Kapan Ibadah Memiliki Pengaruh Bagi Pelakunya?

Syaikh Sa’id Hawwa Rahimahullah:

العبادات الرئيسية في الاسلام منوِّرة و مطهّرة بقد ر ما تُلاحظ معانيها الباطنة، فهي تؤثر التأثير الكامل اذا كانت كاملة بحيث يرافق فيها عمل الظاهر عمل الباطن، كأن يرافق الصلاة الخشوع و الزكاة حسن النيّة و تلاوة القرآن حسن التدبر و الذكر الحضور، هذا النوع من الاداء هو المنوِّر المطهّر على الكمال و التمام

Ibadah-ibadah pokok dalam Islam bersifat mencerahkan dan menyucikan, sebanding dengan sejauh mana makna-makna batinnya diperhatikan.

Ia akan memberi pengaruh yang sempurna apabila dilakukan secara sempurna, yakni ketika amal lahiriah disertai dengan amal batiniah.

Seperti shalat disertai dengan kekhusyukan

zakat disertai dengan niat yang baik

tilawah Al-Qur’an disertai dengan tadabbur yang baik

dan zikir disertai dengan kehadiran hati

Jenis pelaksanaan seperti inilah yang mencerahkan dan menyucikan secara sempurna dan menyeluruh.

(Syaikh Sa’id Hawwa, Al Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus)

✍️Farid Numan Hasan

Tata Cara Kencing Sambil Jongkok

 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz izin tanya,sy pernah melihat ada video seorang ustadz menerangkan cara buang air kecil yg sesuai sunnah,kata beliau kencing itu jongkok kaki kanan ditegakkan sedangkan kaki kiri diturunkan,lalu berdehem 3kali,apakah seperti itu cara buang air kecil yg diajarkan nabi…(+62 823-7083-xxxx)


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Tidak ada hadits yang shahih tentang tata cara jongkoknya. Diriwayatkan dari Suraqah bin Malik, Beliau berkata:

علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في الخلاء أن نقعد على اليسرى، وننصب اليمنى

Rasulullah ﷺ mengajarkan kami (adab) di tempat buang hajat, yaitu agar kami duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan. (HR. Al Baihaqi, Imam Ibnu Hajar mengatakan dhaif, dalam Bulughul Maram)

Sehingga hal ini bebas saja, bisa dgn cara seperti itu, dan bisa juga dgn cara lain yang lebih nyaman bagi seseorang dan lebih menghindari cipratan najis.
Ada pun berdehem juga tidak ada sunah dari Nabi ﷺ. Sebagian ulama mengatakan bid’ah dan memakruhkan seperti Ibnu Taimiyah, Al Qaradhawi, dll. Sebagian lain menganjurkan dgn maksud agar air seni bisa tuntas habis.

BAK dgn cara jongkok dan berdiri, keduanya sama-sama pernah dilakukan Rasulullah ﷺ. Semuanya shahih. Sebagian sahabat juga berdiri. Hanya saja jongkok lebih utama dan lebih sering Rasulullah ﷺ lalukan dibanding berdiri. Sebagian sahabat ada pula yang memakruhkan. Dari Hudzaifah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

أَتَى النَّبِيُّ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ

Nabi ﷺ mendatangi tempat pembuangan sampah milik sebuah kaum, lalu Beliau kencing berdiri. Kemudian dia meminta air, maka aku membawakannya air lalu dia berwudhu. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Imam Ibnul Mundzir mengatakan, sebagaimana dikutip Imam An Nawawi:

فثبت عن عمر بن الخطاب وزيد بن ثابت وابن عمر وسهل بن سعد أنهم بالوا قياماً، وروي ذلك عن أنس وعليّ وأبي هريرة، وفعل ذلك ابن سيرين وعروة بن الزبير، وكرهه ابن مسعود والشعبي وإبراهيم بن سعد، وكان إبراهيم لا يجيز شهادة من بال قائماً

