Kesunnahan Sutrah Saat Shalat

Berikut ini penjelasan para ulama

1. Imam An Nawawi Rahimahullah

Beliau berkata ketika mengomentari hadits sutrah setinggi ‘pelana kuda’:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث النَّدْب إِلَى السُّتْرَة بَيْن يَدَيْ الْمُصَلِّي وَبَيَان أَنَّ أَقَلّ السُّتْرَة مُؤْخِرَة الرَّحْل وَهِيَ قَدْر عَظْم الذِّرَاع

“Hadits ini menunjukkan sunah-nya meletakkan sutrah (pembatas) di depan orang shalat, dan juga terdapat penjelasan tentang ukuran minimal sutrah sebesar pelana kuda, yaitu kira-kira sepanjang satu hasta.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/216)

Bagi mayoritas madzhab Asy Syafi’i, tidak menjadi masalah jika sutrah adalah garis saja. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَقَالَ جُمْهُور أَصْحَابه بِاسْتِحْبَابِهِ ، وَلَيْسَ فِي حَدِيث مُؤْخِرَة الرَّحْل دَلِيل عَلَى بُطْلَان الْخَطّ . وَاَللَّه أَعْلَم .

“Menurut mayoritas sahabat-sahabatnya (Asy Syafi’i) sutrah adalah sunah, dan hadits tentang setinggi pelana kuda itu tidak menunjukkan kesalahan dengan membuat garis. Wallahu A’lam” (Ibid)

Dalam kitabnya yang lain Imam An Nawawi mengatakan:

يستحب للمصلي أن يكون بين يديه سترة من جدار أو سارية ويدنو منها بحيث لا يزيد بينهما على ثلاثة أذرع وإن كان في صحراء غرز عصا ونحوها أو جمع شيئا من رحله أو متاعه وليكن قدر مؤخرة الرحل فإنلم يجد شيئا شاخصا خط بين يديه خطا أو بسط مصلى وقال إمام الحرمين والغزالي لا عبرة بالخط والصواب ما أطبق عليه الجمهور وهو الاكتفاء بالخط كما إذا استقبل شيئا شاخصا.

“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat untuk membuat sutrah di hadapannya berupa dinding atau tiang dan mendekatinya, dengan keadaan antara keduanya tidak melebihi tiga hasta. Jika shalat di gurun hendaknya menancapkan tongkat dan yang semisalnya, atau dengan mengumpulkan sesuatu dari tunggangannya atau perhiasannya, hingga menjadi seukuran pelana kuda. Jika tidak menemukan suatu barang untuk sutrah, maka membuat garis di hadapannya, atau karpet tempat shalat. Berkata Imam Al Haramain dan Al Ghazali, tidak ada ‘ibrah dengan membuat garis (maksudnya tidak boleh). Yang benar adalah, apa yang diterapkan oleh jumhur, bahwa sudah mencukupi dengan garis sebagaimana jika dia berada di hadapan satu barang.” (Raudhatuth Thalibin, 1/108. Mawqi’ Al Warraq)

2. Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:

وَفِي الْحَدِيثِ نَدْبٌ لِلْمُصَلِّي إلَى اتِّخَاذِ سُتْرَةٍ ، وَأَنَّهُ يَكْفِيهِ مِثْلُ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ

Dalam hadits ini dianjurkan (mandub/sunnah) bagi orang yang shalat untuk mengambil sutrah, dan itu sudah cukup dengan menggunakan apa saja yang semisal pelana kuda. (Subulus Salam, 1/143)

3. Imam Al Baghawi Rahimahullah berkata:

وَقَالَ الْبَغَوِيّ : اِسْتَحَبَّ أَهْلُ الْعِلْمِ الدُّنُوّ مِنْ السُّتْرَةِ بِحَيْثُ يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا قَدْرُ إِمْكَانِ السُّجُودِ ، وَكَذَلِكَ بَيْنَ الصُّفُوفِ .

“Para ulama menyunnahkan untuk mendekati sutrah (pembatas) dengan jarak antara dirinya dan sutrah seukuran tempat sujud, begitu pula halnya dengan mendekati shaf (yang di depannya, pen).” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 1/575)

4. Para tabi’in. Diriwayatkan dari Khalid bin Abu Bakar, bahwa Al Qasim dan Salim, pernah shalat di gurun tanpa menggunakan sutrah. Dari Jabir: aku pernah melihat Ja’far dan Amir shalat tanpa menggunakan pembatas. Dari Hisyam, bahwa: aku pernah melihat ayahku shalat tanpa sutrah. Mahdi bin Maimun mengatakan: aku pernah melihat Al Hasan shalat tanpa menggunakan sutrah. (Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah No. 2886, 2888, 2889)

5. Imam As Sarkhasi –tokoh madzhab Hanafi- dalam kitab Al Mabsuth mengatakan:

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ ، فَصَلَاتُهُ جَائِرَةٌ ؛ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِاِتِّخَاذِ السُّتْرَةِ لَيْسَ لِمَعْنًى رَاجِعٍ إلَى عَيْنِ الصَّلَاةِ ، فَلَا يَمْنَعُ تَرْكُهُ جَوَازَ الصَّلَاةِ .

“Jika dihadapannya tidak ada apa-apa, maka shalatnya itu boleh-boleh saja. Sebab, perintah menggunakan sutrah maknanya tidaklah kembali kepada kewajiban dalam shalat. Maka, tidak terlarang meninggalkannya (sutrah), shalatnya tetap boleh.” (Al Mabsuth, 2/46. Mawqi’ Al Islam)

6. Imam Muhammad bin Hasan –murid dan sahabat Imam Abu Hanifah- juga membolehkan tanpa sutrah:

وَحَكَى أَبُو عِصْمَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إذَا لَمْ يَجِدْ سُتْرَةً يَخُطُّ بَيْنَ يَدَيْهِ ، فَإِنَّ الْخَطَّ وَتَرْكُهُ سَوَاءٌ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَبْدُو لِلنَّاظِرِ مِنْ بُعْدٍ

“Abu ‘Ishmah menceritakan dari Muhammad Rahimahullah, jika seseorang tidak menemukan sutrah maka hendaknya dia membuat garis di hadapannya, sesungguhnya membuat garis dan meninggalkannya adalah sama saja, sebab hal itu tidak nampak dari kejauhan bagi orang yang melihatnya.” (Al Mabsuth, 2/50)

7. Imam Al Marghinani Al Hanafi juga membolehkan tanpa sutrah jika yakin aman dari orang yang lewat:

وَلَا بَأْسَ بِتَرْكِ السُّتْرَةِ إذَا أَمِنَ الْمُرُورَ وَلَمْ يُوَاجِهْ الطَّرِيقَ

“Tidak apa-apa meninggalkan sutrah jika memang aman dari orang yang lewat dan tidak memandang ke jalan.” (Al ‘Inayah Syarh Al Hidayah, 2/150. Mawqi’ Al Islam)

