Istihalah dan Istihlak

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bismillah. Ustadz Farid Hafidzahullah. Apa itu katalisator, istihalah & istihlak dll. Syukran jazakallah..

❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim

Dalam fiqih, proses berubahnya zat dikenal dengan ISTIHALAH dan ISTIHLAK

1. Istihalah, adalah perubahan suatu zat menjadi zat baru yg sama sekali berbeda.

Seperti khamr menjadi cuka. Dalam madzhab Hanafi ini dibenarkan dan menjadi halal. Baik perubahan itu secara alami, atau dibantu oleh alat atau zat lain (buatan). Imam Abu Ja’far Ath Thahawi mengatakan jika seekor bangkai jatuh di atas garam yg dijemur, lalu lama kelamaan bangkai itu lenyap dan menyatu dgn garam maka tetap halal sebab bangkai itu berubah menjadi wujud baru yg sudah tidak lagi najis dan haram.

Adapun dalam madzhab Syafi’i, Istihalah hanya boleh jika secara alami.

2. Istihlak, yaitu perubahan wujud dengan cara mencampurkan zat haram dan najis, dengan zat halal dan suci dalam jumlah yang sangat banyak. Sehingga keberadaan yang haram dan najis itu pun lenyap atau sangat sedikit sehingga bisa diabaikan, karena sudah tidak ada warna, rasa, dan baunya. Ini pun halal.

Inilah yang mendasari sebagian ulama Kontemporer membolehkan obat cair yang mengandung alkohol sgt sedikit, 0,5-1% misalnya, sebab kadar seperti itu tidak berpengaruh apa-apa dan bisa diabaikan.

Nah, untuk yg antum tanyakan.. Bisa dinilai sendiri jenis yang mana. Jika masih ada baunya, maka belum dikatakan suci dan mensucikan.

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Membaca Al Fatihah Sebelum Berdoa

✉️❔ Pertanyaan

Mau tanya, saya lihat video ada seorg Syekh dari Saudi ceramah pake bhs Inggris yang membid’ahkan membaca Al Fatihah sebelum doa, atau untuk mayit,.. Apakah benar bid’ah? (IH)

️❕ Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim…

Alangkah baiknya seorang ‘alim, syaikh, da’i, muballigh, dalam berdakwah memperhatikan kondisi fiqih yang dianut di mana dia berada atau berdakwah. Jika seorang da’i dari Indonesia berkunjung ke Arab Saudi, maka pahamilah fiqih di sana dan hargailah itu. Jika seorang da’i dari Arab Saudi ke Indonesia, juga hendaknya demikian, pahami fiqih yang umum terjadi di Indonesia dan hargai itu.

Imam Al Qarafi memberikan nasihat:

إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح  والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين “

Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.
(Al Furuq, 1/176-177)

Begitu elok Syaikh As Sudais, ketika Beliau menjadi imam di Istiqlal, Beliau mengeraskan bacaan basmalah di surat Al Fatihah, sebagaimana kebiasaan umumnya di Indonesia. Padahal biasanya Beliau melirihkan suara basmallahnya. Inilah yang seharusnya dipahami oleh Syaikh yang ditanyakan saudara penanya.

Tentang membaca Al Fatihah sebelum berdoa, itu memang menjadi kebiasaan di Indonesia bahkan juga banyak di negeri lain. Secara fiqih pun diakui oleh para ahli ilmu. Sebab, salah satu adab berdoa adalah memulai dengan puji-pujian kepada Allah Ta’ala, dan pujian paling sempurna adalah yang ada pada surat Al Fatihah.

Syaikh Abdullah Al Faqih, penanggungjawab Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah dan juga murid Syaikh Utsaimin, menjelaskan begini:

وأما الابتداء في دعائك بالفاتحة، فلا حرج عليك فيه؛ لأن الفاتحة تشتمل على الثناء على الله تعالى، وتمجيده، كما في صحيح مسلم وتقديم الثناء في الدعاء محمود في الدعاء، ولكنه لا ينبغي التزامك بما لم يثبت في السنة الالتزام به؛ لئلا يوقعك في البدعة الإضافية

Ada pun permulaan doamu dengan membaca surat Al Fatihah, maka itu TIDAK APA-APA, karena Al Fatihah mencakup pujian kepada Allah Ta’ala, dan  memuliakanNya, sebagaimana tertera dalam Shahih Muslim. Memulai pujian dalam berdoa adalah hal yang terpuji dalam doa, tetapi hendaknya hal itu tidak dijadikan kebiasaan karena tidak ada dalam sunnah, agar terhindar dari bid’ah idhafiyah. (fatwa No. 256792)

