Nasihat Untuk Para Pencela Mujahidin

Sudah menjadi sunnatullah, para pejuang selalu mendapatkan ujian dan fitnah. Persis di awal kemerdekaan Indonesia, mereka disebut teroris oleh musuh-musuhnya dan kaki tangannya (Londo Ireng).

Saat ini, para mujahidin Palestina juga mengalaminya; dituduh keji dan diftnah sebagai teroris, khawarij, aqidahnya menyimpang, buatan syiah, buatan Yahudi, merusak Islam, dll.

Jika fitnah dan tuduhan itu datangnya dari penjajah Zionis, kita sudah maklum, itu memang propaganda mereka. Tapi ini datangnya dari lisan muslim sendiri bahkan org yg dianggap da’i dan ustadz di majelis-majelis mereka, atau di medsos, lalu diikuti begitu saja oleh murid-muridnya secara taklid buta.

Lalu bagaimana syariat Islam memandang hal ini? Mencela sesama muslim adalah fasik, Rasulullah ﷺ bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Mecela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran. (HR. Bukhari no. 46)

Jika mencela muslim yang awam saja dinilai kefasikan atau kejahatan, maka apalagi mencela dan memfitnah para mujahidin pembela agama dan negaranya?

Al Mutanabbi dalam syairnya berkata:

لا خَيْل عِندك تُهْدِيها ولا مالُ * فلْيُسْعِد الـنُّطْق إن لم تُسْعِد الْحال

Anda tidak punya kuda perang dan harta yang bisa dipersembahkan

Maka bantulah dengan ucapan jika memang tidak bisa membantu dengan keadaan

Ya, seharusnya seperti itu. Tapi yang kenyataannya ucapan mereka sangat kotor terhadap para pejuang kemerdekaan Palestina.

Mencela para mujahidin adalah perilaku kaum munafik seperti yang digambarkan dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

َشِحَّةً عَلَيۡكُمۡۖ فَإِذَا جَآءَ ٱلۡخَوۡفُ رَأَيۡتَهُمۡ يَنظُرُونَ إِلَيۡكَ تَدُورُ أَعۡيُنُهُمۡ كَٱلَّذِي يُغۡشَىٰ عَلَيۡهِ مِنَ ٱلۡمَوۡتِۖ فَإِذَا ذَهَبَ ٱلۡخَوۡفُ سَلَقُوكُم بِأَلۡسِنَةٍ حِدَادٍ أَشِحَّةً عَلَى ٱلۡخَيۡرِۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَمۡ يُؤۡمِنُواْ فَأَحۡبَطَ ٱللَّهُ أَعۡمَٰلَهُمۡۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٗا

Mereka (kaum munafiq) kikir terhadapmu. Apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka kikir untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapus amalnya. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. Al Ahzab: 19)

Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Abdullah As Suhaim

Beliau ditanya:

ما حكم من يطعن بالمجاهدين الصادقين ويشهر بهم وينشر أخطاءهم ويشغل مجالسه بالطعن بالمجاهدين وتخطيئهم ورميهم تارة بالخوارج وتارة بالتكفيريين نعوذ بالله من ذلك؟

Apa Hukum orang yang mencela para mujahid yang jujur, menyebarkan kesalahan mereka, dan menyibukkan dalam majelis mereka dengan mencela para mujahidin, menyalahkan, dan melempar tuduhan, kadang menuduh khawarij, takfir, na’udzubillah min dzalik?

Beliau menjawab:

بعض الناس جَلَس في مجلسه واتكأ على أريكته وأخذ يُجرّح المجاهدين الصابرين والعلماء الصادقين.
فلا هو بالذي قام يَعمل لِهذا الدِّين، ولا هو بالذي كفّ لسانه وخَزَنَه عن الطعن في العاملين !
والأخطَر من هذا إذا كانت مَصادِر ذلك المتكلِّم من وسائل إعلام آسِنة أو مُغرَّبَة! ربما تكون مصادر التلقّي عنده عن تلك الوسائل التي يُراد منها ومن إنشائها تشويه صورة الإسلام والمسلمين ، بل ” وأمْرَكة ” الأفكار والمفاهيم ! وذلك الطاعن في المجاهدين بِغير عِلم ، يَقِف في صف واحد وخندق واحد مع أعداء الأمة – رَضِي أو أبى – !