Telah shahih dari Umar bin Al Khathab, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, Sahl bin Sa’ad, bahwa mereka kencing berdiri, hal itu juga diriwayatkan dari Anas, Ali, Abu Hurairah, itu juga dilakukan oleh Ibnu Sirin, ‘Urwah bin Az Zubeir, sementara itu dimakruhkan oleh Ibnu Mas’ud, Asy Sya’biy, Ibrahim bin Sa’ad, dan Ibrahim tidak membolehkan kesaksian orang yang kencing berdiri. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/166, Lihat juga Syarh Abi Daud, 1/93)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

والاظهر أنه فعل ذلك لبيان الجواز وكان أكثر أحواله البول عن قعود والله أعلم

Yang benar adalah bahwa perbuatan ini (kencing dambil berdiri) adalah boleh dan kebanyakan keadaan Beliau (nabi) adalah kencingnya sambil duduk. Wallahu A’lam (Fathul Bari, 1/330)

Imam Ibnul Mundzir juga mengatakan:

البول جالسا أحب إلى وقائما مباح وكل ذلك ثابت عن رسول الله صلى الله عليه و سلم

Kencing sambil duduk lebih aku sukai dan sambil berdiri boleh, semua ini shahih dari Rasulullah ﷺ. (Dikutip oleh Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/166)

Imam Asy Syaukani mengatakan:

( والحاصل ) أنه قد ثبت عنه البول قائما وقاعدا والكل سنة

Wal hasil, bahwa telah shahih dari nabi kencing berdiri dan duduk, dan masing-masing adalah sunnah. (Nailul Authar, 1/107)

Bahkan ada yang mengatakan bahwa kencing berdiri justru lebih aman dari najis, seperti perkataan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, yang dikutip Imam Ibnul Mundzir berikut:

وَذَلِكَ أَنَّ الْبَوْلَ قَائِمًا أَحْصَنُ لِلدُّبُرِ وَأَسْلَمُ لِلْحَدَثِ . وَرُوِيَ هَذَا الْقَوْلُ عَنْ عُمَرَ

Dan hal itu, sesungguhnya kencing berdiri lebih menjaga dubur dan lebih selamat dari hadats. Ucapan ini diriwayatkan dari Umar. (Al Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf No. 252)

Sebagian ulama ada yang memakruhkan kencing berdiri, seperti Ibnu Mas’ud, Asy Sya’bi, dan Ibrahim bin Sa’ad. (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/166)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Dampak Buruk Penghasilan dan Harta Haram

Rasulullah ﷺ bersabda:

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ، فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidak akan pernah masuk surga daging yang tumbuh dari harta haram, neraka lebih layak baginya

Takhrij Hadits:

Hadits ini diriwayatkan oleh:

– Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, jilid. 19, hal. 141, no hadits.

– Juga Ath Thabarani dalam Al Awsath, jilid. 4, hal. 378, juga dari Ka’ab bin ‘Ujrah, dengan lafaz sedikit berbeda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ، وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Tidak akan pernah masuk surga daging yang tumbuh dari harta haram, dan setiap daging yang tumbuh dari harta haram maka neraka lebih layak baginya.

Hadits serupa juga diriwayatkan dari berbagai jalur sahahat lainnya, seperti:

– Abu Bakar ash Shiddiq (Lihat Al Baihaqi, Syu’abul Iman, jilid. 7, hal. 505)

– Abdurrahman bin Samurah (Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, jilid. 4, hal. 141, no. 7162)

– Jabir bin Abdillah (Lihat Al Jami’ Ash Shahih Lissunan wal Masanid, jilid. 6, hal. 169)

– Ibnu ‘Abbas (Ismail Al Ashfahani, At Targhib wat Tarhib, jilid. 2, hal. 313-314)

Sanad hadits ini satu sama lain saling menguatkan, sehingga para ulama menyatakan hasan atau shahih, di antaranya:

– Imam At Tirmidzi (Al ‘Iraqi, Takhrijul Ihya’, hal. 437)

– Imam Al Hakim (Al Mustadrak no. 7162)
– Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish
– Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ no. 4519)

Sementara itu, Imam Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

كل لحم أنبته السحت فالنار أولى به ” قيل يارسول الله وما السحت؟ ، قال: ” الرشوة فى الحكم

“Setiap daging yang tumbuh dari “as suhtu” (harta haram) maka neraka lebih layak baginya.” Lalu ada yang bertanya: “Apakah as suhtu?” Beliau menjawab: “Risywah (sogokan-suap) dalam hukum (peradilan)”

(Fathul Bari, jilid. 4, hal. 454, sanadnya semua rawinya terpercaya namun mursal)

Pelajaran dari hadits:

– Hadits ini menunjukkan peringatan bahaya di akhirat bagi yang memenuhi kebutuhan hidupnya dari As Suhtu (haram), baik itu penghasilan, makanan, dan minuman. (Ash Shan’ani, At Tahbir Li Idhah Ma’ani At Taysir, jilid. 3, hal. 741)

– Ancaman neraka dan tidak akan masuk surga merupakan bukti perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar.

– Salah satu harta haram yang dimaksud adalah risywah (sogok-suap) dalam peradilan, dan tentunya berlaku pada suap secara umum.

– Ancaman pada hadits ini berlaku bagi yang sampai wafat dia tidak bertobat dan belum diampuni. Lalu, apakah di neraka abadi? Jika dia masih meyakini harta haram itu adalah haram, maka dia masih muslim, dan keadaannya sesuai kehendak Allah Ta’ala apakah diampuni atau disiksa sesuai kadar dosanya. Namun jika dia menghalalkan yang jelas haramnya, maka dia telah murtad, inilah yang dinyatakan tidak masuk surga sama sekali.

– Imam Ali Al Qari menjelaskan:

أَيْ دُخُولًا أَوَّلِيًّا مَعَ النَّاجِينَ ; بَلْ بَعْدَ عَذَابٍ بِقَدْرِ أَكْلِهِ لِلْحَرَامِ مَا لَمْ يُعْفَ عَنْهُ، أَوْ لَا يَدْخُلُ مَنَازِلَهُ الْعَلِيَّةَ، أَوِ الْمُرَادُ أَنْ لَا يَدْخُلَهَا أَبَدًا إِنِ اعْتَقَدَ حِلَّ الْحَرَامِ، وَكَانَ مَعْلُومًا مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ، أَوِ الْمُرَادُ بِهِ الزَّجْرُ وَالتَّهْدِيدُ وَالْوَعِيدُ الشَّدِيدُ، وَلِذَا لَمْ يُقَيِّدْهُ بِنَوْعٍ مِنَ التَّقْيِيدِ

(Tidak masuk surga) yaitu tidak masuk surga secara langsung bersama orang-orang yang selamat; melainkan setelah mendapat azab sesuai kadar dosa dia memakan harta haram, selama bagian itu tidak dimaafkan.

Atau (maknanya) ia tidak akan masuk ke tempat-tempat yang tinggi di surga.

Atau maksudnya, ia tidak akan masuk surga sama sekali jika meyakini kehalalan harta haram, padahal itu termasuk perkara agama yang aksiomatik (sudah diketahui secara pasti).

Atau maksud dari perkataan itu adalah sebagai bentuk larangan keras, ancaman, dan peringatan yang begitu keras. Oleh karena itu, maknanya tidak dibatasi dengan bentuk pengkhususan tertentu. (Mirqah Al Mafatih, jilid. 5, hal. 1899)

– Namun bagi mereka yang sempat bertobat dari penghasilan yang haram, dengan sebenar-benarnya tobat, menjauhi, menyesali, dan tidak mengulanginya, maka dia tidak termasuk dalam ancaman ini. Begitu pula bagi yang telah mendapatkan ampunan-Nya karena luasnya rahmat-Nya walau belum bertobat.