8. Imam Kamaluddin bin Al Hummam Al Hanafi memliki pendapat yang sama dengan Imam Al Marghinani. (Fathul Qadir, 2/297. Mawqi’ Al Islam)

9. Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi mengatakan:

وَالْمُسْتَحَبُّ لِمَنْ يُصَلِّي فِي الصَّحْرَاءِ إنْ يَنْصِبَ شَيْئًا وَيَسْتَتِرَ فَأَفَادَ أَنَّ الْكَرَاهَةَ تَنْزِيهِيَّةٌ فَحِينَئِذٍ كَانَ الْأَمْرُ لِلنَّدَبِ

“Disunahkan bagi yang shalat di gurun pasir untuk memasang sesuatu sebagai penghalang, maka faedahnya adalah bahwa hal itu makruh tanzih (jika tidak memakainya), saat itu perintah menunjukkan sunah.” (Imam Ibnu Nujaim, Bahr Ar Raiq, 4/95. Mawqi’ Al Islam). Beliau juga mengatakan tidak apa-apa tidak memakai sutrah jika aman dari orang yang lewat. (Ibid, 4/98)

10. Sementara itu, Imam Malik membedakan antara orang safar dan mukim. Berikut ini ucapannya:

وَقَالَ مَالِكٌ : وَمَنْ كَانَ فِي سَفَرٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ إلَى غَيْرِ سُتْرَةٍ وَأَمَّا فِي الْحَضَرِ فَلَا يُصَلِّي إلَّا إلَى سُتْرَةٍ

“Malik berkata: “barang siapa dalam perjalanan maka tidak mengapa shalat dengan tanpa sutrah, ada pun ketika mukim maka janganlah shalat kecuali dengan sutrah.” (Al Mudawanah, 1/289. Mawqi’ Al Islam)

11. Imam Ibnu Rusyd Al Maliki mengatakan:

واتفق العلماء بأجمعهم على استحباب السترة بين المصلي، والقبلة، إذا صلى منفردا كان أو إماما، وذلك لقوله عليه الصلاة والسلام: إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل، فليصل واختلفوا في الخط، إذا لم يجد سترة، فقال الجمهور: ليس عليه أن يخط. وقال أحمد بن حنبل: يخط خطا بين يديه.

“Ulama sepakat dengan IJMA’ mereka atas sunahnya sutrah di antara orang yang shalat dan kiblat, jika shalat sendiri atau menjadi imam. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika salah seorang kalian meletakkan di hadapannya semisal pelana kuda, maka shalatlah.” Mereka berbeda pendapat tentang membuat garis jika tidak menemukan sutrah. Jumhur (mayoritas) mengatakan: Tidak harus baginya membuat garis. Berkata Ahmad bin Hambal: hendaknya dia membuat garis di hadapannya.” (Bidayatul Mujtahid, 1/94. Darul Fikr)

12. Ibnu Naji menceritakan bahwa ada tiga pandangan ulama tentang sutrah ini, ada yang mengatakan mustahabbah (disukai), seperti pendapat ‘Iyadh dan yang semisalnya, atau mandubah (dianjurkan) seperti pendapat Al Baji. Kedua adalah sunah sebagaimana dalam Al Kafi. Ketiga adalah wajib, dikatakan oleh Izzuddin bin Abdis Salam. (Mawahibul Jalil, 4/126. Mawqi’ Al Islam)

Istilah mustahab, mandub, tathawwu’, dan nafilah biasanya diartikan sama oleh umumnya para ulama, yakni sunah.

13. Imam Ibnu Habib mengatakan:

السُّنَّةُ الصَّلَاةُ إلَى السُّتْرَةِ وَأَنَّ ذَلِكَ مِنْ هَيْئَةِ الصَّلَاةِ التُّونُسِيُّ اُنْظُرْ قَوْلَهُ : مِنْ هَيْئَةِ الصَّلَاةِ ، وَمِنْ سُنَنِهَا وَافْهَمْ ذَلِكَ وَرَتِّبْهُ عَلَى الْحُكْمِ فِي تَارِكِ السُّنَنِ ، انْتَهَى .

Sunahnya shalat adalah menghadap ke sutrah, demikian itu adalah di antara wujud/bentuk dari shalat. Lihatlah Ucapannya: “Di antara wujud shalat” dan di antara sunah-sunahnya. Dan fahamilah hal itu dan yang demikian masuk dalam deretan hukum meninggalkan sunah-sunah shalat. Selesai.” (Ibid)

14. Syaikh Abul Hasan Ash Shaghir mengatakan:

الْكَلَامُ هُنَا فِي السُّتْرَةِ وَهِيَ مِنْ فَضَائِلِ الصَّلَاةِ انْتَهَى .

“Pembicaraan di sini adalah tentang sutrah, bahwa sutrah adalah diantara bab keutamaan dari shalat.” (Ibid) jadi, menurutnya sutrah bukan wajib, melainkan keutamaan saja.

15. Imam Muhammad Al Kharrasyi Al Maliki mengatakan:

وَالْمَعْنَى أَنَّ السُّتْرَةَ أَيْ الِاسْتِتَارَ وَلَوْ فِي النَّفْلِ تُسَنُّ لِلْإِمَامِ وَالْفَذِّ إنْ خَشِيَ كُلٌّ الْمُرُورَ بَيْنَ أَيْدِيهِمَا وَإِنْ لَمْ يَخْشَيَا فَلَا يُطْلَبَانِ بِالسُّتْرَةِ

“Maknanya adalah sesungguhnya sutrah itu merupakan penutup walau pun pada shalat nafilah, disunahkan bagi imam dan shalat sendiri jika dikhawatiri ada yang lewat dihadapannya. Jika tidak dikhawatiri demikian, maka tidak dituntut adanya sutrah.” (Syarh Mukhtashar Khalil, 3/372. Mawqi’ Al Islam)

16. Imam Ahmad bin Muhammad Ash Shawi Al Maliki juga mengatakan bahwa sutrah adalah sunah. (Hasyiyah Ash Shawi ‘Ala Asy Syarh Ash Shaghir, 2/59. Mawqi’ Al Islam) Begitu pula Imam Ahmad bin Muhammad ‘Alisy Al Maliki. (Manhal Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, 2/59. Mawqi’ Al Islam)

17. Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

يستحب للمصلي أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه وتكف بصره عما وراءها

“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat meletakkan di depannya sebuah pembatas untuk mencegah orang lewat di depannya, dan menghalanginya melihat hal-hal dibelakang pembatas itu.” (Fiqhus Sunnah, 1/255)

18. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan bahwa sutrah adalah sunah muakadah, bukan wajib. Dan menurutnya, sutrah dengan garis juga sudah mencukupi. Katanya:

أما زعمهم أن الخط لا يجوز جعله سترة فهذا تقليد منهم لمن ضعف حديث الخط وزعم أنه مضطرب ، كابن الصلاح والعراقي ، والصواب أنه حديث حسن ليس فيه اضطراب ، كما أوضح ذلك الحافظ ابن حجر في ( بلوغ المرام ) حيث قال لما ذكره : رواه أحمد وابن ماجه وصححه ابن حبان ، ولم يصب من زعم أنه مضطرب ، بل هو حسن .