Sebagian orang duduk di kursinya dan bersandar di sofanya, dan menghina mujahidin yang sabar dan para ulama yang benar.

Dia (pencela) bukanlah orang yang beramal demi agama ini, dan bukan pula orang yang menahan lidahnya dan menahan diri untuk tidak memfitnah para aktivis yang beramal!

Lebih berbahaya lagi adalah jika sumbernya berasal dari media yang kotor atau Barat! Sangat mungkin sumber penerimaannya berasal dari info yang dibuat-buat untuk mendistorsi citra Islam dan umat Islam, dan bahkan “Amerikanisasi” pemikiran dan pemahaman!

Siapa pun yang mencela Mujahidin tanpa ilmu, maka dia berdiri dalam satu barisan dan satu parit dengan musuh-musuh umat ini – suka atau tidak suka –!

هو يَخدم مصالح أعداء الأمّة ..
وهو لم يَلتمس عُذرا واحِداً لإخوان له وقَفُوا في وجه غزو آثم غاشم على بلد من بُلدان المسلمين ، فضلا عن أن يلتمس سبعين عُذرا ! والله المستعان . فلا يجوز لِقاعِد بعيداً عن الواقع أن يَطعن في إخوان له وَقَفُوا في وجه العدو، سواء في شرق الأرض أو في غربها

Dia melayani kepentingan musuh-musuh umat ini. Tidak ada satu pun alasan (uzur) baginya untuk menyerang saudara-saudaranya yang sedang menghadapi invasi brutal dan penuh kejahatan kepada sebuah negara Muslim, apalagi tujuh puluh alasan! Wallahul Musta’an!

Tidak boleh seseorang yang duduk-duduk saja dan jauh dari realita mencela saudara-saudaranya yang sedang berhadapan dengan musuh, baik yang berada di bumi timur maupun barat.

Sumber:

https://ar.islamway.net/fatwa/8011/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%85%D9%86-%D9%8A%D8%B7%D8%B9%D9%86-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AC%D8%A7%D9%87%D8%AF%D9%8A%D9%86-%D8%A8%D8%A7%D9%84%D8%B9%D8%B1%D8%A7%D9%82-%D9%88%D9%8A%D9%86%D8%B4%D8%B1-%D8%A3%D8%AE%D8%B7%D8%A7%D8%A1%D9%87%D9%85-%D9%84%D8%AA%D8%AC%D8%B1%D9%8A%D8%AD%D9%87%D9%85

Kita lihat di atas, dengan tegas Syaikh mengatakan, para pencela mujahidin adalah musuh umat ini, dan mereka telah berdiri satu barisan dan satu parit dengan musuh-musuh Islam. Wallahul Musta’an!

🍀

✍️ Farid Nu’man Hasan

Seputar Haid

▪️Haid

Definisi:

Imam Khathib Asy Syarbini mengatakan, secara bahasa artinya As Saylaan – السيلان, yang maknanya mengalir. Ada pun secara syariat:

دم جبلة أي تقضيه الطباع السليمة (وهو) الدم (الخارج من فرج المرأة) أي من أقصى رحمها (على سبيل الصحة) احترازا عن الاستحاضة (من غير سبب الولادة) في أوقات معلومة احترازا عن النفاس

Darah yang cacat, artinya darah yang tidak disukai oleh tabiat yang sehat, yaitu darah yang keluar dari kemaluan wanita yang berasal dari ujung rahimnya dalam kondisi sehat, yang bebas dari darah penyakit (istihadhah) yang keluarnya bukan karena melahirkan, di waktu-waktu yang telah diketahui, dan tidak ada hubungan dengan nifas. (Al-Iqna’, 1/107)

▪️Dalil-Dalilnya:

Allah ﷻ berfrman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Rasulullah ﷺ bersabda:

هَذَا شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ

Ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan atas anak-anak Adam yang wanita. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

▪️Sifat-Sifatnya:

Imam Ibnu Hazm mensifatkan:

الْحَيْضُ هُوَ الدَّمُ الْأَسْوَدُ الْخَاثِرُ الْكَرِيهُ الرَّائِحَةِ خَاصَّةً

Darah Haid adalah darah hitam yang kental, berbau busuk, dan khas. (Al Muhalla, 1/380)

Imam Asy Syarbini mengatakan:

(ولونه) أي الدم الأقوى (أسود) ثم أحمر فهو ضعيف بالنسبة للأسود وقوي بالنسبة للأشقر، والأشقر أقوى من الأصفر وهو أقوى من الأكدر وما له رائحة كريهة أقوى مما لا رائحة له، والثخين أقوى من الرقيق والأسود

Warnanya darahnya yang paling kuat adalah hitam, lalu merah, dia lebih lemah dibading hitam tapi lebih kuat dibanding asyqar (merah kekuning-kuningan), dan asyqar lebih kuat dibanding kuning, tapi kuning lebih kuat dibanding keruh, yang berbau busuk lebih kuat dibanding yang tidak berbau, dan yang tebal lebih kuat dibanding yang tipis dan hitam. (Al Iqna’, 1/107)

▪️Kuning dan Keruh di hari haid, apakah haid?

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ حَيْضٌ، لأَِنَّهُ الأَْصْل فِيمَا تَرَاهُ الْمَرْأَةُ فِي زَمَنِ الإِْمْكَانِ، وَلأَِنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَ النِّسَاءُ يَبْعَثْنَ إِلَيْهَا بِالدُّرْجَةِ فِيهَا الْكُرْسُفُ فِيهِ الصُّفْرَةُ وَالْكُدْرَةُ: فَتَقُول لَهُنَّ: لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ

Menurut mayoritas ulama, bahwa kuning dan keruh yang terjadi di hari-hari haid adalah haid. Karena, pada dasarnya itu adalah yang mungkin bisa dilihat oleh wanita saat itu. Dahulu kaum wanita mendatangi Aisyah Radhiallahu ‘Anha sambil membawa potongan kapas (pembalut) yang terdapat kuning dan keruh, maka Aisyah berkata kepada mereka: “Jangan terburu-buru sampai kalian melihat cairan putih.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 18/295)

Tapi, Malikiyah mengatakan itu sudah bukan haid, begitu pula satu pendapat dari golongan Syafi’iyah, sebab kuning dan keruh bukanlah warna darah.

وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَجْهٌ أَنَّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ لَيْسَتَا بِحَيْضٍ، لأَِنَّهُمَا لَيْسَتَا عَلَى لَوْنٍ، وَلِقَوْل أُمِّ عَطِيَّةَ كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ شَيْئًا وَهَذَا قَوْل ابْنِ الْمَاجِشُونِ أَيْضًا. قَال الدُّسُوقِيُّ: وَجَعَلَهُ الْمَازِرِيُّ وَالْبَاجِيُّ هُوَ الْمَذْهَبُ

Menurut Syafi’iyyah dalam salah satu pendapatnya, bahwa kuning dan keruh bukanlah haid, karena keduanya bukanlah warna. Hal ini juga berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah: “Kami tidak menganggap warna kuning dan keruh sebagai bagian dari haid sedikit pun.” Ini juga perkataan Ibnu Majisyun. Berkata Ad Dasuqi: “Al Maziri dan Al Baji menjadikan ini sebagai pendapat resmi madzhab (Malikiyah).” (Ibid)

▪️Konsekuensi Haid

Imam Ibnu Hazm mengatakan:

فَمَتَى ظَهَرَ مِنْ فَرْجِ الْمَرْأَةِ لَمْ يَحِلَّ لَهَا أَنْ تُصَلِّيَ وَلَا أَنْ تَصُومَ وَلَا أَنْ تَطُوفَ بِالْبَيْتِ وَلَا أَنْ يَطَأَهَا زَوْجُهَا وَلَا سَيِّدُهَا فِي الْفَرْجِ، إلَّا حَتَّى تَرَى الطُّهْرَ

Maka, disaat nampak haid dari kemaluan wanita, saat itu tidak halal baginya shalat, puasa, thawaf, hubungan badan dengan suaminya dan Tuannya di kemaluan, kecuali sampai dia suci. (Al Muhalla, 1/380)

Apa yang disampaikan Imam Ibnu Hazm, yaitu larangan shalat, puasa, thawaf, dan jima’, adalah hal yang disepakati ulama semua madzhab.

