Istilah Syari’at, Thariqat, Ma’rifat dan Hakikat di Zaman Salaf

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz,izin tanya apakah dijaman salaf ada yg namanya syariat,tariqat,ma’rifat,dan hakikat,.dan apakah sebenarnya pengertian ttg syariat,tariqat,ma’rifat dan hakikat.dan apakah kita wajib belajar ttg ilmu tersebut….


📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah

Istilah-istilah tersebut belum ada di masa Rasulullah, dia muncul di masa belakangan. Khususnya lagi, itu istilah dalam ilmu tasawuf.

Dalam konteks ilmu, istilah-istilah ini posisinya sama dengan istilah-istilah lain dalam ilmu hadits, ilmu fiqih, dan lain-lain. Masing-masing di siplin ilmu ada istilah tersendiri yang ada pada mereka.

Mempelajarinya apakah wajib? Yang wajib adalah mempelajari ilmu-ilmu yang memang mau tidak mau harus diketahui oleh seorang Muslim, ilmu yang fardhu Ain, misalnya: ilmu tentang aqidah (ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, ma’rufatul Islam), tentang fiqih dasar (tata cara Thaharah, shalat, shaum) .. Bagi kalangan sufi (ahli tasawuf) ini adalah pelajaran tahapan syariat.., masih mempelajari kulitnya dan fondasi awal..

Ada pun di atasnya adalah hakikat lalu ma’rifat.. Bagi mereka ini adalah jalan (thariqah) para saalik (penempuh) jalan ruhani para sufi..

Tentunya yang seperti ini masih bisa dikritisi dan mendatangkan pro kontra, khususnya di mata ulama fiqih dan syariah, yang menurut sebagian mereka hal ini adalah mengada-ada.. Sebagian lain mengatakan boleh-boleh saja selama tidak ada aturan Islam yang dilanggar.

Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Tafsir al-Baqarah Ayat 115

💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz,izin tanya ttg tafsir surat albaqarah ayat 115.. (Ardiansyah)


📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bunyi Ayatnya:

وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 115)

Ayat ini menunjukkan semua arah baik Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah Ta’ala, Allah Ta’ala penguasanya dan pemiliknya.

Sehingga kemana pun saja kamu menghadap maka saat shalat, khusus di saat kesulitan mengetahui arah kiblat atau kesulitan untuk menghadapi kiblat karena uzur tertentu, maka arah mana pun sama saja.

Al Baghawi mengatakan ini menjadi dalil bolehnya shalat tidak menghadap kiblat jika kesulitan menghadap kiblat. Seperti saat di kendaraan.

Al Qurthubi mengatakan bahwa itu adalah pendapat mayoritas ulama jika safar di malam hari dan sulit menentukan kiblat shalat maka menghadap mana pun sah jika memang benar-benar tidak tahu arah kiblat.

Wallahu A’lam

🌾🎋🌸🍃🌷🌹☘🍀

✍ Farid Nu’man Hasan

Mendo’akan Pemimpin

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum wr wb

Izin Ustadz Farid, terkait kasus / pemahaman seperti ini bagaimana ya penjelasan nya yg benar dalam pandangan ulama🙏

Jazakumullah Khoir


📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumsalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Mendoakan pemimpin adalah sunah kaum salaf …

Imam Ahmad dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan:

لو كان لنا دعوة مجابة لدعونا بها للسلطان

Seandainya kami memiliki doa yang mustajab niscaya kami akan doakan pemimpin.

Lalu apa isi doanya?

– Jika pemimpin itu adil dan bijaksana maka doakanlah ampunan, doakanlah kebaikan, doakan agar istiqamah..
– Jika pemimpin itu maksiat, zalim, maka doakan agar dia dapat hidayah.. Namun boleh saja doa kebinasaan atas kezalimannya..

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berdoa buat pemimpin:

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ. وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم

“Ya Allah, siapa saja yang memimpin/mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka SUSAHKANLAH DIA”.

(HR. Muslim no. 1828)

Ulama sekelas Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah, yang melarang berontak kepada pemimpin zalim pun pernah berdoa buruk kepada pemimpin zalim pada masanya:

اللَّهُمَّ يَا قَاصِمَ الْجَبَابِرَةِ اقْصِمِ الْحَجَّاجَ ابن يوسوف…

“Ya Allah yang maha perkasa atas orang-orang zalim, hancurkan dan binasakanlah Hajjaj Bin Yusuf…”

(Imam Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, 9/117)

Imam An Nawawi dalam Al Adzkar membuat bab berjudul:

بابُ جَواز دُعاء الإِنسان على مَنْ ظَلَمَ المسلمين أو ظلَمه وحدَه

Bab BOLEHNYA doa seseorang (dengan doa keburukan) kepada orang yang menzalimi kaum muslimin atau menzalimi dirinya seorang.

