Jihad Islam; Antara Ofensif atau Difensif?

Jihad Islam dapat dimaknai secara fleksibel sesuai konteks, baik ofensif maupun defensif. Tujuannya adalah dakwah Islam dan nilai kebaikan


Ini termasuk diskusi panjang para ulama sejak dulu

Sebagian mengatakan – seperti Imam asy Syafi’i- jihad Islam itu ofensif, menyerang, dengan arti jihad melawan orang kafir itu karena kekafiran mereka.

Ayat ‘toleransi’ seperti Lakum Diinukum waliyadin telah mansukh (dihapus) oleh beberapa ayat yg mereka istilahkan ayatus saif (ayat-ayat pedang).

Imam Al Qurthubi menjelaskan tentang surat Al Kafirun:

وكان هذا قبل الأمر بالقتال ، فنسخ بآية السيف . وقيل : السورة كلها منسوخة . وقيل : ما نسخ منها شيء لأنها خبر . ومعنى لكم دينكم أي جزاء دينكم ، ولي جزاء ديني

– Ayat ini turun sebelum adanya perintah perang, lalu dihapus oleh ayat-ayat pedang (ayat-ayat ttg jihad)

– Dikatakan bahwa seluruh surat ini telah dihapus (hukumnya)

– Dikatakan bahwa sedikit pun tidak ada yang dihapus pada surat ini, karena isinya tentang berita (khabar), yg maknanya buat kalian balasan agama kalian, buatku balasan agamaku.

(Tafsir Al Qurthubi, jilid. 20, hal. 229)

Ayat-ayat pedang yang dimaksud adalah firman Allah ﷻ yang berbunyi:

Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. (QS. At Taubah: 5)

Ayat lainnya:

Dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan… (QS. Al Baqarah: 191)

Ayat lainnya:

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama itu hanya bagi Allah semata. (QS. Al Anfal: 39)

Dan beberapa ayat lainnya.

Di zaman modern, pendapat ini diikuti oleh Syaikh Sayyid Quthb, Syaikh Abul A’la Al Maududi, Syaikh Bin Baaz, dll, semoga Allah ﷻ merahmati mereka.

Di masa klasik, mazhab Syafi’i menekankan agar penguasa muslim senantiasa melakukan futuhat (jihad Islam) setahun sekali ke berbagai negeri yang belum dibebaskan oleh penguasa Islam. Tujuannya untuk melindungi eksistensi umat Islam dan negerinya. Mirip istilah sekarang, ‘Pertahanan terbaik adalah menyerang.’

Di masa selanjutnya, dalam mazhab Syafi’i makna futuhat (pembebasan) diartikan dengan perspektif luas bukan semata serangan militer, tapi juga memgirim duta dakwah dan pemikiran.

Imam Al Khathib Asy Syarbini Asy Syafi’i menjelaskan:

َوُجُوبُ الْجِهَادِ وُجُوبُ الْوَسَائِلِ لَا الْمَقَاصِدِ ، إذَا الْمَقْصُودُ بِالْقِتَالِ إنَّمَا هُوَ الْهِدَايَةُ وَمَا سِوَاهَا مِنْ الشَّهَادَةِ ، وَأَمَّا قَتْلُ الْكُفَّارِ فَلَيْسَ بِمَقْصُودٍ حَتَّى لَوْ أَمْكَنَ الْهِدَايَةِ بِإِقَامَةِ الدَّلِيلِ بِغَيْرِ جِهَادٍ كَانَ أَوْلَى مِنْ الْجِهَادِ

Kewajiban jihad (Islam) adalah kewajiban yang bernilai sebagai ‘sarana’ bukan ‘maksud’ (al maqaashid). Jika maksud dari peperangan adalah mengantarkan hidayah dan kalimat syahadah, maka memerangi orang kafir bukanlah tujuannya. Sehingga, jika memungkin hidayah dapat disampaikan dengan menegakkan dalil tanpa jihad, maka itu lebih utama dibanding jihad. (Imam Asy Syarbini,Mughni Muhtaj, 17/226. Mawqi’ Al Islam)

Ada pun mazhab jumhur (mayoritas) – seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal- mengatakan jihad dalam Islam adalah difensif (bertahan); yaitu diawali permusuhan dan serangan orang kafir kepada umat Islam dan negerinya, bukan semata-mata mereka kafir.

Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Katsir, Syaikh Hasan al Banna, Syaikh Muhammad Al Ghazali, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi -semoga Allah ﷻ merahmati mereka.

Pendapat ini didasari oleh ayat-ayat yang menunjukkan bahwa perang melawan orang kafir itu setelah umat Islam diperangi dulu. Ketetapan ini tidak pernah dimansukh (dihapus) oleh ayat apa pun. Misalnya, firman Allah ﷻ:

Tidak ada paksaan dalam beragama .. (QS. Al Baqarah: 256)

Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Muntahanah: 8)

Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu. (QS. Al Haj: 39)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Baqarah: 190)

Dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka telah memerangi kamu semuanya.. (QS. At Taubah: 36)

Ayat-ayat ini secara jelas dan tegas menunjukkan peperangan dalam Islam adalah “jika diserang dulu”, bukan semata-mata kekafiran mereka.

Baca Juga: Jihad Islam; Memerangi Musuh Karena Kekafiran Musuh Semata Atau Karena Mereka Menyerang Terlebih Dulu kepada Islam?

Beberapa penjelasan ulama:

Imam Ibnu Taimiyah:

…لأن القتال هو لمن يقاتلنا إذا أردنا إظهار دين الله كما قال الله تعالى : { وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين }

“…. Karena sesungguhnya peperangan adalah bagi siapa saja yang memerangi kita,  jika kita menghendaki kemenangan bagi agama Allah ﷻ, sebagaimana firman Allah ﷻ : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Baqarah (2): 190)

(Imam Ibnu Taimiyah, As Siyaasah Asy Syar’iyyah, Hal. 159. Darul Ma’rifah)

Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah:

ومن تأمل سيرة النبي صلى الله عليه و سلم تبين له انه لم يكره أحدا على دينه قط وانه انما قاتل من قاتله وأما من هادنه فلم يقاتله ما دام مقيما على هدنته لم ينقض عهده بل أمره الله تعالى أن يفي لهم بعهدهم ما استقاموا له كما قال تعالى فما استقاموا لكم فاستقيموا لهم ولما قدم المدينة صالح اليهود وأقرهم على دينهم فلما حاربوه ونقضوا عهده وبدؤوه بالقتال قاتلهم فمن على بعضهم وأجلى بعضهم وقتل بعضهم وكذلك لما هادن قريشا عشر سنين لم يبدءهم بقتال حتى بدءوا هم بقتاله ونقضوا عهده فعند ذلك عزاهم في ديارهم وكانوا هم يغزونه

Bagi siapa yang memperhatikan sirah Nabi ﷺ, akan jelas baginya bahwa Beliau tidak pernah sekali pun memaksakan seseorang untuk masuk keagamanya (Islam). Sesungguhnya Beliau hanyalah memerangi  orang yang memeranginya, ada pun yang mau berdamai dengannya Beliau tidak akan memeranginya, selama perjanjian itu berlaku dan dia tidak melanggarnya. Bahkan Allah ﷻ memerintahkan Beliau untuk menepati janji dengan mereka, sejauh mereka konsisten berlaku lurus dengan janji itu, sebagaimana firman Allah ﷻ: maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. (QS. At Taubah (9): 7)

Ketika Beliau datang ke Madinah, Beliau berdamai dengan Yahudi dan mengakui agama mereka. Namun ketika mereka memeranginya dan melanggar janjinya serta memulai menyerangnya dengan peperangan, maka Beliau pun memerangi mereka, sebagian mereka diusir, sebagian lagi diperangi. Demikian juga ketika Beliau berdamai dengan Quraisy selama sepuluh tahun, Beliau tidak pernah memulai penyerangan terhadap mereka sampai mereka dahulu yang memeranginya dan melanggar janjinya. Nah, saat itulah Beliau memerangi mereka di negeri mereka padahal dahulu mereka dulu yang memerangi Beliau.  (Lihat Imam Ibnul Qayyim, Hidaayah Al Hiyari fi Ajwibah Al Yahuud wan Nashaara, Hal. 12. Al Jami’ah Al Islamiyah, Madinah Al Munawarah)

Imam Abu Fida’ Ibnu Katsir:

