Daftar Isi
▪️Haid
Definisi:
Imam Khathib Asy Syarbini mengatakan, secara bahasa artinya As Saylaan – السيلان, yang maknanya mengalir. Ada pun secara syariat:
دم جبلة أي تقضيه الطباع السليمة (وهو) الدم (الخارج من فرج المرأة) أي من أقصى رحمها (على سبيل الصحة) احترازا عن الاستحاضة (من غير سبب الولادة) في أوقات معلومة احترازا عن النفاس
Darah yang cacat, artinya darah yang tidak disukai oleh tabiat yang sehat, yaitu darah yang keluar dari kemaluan wanita yang berasal dari ujung rahimnya dalam kondisi sehat, yang bebas dari darah penyakit (istihadhah) yang keluarnya bukan karena melahirkan, di waktu-waktu yang telah diketahui, dan tidak ada hubungan dengan nifas. (Al-Iqna’, 1/107)
▪️Dalil-Dalilnya:
Allah ﷻ berfrman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Rasulullah ﷺ bersabda:
هَذَا شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ
Ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan atas anak-anak Adam yang wanita. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
▪️Sifat-Sifatnya:
Imam Ibnu Hazm mensifatkan:
الْحَيْضُ هُوَ الدَّمُ الْأَسْوَدُ الْخَاثِرُ الْكَرِيهُ الرَّائِحَةِ خَاصَّةً
Darah Haid adalah darah hitam yang kental, berbau busuk, dan khas. (Al Muhalla, 1/380)
Imam Asy Syarbini mengatakan:
(ولونه) أي الدم الأقوى (أسود) ثم أحمر فهو ضعيف بالنسبة للأسود وقوي بالنسبة للأشقر، والأشقر أقوى من الأصفر وهو أقوى من الأكدر وما له رائحة كريهة أقوى مما لا رائحة له، والثخين أقوى من الرقيق والأسود
Warnanya darahnya yang paling kuat adalah hitam, lalu merah, dia lebih lemah dibading hitam tapi lebih kuat dibanding asyqar (merah kekuning-kuningan), dan asyqar lebih kuat dibanding kuning, tapi kuning lebih kuat dibanding keruh, yang berbau busuk lebih kuat dibanding yang tidak berbau, dan yang tebal lebih kuat dibanding yang tipis dan hitam. (Al Iqna’, 1/107)
▪️Kuning dan Keruh di hari haid, apakah haid?
Dalam Al Mausu’ah tertulis:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ حَيْضٌ، لأَِنَّهُ الأَْصْل فِيمَا تَرَاهُ الْمَرْأَةُ فِي زَمَنِ الإِْمْكَانِ، وَلأَِنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَ النِّسَاءُ يَبْعَثْنَ إِلَيْهَا بِالدُّرْجَةِ فِيهَا الْكُرْسُفُ فِيهِ الصُّفْرَةُ وَالْكُدْرَةُ: فَتَقُول لَهُنَّ: لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ
Menurut mayoritas ulama, bahwa kuning dan keruh yang terjadi di hari-hari haid adalah haid. Karena, pada dasarnya itu adalah yang mungkin bisa dilihat oleh wanita saat itu. Dahulu kaum wanita mendatangi Aisyah Radhiallahu ‘Anha sambil membawa potongan kapas (pembalut) yang terdapat kuning dan keruh, maka Aisyah berkata kepada mereka: “Jangan terburu-buru sampai kalian melihat cairan putih.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 18/295)
Tapi, Malikiyah mengatakan itu sudah bukan haid, begitu pula satu pendapat dari golongan Syafi’iyah, sebab kuning dan keruh bukanlah warna darah.
وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَجْهٌ أَنَّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ لَيْسَتَا بِحَيْضٍ، لأَِنَّهُمَا لَيْسَتَا عَلَى لَوْنٍ، وَلِقَوْل أُمِّ عَطِيَّةَ كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ شَيْئًا وَهَذَا قَوْل ابْنِ الْمَاجِشُونِ أَيْضًا. قَال الدُّسُوقِيُّ: وَجَعَلَهُ الْمَازِرِيُّ وَالْبَاجِيُّ هُوَ الْمَذْهَبُ
Menurut Syafi’iyyah dalam salah satu pendapatnya, bahwa kuning dan keruh bukanlah haid, karena keduanya bukanlah warna. Hal ini juga berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah: “Kami tidak menganggap warna kuning dan keruh sebagai bagian dari haid sedikit pun.” Ini juga perkataan Ibnu Majisyun. Berkata Ad Dasuqi: “Al Maziri dan Al Baji menjadikan ini sebagai pendapat resmi madzhab (Malikiyah).” (Ibid)
▪️Konsekuensi Haid
Imam Ibnu Hazm mengatakan:
فَمَتَى ظَهَرَ مِنْ فَرْجِ الْمَرْأَةِ لَمْ يَحِلَّ لَهَا أَنْ تُصَلِّيَ وَلَا أَنْ تَصُومَ وَلَا أَنْ تَطُوفَ بِالْبَيْتِ وَلَا أَنْ يَطَأَهَا زَوْجُهَا وَلَا سَيِّدُهَا فِي الْفَرْجِ، إلَّا حَتَّى تَرَى الطُّهْرَ
Maka, disaat nampak haid dari kemaluan wanita, saat itu tidak halal baginya shalat, puasa, thawaf, hubungan badan dengan suaminya dan Tuannya di kemaluan, kecuali sampai dia suci. (Al Muhalla, 1/380)
Apa yang disampaikan Imam Ibnu Hazm, yaitu larangan shalat, puasa, thawaf, dan jima’, adalah hal yang disepakati ulama semua madzhab.