“Ada pun sangkaan mereka bahwa garis tidak boleh dijadikan sebagai sutrah, itu merupakan sikap taklid mereka terhadap pihak yang mendhaifkan hadits garis, mereka menyangka hadits tersebut mudhtharib (guncang), seperti Ibnush Shalah dan Al ‘Iraqi. Yang benar adalah bahwa hadits tersebut adalah hasan dan tidak ada keguncangan sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram di mana dia berkata: “Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan dishahihkan Ibnu Hibban, dan tidak benar orang yang menyangka bahwa hadits ini mudhtharib, justru hadits ini hasan.” (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat, 23/385. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Beliau ditanya tentang apa hukum sutrah bagi orang shalat, beliau menjawab:

السترة سنة مؤكدة، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: أخرجه أبو داود برقم ( 596) كتاب الصلاة, باب الدنو من السترة والنسائي برقم (740) كتاب القبلة , باب الأمر بالدنو من السترة إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها رواه أبو داود بإسناد جيد ، وكان النبي صلى الله عليه وسلم في أسفاره إذا سافر تنقل معه العنزة وكان يصلي إليها عليه الصلاة والسلام، فهي سنة مؤكدة وليست واجبة ؛ لأنه قد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه صلى في بعض الأحيان إلى غير سترة.

“Sutrah adalah sunah muakadah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda yang dikeluarkan oleh Abu Daud (No. 596) Kitab Ash Shalah Bab Ad Danu Minas Sutrah. juga An Nasa’i (No. 740) Kitab Al Qiblah Bab Al Amru bid Danu minas Sutrah: “Jika salah seorang kalian shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatkah kepadanya.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad jayyid. Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada beberapa perjalanannya, jika dalam safar beliau membawa tombak dan beliau shalat menghadapnya. Ini adalah sunah muakadah bukan wajib. Lantaran telah tsabit (kuat/shahih) darinya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau shalat kadangkala tanpa memakai sutrah.” (Ibid, 24/21)

19. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan dalam fatwanya, bahwa sutrah hanyalah sunah. Berikut ini fatwanya:

السترة للمأموم ليست بمشروعة لأن سترة الإمام سترةٌ له ولمن وراءه وأما للإمام والمنفرد فهي مشروعة فيسن أن لا يصلي إلا إلى سترة ولكنها ليست بواجبة على القول الراجح الذي عليه جمهور أهل العلم لحديث ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي في منى إلى غير جدار وكان راكباً على حمار أتان أي أنثى فمر بين يديه بعض الصف فلم ينكر ذلك عليه أحد فقوله إلى غير جدار قال بعض أهل العلم إنما أراد رضي الله عنه إلى غير سترة لأن الغالب في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم أن منى ليس فيها بناء ولحديث أبي سعيد إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره من الناس فأراد أحد أن يجتاز بين يديه فليدفعه فقوله إذا صلى إلى شئٍ يستره يدل على أن الصلاة إلى السترة ليس بلازمة وإلا لما احتيج إلى القيد وعلى هذا فيكون الأمر بالسترة أمراً للندب وليس للوجوب هذا هو القول الراجح في اتخاذ السترة وأما قول السائل هل يكفي الخط فنقول إنه قد روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر باتخاذ السترة وقال فإن لم يجد فليخط خطاً وهذا الحديث علله بعض العلماء وطعن فيه بأنه مضطرب ولكن ابن حجر في بلوغ المرام قال لم يصب من قال إنه مضطرب بل هو حسن ولهذا لو كان الإنسان ليس عنده ما يكون شاخصاً يجعله سترة فليخط خطاً وإذا لم يكن له سترة فله حق بمقدار ما ينتهي إليه سجوده وما وراء ذلك فليس له حقٌ في منع الناس من المرور به إلا إذا كان يصلي على سجادة أو نحوها فإن له الحق في منع من يمر على هذه السجادة.

Sutrah bagi makmum tidaklah disyariatkan, karena sutrahnya imam adalah sutrah baginya juga, dan orang-orang dibelakangnya. Ada pun bagi yang shalatnya sendiri, maka itu disyariatkan, maka disunahkan agar jangan shalat melainkan dengan adanya sutrah. Tetapi hal itu tidak wajib berdasarkan pendapat yang kuat yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) ulama. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina tanpa menghadap dinding. Sebagian ulama mengatakan, bahwa maksud Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu adalah tanpa menghadap ke sutrah. Sebab, pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara umum kota Mina tidak memiliki bangunan. Juga hadits Abu Said, “Jika salah seorang kalian shalat maka hendaknya dia membuat penghalang dari manusia.” Maka, maksudnya adalah seorang boleh mencegah orang yang dihadapannya. Lalu sabdanya: “Jika shalat hendaknya membuat penghalang” menunjukkan bahwa sesungguhnya shalat menghadap sutrah bukanlah kelaziman, jika hal itu lazim kenapa pemakaiannya dikaitkan karena adanya kebutuhan? Oleh karena itu, urusan sutrah ini adalah sesuatu yang sunah bukan wajib, inilah pendapat yang kuat dalam hal pemakaian sutrah.

Ada pun pertanyaan penanya, apakah cukup sutrah dengan membuat garis? Kami katakan: Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkan menggunakan sutrah, beliau bersabda: jika tidak ada maka buatlah garis. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa hadits ini cacat dan adanya penyakit di dalamnya, yakni mudhtharib (guncang). Tetapi Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram mengatakan: “Tidak benar orang yang mengatakan hadits ini mudhtharib, justru hadits ini hasan.” Oleh karena itu jika seseorang tidak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan sutrah, maka hendaknya dia membat sutrah dengan membuat garis, jika dia tidak memiliki sutrah maka dia berhak untuk mencegah orang lewat sejauh ukuran tempat dia sujud. Sedangkan yang diluar batasan itu maka dia tidak berhak untuk mencegah manusia melewatinya, kecuali jika dia shalat menggunakan sajadah atau yang semisalnya, maka dia berhak untuk mencegah orang yang melewati sajadahnya.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb No. 840)

Hadits tentang sutrah dengan membuat garis, telah dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban, Imam Al Hakim, Imam Ahmad, Imam Ali Al Madini, sedangkan Imam Ibnu Hajar menghasankannya. Ada pun Imam Al Mizzi, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Ibnu Shalah, Imam Adz Dzahabi, dan Syaikh Al Albani mendhaifkannya. (Pembahasan lengkapnya pada tulisan kami sebelumnya)

20. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Al Jibrin juga mengatakan sutrah adalah sunah, bukan wajib:

وأما السترة التي هي الشاخص أمام المصلي فهي سنة، وليست بواجبه، وذلك أن يصلى إلى سارية أو جدار، أو شيء مرتفع عن الأرض كسرير أو كرسي، فإن لم يجد فليخط خطاً كالهلال، وذلك في حق الإمام والمنفرد، وتتأكد في الصحراء كمصلي العيد، وفي السفر، فأما في المساجد فالأصل عدم الحاجة، والاكتفاء بحيطان ممتدة في الصفوف، أو يكتفى بطرف السجادة التي يصلي عليها، وليس هناك ما يدل على الوجوب، وقد ورد الحديث الذي في السنن بلفظ “إذا صلى أحدكم إلى سترة فليدن منها” وفي حديث آخر “إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره فلا يدعن أحداً يمر بين يديه فإن أبي فليقاتله فإنما هو شيطان” والله أعلم.