قال أبو جعفر الرازي، عن الربيع بن أنس، عن أبي العالية في قوله تعالى: { وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ } قال: هذه أول آية نزلت في القتال بالمدينة، فلما نزلت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقاتل من قاتله، ويكف عَمَّن كف عنه حتى نزلت سورة براءة وكذا قال عبد الرحمن بن زيد بن أسلم حتى قال: هذه منسوخة بقوله: { فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ } [التوبة: 5] وفي هذا نظر؛ لأن قوله: { الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ } إنما هو تَهْييج وإغراء بالأعداء الذين همّتْهم قتال الإسلام وأهله، أي: كمايقاتلونكم فقاتلوهم أنتم

Berkata Abu Ja’far Ar Razi, dari Ar Rabi’ bin Anas, dari Abul ‘Aliyah, tentang firmanNya: (Berperanglah  di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi kalian), dia berkata: ini adalah ayat pertama tentang perang yang diturunkan di Madinah, maka ketika ayat ini turun Rasulullah ﷺ memerangi orang yang memeranginya. Dia menahan diri terhadap orang yang tidak mengganggunya, sampai turunnya surat Bara’ah. Demikian juga yang dikatakan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, katanya: ayat ini mansukh (dihapus) dengan ayat: (maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menemukan mereka) (QS. At Taubah (9): 5), namun pendapat ini (yang mengatakan mansukh,pen) perlu didiskusikan lagi. Karena firmanNya : (Orang-orang yang memerangi kalian), itu adalah sebagai penggerak dan pembangkit untuk melawan musuh yang telah menyusahkan mereka dengan memerangi Islam dan pemeluknya, yaitu sebagaimana mereka memerangi kalian, maka kalian perangilah mereka.

(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/523. Cet. 2, 1999M-1420H. Dar Ath Thayyibah)

Di zaman sekarang, melihat kondisi dan realita umat Islam dan para pemimpinnya yang lemah dan terpecah belah, maka pendapat yang mengatakan (jihad Islam) ofensif sangat sulit dijalankan. Jangankan menyerang, bertahan pun masih sangat sulit.

Namun demikian kita harus selalu optimis semoga Allah ﷻ menangkan Islam dan kaum muslimin; kalau pun tidak dengan ekspedisi militer, masih bisa dengan dakwah dan pemikiran.

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Shalat Sunnah Saat Khutbah

▫▪▫▪▫▪▫▪

 PERTANYAAN:

Jika ada yang mengatakan pendapat menjawab adzan hukum Sunnah sedangkan mendengarkan khutbah Jum’at adalah wajib, jika menunggu adzan selesai kita baru sholat Sunnah dan Khotib naik. Maka lebih baik langsung sholat Sunnah karena lebih baik mendahulukan yang wajib dari pada yang Sunnah

Apakah tepat pendapat ini Ustadz Farid ?


 JAWABAN

Orang yang shalat sunah pun masih bisa dengar khutbah, dan tidak terlarang shalat sunnah saat khutbah berlangsung. Justru Rasulullah ﷺ yang mengizinkan..

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا قَالَ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ

Datang seorang laki-laki dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah di hadapan manusia pada hari Jumat. Beliau bersabda: “Wahai fulan, apakah engkau sudah shalat?” orang itu menjawab: “Tidak (belum).” Beliau bersabda: “Bangunlah dan shalatlah dua rakaat.”

(HR. Bukhari No. 930, dan Muslim No. 875)

Wajib mendengar khutbah bukan berarti wajib diam 100% .. masih boleh shalat sunnah saat khutbah berlangsung, shalawat, dan menjawab salam .. dalil-dalilnya banyak, yang terlarang adalah mengucapkan hal yang melalaikan.

Imam Al Bujairimiy Rahimahullah mengatakan:

ووجب رد السلام، وسن تشميت العاطس ورفع الصوت بالصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – عند قراءة الخطيب {إن الله وملائكته يصلون على النبي} [الأحزاب: ٥٦]

Wajib menjawab salam, sunah mendoakan orang bersin, dan meninggikan suara bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam disaat khatib membaca: Innallaha wa malaaikatahu yushalluuna ‘alan nabiy

(Hasyiyah Al Bujairimiy ‘alal Khathib, 2/202)

Syaikh Abdurrahman Ba’alawiy Rahimahullah mengatakan:

ينبغى لسامع الصلاة علي النبي أو الترضي عن الصحابة حال الخطبة أن يصلي على النبي و يترضى عنهم فهو افضل من الانصات

Seyogyanya seorang yang mendengar khutbah dia shalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam dan taradhi (mengucapkan Radhiallahu ‘Anhum), kepada para sahabat. Itu lebih utama dibanding diam.

