Istri Menanggung Kehidupan Keluarga, Apakah Suami Berutang Kepada Istri?

Apakah suami berutang kepada istri jika selama ini istrilah yang memenuhi semua atau sebagian besar kebutuhan rumah tangga.

Ya, itu menjadi utang suami kepada istri selama dia tidak menafkahinya sebagaimana dikatakan Imam Al Khathabi.

Dalilnya:

عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْبَاهِلِيِّ الْقُشَيْرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: «أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلا تَضْرِبَ الْوَجْهَ، وَلا تُقَبِّحْ، وَلا تَهْجُرْ إِلا فِي الْبَيْتِ»

Dari Hakim bin Mu‘awiyah al-Bahili al-Qusyairi, dari ayahnya, ia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami atas suaminya?”

Beliau ﷺ bersabda:
“Engkau (suami) memberi makan kepadanya apabila engkau makan, engkau memberinya pakaian apabila engkau berpakaian. Jangan engkau memukul wajahnya, jangan engkau mencela (merendahkan) dirinya, dan jangan engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah.” (HR. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 9/160)

Tentang hadits ini, Imam Al Baghawi mengutip dari Imam Al Khathabi sbb:

في هذا إيجاب النفقة والكسوة لها ، وهو على قدر وسع الزوج ، وإذا جعله النبي ( صلى الله عليه وسلم ) حقا لها ، فهو لازم حضر ، أو غاب ، فإن لم يجد في وقته ، كان دينا عليه كسائر الحقوق الواجبة ، سواء فرض لها القاضي عليه أيام غيبته ، أو لم يفرض

Dalam hal ini terdapat kewajiban nafkah dan pakaian bagi istri, sesuai dengan kemampuan suami. Ketika Nabi ﷺ menetapkannya sebagai hak istri, maka kewajiban itu tetap berlaku baik suami hadir maupun sedang pergi. Jika pada waktunya suami tidak mampu menunaikannya, maka kewajiban itu menjadi UTANG baginya sebagaimana hak-hak wajib lainnya, baik hakim telah menetapkan nafkah untuknya selama masa ketidakhadirannya ataupun belum menetapkannya.

(Syarhus Sunnah, jilid. 9, hal. 160)

Maka, dikala suami ada kemampuan, kehidupan sudah membaik, maka hendaknya dia mengganti apa yg sudah dikeluarkan istrinya selama itu. Inilah bagian yg banyak dilupakan oleh istri dan suami. Namun, jika istri mengikhlaskan tentu tidak mengapa dan itu menjadi amal shaleh baginya. Tetapi, kewajiban suami menafkahi keluarga terus berlaku selama statusnya sebagai suami, walau istrinya kaya raya.

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

وَلَا خِلَافَ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ النَّفَقَةَ يَتَحَمَّلُهَا الْأَبُ وَحْدَهُ دُونَ الْأُمِّ حَتَّى وَلَوْ كَانَتْ الْأُمُّ غَنِيَّةً

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa nafkah itu hanya menjadi tanggungan ayah semata, bukan ibu, sekalipun sang ibu dalam keadaan kaya.”

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 113285)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️Farid Numan Hasan

Meraih Unta Merah!

Unta merah adalah kendaraan berupa unta terbaik, terbagus, tercepat, termahal, yang sangat diinginkan oleh orang Arab pada masa itu. Sebagai simbol kemewahan dan kedudukan sosial bagi pemiliknya.

Imam Ibnul Atsir berkata:

Humrun Na’am (Unta Merah) adalah akhyaruha (unta terbaik) Wa ajyaduha (unta terbagus). (Imam Ibnul Atsir, Jami’ Al Ushul, jilid. 5, hal. 492)

Syaikh Abdurrahman Al ‘Aql:

مرغوبة عند العرب وهي أحسن وأنفس ما يكون من الإبل عندهم

Unta merah adalah hal yang sangat diobsesikan oleh orang Arab, dia adalah unta terbagus dan tercepat yang ada pada mereka. (Syaikh Abdurrahman bin Abdul Aziz Al ‘Aql, Ghayatul Murid, hal. 88)

Dijadikan “Unta Merah” Sebagai perumpamaan dalam nilai kebaikan amal akhirat adalah untuk memudahkan atau mendekatkan pemahaman manusia thdp nilai amal tersebut. Sekaligus untuk memotivasi, dan kadangkala manusia lebih termotivasi dengan reward yang gambarannya definitif dan nyata.