Dalam fatwa Lajnah al Ifta, Jordania, tertulis sbb:

قراءة الفاتحة – بعد الدعاء أو قبله – بقصد التوسل لقبول الدعاء أمر مشروع ولا حرج فيه، وذلك لسببين اثنين:
الأول: أن التوسل بالقرآن الكريم هو توسل بصفة من صفات الله تعالى، والتوسل بصفات الله عز وجل مشروع باتفاق العلماء.
الثاني: أن التوسل بتلاوة الفاتحة توسل بعمل صالح، وهو أيضا مشروع باتفاق العلماء، واختيار سورة الفاتحة خاصة له وجه مقبول شرعا؛ وذلك لأنها أم الكتاب، وتجتمع فيها جميع معاني القرآن العظيم. والله أعلم.

Membaca Al Fatihah sebelum doa atau setelah nya dgn maksud ber tawassul agar doa dikabulkan adalah perkara yg disyariatkan, tidak apa-apa. Hal ini ada dua alasan:

1. Tawassul dengan Al Quran termasuk tawassul dengan sifat sifat Allah, dan itu hal yg masyru’ (disyariatkan) sesuai kesepakatan ulama.

2. Tawassul dengan membaca Al Fatihah termasuk tawassul dengan amal shalih, dan ini juga disepakati sebagai hal yg disyariatkan.

Dipilihnya surat Al Fatihah secara khusus juga sisi yg diterima secara syar’i, karena Al Fatihah adalah Ummul Kitab, di dalamnya terkumpul semua makna Al Quran yang agung. Wallahu a’lam. (Selesai)

Ada pun tentang membaca Al Fatihah -atau surat lainnya-  dihadiahkan buat orang yang sudah wafat, itu diperselisihkan para ulama namun pendapat mayoritas salaf adalah boleh dan sampai.
Ini pendapat MAYORITAS salaf dan Imam Ahmad. (Syaikh Abdullah Al Bassam, jilid. 2, hal. 19. Dar Ibnul Jauzi, Kairo. 2011)
Dari imam yang empat, tiga imam mengatakan sampai, hanya satu yang mengatakan tidak yaitu Imam Asy Syafi’i. (Misbahuzh Zhalam Syarh Bulugh Al Maram, jilid. 2, hal. 27-28, Darul Hadits, 2014 M)
Namun, para ulama Syafi’iyyah sendiri memilih hal itu sampai dan bermanfaat. Dalam Fathul Mu’in tertulis:
أما القراءة فقد قال النووي في شرح مسلم :  المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل ثوابها للميت بمجرد قصده بها ولو بعدها وعليه الأئمة الثلاثة واختاره كثيرون من أئمتنا واعتمده السبكي وغيره
Ada pun membaca Al Quran (buat mayit), berkata An Nawawi dalam Syarh Muslim: “Yang MASYHUR dari mazhab Syafi’i adalah tidak sampai pahalanya.”  Sebagian sahabat kami (Syafi’iyyah) berkata: sampai pahalanya kepada mayit jika semata-mata dimaksudkan kepadanya walau dilakukan setelah wafatnya. Inilah yang dianut oleh tiga imam, dan DIPILIH (MUKHTAR) oleh mayoritas imam-imam kami, dan dipegang oleh As Subki dan lainnya. (Imam Zainuddin Al Malibari, Fathul Mu’in, jilid. 1, hal. 432)
Imam Ibnu Rusyd: umumnya ulama timur dan barat mengatakan sampai, dan ini sudah berlangsung sejak masa salaf. (Hasyiyah Ad Dusuqi, jilid. 1, hal. 434)
Imam Ibnu Taimiyah berkata:
وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ: كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إلَيْهِ
Mereka (para ulama) berselisih pendapat ttg sampainya amal badaniyah (utk orang wafat) seperti puasa, shalat, dan baca Al Quran. Yang BENAR semua ini SAMPAI kepadanya.  (Majmu’ Al Fatawa, jilid. 24, hal. 366. Majma’ Al Malik Fahd, Madinah. 1995 M)
Semoga hal ini dapat memberikan penjelasan dan manfaat bagi yang menginginkan kebaikan.
Demikian. Wallahu A’lam
✍ Farid Nu’man Hasan

Mengapa Ajaran Islam Butuh Ijma’?