Ada pun Thawaf, Abu Hanifah mengatakan wajib suci, tapi bukan rukun, sehingga menurutnya tetap SAH tapi wajib bayar dam. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah mengatakan sahnya thawaf wanita haid dan tanpa bayar dam. Imam Ibnu Hazm tidak memasukkan membaca Al Quran dan berdiam di masjid sebagai larangan, itulah madzhab yang dianutnya, madzhab Zhahiriyah.
Imam An Nawawi mengatakan (Lihat Raudhatuth Thalibin, 1/199-200), bahwa larangan orang haid dan nifas sama dengan orang junub; yaitu haram baginya shalat, shaum, berdiam di masjid, jima’, membaca Al Quran, .. boleh lewat di dalam masjid jika tidak khawatir menetes, tapi jika khawatir menetes maka tidak boleh. Bahkan wanita istihadhah pun jika khawatir menetes juga tidak boleh lewat masjid. Untuk shalat yang ditinggalkan tidak wajib qadha, ada pun shaum yang ditinggalkan wajib di qadha. Jima’ tidak boleh, sampai dia suci dan mandi. Kalau tidak mampu mandi, maka tayamum. Jika tidak ada air buat mandi atau tidak ada debu buat tayammum, maka shalat tetap wajib, tapi jima’ tetap haram menurut pendapat yang shahih.
Jika sengaja jima’ dalam keadaan haid, padahal dia tahu, maka ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i. Pertama, dalam pendapat Al Jadid (baru), bahwa tidak ada denda, tapi diwajibkan baginya memohon ampun dan bertobat, dan disunnahkan bersedekah sau Dinar jika dia jima’nya saat darah haid masih awal, setengah Dinar jika jima’nya saat darah haid menjelang berakhir. Dalam pendapat Al Qadim (lama), wajib denda, dendanya seperti yang disunnahkan dalam Al Jadid sebelumnya, yang kedua membebaskan budak bagaimana pun keadaannya. Kemudian, Dinar yang wajib atau sunnah tersebut adalah harus emas murni, diserahkan kepada fakir miskin, dan denda ini berlaku bagi suami, bukan istri. Ada pun jika jima’, karena lupa, atau tidak keharamannya, atau tidak tahu sedang haid, maka tidak ada hukuman apa pun secara qath’i (pasti). Ada juga yang mengatakan dikenakan seperti pendapat Al Qadim. (selesai dari Imam An Nawawi)
▪️Rentang Waktu Haid
Berapa harikah lamanya haid ? Terjadi perbedaan pendapat para ulama.
Imam Abu Hanifah Rahimahullah:
أقله ثلاثة أيام بلياليهن وأكثره عشرة أيام
Paling sedikit adalah tiga hari tiga malam, paling banyak adalah 10 hari.
Imam Malik Rahimahullah:
لا حد لأقله ، فلو رأت بقعة كان حيضا وأكثره خمسة عشر يوما
Tidak ada batasan minimalnya, jika dia lihat ada gumpalan darah maka dia haid, ada pun maksimalnya 15 hari.
Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad Rahimahumallah:
أقله يوم وليلة .وروي عنهما : يوم وأكثره خمسة عشر يوما
Minimal adalah sehari semalam. Diriwayatkan dari keduanya bahwa maksimal adalah 15 hari.(Lihat Abu Muzhafar bin Hubairah, Ikhtilaf Al Aimmah Al ‘Ulama, 1/73-74)
Namun, Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menyodorkan pendapat lain bahwa haid itu tidak ada batasan minimal dan tidak ada pula batasan maksimal.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah berkata:
وذهب شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله رحمه الله على أنه لاحدّ لأقلّه وأكثره بل متى وُجد بصفاته المعلومة فهو حيض قلّ أو كَثُر
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dan maksimal haid, tetapi kapan pun didapati sifat-sifat darah haid yang telah diketahui maka itu haid, baik keluarnya sedikit atau banyak. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 5595)
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
والعلماء منهم من يحدُّ أكثرَه وأقلَّه ، ثمَّ يختلفون في التحديد ، ومنهم من يحد أكثره دون أقله والقول الثالث أصح : أنَّه لا حدَّ لا لأقله ولا لأكثره
Para ulama ada yang membuat batasan maksimal dan minimal, lalu mereka berselisih dapam batasan itu. Di antara mereka ada pula yang membuat batasan maksimal tanpa batasan minimal. Pendapat yang ketiga adalah yang paling benar, yaitu bahwa haid tidak ada batasan waktu, baik batasan minimal dan maksimal. (Majmu Al Fatawa, 19/237)
Tapi, umumnya manusia mengikuti pendapat mayoritas ulama yaitu 15 hari maksimalnya, minimalnya sehari semalam. Dalam kehidupan umumnya, rata-rata kaum wanita mengalami enam sampai tujuh hari. Maka, hendaknya masing-masing wanita mengikuti kebiasaannya. Sesuai kaidah: Al ‘Aadah muhakkamah, kebiasaan itu menjadi standar hukum.
Demikian. Wallahu a’lam
Farid Nu’man Hasan