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

تشبيه أمور الآخرة بأعراض الدنيا إنما هو للتقريب من الأفهام، وإلا فذرة من الآخرة الباقية، خير من الأرض بأسرها وأمثالها معها

Penyerupaan urusan-urusan akhirat dengan hal-hal duniawi hanyalah untuk mendekatkan (pemahaman) kepada akal manusia. Sesungguhnya satu butir kecil dari (kenikmatan) akhirat yang kekal itu lebih baik daripada seluruh bumi beserta yang semisal dengannya.
(Syarh Shahih Muslim, jilid. 15, hal. 178)

Jika mau dikonversi ke zaman sekarang, apakah kendaraan yang paling diinginkan oleh manusia zaman ini karena kemewahannya, keindahan, dan kecanggihannya? Jet pribadi? Ferari? dst. Maka, berdakwah dan menjadi sebab hidayah bagi manusia adalah lebih baik dari itu semua, lebih mahal dari Unta Merah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, jika Ada seorang mendapatkan hidayah karena dirimu, maka itu lebih baik bagimu dibanding Unta Merah. (HR. Bukhari no. 3009, Muslim no. 2406)

Shalat witir juga demikian, sebagaimana hadits:

إِنَّ اللَّهَ أَمَدَّكُمْ بِصَلَاةٍ هِيَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ الْوِتْرُ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Sesungguhnya Allah telah memberikan anugerah kepada kalian berupa shalat yang mana lebih baik dari unta merah, yaitu shalat Witir, Allah telah jadikan waktunya bagi kalian antara shalat Isya sampai terbit fajar.

(HR. At Tirmidzi no. 452. Hadits ini dinyatakan dhaif oleh Imam Bukhari dan lainnya. Lihat Takhrijul Ihya, hal. 232. Ada pun Al Albani menyatakan shahih, tanpa kalimat “Unta Merah”. )

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️Farid Numan Hasan

Bahaya Penghasilan Haram

Islam sangat menekankan umatnya untuk mencari nafkah, khususnya laki-laki (suami). Bahkan itu menjadi kewajiban syar’i dan kemuliaan baginya. Namun, nafkah bukan sembarang nafkah yang tidak mempedulikan halal atau haramnya.

Di akhir zaman seperti sekarang, Rasulullah ﷺ sudah memprediksi akan datang masanya manusia tidak peduli lagi dengan halal dan haram penghasilannya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi ﷺ bersabda, “Akan datang suatu zaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram”. (HR. Bukhari No. 2059)

Maka pastikan dan usahakan: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, obat-obatan, hiburan, peralatan penopang hidup, dan apa pun yang kita gunakan berasal dari yang halal baik secara zat, jenis, dan sumber perolehannya.

Lalu, apa bahaya harta atau penghasilan haram bagi seorang muslim dan kehidupannya? Bahaya tersebut sudah bisa dirasakan di dunia sebelum di akhirat. Berikut ini beberapa contoh saja, di antaranya:

1⃣ Tertolak Doanya

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu menceritakan:

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ! يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ؟

Kemudian beliau (Rasulullah ﷺ) menyebutkan ada seseorang melakukan perjalan jauh dalam keadaan kusut dan berdebu. Dia mengangkatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata: “Ya Tuhanku, Ya Tuhanku,” tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan. (HR. Muslim No. 1015)

Walau laki-laki tersebut sudah mengumpulkan berbagai sebab dikabulkannya doa seperti: safar, mengangkat kedua tangan, mengulang-ulang doa, tapi semua itu tidak berpengaruh ketika dihanguskan oleh perilakunya memejuhi semua kebutuhannya dari yang haram-haram.

2⃣ Merusak kehormatan diri

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه

Barangsiapa yang menghindar dari yang samar (syubhat) maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Secara implisit, hadits ini menunjukkan ketika seseorang terjatuh pada perkara syubhat maka rusaklah harga dirinya, citra dan kehormatannya, maka lagi perkara yang haram.