✉️❔ Pertanyaan

Mohon pencerahannya :
1. Apa artinya Al Qur’an dan Hadist tidak sempurna sehingga masih butuh Ijma manusia (ulama) ?
2. Bgmn mensikapi hasil ijma ulama bahkan ijtihad ulama yg ditolak oleh kelompok yang mengajak “kembali ke Qur’an dan Hadits ?”

❕ Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Ijma’, sebagai hujjah karena Allah Ta’ala memerintahkannya dalam firmanNya:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.

(QS. An-Nisa’, Ayat 115)

Allah Ta’ala memerintahkan jalannya orang-orang beriman, khususnya lagi ahli ilmu:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada ahludz dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui. (Qs. An Nahl: 43)

Berkata Imam Al-Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب

Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.”

(Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108)

Berhujjah dengan ijma’ para ulama, adalah perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

إن الله تعالى لا يجمع أمتي على ضلالة وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَة

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah meng-ijma’kan umatku dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi No. 2255, Shahih, Shahihul Jami’ No 1848)

Dan, orang-orang yang mengingkari ijma’ adalah penghancur dasar-dasar agama, sebagaimana kata Imam As Sarkhasi dalam kitab Ushul-nya:

“Orang-orang yang mengingkari keberadaan ijma sebagai hujjah , maka mereka telah membatalkan ushuluddin (dasar-dasar agama), padalah lingkup dasar-dasar agama dan referensi umat Islam adalah ijma’nya mereka, maka para munkirul ijma (pengingkar ijma’) merupakan orang-orang yang merobohkan dasar-dasar agama.” (Ushul As Sarkhasi, 1/296. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Demikian. Wallahu a’lam

✏ Farid Nu’man Hasan

Biografi Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali rahimahullah

1 Nama dan Kelahirannya

Imam Adz-Dzahabi mengatakan, Beliau adalah Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali.
(Siyar A’lam an Nubala’, jilid. 14, hal. 267)
Lahir di daerah Thus, tahun 450 H. (Ibnu Qadhi Syuhbah, Thabaqat Asy Syafi’iyah, jilid. 1, hal. 293)
Az-Zirikli mengatakan lahir dan wafat di Thabiran (sektor kota Thus, di Khurasan), lahir 450 H, wafat 505H. (Az-Zirikli, Al-A’lam, jilid. 7, hal. 22)

2 Julukan dan Gelar untuknya

Beliau memiliki banyak gelar karena keilmuan dan keshalihannya. Disemua biografinya selalu menyebut dengan HUJJATUL ISLAM, yang artinya hujjahnya Islam, maksudnya pandangan-pandangan Beliau sangat dihormati dan dijadikan pegangan oleh umat Islam baik ulama dan orang awamnya.
Sementara Adz-Dzahabi menyebutnya dengan:
– Al Imam Al Bahr, Imam yang ilmunya luas bagaikan lautan
– Hujjatul Islam
– U’jubatuz zaman (keajaiban di zamannya)
– Zainuddin (perhiasan agama)
– Adz-Dzaka’ Al-Mufrith (kecerdasannya di atas rata-rata)
(Siyar A’lam an Nubala’, jilid. 14, hal. 267)
Az-Zirikli menyebutnya failusuf (ahli filsafat) dan mutashawwif (ahli tasawuf). (Al-A’lam, jilid. 7, hal. 22)