Imam Ali Al Qari melanjutkan:

أَمَّا إِذَا تَابَ أَوْ غُفِرَ لَهُ مِنْ غَيْرِ تَوْبَةٍ وَأَرْضَى خُصُومَهُ، أَوْ نَالَتْهُ شَفَاعَةُ شَفِيعٍ، فَهُوَ خَارِجٌ مِنْ هَذَا الْوَعِيدِ

Adapun jika ia telah bertobat, atau telah diampuni Allah tanpa taubat, dan ridha terhadap musuhnya, atau ia mendapatkan syafa’at dari yang memberi syafaat , maka ia keluar dari ancaman ini (tidak termasuk dalam ancaman tersebut). (Ibid)

Semoga Allah Ta’ala jauhkan kita dari penghasilan dan harta yang haram.

Doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:

اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

ALLAAHUMMAKFINII BIHALAALIKA ‘AN HARAAMIK, WA AGHNINII BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAAK (Ya Allah, cukupkanlah aku dengan kehalalan-Mu sehingga tidak memerlukan keharaman-Mu, dan jadikanlah aku kaya sehingga tidak butuh kepada selain-Mu). (HR. At Tirmidzi no. 3563, Imam At Tirmidzi berkata: hasan)

Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Numan Hasan

Di saat shalat, melakukan Gerakan Selain Gerakan Shalat

 PERTANYAAN:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Ustadz… Saya mau bertanya, ketika shalat (sendiri atau berjamaah) lalu kita bersin, dan hidungpun berair/meler/ingusan bolehkah kita meraih kain/tisu atau yang sejenis, untuk membersihkan itu? Atau dengan ujung sajadah/serban? Mohon penjelasannya

 JAWABAN

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاتة

Gerakan yang ada sebab, dalam rangka menjaga kekhusyuan dan kesempurnaan shalat, adalah gerakan yang dibolehkan. Baik itu membenahi peci, kenaikan kain sarung yang kedodoran, menutupi aurat yang tersingkap, melangkah merapatkan shaf, atau mengelap ingus yang meler saat pilek, dsb.

Hal ini berdasarkan beberapa hadits sbb:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersbada:

(اقتلوا الاسودين   في الصلاة: الحية والعقرب ) رواه أحمد وأصحاب السنن. الحديث حسن صحيح

“Bunuhlah oleh kalian dua binatang hitam saat kalian shalat: ular dan kala jengking.” (HR. Ahmad No.  7379, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 7379)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

قتل الحية والعقرب والزنابير ونحو ذلك من كل ما يضر وإن أدى قتلها إلى عمل كثير

“(Dibolehkan) Membunuh ular, kalajengking kumbang dan yang semisalnya yang bisa mengganggu shalat, walau pun dengan gerakan yang banyak untuk membunuhnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/261)

Hadits lainnya:

عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق فجئت فاستفتحت فمشى ففتح لي ثم رجع الى مصلاه. ووصفت أن الباب في القبلة. رواه أحمد وأبو داود والنسائي والترمذي وحسنه

Dari ‘Aisyah, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di rumah dan pintu di depannya tertutup, ketika saya datang saya minta dibukakan pintu. Maka beliau berjalan dan membukakan pintu kemudian kembali shalat.” ‘Aisyah mengatakan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat. (HR. Ahmad No. 24027, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Tahqiq Musnad Ahmad No. 24027)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:

فدل على أن مثل هذا العمل لا بأس به في الصلاة؛ لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم فعله وهو القدوة والأسوة صلوات الله وسلامه وبركاته عليه

Maka, hadits ini menunjukkan bahwasanya hal yang semisal perbuatan ini adalah tidak apa-apa dilakukan saat shalat, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, dan dia adalah teladan dan contoh. (Syarh Sunan Abi Daud, 117. Al Misykat)

Wallahu A’lam

✍ Farid Numan Hasan

scroll to top