3⃣ Ancaman neraka bagi pelakunya

Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّ لَحْمٍ وَدَمٍ نَبَتَا مِنْ سُحْتٍ، فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Setiap daging dan darah yang tumbuh dari sumber yang haram maka neraka lebih layak baginya. (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir no. 361, shahih)

4⃣ Bahaya-Bahaya Khusus Terkait Jenis Perilakunya

Riba: Allah Ta’ala menyatakan perang kpd pelaku riba (QS. Al Baqarah: 279), menghilangkan keberkahannya (QS. Al Baqarah: 276), seperti mengawini ibu sendiri (HR. Al Baihaqi, Al Hakim), mendatangkan musibah bagi sebuah negeri. (HR. Al Baihaqi

Risywah: Allah melaknat baik pelaku, penerima, dan perantaranya (HR. Ahmad)

Khamr: Shalatnya tertolak 40 hari-malam, di neraka diminumkan radaghah al khabal (keringat penghuni neraka) dan thinatul khabal (nanah penghuni neraka). (HR. Abu Daud)

Makan harta anak yatim: siksaan pedih di neraka (QS. An Nisa: 10)

Semoga Allah Ta’ala berikan kecukupan kepada kita dari sumber yang halal dan jauhkan kita dari harta dan penghasilan yang haram dan syubhat.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️Farid Numan Hasan

Upah Mengajar Buat Para Ustadz/Guru/Ulama/Mubaligh

 PERTANYAAN:

Barusan saya lihat video kajian katanya haram seorang Ustadz menerima amplop dari ceramahnya. Lah kan itu sudah biasa terjadi, dan utk menghargai waktu, tenaga, ilmu, yang disampaikan Ustadz tersebut..? Gmn menurut Ust? (+62 857-7296-xxxx)


 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Seorang guru baik guru agama (mengajar Al Quran, fiqih, dll), dan guru ilmu keduniaan, baik pada lembaga resmi seperti sekolah, kampus, pesantren, atau pada masjid atau pengajian perkantoran, baik diupah bulanan atau tiap sesi, adalah perkara yang diperdebatkan para ulama fiqih.

Sebagian ulama mengharamkan upah dari mengajarkan agama, seperti pendapat Imam Abu Hanifah dan Hanafiyah klasik, bagi mereka upah dari mengajar agama dikhawatirkan merusak keluhuran nilai-nilai keikhlasan dan keberkahan, serta mendatangkan sikap komersialisasi terhadap agama.

Di tambah lagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam secara khusus melarang dalam sebuah hadits shahih:

اقرؤوا القرآن، ولا تغلوا فيه، ولا تجفوا عنه، ولا تأكلوا به، ولا تستكثروا به

Bacalah Al Quran, jangan melampaui batas dalam membacanya, jangan kaku, jangan mencari makan darinya, dan jangan memperbanyak dunia dengannya. (HR. Ahmad no. 15670)

Namun jumhur (mayoritas) ulama mengatakan boleh, baik Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah generasi belakangan. Namun kebolehan ini pun mesti dihiasi dengan tetap menjaga hati dan janganlah upah itu sebagai fokus utamanya saat mengajar.

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

Sesungguhnya yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah dari (mengajar) Kitabullah. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

هذا تصريح بجواز أخذ الأجرة على الرقية ، بالفاتحة ، والذِّكر , وأنها حلال لا كراهة فيها , وكذا الأجرة على تعليم القرآن , وهذا مذهب الشافعي ، ومالك ، وأحمد ، وإسحاق ، وأبي ثور ، وآخرين من السلف , ومَن بعدهم

“Ini merupakan penjelasan atas kebolehan mengambil upah dari meruqyah dengan Al Fatihah, dzikir, hal itu halal tidak makruh, begitu pula mengambil upah dari mengajarkan Al Quran, inilah madzhab Syafi’iy, Malik, Ahmad, Ishaq,  Abu Tsaur, dan kalangan salaf lainnya setelah mereka.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/188)

Bagi mereka, yang terlarang adalah semata-mata baca Al Quran, lalu diberikan uang. Inilah yg terlarang sebagaimana hadits Imam Ahmad di atas dan hadits berikut ini:

اقْرَءُوا فَكُلٌّ حَسَنٌ وَسَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يُقِيمُونَهُ كَمَا يُقَامُ الْقِدْحُ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُونَهُ

“Bacalah oleh kalian Al Quran dengan bacaan yang baik, akan datang suatu kaum yang membaca dengan melurus-luruskannya (membaguskan) sebagaimana anak panah di luruskan, namun mereka hanyalah mengharap-harap balasan yang disegerakan (materi-duniawi) dan mereka tidak mengharap pahala yang ditangguhkan (di akhirat).”
(HR. Abu Daud no. 830, hasan)

Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah, Kerajaan Arab Saudi:

“يجوز لك أن تأخذ أجراً على تعليم القرآن ؛ فإن النبي صلى الله عليه وسلم زوَّج رجلا امرأة بتعليمه إياها ما معه من القرآن ، وكان ذلك صداقها ، وأخذ الصحابي أجرة على شفاء مريض كافر بسبب رقيته إياه بفاتحة الكتاب ، وقال في ذلك النبي صلى الله عليه وسلم : ( إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله ) أخرجه البخاري ومسلم ، وإنما المحظور : أخذ الأجرة على نفس تلاوة القرآن ، وسؤال الناس بقراءته” انتهى

Boleh bagimu mengambil upah dari mengajarkan Al Quran. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahkan seorang laki-laki dengan seorang wanita, laki-laki itu mengajarkan wanita tersebut Al Quran yang dia hapal, dan itu sebagai maharnya. Para sahabat juga mengambil upah dari mengobati penyakit orang kafir dengan cara meruqyahnya dengan Al Fatihah. Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah dari (mengajar) Kitabullah. (Hr. Bukhari dan Muslim).

Sesungguhnya yang terlarang itu hanyalah memgambil upah dari semata-mata membaca Al Quran, dan meminta-minta  kepada manusia dengan membacanya. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 15/96)

Pendapat yang membolehkan ini semakin kuat jika kondisi guru agama mengalami kesulitan hidup, maka boleh mengambil upah, karena jika tidak, aktivitas mengajar agama bisa berhenti, kebodohan terhadap agama pun semakin merajalela; tidak kenal hijaiyah, tidak paham tajwid, tidak bisa doa dan surat pendek, tidak kenal sejarah para nabi dan sahabat nabi, fiqih ibadah, dll.

Pendapat ini semakin menguat ketika umat Islam butuh lembaga pendidikan agama yang sistematis dan berkelanjutan. Sekaligus sebagai sebuah otokritik kepada umat ketika mereka mengupah artis hajatan, guru privat, senam, dengan bayaran mahal, sementara thdp guru atau ustadz/ah di TPA/TPQ, lembaga pendidikan Islam, yang hari-harinya habis mengabdi mendidik umat dihargai hanya dengan jazakallah khairan.

Di sisi lain, para Ustadz pun harus muhasabah atas niatnya, tetap fokus lillahi Ta’ala, tidak menjadikan target dunia dan kemewahannya. Posisikan upah yang diterimanya sebagai bonus duniawi saja, bukan tujuan utama. Agar tidak menggugurkan amal shaleh pengajarannya.

Imam As Subki menjelaskan tentang hadiah atau upah untuk Ustadz dan penceramah:

ولا يلتحق بالقضاة: المفتي والواعظ ومعلم القرآن والعلم؛ لأنه ليس لهم أهليةُ الإلزام، والأَوْلَى في حقهم إن كانت الهدية لأجل ما يحصل منهم من الفتوى والوعظ والتعليم: عدم القبول؛ ليكون عملهم خالصًا لله تعالى، وإن أُهدِيَ إليهم تحببًا وتوددًا لعلمهم وصلاحهم: فالأَولى القبول، وهذه هدي السلف

“Mufti, penceramah, serta pengajar Al-Qur’an dan ilmu, tidak termasuk dalam kategori hakim, karena mereka tidak memiliki wewenang untuk memutuskan perkara secara mengikat. Yang lebih utama bagi mereka, jika hadiah diberikan karena fatwa, nasihat, atau pengajaran mereka, adalah tidak menerimanya agar amal mereka tetap murni karena Allah Ta’ala. Namun, jika hadiah diberikan sebagai bentuk kasih sayang dan penghormatan atas ilmu dan ketakwaan mereka, maka lebih utama untuk menerimanya. Inilah kebiasaan para salaf”. (An Najmu Al Wahhaj, 10/199-200)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️Farid Numan Hasan

scroll to top