3 Keilmuannya dan Kedudukannya

Imam Adz-Dzahabi menceritakan, bahwa Imam Al-Ghazali belajar fiqih pertama kali di negerinya sendiri, lalu ke Naisabur, di sana membersamai sekelompok para penuntut ilmu lalu mondok secara intensif kepada Imam Al Haramain (yaitu Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini), Beliau mampu menguasai ilmu fiqih dalam waktu yang singkat, mahir dalam ilmu kalam dan perdebatan, bahkan menjadi yang paling menonjol di antara para debator. Beliau mempercayakan kepada murid-muridnya  (untuk menghadap mereka) dan banyak menyusun buku. Gurunya (Abu Al Ma’ali) begitu kagum kepadanya, dan sangat membanggakannya.
Lalu Abu Hamid pergi ke tenda Sultan, dia disambut oleh mentri Nizham Al Mulk, dia sangat senang atas kehadirannya, di sana Al Ghazali terlibat perdebatan dengan ulama besar, dan mentri terkesan dengannya, dan hal ini tersebar ke mana-mana. An Nizham memberikan tanggung jawab kepada Al Ghazali utk mengajar di pondok An Nizhamiyah di Baghdad. Dia datang setelah tahun 480H, umurnya sekitar 30 tahun. Beliau menyusun banyak karya tulis baik dalam Ushul, Fiqih, Kalam, dan berbagai hikmah. (Siyar A’lam an Nubala’, jilid. 14, hal. 267)
Imam Ibnu Katsir menceritakan bahwa saat Imam Al-Ghazali pada posisi puncak karena keilmuannya, dan namanya terkenal seantero dunia Islam, justru dia mengundurkan diri dari semua itu. Dia meninggalkan tugas-tugasnya, meninggalkan aktivitas mengajar, dan dia lebih serius untuk ibadah, zuhud, membersihkan hati, dan keluar menuju Hijaz tahun 488H, dia haji lalu kembali ke Damaskus, dan tinggal di sana 10 tahun, di sana berkumpul dengan seorang ahli fiqih Nashr Al Maqdisi di Zawiyah (mushalla kecil)-nya yang dikenal hari ini dengan Al Ghazaliyah. Di sana dia tekun ibadah dan menyusun karya. Dikatakan bahwa kitab Ihya ‘Ulumuddin dan sejumlah kitab yang lainnya disusun di Damaskus, lalu dia pindah ke Al Quds, lalu ke Mesir dan Iskandariyah, dia punya keinginan kuat mengunjungi raja Maghrib (Maroko) yaitu Yusuf bin Tasyifin di Marokisy, namun sampai kepadanya berita kematian raja tersebut maka dia kembali ke kampung halamannya, Thus, dengan akhlak yang luhur, jiwa yang ridha, tenang, dan dianugerahi lautan ilmu baik ushul, furu’, syar’iyah, dan lain-lainnya yang termasuk ilmu orang-orang awal. Beliau mengumpulkan semua ilmu dan menulis karya tentangnya kecuali Nahwu karena dia tidak spesialis di situ, begitu juga hadits. Al Ghazali berkata: Aku mengkombinasikan berbagai materi dalam ilmu hadits. Dia mukim di negerinya dalam waktu yg panjang untuk fokus menulis, ibadah, tilawah, dan tidak berkumpul dengan manusia.
(Imam Ibnu Katsir, Thabaqat Asy Syafi’iyyin, jilid. 1, hal. 534-535)
Menurut Az-Zirikli, karya tulisanya mencapai 200 buah. Di antaranya:
– Ihya ‘Ulumuddin
– Tahafut Al Falasifah
– Al Iqtishad fil I’tiqad
– Mihakun Nazhar
– Ma’arij Al Quds fi Ahwalin Nafs
– Al Farq Bainash Shalih Wa Ghairush Shalih
– Maqashid Al Falasifah
– Al Madhnun biji ‘ala ghairi ahli
– Al Waqf wal Ibtida’ (tafsir)
– Al Basith (fiqih)
– Al Ma’arif Al ‘Aaliyah
– Al Munqidz minadh Dhalal
– Bidayah Al Hidayah
– Jawahirul Quran
– Fadhaaih Al Bathiniyah
– At Tabaruk Al Masbuk fi nashihati Al Muluk
– Al Mustashfa (Ushul Fiqh)
– Al Mankhul min ‘Ilmi Ushul
– Al Wajiz
– Yaqut At Ta’wil
– Asrarul Hajj
– Faishalut Tafriqah bainal Iman waz Zindiqah
– Dan masih banyak lainnya
(Al A’lam, jilid. 7, hal. 22)