Ada pun Thawaf, Abu Hanifah mengatakan wajib suci, tapi bukan rukun, sehingga menurutnya tetap SAH tapi wajib bayar dam. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah mengatakan sahnya thawaf wanita haid dan tanpa bayar dam. Imam Ibnu Hazm tidak memasukkan membaca Al Quran dan berdiam di masjid sebagai larangan, itulah madzhab yang dianutnya, madzhab Zhahiriyah.

Imam An Nawawi mengatakan (Lihat Raudhatuth Thalibin, 1/199-200), bahwa larangan orang haid dan nifas sama dengan orang junub; yaitu haram baginya shalat, shaum, berdiam di masjid, jima’, membaca Al Quran, .. boleh lewat di dalam masjid jika tidak khawatir menetes, tapi jika khawatir menetes maka tidak boleh. Bahkan wanita istihadhah pun jika khawatir menetes juga tidak boleh lewat masjid. Untuk shalat yang ditinggalkan tidak wajib qadha, ada pun shaum yang ditinggalkan wajib di qadha. Jima’ tidak boleh, sampai dia suci dan mandi. Kalau tidak mampu mandi, maka tayamum. Jika tidak ada air buat mandi atau tidak ada debu buat tayammum, maka shalat tetap wajib, tapi jima’ tetap haram menurut pendapat yang shahih.

Jika sengaja jima’ dalam keadaan haid, padahal dia tahu, maka ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i. Pertama, dalam pendapat Al Jadid (baru), bahwa tidak ada denda, tapi diwajibkan baginya memohon ampun dan bertobat, dan disunnahkan bersedekah sau Dinar jika dia jima’nya saat darah haid masih awal, setengah Dinar jika jima’nya saat darah haid menjelang berakhir. Dalam pendapat Al Qadim (lama), wajib denda, dendanya seperti yang disunnahkan dalam Al Jadid sebelumnya, yang kedua membebaskan budak bagaimana pun keadaannya. Kemudian, Dinar yang wajib atau sunnah tersebut adalah harus emas murni, diserahkan kepada fakir miskin, dan denda ini berlaku bagi suami, bukan istri. Ada pun jika jima’, karena lupa, atau tidak keharamannya, atau tidak tahu sedang haid, maka tidak ada hukuman apa pun secara qath’i (pasti). Ada juga yang mengatakan dikenakan seperti pendapat Al Qadim. (selesai dari Imam An Nawawi)

▪️Rentang Waktu Haid

Berapa harikah lamanya haid ? Terjadi perbedaan pendapat para ulama.

Imam Abu Hanifah Rahimahullah:

أقله ثلاثة أيام بلياليهن وأكثره عشرة أيام

Paling sedikit adalah tiga hari tiga malam, paling banyak adalah 10 hari.

Imam Malik Rahimahullah:

لا حد لأقله ، فلو رأت بقعة كان حيضا وأكثره خمسة عشر يوما

Tidak ada batasan minimalnya, jika dia lihat ada gumpalan darah maka dia haid, ada pun maksimalnya 15 hari.

Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad Rahimahumallah:

أقله يوم وليلة .وروي عنهما : يوم وأكثره خمسة عشر يوما

Minimal adalah sehari semalam. Diriwayatkan dari keduanya bahwa maksimal adalah 15 hari.(Lihat Abu Muzhafar bin Hubairah, Ikhtilaf Al Aimmah Al ‘Ulama, 1/73-74)

Namun, Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menyodorkan pendapat lain bahwa haid itu tidak ada batasan minimal dan tidak ada pula batasan maksimal.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah berkata:

وذهب شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله رحمه الله على أنه لاحدّ لأقلّه وأكثره بل متى وُجد بصفاته المعلومة فهو حيض قلّ أو كَثُر

