)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Tidak Shalat Jumat Karena Sakit

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum. Ustadz izin bertanya,ketika orang itu sakit dan berjalan harus menggunakan kursi roda apakah boleh tidak sholat Jumat dan menggantinya dengan sholat dhuhur? (Zainullah)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ya, jika sakitnya sudah payah, dan sulit baginya ke masjid, tidak apa-apa tidak shalat Jumat dan ganti dengan shalat zhuhur. Atau tidak apa-apa baginya tidak shalat berjamaah, sebab uzur bagi shalat jamaah adalah sama dengan uzur bagi shalat Jumat. Imam Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad Dimyathi Rahimahullah mengatakan:

أن أعذار الجمعة كأعذار الجماعة

Sesungguhnya udzur-udzur bagi shalat Jumat itu sama seperti udzur shalat berjamaah. (I’anatuth Thalibin, jilid. 2, hal. 61)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ…

Kami dulu berpendapat tidaklah seseorang meninggalkan shalat berjamaah melainkan orang munafiq yang telah diketahui kemunafikannya atau orang sakit… (HR. Muslim no. 654)

Rasulullah ﷺ sendiri pernah shalat di rumah karena sakit. Imam Ar Ruhaibani menceritakan:

يعذر بترك جمعة وجماعة مريض ليس بمسجد “؛ لأنه، صلى الله عليه وسلم لما مرض، تخلف عن المسجد، وقال: مروا أبا بكر فليصل بالناس متفق عليه

Diberikan uzur untuk meninggalkan shalat Jumat dan jamaah tidak ke masjid bagi yg sakit karena Rasulullah ﷺ ketika sakit tidak ke masjid dan berkata: “Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat bagi manusia.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

(Mathalib Ulin Nuha, jilid. 1, hal. 701)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Hari Raya Ikut Pemerintah

Bismillahirrahmanirrahim..

Telah banyak pandangan pakar astronom, pakar ilmu falak, yang memberikan penjelasan untuk mendukung yang ini atau itu, Membantah yang ini atau itu. Segala teori dikerahkan namun tidak pernah ketemu kesepakatan. Namun ada satu hal yg kadang terlupakan, sebenarnya penentuan ini wewenang siapa?

Seharusnya masalah ibadah kolektif, yg melibatkan banyak orang dan hajat hidup org banyak, sebaiknya memang dikembalikan sbg domain atau wewenang negara di mana kita berada..

Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi no. 697, Shahih. Lihat Ash Shahihah No. 224)

Imam At Tirmidzi menjelaskan: “Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid)

Para ulama Arab Saudi sendiri seperti di Lajnah Daimah, saat masih diketuai Syaikh Bin Baaz, menganjurkan berhari raya dengan berpijak negeri masing-masing, bukan merujuk ke Saudi misalnya, sbgmn fatwa berikut:

يجب عليهم أن يصوموا مع الناس ويفطروا مع الناس ويصلوا العيدين مع المسلمين في بلادهم…

Wajib atas mereka berpuasa bersama manusia, beridul fitri bersama manusia, dan shalat idain (Idul fitri dan Idul Adha) bersama kaum muslimin di negeri mereka.… (Al Khulashah fi Fiqhil Aqalliyat)

Imam Abul Hasan As Sindi menyebutkan dalam   Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:

وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ

“Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada  pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)

Ormas, para pakar, posisinya sebagai partner, teman diskusi, dan pemberi masukan. Ketika belum ada keputusan, maka silahkan eksplorasi berbagai dalil dan sudut pandang, jangan dibatasi. Tapi ketika sudah ada keputusan, seharusnya perselisihan itu lenyap, semua pihak yang berbeda pun mesti tunduk. Rapat RT-RW saja seperti itu.