“Ada pun sutrah yaitu suatu pembatas di depan orang shalat itu adalah sunah, bukan kewajiban. Hal itu dengan cara shalat menghadap tiang atau dinding, atau sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi, seperti kasur dan kursi. Jika tidak ada maka hendaknya dia membuat garis seperi bulan sabit. Hal ini merupakan hak imam dan shalat sendiri, dan lebih ditekankan lagi ketika shalat di lapangan luas seperti lapangan ketika shalat hari raya dan dalam perjalanan. Ada pun di masjid, pada dasarnya tidaklah diperlukan. Telah mencukupi dinding yang tersusun di barisan atau tepi sejadah tempat dia shalat. Tidak ada dalil yang menunjukkan kewajibannya. Telah datang riwayat dalam kitab Sunan dengan lafaz: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya mendekatinya.” Dalam hadits lain: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sesuatu yang menghalanginya, maka jangan biarkan seorang pun melewati di depannya, jika dia menolak maka bunuhlah sesungguhnya dia itu syetan.” Wallahu A’lam (Fatawa Ibnu Jibrin, 13/32)

21. Para ulama Kuwait mengatakan:

يستحب للمصلي أن يصلي إلى سترة والأولى أن لا يقصدها بوجهه بل تكون مواجهة لحاجبة الأيمن أو الأيسر والسترة ليست شرطا، فإن صلى إلى غير سترة لم يكن به بأس لما أخرجه البخاري عن عبد الله بن عباس أنه قال: “أقبلت راكباً على حمار أتانٍ يومئذ قد ناهزت الاحتلام ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بالناس بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصفّ فنزلت وأرسلت الأتان ترتع، ودخلت الصف فلم ينكر ذلك عليّ أحد” قال الشافعي: إن المراد بقول ابن عباس ” إلى غير جدار” أي إلى غير سترة، فإن كان في مسجد أو بيت صلى إلى الجدار أو سارية، وإن كان في فضاء صلى إلى شيء شاخص بين يديه، أو نصب بين يديه حربة أو عصاً، وسترة الإمام سترة لمن خلفه لأن النبي صلى الله عليه وسلم صلّى إلى سترة ولم يأمر أصحابه بنصب سترة أخرى. ويستحب للمصلي أن يدنو من سترته لأن ذلك أبعد عن أن يمر بينه وبينها شيء يحول بينه وبينها. والله أعلم.

Disunahkan bagi orang shalat agar shalat menghadap sutrah. Dan yang utamanya adalah tidak memaksudkannya untuk menghadapnya, bahkan hendaknya menjadikannya sebagai penghalang dari menengok ke kanan atau kiri. Sutrah bukanlah syarat, maka jika shalat tanpa sutrah tidaklah mengapa. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Abbas, bahwa dia berkata: “Aku datang dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari perbuatan itu.” Asy Syafi’i berkata: Sesungguhnya maksud ucapan Ibnu Abbas: “Tidak menghadap tembok” adalah tidak menghadap ke sutrah. Jika shalat di masjid atau di rumah maka shalat menghadap dinding atau tiang. Jika shalatnya di tanah lapang, shalat menghadap sesuatu benda di hadapannya, atau menegakkan dihadapannya tombak atau tongkat. An sutrahnya imam adalah juga sutrah orang di belakangnya, karena ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat menghadap sutrah, beliau tidak memerintahkan para sahabatnya untuk membuat sutrah lainnya. Dan juga disunahkan bagi orang shalat untuk mendekati sutrahnya, karena yang demikian itu dapat menghindarkan orang yang lewat antara dirinya dan sutrah. Wallahu A’lam (Fatawa Qutha’ Al Ifta bil Kuwait, 4/27. Cet. 1. 1996M-1417H. Wizarah Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)

22. Syaikh ‘Athiyah Shaqr – mantan mufti Mesir- mengatakan:

ويستحب للمصلى أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه ، لحديث رواه أبو داود وابن ماجه “إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة ولْيَدْنُ منها” وروى البخارى ومسلم أن النبى صلى الله عليه وسلم كان إذا خرج يوم العيد أمر بالحربة فتوضع بين يديه فيصلى إليها والناس وراءه ، وكان يفعل ذلك فى السفر، ثم اتخذها الأمراء .
واستحباب جعل السترة يستوى فيه خشية مرور أحد وعدم الخشية كما قال الشافعية والحنابلة وقال الحنفية والمالكية : إذا أمن مرور أحد فلا يستحب ، لأن ابن عباس رضى اللّه عنهما قال : إن النبى صلى الله عليه وسلم صلى فى فضاء وليس بين يديه شيء . رواه أحمد وأبو داود ورواه البيهقى وقال : له شاهد بإسناد أصح من هذا عن الفضل بن عباس .

“Disunahkan bagi orang shalat untuk meletakkan sutrah (penghalang/pembatas) di hadapannya sebagai mencegah orang lewat di depannya, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Daud dan Ibnu Majah: “Jika salah seorang kalian shalat, maka shalatlah menghadap ke sutrah dan hendaknya dia mendekatinya.” Dan juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia keluar pada hari raya, dia memerintahkan untuk mengambil tombak dan meletakkan di hadapannya, lalu dia shalat menghadap ke arahnya, dan manusia melihat hal itu. Demikian itu dilakukannya ketika safar, maka untuk selanjutnya hal itu diikuti oleh para pemimpin umat.”

Dan disunahkan meletakkan sutrah, sama saja baik keadaan khawatir adanya orang yang lewat atau tidak, sebagaimana yang dikatakan kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah. Sedangkan, Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan: “Jika telah aman dari orang yang lewat maka tidaklah disunahkan.” Karena Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Shalat di lapangan luas dan di hadapannya tidak ada penghalang apa-apa.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan juga Al Baihaqi, dan dia berkata: “Hadits ini memiliki syahid (saksi/penguat) dengan sanad yang lebih shahih dari ini, dari jalur Al Fadhl bin Abbas.” (Fatawa Al Azhar, 9/7)

23. Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan:

هي سنة مشروعة، لقوله صلى الله عليه وسلم: « إذا صل أحدكم فليصل إلى سترة، ولْيَدْن منها، ولا يدع أحداً يمر بين يديه، فإن جاء أحد يمر، فليقاتله، فإنه شيطان » وليست واجبة باتفاق الفقهاء؛ لأن الأمر باتخاذها للندب، إذ لا يلزم من عدمها بطلان الصلاة وليست شرطاً في الصلاة، ولعدم التزام السلف اتخاذها، ولو كان واجباً لالتزموه، ولأن الإثم على المار أمام المصلي، ولو كانت واجبة لأثم المصلي، ولأن «النبي صلّى الله عليه وسلم صلى في فضاء ليس بين يديه شيء» رواه البخاري.

