PERTANYAAN:
Ustadz…
Izin bertanya.
Lebih afdhol manakah membaca/tilawah Al-quran di masjid dengan suara pelan atau keras di Masjid, sedangkan di masjid tersebut masih ada yang dzikir?
Apakah membaca dalam hati itu bisa dikategorikan tilawah?
Batasan pelan dan keras suara itu seperti apa?
JAWABAN
Membaca Al Quran baik dengan keras dan pelan, kedua-duanya sama-sama diperbolehkan pada kondisinya masing-masing.
Abu Qatadah mengatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً فَإِذَا هُوَ بِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُصَلِّي يَخْفِضُ مِنْ صَوْتِهِ قَالَ وَمَرَّ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَهُوَ يُصَلِّي رَافِعًا صَوْتَهُ قَالَ فَلَمَّا اجْتَمَعَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَرَرْتُ بِكَ وَأَنْتَ تُصَلِّي تَخْفِضُ صَوْتَكَ قَالَ قَدْ أَسْمَعْتُ مَنْ نَاجَيْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَقَالَ لِعُمَرَ مَرَرْتُ بِكَ وَأَنْتَ تُصَلِّي رَافِعًا صَوْتَكَ قَالَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوقِظُ الْوَسْنَانَ وَأَطْرُدُ الشَّيْطَانَ
Pada suatu malam Nabi ﷺ keluar, lalu beliau mendapati Abu Bakar radhiallahu’anhu yang tengah shalat dengan memelankan suaranya.” Abu Qatadah berkata, “Dan beliau juga bertemu dengan Umar bin Khattab yang tengah shalat dengan mengangkat suaranya.” Abu Qatadah melanjutkan, “Ketika keduanya berkumpul di hadapan Nabi ﷺ, beliau bersabda kepada Abu Bakar, “Aku melawatimu ketika kamu sedang salat dengan memelankan suara.” Abu Bakar menjawab, “Suaraku hanya cukup di dengar (Allah) tempatku bermunajat wahai Rasulullah.” Abu Qatadah berkata, “Lalu beliau bersabda kepada Umar, “Sedangkan kamu mengangkat suaramu.” Umar berkata, “Wahai Rasulullah, supaya saya dapat membangunkan orang tidur dan mengusir setan.”
(HR. Abu Daud no. 1329, shahih)
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bercerita:
أَنَّ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَقَرَأَ فَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالْقُرْآنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْحَمُ اللَّهُ فُلَانًا كَأَيٍّ مِنْ آيَةٍ
Bahwa seorang laki-laki sedang mengerjakan salat malam, *lalu membaca Al-Qur’an dengan mengangkat suaranya,* keesokan harinya, Rasulullah ﷺ bersabda, “Semoga Allah merahmati fulan, dia telah mengingatkanku terhadap ayat Al-Qur’an yang aku lupa ayat tersebut.”
(HR. Abu Daud no. 1331, shahih)
Dua hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mengizinkan bahkan memuji meninggikan suara dalam membaca Al Quran, jika itu membawa maslahat seperti mengingatkan manusia, membuat semangat, mengusir setan, dan membangunkan manusia utk ibadah. Selama dilakukan aman dari riya’, dan ‘ujub.
Namun kita dapati di hadits lain, Abu Said Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ
Suatu ketika Rasulullah ﷺ beriktikaf di masjid, lalu beliau menedengar para sahabatnya mengeraskan bacaan (Al-Qur’an) mereka, lantas beliau membuka tirai seraya bersabda: “Ketahuilah, bahwasanya setiap kalian sedang bermunajat kepada Allah, oleh karena itu janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula saling mengeraskan suara dalam membaca (Al-Qur’an) atau dalam salatnya.”
(HR. Abu Daud no. 1332, shahih)
Di hadits ini, justru Rasulullah ﷺ melarang mengeraskan suara jika sampai mengganggu orang lain yang sedang ibadah. Kadang ada juga yang mengeras membaca Al Quran di masjid di tengah-tengah sedang ada kajian atau ta’lim. Maka, yang seperti ini yang terlarang.
Imam An Nawawi mengatakan:
وأما الآثار عن الصحابة والتابعين من أقوالهم وأفعالهم فأكثر من أن تحصر، وأشهر من أن تذكر، وهذا كله فيمن لا يخاف رياءً، ولا إعجاباً، ولا نحوهما من القبائح، ولا يؤذي جماعة يلبس عليهم صلاتهم ويخلطها عليهم
Adapun atsar-atsar dari para sahabat dan para tabi‘in, berupa ucapan dan perbuatan mereka, jumlahnya lebih banyak daripada dapat dihitung, dan lebih masyhur daripada perlu disebutkan satu per satu. Semua ini berlaku bagi orang yang tidak khawatir terkena riya’, tidak pula ujub, dan tidak terkena keburukan-keburukan semacam itu, serta tidak (mengeraskan suara sampai) mengganggu jamaah lain sehingga membuat mereka kacau dalam bacaan shalatnya dan mencampuradukkannya.
(At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, hal. 60)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم
“Diharamkan mengeraskan suara (dimasjid) hingga menyebabkan terganggunya orang shalat walau pun yang dibaca itu adalah Al Quran, dikecualikan bagi yang sedang proses belajar mengajar Al Quran.” (Fiqhus Sunnah, 1/251)¹
Jadi, kesimpulannya:
– Membaca Al-Qur’an boleh keras maupun pelan
– Keduanya dilakukan oleh Nabi ﷺ
– Dipilih sesuai maslahat hati, kondisi sekitar, kekhusyukan, dan tidak mengganggu orang lain
Adapun membaca di hati, maka itu bukanlah tilawah, itu lebih tepat disebut merenung (tafakur, tadabur). Maka, hendaknya tahrikul lisan (gerakan lisan) saat membacanya, kecuali bagi orang yang sedang sakit dan tidak bisa menggerakkan lisannya.
Imam Ibnu Al Hajib mengatakan:
وَلَا يَجُوزُ إسْرَارٌ مِنْ غَيْرِ حَرَكَةِ لِسَانٍ ; لِأَنَّهُ إذَا لَمْ يُحَرِّكْ لِسَانَهُ لَمْ يَقْرَأْ وَإِنَّمَا فَكَّرَ
Dan tidak boleh (disebut) membaca secara pelan tanpa menggerakkan lisan; karena jika ia tidak menggerakkan lisannya, berarti ia tidak membaca, melainkan hanya berpikir.
(Mawahib Al Jalil, 1/317)
Demikian. Wallahu A’lam.
✍ Farid Nu’man Hasan