Imam Al Qarrafi Rahimahullah mengatakan:

اعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ الِاجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ وَيَرْجِعُ الْمُخَالِفُ عَنْ مَذْهَبِهِ لِمَذْهَبِ الْحَاكِمِ وَتَتَغَيَّرُ فُتْيَاهُ بَعْدَ الْحُكْمِ

Ketahuilah, bahwa keputusan pemimpin dalam masalah yang masih diijtihadkan adalah menghilangkan perselisihan, dan hendaknya orang menyelisihi ruju ‘ (kembali) dari pendapatnya kepada pendapat hakim dan dia mengubah fatwanya setelah keluarnya keputusan hakim. (Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, 3/334. Mawqi’ Al Islam)

Syaikh Khalid bin Abdullah Muhammad Al Mushlih mengatakan:

فإذا حكم ولي أمر المسلمين بحكم ترى أنت أن فيه معصية، والمسألة من مسائل الخلاف فيجب عليك طاعته، ولا إثم عليك؛ لأن حكم الحاكم يرفع الخلاف

Jika pemimpin kaum muslimin sudah menetapkan sebuah ketentuan dengan keputusan hukum yang menurut Anda ada maksiat di dalamnya, padahal masalahnya adalah masalah yang masih diperselisihkan, maka wajib bagi Anda untuk tetap taat kepadanya, dan itu tidak berdosa bagi Anda, karena jika hakim sudah memutuskan sesuatu maka keputusan itu menghilangkan perselisihan. (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 16/5. Mawqi’ Syabakah Al Islamiyah)

Ya.. Mirip rapat RT atau DKM saja.. Sebelum ada keputusan, masing-masing bisa eksplor pendapatnya, tapi ketika sudah ketok palu semua peserta rapat mesti tunduk.. Terlepas dari pemimpin kita saat ini seperti apa, kita tdk sedang bicara politiknya ..

Namun demikian, jika kasusnya di sebuah daerah umumnya masyarakat tetap keukeuh ikut pendapat Ormas, dan seseorang tinggal di situ, maka tidak apa-apa baginya ikuti mereka baik dalam hal keyakinan hari rayanya dan shalat idnya. Untuk menghindari fitnah di sana, sebab berselisih itu buruk. Ukhuwah itu harus nyata, bukan hanya teori. Kadang kala pendapat pribadi atau kelompok kita mesti kita kalahkan untuk kepentingan umat yang lebih besar. Fa’tabiruu!!

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Nasihati Mereka, Bukan Mengusirnya

Hadirnya anak-anak di masjid sering membuat berisik, dan mengganggu jamaah lainnya. Siapa pun orang dewasa pasti terganggu.

Namun sadarkah kita, kehadiran mereka di masjid merupakan salah satu bukti kekalahan misi Barat untuk menjauhkan anak-anak Islam dari masjid dan agama.

Mereka ciptakan berbagai game yang menarik, tontonan, aplikasi, dll, bukan semata-mata bisnis, tapi agar generasi muda Islam menjadi kropos; kropos aqidah, kropos ibadah, kropos akhlak… Akhirnya menjadi Generasi yang hilang..

Hadirnya anak-anak di masjid memang pro kontra secara fiqih, sebagian ulama memakruhkan namun mayoritas membolehkan berdasarkan dalil-dalil shahih yang banyak.

Oleh karena itu, syukurilah ketika anak-anak kita meramaikan masjid, daripada mereka nongkrong, main game, pacaran… dan hal negatif lainnya

Jika mereka berisik, bikin gaduh, -krn mereka bahagia di masjid yg lega dan luas dibanding rumah mereka yang sempit dan mentok sana sini- nasihatilah mereka, arahkan pentolannya utk menenangkan kawan-kawannya, arahkan pula ayahnya agar anak-anak itu tetap tenang.

Lalu bersabarlah.. Dibanding mengusir dan melarang mereka ke Masjid lalu kita menyesal di kemudian hari krn mereka tidak kembali lagi..

Sebab, jiwa anak-anak memang seperti itu, justru jika ada anak kecil yang diam saja tdk ceria, mungkin akan dianggap sedang sakit.

Jangan sampai di masa yang akan datang masjid-masjid kita sepi pemuda, karena pemuda-pemuda itu trauma di masa kecilnya dahulu mendapatkan masjid yang tidak ramah anak.. sikap orang-orang dewasa yang begitu keras..

Adanya suara anak-anak di masjid itu tanda masa depan umat Islam masih ada.. Bersedihlah ketika tdk ada lagi suara anak-anak di masjid.

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq

Farid Nu’man Hasan

scroll to top