“Sutrah adalah sunah yang disyariatkan sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika salah seorang kalian shalat, maka shalatlah dengan menggunakan sutrah, dan mendekatlah kepadanya, dan jangan biarkan seorang pun lewat di hadapannya, jika ada seorang yang lewat maka bunuhlah karena dia adalah syetan.”

Sutrah bukanlah kewajiban menurut kesepakatan fuqaha (ahli fiqih), sebab perintah untuk memakainya menunjukkan sunah, Jika hal itu wajib maka batal-lah shalatnya, padahal dia bukanlah syarat shalat. Para salaf tidak selalu memakainya, seandainya wajib niscaya mereka akan selalu memakainya. Alasan lainnya, lantaran dosa diperuntukkan bagi orang yang lewat di depan orang yang shalat, jika hal itu wajib, tentu dosanya adalah untuk yang shalat. Lagi pula Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat di tanah lapang dan dihadapannya tidak ada sesuatu apa pun. (HR. bukhari). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/118. Maktabah Misykah)

Masih sangat banyak lagi pandangan serupa dari berbagai madzhab, bahwa sunah bagi orang yang shalat membuat sutrah di hadapannya. Namun nama-nama ini sudah cukup mewakili. Demikianlah pandangan para ulama tentang sutrah, mayoritas mereka mengatakan sunah, bahkan ada yang menyebutnya kesunahan itu adalah ijma’ (aklamasi), seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah.

Ada yang mewajibkan Sutrah

Bagi kelompok ini, hadits-hadits yang memerintahkan memasang pembatas menunjukkan kewajibannya, sebab hukum asal dari perintah adalah menunjukkan wajib selama belum ada dalil lain yang membelokkan kewajiban tersebut.

Pihak yang mengatakan sutrah adalah wajib, telah menafsirkan bahwa makna ucapan Nabi “ ’Ala Ghairi Jidar (Tidak menghadap dinding)” bukan berarti tanpa sutrah. Menurut mereka sutrah ada tetapi bukan dinding (ghairu jidar), melainkan tombak. Lantaran dalam riwayat shahih yang lain disebutkan bahwa Nabi membawa tombak ketika shalat menuju lapangan lalu menjadikannya sebagai sutrah. Apa yang dipahami mereka ini tentu harus ditunjukkan oleh dalil, bahwa hadits tentang ‘tombak’ yang memberikan rincian terhadap hadits ‘Ala Ghairi Jidal, wajib ditinjau kembali secara dirayah (pemahamannya). Benarkah hadits tombak itu menjadi perinci dan penjelas bagi hadits ‘Ala ghairi jidar?

Yang benar adalah keduanya merupakan hal yang terpisah dan merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dengan kata lain, Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pernah shalat menghadap tombak, dan pernah juga tanpa penghalang apa pun, sebagaimana yang dikatakan Syaikh Ibnu Baz. Demikian.

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah tentang hadits: “Hendaklah dia shalat menggunakan pembatas.” Katanya:

فِيهِ أَنَّ اتِّخَاذَ السُّتْرَةِ وَاجِب

“Di dalam hadits ini menunjukkan wajibnya menggunakan sutrah.” (Nailul Authar, 3/2)

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Kasih Sayang Islam Dalam Jihad

Kesempurnaan Islam membuatnya tidak melupakan akhlak dalam berjihad memerangi orang kafir. Jihad merupakan amal yang paling mulia, dan Islam memiliki cara yang paling mulia dalam peperangan, dan terbukti dalam sejarah peperangan antar negara di berbagai zaman.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Maidah (5): 87)

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah (5): 8)

Dalam peperangan Islam, dilarang membunuh dan menganiaya orang tua, wanita, anak- anak, dan orang tak berdaya dan sudah menyerah. Serta tidak dibenarkan mencincang tubuh manusia, bertindak bengis terhadap musuh. Islam melarang berperang jika belum disampaikan dakwah kepada musuh, sebab perang adalah pilihan akhir setelah ajakan kepada kebaikan dan tauhid tidak bisa mereka terima.

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia memerintahkan pasukan atau tim ekspedisi, secara khusus dia mewasiatkan agar mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan memerintahkan kaum muslimin yang bersamanya tetap berbuat baik, lalu bersabda:

اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا

“Peranglah fi sabilillah dengan nama Allah, perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, berperanglah dan jangan melampaui batas, jangan mencincang, dan jangan membunuh anak-anak.” 1]

Dalam hadits lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda: “Jika salah seorang kalian berperang, hindarilah memukul wajah.” 2]

Ini hanya sebagian kecil riwayat saja, yang menunjukkan betapa ketika perang Islam pun memiliki akhlak yang mulia. Sebab, jihad adalah perbuatan mulia yang tidak pantas dilakukan dengan cara-cara yang tidak mulia.

Wallahu A’lam

[1] HR. Muslim, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Ta’mir Al Imam Al Umara ‘ala Al Bu’utsi wa Washiyyatihi …, Juz. 9, Hal. 150, No hadits. 3261. At Tirmidzi, Kitab As Siyar ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a fi Washiyyatihi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam fil Qital, Juz. 6, Hal. 156, No hadits. 1542. Ibnu Majah, Kitab Al Jihad bab Washiyyah Al Imam, Juz. 8, Hal. 390, No hadits. 2848. Ahmad, Juz. 47, Hal. 4, No hadits. 21952.

[2] HR. Bukhari, Kitab Al ‘Itqu Bab Idza Dharaba Al ‘Abda Falyajtanib Al Wajha, Juz. 8 Hal. 496, No hadits. 2372. Muslim, Kitab Al Birru was Shilah Wal Aadab Bab An Nahyi ‘an Dharbil Wajhi, Juz. 13, Hal. 26, No hadits. 4728.