4 Aqidahnya

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama sunni, yang mengikuti paradigma Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dengan kata lain Beliau salah satu ulama Asya’irah.
Al Hafizh Ibnu ‘Asakir telah menyusun biografi para ulama Asya’irah, sejak generasi awal sampai di masanya, dan Imam Al-Ghazali termasuk di dalamnya yaitu Thabaqat al-Khamis (generasi-angkatan kelima). (Ibnu ‘Asakir, Tabyin Kadzib Muftari, hal. 542. Darut Taqwa, Damskus)
Salah satu bukti otentik Imam Al-Ghazali seorang Asy’ari adalah kitab aqidah yang Beliau susun, yaitu Qawa’id al-‘Aqaid. Dalam pasal At-Tanzih, Beliau menjelaskan -sebagaimana dikutip Ibnu ‘Asakir:
ولَيْسَ كمثله شَيْء ولاهو مثل شَيْء وَأَنه لَا يحده الْمِقْدَار وَلَا تحويه الأقطار وَلَا تحيط بِهِ الْجِهَات وَلَا تكتنفه الأرضون وَالسَّمَوَات
Tidaklah ada suatu apa pun yang menyerupai-Nya, Dia pun tidak serupa dengan suatu apa pun. Dia tidak dibatasi oleh ukuran, tidak pula dibatasi oleh semua penjuru wilayah, tidak diliputi oleh semua penjuru arah, dan tidak pula diliputi oleh semua sisi bumi dan langit.
وَأَنه اسْتَوَى على الْعَرْش على الْوَجْه الَّذِي قَالَه وبالمعنى الَّذِي أَرَادَهُ اسْتِوَاء منزها عَن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال .. 
Dia ber-istiwa di atas ‘arsy dengan cara yang Dia katakan, dengan makna yang Dia kehendaki, suci dari makna bersentuhan (dengan ‘arsy) dan menetap (di ‘arsy), bertempat tinggal, menyatu, dan berpindah
(Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 552)
Tentang fasal Kalam (berbicara):
وأنه تعالى متكلم آمر ناه، واعد متوعد بكلام أزلي قديم قائم بذاته، لا يشبه كلام الخلق، فليس بصوت يحدث من انسلال هواء أو اصطكاك أجرام، ولا بحرف ينقطع بإطباق شفة أو تحريك لسان
ِAllah Ta’ala berbicara, memerintah, melarang, menjanjikan, mengancam, dengan pembicaraan yang azali (sudah ada sejak belum adanya makhluk), qadim (terdahulu), Dia berdiri sendiri dengan zat-Nya, tidak serupa dengan pembicaraan makhluk, bukanlah dengan suara yang muncul dari masuknya udara atau benturan benda, tidak pula dengan huruf yang terputus dengan tertutupnya bibir atau gerakan lidah.
(Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 554)
Apa yang tertulis di atas, menunjukkan bahwa Imam Al-Ghazali seorang Asy’ari di sisi ta’wil kepada sifat. Sebagian peneliti -seperti Asy-Syaukani- mengatakan bahwa pada akhirnya Imam Al-Ghazali berubah dan mengikuti jalan salaf, yaitu tidak mentakwil, tapi tafwidh.  Imam Asy-Syaukani mengatakan:
“Mereka bertiga, yaitu Al-Juwaini, Al-Ghazali, dan Ar-Razi adalah orang-orang yang meluaskan dan memanjangkan cakupan takwil. Sebagaimana diketahui, akhirnya mereka kembali kepada mazhab salaf. Segala puji bagi Allah” (Irsyadul Fuhul, Jilid. 2, hal. 49)
Syaikh Al Qaradhawi dalam kitab Fushul fil ‘Aqidah bainas Salaf wal Khalaf juga mengatakan bahwa Imam Al Ghazali kembali ke mazhab Salaf dalam karyanya yang lain, Iljamul ‘Awwam ‘an ‘Ilmil Kalam.
Salaf yang dimaksud mereka adalah tafwidh (mengembalikan hakikat makna sifat kepada Allah), yang juga merupakan salah satu metode ulama Asya’irah sebagaimana yg dikatakan Imam Al-Bajuri (boleh juga Al-Baijuri) mengutip dari Al-Laqqani:
وكُلُّ نَصٍ أَوْهَمَ التَشْبِيْها أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهَا
“Setiap naṣ yang membawa kesan tasybih (penyerupaan dengan makhluk) ta’wīl-lah atau tafwīḍ-lah dan tetapkanlah kemahasucian Allah.” (Al-Bajuri, Tuhfatul Murid, hal. 156)
Artinya, Beliau tetap pada koridor Asya’irah.

5 Fiqihnya

Fiqihnya adalah Syafi’i. Para ulama penyusun kitab Thabaqat Syafi’iyyah (seperti Abu Syuhbah, Ibnu Katsir, dan As Subki) selalu memasukan Al Ghazali dalam deretan ulama mazhab Syafi’i, bahkan termasuk pembesarnya.
Namun demikian, Beliau tetap kritis walau terhadap mazhabnya sendiri. Dalam masalah air pada Bab Thaharah di Ihya ‘Ulumuddin, Beliau mengikuti mazhab Maliki dengan mengatakan, “Dalam masalah ini saya lebih tertarik pada pendapat mazhab Maliki”,  lalu Beliau mengemukakan tujuh dalil atas hal itu. Tentunya hal ini bisa dilakukan oleh ulama yang sudah taraf mampu ijtihad.
✍ Farid Nu’man Hasan
scroll to top