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dan maksimal haid, tetapi kapan pun didapati sifat-sifat darah haid yang telah diketahui maka itu haid, baik keluarnya sedikit atau banyak. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 5595)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

والعلماء منهم من يحدُّ أكثرَه وأقلَّه ، ثمَّ يختلفون في التحديد ، ومنهم من يحد أكثره دون أقله والقول الثالث أصح : أنَّه لا حدَّ لا لأقله ولا لأكثره

Para ulama ada yang membuat batasan maksimal dan minimal, lalu mereka berselisih dapam batasan itu. Di antara mereka ada pula yang membuat batasan maksimal tanpa batasan minimal. Pendapat yang ketiga adalah yang paling benar, yaitu bahwa haid tidak ada batasan waktu, baik batasan minimal dan maksimal. (Majmu Al Fatawa, 19/237)

Tapi, umumnya manusia mengikuti pendapat mayoritas ulama yaitu 15 hari maksimalnya, minimalnya sehari semalam. Dalam kehidupan umumnya, rata-rata kaum wanita mengalami enam sampai tujuh hari. Maka, hendaknya masing-masing wanita mengikuti kebiasaannya. Sesuai kaidah: Al ‘Aadah muhakkamah, kebiasaan itu menjadi standar hukum.

Demikian. Wallahu a’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Istilah Syari’at, Thariqat, Ma’rifat dan Hakikat di Zaman Salaf

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz,izin tanya apakah dijaman salaf ada yg namanya syariat,tariqat,ma’rifat,dan hakikat,.dan apakah sebenarnya pengertian ttg syariat,tariqat,ma’rifat dan hakikat.dan apakah kita wajib belajar ttg ilmu tersebut….


📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah

Istilah-istilah tersebut belum ada di masa Rasulullah, dia muncul di masa belakangan. Khususnya lagi, itu istilah dalam ilmu tasawuf.

Dalam konteks ilmu, istilah-istilah ini posisinya sama dengan istilah-istilah lain dalam ilmu hadits, ilmu fiqih, dan lain-lain. Masing-masing di siplin ilmu ada istilah tersendiri yang ada pada mereka.

Mempelajarinya apakah wajib? Yang wajib adalah mempelajari ilmu-ilmu yang memang mau tidak mau harus diketahui oleh seorang Muslim, ilmu yang fardhu Ain, misalnya: ilmu tentang aqidah (ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, ma’rufatul Islam), tentang fiqih dasar (tata cara Thaharah, shalat, shaum) .. Bagi kalangan sufi (ahli tasawuf) ini adalah pelajaran tahapan syariat.., masih mempelajari kulitnya dan fondasi awal..

Ada pun di atasnya adalah hakikat lalu ma’rifat.. Bagi mereka ini adalah jalan (thariqah) para saalik (penempuh) jalan ruhani para sufi..

Tentunya yang seperti ini masih bisa dikritisi dan mendatangkan pro kontra, khususnya di mata ulama fiqih dan syariah, yang menurut sebagian mereka hal ini adalah mengada-ada.. Sebagian lain mengatakan boleh-boleh saja selama tidak ada aturan Islam yang dilanggar.

Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Tafsir al-Baqarah Ayat 115

💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz,izin tanya ttg tafsir surat albaqarah ayat 115.. (Ardiansyah)


📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bunyi Ayatnya:

وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 115)

Ayat ini menunjukkan semua arah baik Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah Ta’ala, Allah Ta’ala penguasanya dan pemiliknya.

Sehingga kemana pun saja kamu menghadap maka saat shalat, khusus di saat kesulitan mengetahui arah kiblat atau kesulitan untuk menghadapi kiblat karena uzur tertentu, maka arah mana pun sama saja.

Al Baghawi mengatakan ini menjadi dalil bolehnya shalat tidak menghadap kiblat jika kesulitan menghadap kiblat. Seperti saat di kendaraan.

Al Qurthubi mengatakan bahwa itu adalah pendapat mayoritas ulama jika safar di malam hari dan sulit menentukan kiblat shalat maka menghadap mana pun sah jika memang benar-benar tidak tahu arah kiblat.

Wallahu A’lam

🌾🎋🌸🍃🌷🌹☘🍀

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top