Farid Nu’man Hasan

Memaki Orang Dengan Nama Hewan

Hal ini perlu dirinci, sebagai berikut:

📌 Jika “orang” yang dimaksud adalah awaamul muslimin (umumnya umat Islam), apalagi shalihin dan ulama, maka ini sangat-sangat terlarang.  Baik makian secara umum atau dengan nama-nama hewan.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang buruk.  Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Hujurat: 11)

Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Memaki seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran. (HR. Al Bukhari No. 48)

Secara khusus,  Ibrahim An Nakha’i Rahimahullah berkata:

(إذا قال الرجل للرجل يا حمار يا خنزير قيل له يوم القيامة حماراً رأيتني خلقته خنزيراً رأيتني خلقته)

Jika ada seorang laki-laki yang berkata kepada laki-laki lainnya, “Wahai Keledai… Wahai Babi ..” maka akan dikatakan kepadanya pada hari kiamat: “Apakah kau melihat Aku menciptakan dia sebagai keledai dan babi?” (Takhrijul Ihya’, 4/1786)

📌 Jika “orang” yang dimaksud adalah para ulama suu’ (ulama buruk), ulama yang menjual akhiratnya demi dunia, maka Allah Ta’ala telah mensifatkan dan mengumpamakan mereka dengan sebutan “anjing”.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. Al A’raf: 176)

📌 Jika “orang” yang dimaksud adalah orang-orang yang inkar kepada Allah Ta’ala, kafir harbi, penista agama, maka Allah Ta’ala tegas menyebut mereka dengan “kera” dan “hewan ternak”, bahkan lebih sesat lagi dari hewan ternak.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raf: 179)

Tentang Bani Israel, karena pembangkangan mereka, maka Allah Ta’ala berkata kepada mereka:

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”. (QS. Al Baqarah: 65)

📌 Jika “orang” yang dimaksud adalah pemimpin yang zalim, jahat, dan bengis, tidak memimpin dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutnya dengan pemimpin berhati “syetan.”

Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ

Akan ada setelah aku nanti pemimpin-pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dari petunjukku, tidak berjalan di atas sunnahku, dan pada mereka akan ada orang yang hatinya berhati syetan pada tubuh manusia. (HR. Muslim No. 1847)

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Pemakai Jimat Jadi Imam Shalat ?

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum … Ust, kalau orang yang memakai jimat jadi imam shalat, apakah sah kita menjadi makmumnya? (@Muslimah)

📌 Jawaban:

Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Memang, ini adalah pilihan yang tidak menyenangkan bagi makmum. Umumnya masjid-masjid di Indonesia tidak memiliki standar kualifikasi yang sesuai syariah untuk menjadi seorang Imam. Akhirnya, imam dipilih karena faktor ketokohan dan senioritas semata. Walau faktor ini juga tidak masalah, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menyebutkannya.

Tentang kriteria yang paling berhak menjadi imam memang ada, yaitu hadits shahih berikut:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِه

Dari Abu Mas’ud Al Anshari, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seseorang mengimami sebuah kaum karena, karena dia yang paling bagus bacaan Al Qurannya, jika ternyata semua sama, maka pilihlah yang paling tahu tentang sunah, jika sama juga, maka pilihlah yang lebih dahulu hijrah, jika sama juga, maka utamakan yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang yang mengimami orang lain di daerah kekuasaannya dan jangan pula dia duduk dalam rangka memuliakan dirumah orang lain, kecuali dengan izinnya.” (HR. Muslim No. 673, Abu Daud No. 586, At Tirmidzi No. 235)

Dari hadits di atas, bisa kita ketahui bahwa yang berhak jadi imam adalah:
1. Yang paling bagus bacaan Al Qur’annya, tetapi jika semua sama maka,
2. Yang paling tahu tentang As Sunnah, tetapi jika semua sama maka,
3. Yang paling dahulu hijrah, tetapi jika semua sama maka,
4. Yang lebih dahulu masuk Islam

Kita lihat, bahwa senioritas (no. 3 dan 4) tetap dipertimbangkan, walau bukan pertimbangan utama.

Yang Dilarang Atau Tidak Sah Menjadi Imam

Kita dilarang menjadikan orang-orang berikut ini menjadi Imam Shalat.

1. Orang yang telah melakukan kufrun bawwah (kekafiran nyata) yang telah mengeluarkan pelakunya dari Islam (murtad). Seperti mengingkari ketuhanan Allah Ta’ala, mengingkari Al Quran, mengingkari kenabian (termasuk juga mengingkari sunnahnya), melakukan kesyirikan yang masuk kategori syirik akbar, seperti menyembah apa pun selain Allah, menjadikan selain Allah sebagai pembuat syariat, dan perbuatan apa pun yang termasuk kafir secara i’tiqadi, maka semua ini adalah haram menjadi imam dan tidak sah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat para ulama.

2. Orang yang dilarang shalat, otomatis dilarang pula menjadi imam. Seperti wanita haid dan nifas, serta orang junub. Ada pun anak yang belum baligh, mereka boleh dan sah shalatnya, sebagaimana boleh dan sah menjadi imam pula, walau mereka belum wajib shalat. Belum wajib, bukan berarti tidak boleh shalat.

3. Orang yang selalu ‘udzur (halangan) seperti beser (banyak kencing) yang tidak bisa ditahan, atau sering buang angin, sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya. Inilah pendapat mayoritas ulama, kecuali Malikiyah yang menyatakan tetap sah tetapi makruh. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

لا تصح إمامة معذور لصحيح ولا لمعذور مبتلى بغير عذره عند جمهور العلماء. وقالت المالكية تصح إمامته للصحيح مع الكراهة

“Tidak sah imam yang ber’udzur bagi makmum yang sehat, atau yang ‘udzurnya berlainan dengan ‘udzur makmumnya, menurut jumhur (mayoritas) ulama. Berkata Malikiyah: tetap sah imamnya bagi orang sehat, tetapi makruh.” (Fiqhus Sunnah, 1/237. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Yang Dimakruhkan Menjadi Imam

Berikut ini orang-orang yang dimakruhkan menjadi imam, namun shalatnya tetap sah:

1. Imam yang dibenci oleh kaum/makmumnya

Hadits seperti ini ada beberapa jalur yang bisa dipertanggungjawabkan (valid), dengan redaksi yang agak berbeda.

Di antaranya, dari Ibnu AbbasRadhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ

“Ada tiga manusia yang Shalat mereka tidaklah naik melebihi kepala mereka walau sejengkal: yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan silaturahim.” (HR. Ibnu Majah, 2/338/961, Imam Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi mengatakan sanadnya shahih dan semua rijalnya tsiqat (kredibel), Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibni Majah, 2/338. Syaikh Al Albani mengatakan hasan. Misykah Al Mashabih, 1/249/1128. Syaikh Ala’uddin bin Qalij bin Abdillah Al Hanafi mengatakan sanad hadits ini laa ba’sa bihi (tidak apa-apa). Abu Hatim berkata: Aku belum melihat ada orang yang mengingkarinya. Dalam sanadnya terdapat ‘Ubaidah, berkata Ibnu Namir: dia tidak apa-apa. Ad Daruquthni berkata: baik-baik saja mengambil ‘ibrah darinya. Abu Hatim mengatakan: menurutku haditsnya tidak apa-apa. Sanadnya juga terdapat Al Qasim. Menurut Al ‘Ijili dan lainnya dia tsiqah (kredibel), Lihat dalam Syarh Sunan Ibni Majah, no. 172, karya Syaikh Ala’uddin Al Hanafi. Al Maktabah Al Misykat)