Beliau Rahimahullah menjelaskan:

وَقَدْ تَظَاهَرَ عَلىَ جَوَازِهِ نُصُوْصُ الْكِتَابِ وَالسُنَةِ وَأَفْعَالُ سَلَفِ الْأُمَةِ وَخَلَفِهَا

“Telah jelas kebolehan hal tersebut, berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (yaitu salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf).”

(Al Adzkar, 1/493)

Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Ikut Merayakan atau Menghadiri Perayaan Hari Raya Agama Lain (Natal Bersama dan Sejenisnya)

– Hari raya sebuah agama merupakan simbol utama sebuah agama.

– Biasanya di dalamnya terdapat aktivitas ritual peribadatan yang khusus untuk mengagungkannya

– Bagi seorang muslim, mengikuti acara perayaan keagamaan lainnya adalah terlarang yaitu haram. Berdasarkan dalil-dalil berikut:

1. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu menceritakan bahwa tokoh-tokoh musyrikin Quraisy seperti Walid bin Mughirah, ‘Ash bin Wail, Aswad bin Abdul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf, mendatangi Rasulullah ﷺ. Mereka mengatakan:

“Wahai Muhammad kemarilah, kami akan menyembah apa yang kamu sembah, kamu pun menyembah apa yang kami sembah, lalu kita saling berbagi dalam urusan kita jika memang ada kebaikan. Kami ikut aktivitas agamamu agar kami ikut mengambil bagian darinya dan kamu pun ikut dalam aktivitas agama kami agar kamu dapat bagian darinya. ”

Lalu, Allah Ta’ala turunkan ayat:

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Kamu juga bukan penyembah apa yang aku sembah. Aku juga tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (AlKafirun/109: 1-6)

(Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, jilid. 20, hal. 225)

Peristiwa ini menegaskan larangan bagi orang-orang beriman untuk mengikuti segala aktivitas keagamaan dan peribadatan agama lainnya walau mereka mengiming-imingi akan ikut peribadatan umat Islam. Jika seorang muslim mengikutinya, maka ia telah mencampuradukkan dalam dirinya sendiri berbagai macam peribadatan berbagai agama (sinkretisme).

2. Hadir di perayaan agama lain sama juga menghadiri persaksian palsu- Az Zuur

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينََ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-Furqan (25): 72)

Ayat ini menceritakan para sahabat nabi yang menjauh dari Az Zuur.
Ibnu Abbas menjelaskan makna “Az Zuur” yaitu: A’yadul Musyrikin (hari-hari raya kaum musyrikin).

(Imam As Suyuthi, Ad Durul Mantsur, jilid. 6, hal. 282)

Ibnu Zaid mengatakan:

والزُّورُ قولُهم لآلهتِهم، وتعظيمُهم إياه

Al-Zur adalah ucapan mereka tentang sesembahan-sesembahan mereka, serta pengagungan mereka terhadapnya. (Imam Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ al Bayan, jilid. 17, hal. 522)

3. Rasulullah ﷺ melarang kaum muslimin ikut-ikutan meramaikan hari raya non Islam, dan telah menggantinya dengan Idul Adha dan Idul Fithri.

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Rasulullah ﷺ tiba di Madinah. Penduduknya memiliki dua hari untuk bermain. Nabi ﷺ bertanya, “Apa dua hari itu?”

Mereka berkata, ”Kami biasa bermain-main pada dua hari itu di masa jahiliah.”

Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ”Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian yang lebih baik dari keduanya, yaitu: hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri.” (HR. Abu Daud, no. 1134, shahih)

Dalam hadits lain disebut dua hari tersebut adalah Nairuz dan Mihrajan, yaitu dua hari raya musyrikin di Madinah di masa Jahiliyah.

4. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 7 Maret 1981 (di masa Buya Hamka) mengeluarkan fatwa larangan
mengikuti Natal Bersama bagi umat Islam.

Fatwa itu memutuskan tiga poin, yaitu:

– Perayaan natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa ‘Alaihissalam
tetapi tidak dapat dipisahkan dari persoalan agama;

– Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram; dan

– Agar umat Islam tidak terjerumus pada syubhat
dan larangan Allah Ta’ala, dianjurkan agar mereka tidak mengikuti kegiatan-kegiatan natal.

Fatwa Empat Mazhab

1. HANAFI

Imam Ibnu Nujaim

قال أبو حفص الكبير رحمه الله : لو أن رجلا عبد الله تعالى خمسين سنة ثمجاء يوم النيروز وأهدى إلى بعض المشركين بيضة يريد تعظيم ذلك اليوم فقد كفر وحبط عمله

Abu Hafs Al-Kabir berkata: Apabila seorang muslim yang menyembah Allah selama 50 tahun lalu datang pada Hari Nairuz (hari raya kaum Majusi) dan memberi hadiah telur kepada sebagian orang musyrik dengan tujuan untuk ikut memuliakan hari raya itu, maka dia kafir dan terhapus amalnya. (Imam Ibnu Nujaim, Al Bahr Al Raiq, jilid. 8, hal. 555)

