Berutang di Bank Konvensional Karena Darurat

▪▫▪▫▪▫▪▫

 PERTANYAAN:

Assalammu’alaikum ust, Afwan minkum ganggu waktunya ust

Ust, ini ada teman kantor minta tolong dijawab pertanyaan nya :

Ust, apa boleh dgn kondisi seperti dibawah ini :

✓ punya hutang di semua saudara kandung

✓ tidak ada aset yg bisa di gadai syariah untk dijadikan agunan untk pinjam uang syariah

✓ sudah buntu hendak pinjam kemana lagi Krn SDH banyak hutang…

Hendak pinjam uang di Bank BRI ( Konvensional) Krn yg tersedia saat ini hanya ini Krn kebetulan proses nya mudah Krn Alhamdulillah pekerjaan sbg ASN jadi bisa proses gadai SK ASN.

Uang benar2 sangat dibutuhkan ;

1.Bayar uang kontrakan yg akan jatuh tempo.

2.Bayar uang anak sekolah yg juga jatuh tempo.

3.Kebutuhan pokok sebulan yg masih harus ditutupi dgn berhutang dgn gali lubang tutup lubang

Apa boleh ust dgn semua kondisi diatas mengajukan pinjaman ke bank BRI yg satu2 saat ini tersedia??

Mohon sekali pencerahannya ust (+62 812-9252-xxxx)


 JAWABAN

Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh

Pada prinsipnya utang dibolehkan krn Rasulullah ﷺ dahulu pernah berutang kepada seorang Yahudi. Namun kebolehan ini asalkan tidak menjadi habbit, dilakukan bebas riba, dan yakin mampu bayar agar tidak menyusahkan diri sendiri dan ahli waris, serta pemanfaatan utang tersebut memang untuk kepentingan mendesak dan halal.

Imam Khatib asy Syarbini mengatakan:

إنما يجوز الاقتراض لمن علم من نفسه القدرة على الوفاء إلا أن يعلم المقرض أنه عاجز عن
الوفاء

Bolehnya berhutang adalah bagi org yang tahu dirinya bisa membayarnya, kecuali orang yang berhutang tahu bahwa dia tidak mampu membayarnya. (Mughni al Muhtaj, 3/30)

Lalu bgmn jika berutang dgn cara riba krn kepentingan darurat dan benar2 tidak dapat cara yg halal?

Darurat itu adlh kondisi jika tidak dipenuhi akan mengancam eksistensi kehidupannya baik ancaman pada agama, jiwa, akal, harta, dan keturunannya. Jika salah satu dr hal ini terancam maka itulah darurat, silahkan berutang, walau seandainya hanya ada jalan yg riba krn kondisi darurat tsb. Asalkan tidak berlebihan, sesuai kebutuhan, tidak ketagihan dan menjadi kebiasaan.

Dalilnya, Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-An’am, Ayat 145)

Kaidah:

الضرورة تبيح المحظورات

Keadaan darurat membuat boleh yang terlarang

الضرورة تقدر بقدرها

Darurat itu ditakarkan sesuai keadaan daduratnya

Demikian. Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

Apakah Rasulullah Memusuhi Wahsyi?

 PERTANYAAN:

afwan. tadz ana izin bertanya
salah satu orang yang tidak akan diterima sholatnya itu atau orang yang sholatnya/amalan sholatnya tidak akan naik keatas kepalanya adalah seseorang yang saling bermusuhan ..
nah pertanyaan ana bagaimana dengan keadaan nabi shalallahualahiwasalam dengan washi yang telah membunuh pamanny bukankah nabi memèrintahkan agar washi jangan menampakan wajahnya dihadapan rosulullah shallahu’alahiwasalam lagi …

apakah permusuhan seperti ini juga termasuk dalam konteks hadits orang yang tidak diterima sholatnya sedangkan nabi shallahu’alahiwasalam adalah manusia yang dijaga oleh allah ta’ala

bagaimana memahami kedua peristiwa ini tadz(+62 819-9135-xxxx)


 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (Sunnah Fi’liyah) adalah dalil, sebab dalil itu adalah Al Quran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Ini yang disepakati semua Mazhab fiqih Ahlus Sunnah yang masih eksis.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan, akhawaan mutasharimaan (dua orang yang memutuskan silaturrahim) adalah yang termasuk shalatnya tidak diterima. Ini hukum berlaku untuk umatnya, yang putus hubungan tanpa alasan yang benar.