Imam At Tirmidzi juga meriwayatkan dari jalur lain, yakni Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dengan redaksi sedikit berbeda:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةً رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَرَجُلٌ سَمِعَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ثُمَّ لَمْ يُجِبْ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat tiga golongan manusia, yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan seorang yang mendengarkan Hayya ‘alal Falah tetapi dia tidak menjawabnya.” (HR. At Tirmidzi No. 358. Katanya: tidak shahih, karena hadits ini mursal, dan dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Al Qasim. Imam Ahmad mendhaifkannya dan dia bukan seorang yang terjaga hafalannya. Sehingga Syaikh Al Albani menyatakan dhaif jiddan (lemah sekali), lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 358. Namun, Syaikh Muhamamd bin Thahir bin Ali Al Hindi mengatakan, hadits ini memiliki sejumlah syawahid (penguat)nya. Muhammad bin Al Qasim tidaklah mengapa, dan dinilai tsiqah oleh Imam Yahya bin Ma’in. Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 40)

Lalu, jalur Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثلاثة لا تجاوز صلاتهم آذانهم : العبد الآبق حتى يرجع وامرأة باتت وزوجها عليها ساخط وإمام قوم وهم له كارهون

“Tiga golongan manusia yang shalatnya tidak sampai telinga mereka, yakni: budak yang kabur sampai dia kembali, isteri yang tidur sementara suaminya marah kepadanya, dan pemimpin sebuah kaum dan kaum itu membencinya.” (HR. At Tirmidzi No. 360. At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Syaikh Al Albani menghasankan dalam beberapa kitabnya, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 487, Misykah Al Mashabih No. 1122, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 360)

Hadits ini menunjukkan, menurut para ulama, dimakruhkannya seorang pemimpin menjadi imam, yang dia dibenci oleh kaumnya. Tetapi jika pemimpin tersebut bukan orang zhalim, maka kaumnyalah yang berdosa. Sementara Ahmad dan Ishaq mengatakan seandainya yang membenci pemimpin tersebut hanya satu, dua, atau tiga orang maka tidak mengapa pemimpin tersebut shalat bersama mereka, kecuali jika yang membenci lebih banyak. (Sunan At Tirmidzi, 2/97/326)

Ibnu Al Malak mengatakan bahwa penyebab kebenciannya pun adalah masalah agama, seperti bid’ah, kefasikan, dan kebodohan yang dibuat oleh pemimpin tersebut. Tetapi, jika kebencian disebabkan perkara dunia di antara mereka, maka itu bukan termasuk yang dimaksud hadits ini. (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 1/387)

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

والعبرة بالكراهة الكراهة الدينية التي لها سبب شرعي

“Kebencian yang dimaksud adalah kebencian karena alasan agama yang lahir karena sebab syar’i.” (Fiqhus Sunnah, 1/242)

2. Ahli Maksiat dan Ahli Bid’ah

Shalat di belakang mereka, selama maksiat dan bid’ahnya tidak sampai mengeluarkan mereka dari agama, maka tetap sah namun makruh. Sebab walau pun mereka telah melakukan dosa besar, kewajiban shalat bagi mereka tidak hilang, dan jika mereka melaksanakan shalat, maka tetap sah selama terpenuhi syarat dan rukunnya. Pada prinsipnya, siapa yang shalatnya sah untuk dirinya, maka itu juga sah bagi orang lain. Syaikh Sayyid Sabiq telah memberikan uraian sebagai berikut:

كراهة إمامة الفاسق والمبتدع: روى البخاري ان ابن عمر كان يصلي خلف الحجاج.
وروى مسلم أن أبا سعيد الخدري صلى خلف مروان صلاة العيد، وصلى ابن مسعود خلف الوليد ابن عقبة بن أبي معيط – وقد كان يشرب الخمر، وصلى بهم يوما الصبح أربعا وجلده عثمان بن عفان على ذلك – وكان الصحابة والتابعون يصلون خلف ابن عبيد، وكان متهما بالالحاد وداعيا إلى الضلال، والاصل الذي ذهب إليه العلماء أن كل من صحت صلاته لنفسه صحت صلاته لغيره، ولكنهم مع ذلك كرهوا الصلاة خلف الفاسق والمبتدع، لما رواه أبو داود وابن حبان وسكت
عنه أبو داود والمنذري عن السائب بن خلاد أن رجلا أم قوما فبصق في القبلة ورسول الله صلى الله عليه وسلم ينظر إليه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لا يصلي لكم) فأراد بعد ذلك أن يصلي بهم، فمنعوه وأخبروه يقول النبي صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك للنبي فقال: (نعم، إنك آذيت الله ورسوله).

Dibenci (makruh) bagi orang fasik dan pelaku bid’ah menjadi imam. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah shalat di belakang Al Hajaj. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Said Al Khudri pernah shalat di belakang Marwan pada shalat ‘Id, juga Ibnu Mas’ud shalat di belakang Al Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, dia adalah seorang peminum khamr. Dia pernah shalat bersama subuh orang lain sebanyak empat rakaat karena mabuk, oleh karena itu Utsman mencambuknya. Para sahabat dan tabi’in pernah shalat di belakang Ibnu ‘Ubaid, seorang yang dituduh sebagai atheis dan penyeru kesesatan. Pada dasarnya, para ulama berpendapat, setiap orang yang sah shalatnya bagi diri sendiri, maka shalatnya sah juga untuk orang lain. Tetapi bersamaan dengan itu, memakruhkan shalat di belakang orang fasik dan pelaku bid’ah.

Ini didasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Al Mundziri, dari As Saib bin Khalad bahwa ada seorang yang mengimamkan sebuah kaum, dia meludah ke arah kiblat, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallami melihat hal itu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Orang itu jangan shalat (jadi imam) bersama kalian.” Setelah itu, orang tersebut hendak mengimamkan lagi, tetapi mereka melarangnya dan mengabarkan padanya apa yang telah dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu orang itu minta penjelasan kepada Nabi, maka beliau bersabda: “Benar, engkau telah menyakiti Allah dan RasulNya.” (Ibid, 1/238)

Riwayat tersebut dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 481.

Lalu, bagaimana dengan pemakai jimat. Bolehkah menjadi imam shalat?

Pemakai Jimat; murtad ataukah dosa besar?

Hal ini penting untuk diketahui agar kita bisa mengambil sikap terhadap orang seperti itu. Jika dia dikategorikan murtad tentu haram dan tidak sah diangkat jadi imam, jika belum murtad, sekedar syirik kecil (dosa besar yang belum mengeluarkan pelakunya dari Islam), maka dia sah jadi imam tetapi makruh. Perlu diketahui, Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi –yang mana Ibnu Umar pernah shalat dibelakangnya- adalah seorang pembunuh ulama besar masa tabi’in, murid dari Ibnu Abbas, yakni Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu.