2. MALIKI

Imam Ibnu Al Hajj

ألا ترى أنه لا يحل للمسلمين أن يبيعوا للنصارى شيئا من مصلحة عيدهم لا لحما ولا إداما ولا ثوبا ولا يعارون دابة ولا يعانون على شيء من دينهم ; لأن ذلك من التعظيم لشركهم وعونهم على كفرهم وينبغي للسلاطين أن ينهوا المسلمين عن ذلك , وهو قول مالك وغيره لم أعلم أحدا اختلف في ذلك

Tidakkah engkau tahu bahwa tidak halal bagi muslim membelikan sesuatu untuk kaum Nasrani untuk kemaslahatan hari raya mereka baik berupa daging, baju; tidak meminjamkan kendaraan dan tidak menolong apapun dari agama mereka karena hal itu termasuk mengagungkan kesyirikan mereka dan menolong kekafiran mereka. Dan hendaknya penguasa melarang umat Islam melakukan hal itu. Ini pendapat Malik dan lainnya. Saya tidak tahu pendapat yang berbeda.

(Imam Ibnul Hajj, Al Madkhal, jilid. 2, hal. 47)

3. SYAFI’I

Imam Ibnu Hajar Al Haitami

يُعَزَّرُ مَنْ وَافَقَ الْكُفَّارَ فِي أَعْيَادِهِمْ وَمَنْ يَمْسِكُ الْحَيَّةَ وَمَنْ يَدْخُلُ النَّارَ وَمَنْ قَالَ لِذِمِّيٍّ يَا حَاجُّ وَمَنْ هَنَّأَهُ بِعِيدِهِ..

Dita’zir (dihukum) orang yang menyamai (meniru) orang kafir pada hari raya mereka, orang yang memegang ular, yang masuk api, orang yang berkata pada kafir dzimmi “Hai Haji”, dan orang yang mengucapkan selamat pada hari raya (agama lain)..

(Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, jilid. 9, hal. 181)

Beliau juga berkata:

ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكرما يوافق ما ذكرته فقال : ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم : من تشبه بقوم فهو منهم

Aku melihat sebagian imam kita muta’akhirin (generasi belakangan) menyatakan pendapat yang sama denganku, lalu dia berkata: Termasuk dari bid’ah terburuk adalah penyamaan (peniruan) kaum muslimin kepada Nasrani di hari raya mereka dengan melakukan tasyabbuh (menyerupai), yaitu dengan makanan, memberi hadiah, dan menerima hadiah pada hari itu.

Kebanyakan orang yang melakukan itu adalah Mishriyun (orang-orang Mesir). Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka”.

(Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubra, jilid. 4, hal. 238-239)

4. HAMBALI

Imam Al Buhuti

(وَيَحْرُمُ تَهْنِئَتُهُمْ وَتَعْزِيَتُهُمْ وَعِيَادَتُهُمْ) ؛ لِأَنَّهُ تَعْظِيمٌ لَهُمْ أَشْبَهَ السَّلَامَ. (وَعَنْهُ تَجُوزُ الْعِيَادَةُ) أَيْ: عِيَادَةُ الذِّمِّيِّ (إنْ رُجِيَ إسْلَامُهُ فَيَعْرِضُهُ عَلَيْهِ وَاخْتَارَهُ الشَّيْخُ وَغَيْرُهُ) لِمَا رَوَى أَنَسٌ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَادَ يَهُودِيًّا، وَعَرَضَ عَلَيْهِ الْإِسْلَامَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ وَهُوَ يَقُولُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ بِي مِنْ النَّارِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَلِأَنَّهُ مِنْ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ

Haram mengucapkan tahni’ah (selamat), ta’ziyah (ziarah orang mati), iyadah (jenguk orang sakit) kepada non-muslim karena itu berarti mengagungkan mereka sama dengan menyerupai (mengucapkan) salam. Tapi Boleh menjenguk sakitnya kafir dzimmi apabila diharapkan Islamnya dan hendaknya mengajak masuk Islam. Karena, dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi ﷺ pernah iyadah pada orang Yahudi dan mengajaknya masuk Islam lalu si Yahudi masuk Islam lalu berkata, “Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan aku dari neraka.” Dan karena menjenguk orang sakit termasuk akhak mulia. (Kasysyaaf Al Qinaa’, jilid. 1, hal. 131)

Makna Toleransi

Toleransi adalah saling menghormati penganut agama lain dengan keyakinan dan kegiatan mereka. Jangan diganggu. Mereka pun demikian terhadap umat Islam.

Tetapi, campur baur mengikuti perayaan dan peribadatan agama lain, itu bukanlah toleransi, tapi pribqdi sinkretis. Paginya shalat subuh, jam 10 ikut misa, sore ke pura, lalu menganggap ini keren dan pribadi toleran. Ini Tertipu.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah tersesat perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi: 103-104)

Wallahul Musta’an

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top