Misal: Memutuskan silaturahim karena kedua pihak beda partai, beda pilihan pilpres, rebutan warisan, dan urusan dunia lainnya yang sebenarnya tidak pantas untuk saling memboikot..

Ada pun memboikot sesama muslim, dengan alasan yang syar’i, itu hal yang dibolehkan. Tujuannya agar muslim tersebut berubah. Dulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabat, mendiamkan selama 50 hari 3 orang sahabatnya yang tidak ikut perang Tabuk. Mereka tidak ikut perang tanpa alasan. Barulah di hari ke 50 Allah Ta’ala ampuni mereka bertiga, mereka pun disikapi normal kembali.

Kisah ini, jangan dipahami bahwa Rasulullah dan sahahat memusuhi 3 orang tadi, lalu shalatnya tidak diterima.. Bukan begitu.. Begitu pula dalam memahami Rasulullah tidak mau melihat wajah Wahsyi..

Alasan yang syar’i, misalnya:

– Orang yang mbawa ajaran sesat
– Orang yang melakukan maksiat terang-terangan (judi, mabuk, tidak shalat, dll)
– DLL

Di sisi lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bukan memusuhi Wahsyi, bukan pula tidak memaafkannya, tapi dia tidak mau melihat wajah Wahsyi karena membuat dirinya teringat dengan pamannya (Hamzah) yang telah dibunuh oleh Wahsyi saat Wahsyi masih Jahiliyah.

Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Dua Jenis Adzab Kubur

 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz.
Izin bertanya ttg.azab dan ni’mat kubur.
Apakah azab/ni’mat kubur itu berlangsung terus hingga datangnya hari kiamat, atau ada batas nya, mungkin sampai jasad si mayit hancur. Atau bagaimana ustadz ?? Tolong penjelasannya . Syukron. (+62 813-9877-xxxx)


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Menurut Ibnu Abi Al ‘Izz dalam Syarh al ‘Aqidah ath Thahawiyah, azab kubur ada dua macam:

1. Azab yang terus menerus sampai hari kiamat.

Ini adalah bagi orang yang wafatnya dalam keadaan kafir. Dalilnya:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اَلنَّا رُ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَّعَشِيًّا ۚ وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّا عَةُ ۗ اَدْخِلُوْۤا اٰلَ فِرْعَوْنَ اَشَدَّ الْعَذَا بِ

“Kepada mereka diperlihatkan neraka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Lalu kepada malaikat diperintahkan), “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras!””
(QS. Ghafir 40: Ayat 46)

2. Adzab yang terputus.

Yaitu bagi bagi muslim yang bermaksiat. Dia akan disiksa sesuai kadar dosanya. Dan siksa tersebut terputus baik karena doa keluarganya atau sebab lain.

Salah satu dalilnya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menancap dua pelepah kurma ke dua kuburan yang penghuninya -kata Rasulullah- sedang mengalami siksa; yang satu karena namimah (adu domba), yang lain karena cebok yang tidak benar. Rasulullah mengatakan siksa mereka berdua menjadi ringan selama pelepah kurma itu belum kering.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Salat 4 Rakaat Sebelum Tidur

 PERTANYAAN

Shalat 4 rakaat sblm tidur…termasuk shalat malamkah itu ustad…mohon penjelasannya… syukran katsir… (+62 821-1394-xxxx)


 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Itu adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dalam hadits Bukhari sbb:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ ثُمَّ قَالَ نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

Dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku bermalam di rumah bibiku (Maimunah binti Al Harits), istri Nabi ﷺ. Dan saat itu Nabi ﷺ bersamanya karena memang menjadi gilirannya. *Nabi ﷺ melaksanakan salat Isya, lalu beliau pulang ke rumahnya dan salat empat rakaat, kemudian tidur dan bangun lagi untuk salat.”* Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Si anak kecil sudah tidur (maksudnya Ibnu Abbas) -atau kalimat yang semisal itu-, kemudian beliau bangun salat. Kemudian aku bangun dan berdiri si sisi kirinya, beliau lalu menempatkan aku di kanannya. Setelah itu beliau salat lima rakaat, kemudian salat dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar dengkurannya, kemudian beliau keluar untuk melaksanakan salat Subuh.” (HR. Bukhari no. 118)

Menurut Mazhab Hanafi, ini adalah shalat ba’diyah Isya. (Fathul Qadir, 1/441-449)

Mayoritas ulama mengatakan ini adalah shalat mutlak di malam hari sebelum tidur. (Al Mughni, 2/96)

Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

scroll to top