Dalam hadits disebutkan bahwa membunuh seorang muslim adalah kufur. Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah fasik, dan membunuhnya adalah kufur.” (HR. Bukhari No. 48, 5697, 6665. Muslim No. 64)

Tentunya, kufur di sini bukanlah murtad, melainkan kafir amali (perbuatan), bukan kafir i’tiqadi (keyakinan). Jika dia murtad, tidak mungkin Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma mau shalat dibelakang seorang pembunuh. Kecuali jika ada orang yang meyakini bahwa membunuh seorang muslim adalah halal, maka dia kafir dan murtad menurut ijma’.

Bukan hanya ini, di dalam berbagai riwayat lain disebukan bahwa khamr, jima’ dengan isteri melalui dubur dan ketika haid, mendatangi dukun dan membenarkannya, bersumpah dengan selain nama Allah, budak yang lari dari majikannya, semua ini disebut oleh hadits dengan perkataan kufur, atau faqad kafara bima unzila ‘ala muhammad (telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad).

Bukan hanya itu, riya’ pun disebut sebagai syirik yakni syirik ashghar (syirik kecil). Namun, tidak ada yang mengatakan tidak boleh shalat dibelakang orang yang riya’.

Termasuk juga memakai jimat, maka nabi mengatakan hal itu sebagai perbuatan syirik:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan tiwalah (pelet), adalah syirik.” (HR. Abu Daud No. 3383, Ibnu Majah No.3530, Syaikh Al Albani menshahihkan dalamShahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3530)

Untuk ruqyah, tidak semua dilarang, dari ‘Auf bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كنا نرقي في الجاهلية، فقلنا: يارسول اللّه، كيف ترى في ذلك؟ فقال: “اعرضوا عليَّ رقاكم، لابأس بالرقى ما لم تكن شركاً

“Kami meruqyah pada masa jahiliyah, kami berkata: ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang itu?” Beliau bersabda: “Perlihatkan ruqyahmu padaku, tidak apa-apa selama tidak mengandung kesyirikan.” (HR. Abu Daud No.3886, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 1066)

Syirik di sini adalah syirik kecil, sebagaimana dikatakan oleh para syarih (pensyarah hadits). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah juga mengatakan bahwa jimat adalah syirik kecil. Tetapi jika dia meyakini bahwa yang memberikan manfaat dan pertolongan adalah jimat tersebut semata, maka ini syirik akbar, tetapi jika dia meyakini bahwa yang memberikan manfaat dan pertolongan adalah Allah Ta’ala, sedangkan jimat itu adalah sebab saja, maka itu syirik kecil.

Berikut Fatwa Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia:

لأنه مشرك إذا كان يعتقد أن التمائم تنفع وتضر، أما إن كان يعتقدها من الأسباب والله هو النافع الضار فتعليقها من الشرك الأصغر

“Karena hal itu menjadikannya musyrik, jika dia meyakini bahwa jimat-jimat itu membawa manfaat dan mudharat, ada pun jika dia meyakininya sebagai sebab saja dan Allah yang memberikan manfaat atau mudharat, maka menggantungkan jimat adalah syirik kecil.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’No. 181)

Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullahi mengatakan:

ومثل تعليق التمائم خوفاَ من العين وغيرها ، إذا اعتقد أن هذه أسباب لرفع البلاء أو دفعه ، فهذا شرك أصغر . لأن الله لم يجعل هذه أسبابا . أما إن اعتقد أنها تدفع أو ترفع البلاء بنفسها فهذا شرك أكبر ، لأنه تعلق بغير اللّه

“Misalnya menggantungkan jimat lantaran khawatir atas kejahatan mata atau lainnya, jika dia meyakini jimat adalah sebab untuk menghilangkan atau menolak bala, maka ini syirik kecil, karena Allah Ta’ala tidak pernah menjadikan jimat sebagai sebab. Ada pun jika dia meyakini bahwa jimat itu sendiri yang mencegah dan menghilangkan bala, maka ini syirik besar, karena dia telah bergantung kepada selain Allah.” (Kitabut Tauhid, Hal. 12. Mawqi’ Al Islam)

Bahkan sebagian salaf ada yang ‘sekedar’ memakruhkan. Hal ini berdasarkan riwayat berikut:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يكره عقد التمائم

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan menggantungkan jimat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/427)

Ibrahim An Nakha’i mengatakan:

كانوا يكرهون التمائم كلها ، من القرآن وغير القرآن

“Mereka (para sahabat) memakruhkan jimat semuanya, baik yang dari Al Quran dan selain Al Quran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/428)

Jadi sebenarnya hukum memakai jimat ada tiga macam.

1⃣ Pertama. Jika jimat itu diyakini sebagai pembawa manfaat atau mudharat, maka ini syirkun akbar (syirik akbar), dan pelakunya murtad, dan tidak sah shalatnya, baik dia jadi imam atau menjadi makmum. Maka bermakmum dengannya pun tidak boleh.

2⃣ Kedua. Jika jimat itu diyakini sebagai sebab saja, ada pun masih meyakini Allah sebagai pembawa manfaat atau mudharat, maka ini syirkun ashghar (syirik kecil). Pelakunya belum bisa dikatakan murtad, namun termasuk pelaku dosa besar. Sebagaimana dosa besar lainnya. Maka shalat dibelakangnya sah tetapi makruh.

3⃣ Ketiga. Jika jimat itu berasal dari ayat-ayat Al Quran atau dzikir-dzikir yang ma’tsur, maka para ulama berbeda pendapat antara membolehkan, memakruhkan, dan mengharamkan. Namun para sahabat Nabi tetap membencinya. Sebab itu merupakan jalan dan pintu menuju penggunaan jimat-jimat yang bukan dari Al Quran dan dzikir-dzikir. Sedangkan jika berasal dari kalimat-kalimat yang tidak bisa difahami, maka haram, tidak ada perselisihan pendapat tentang itu sebagaimana ditegaskan Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar, dan lainnya.

Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah mengatakan:

وأما التعاليق التي فيها قرآن أو أحاديث نبوية أو أدعية طيبة محترمة فالأولى تركها لعدم ورودها عن الشارع ولكونها يتوسل بها إلى غيرها من المحرم ، ولأن الغالب على متعلقها أنه لا يحترمها ويدخل بها المواضع القذرة

“Ada pun menggantungkan jimat yang terdapat Al Quran atau Hadits Nabi, atau doa-doa yang baik lagi terhormat, maka yang lebih utama adalah ditinggalkan, karena tidak adanya dalil dari pembuat syariat, bahkan hal itu merupakan sarana menuju jimat yang bukan dari Al Quran yang tentunya haram, dan juga lantaran biasanya hal itu digantungkan dengan cara tidak terhormat, dan masuk ke dalam tempat-tampat yang kotor.” (Qaulus Sadid Syarh Kitabut Tauhid, Hal. 48. Mawqi’ Al Islam). Demikian.

Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

scroll to top