(Bughyah Al Mustarsyidin, Hal. 137)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

وفرض على كل من حضر الجمعة – سمع الخطبة أو لم يسمع – أن لا يتكلم مدة خطبة الإمام بشيء ألبتة، إلا التسليم إن دخل حينئذ، ورد السلام على من سلم ممن دخل حينئذ، وحمد الله تعالى إن عطس، وتشميت العاطس إن حمد الله، والرد على المشمت، والصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا أمر الخطيب بالصلاة عليه، والتأمين على دعائه

Wajib bagi yang menghadiri shalat Jumat baik bagi yang mendengar khutbah atau tidak kedengaran, untuk tidak berbicara sepanjang khutbah berlangsung, kecuali mengucapkan salam bagi yang baru masuk, menjawab salam orang tersebut, mengucapkan hamdalah bagi yang bersin, tasymit (yarhamukallah) untuk orang yang bersin tersebut, bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam ketika khatib memerintahkan itu, dan mengaminkan doa khatib.

(Al Muhalla, 3/269)

Baca juga: Khutbah Jum’at Memegang Tongkat

Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

F.A.Q Bulan Rajab

1. Apa arti Rajab?

Dinamakan Rajab karena itu adalah bulan untuk yarjubu, yakni Ya’zhumu (mengagungkan), sebagaimana dikatakan Al Ashma’i, Al Mufadhdhal, dan Al Farra’. (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif, Hal. 117. Mawqi’ Ruh Al Islam)

2. Apa keistimewaan bulan Rajab?

Bulan Rajab merupakan salah satu dari empat bulan haram (Asyhurul hurum), yang sangat di muliakan dalam tradisi Arab dan Islam di masa lalu.

Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu. (Q.s. At-Taubah: 36)

Dirinci di dalam hadits:

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab yang mulia yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

3. Kenapa dinamakan bulan haram?

Paling tidak ada dua alasan bulan-bulan tsb dinamakan bulan haram, yaitu:

Satu. Diharamkannya perang di empat bulan tsb

Allah ﷻ berfirman:

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar… (QS. Al Baqarah: 217)

Namun, menurut Imam Ibnu Jarir dan Imam Ibnu Rajab bahwa menurut mayoritas ulama larangan ini hanya berlaku saat masa pra Islam dan awal Islam, namun sudah mansukh (dihapus) dengan turunnya ayat:

وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً

Perangilah kaum musyrikin semuanya seperti mereka memenangimu semuanya (QS. At Taubah: 36)

Kedua. Dosa haramnya berbuat zalim lebih besar lagi bobotnya

Pada dasarnya berbuat zalim diharamkan di bulan apa pun, namun di bulan haram keharamannnya lebih besar lagi. Allah ﷻ berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.. (QS. At Taubah: 36)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

أي: في هذه الأشهر المحرمة؛ لأنه آكد وأبلغ في الإثم من غيرها، كما أن المعاصي في البلد الحرام تضاعف

Yaitu (janganlah berbuat zalim) di bulan-bulan haram ini, karena hal itu lebih ditekankan lagi larangannya dan lebih berat dosanya dibanding selainnya, sebagaimana maksiat-maksiat di lakukan di tanah haram juga berlipat-lipat dosanya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/148)

Zalim di sini seperti zalim kepada diri sendiri, yakni maksiat, zalim kepada makhluk yakni lisan dan tangan yang menyakiti, serta zalim kepada Allah Ta’la, yakni syirik dan malas ibadah.

4. Apakah yang paling sering Rasulullah ﷺ lakukan di bulan Rajab?

Yang paling sering Rasulullah ﷺ lakukan adalah berpuasa. Dari Utsman bin Hakim Al Anshari, beliau berkata:

سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ

Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubeir tentang shaum pada bulan Rajab, saat itu kami sedang berada pada bulan RAJAB, Beliau menjawab: “Aku mendengar Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata: Dahulu Rasulullah ﷺ  BERPUASA (pada bulan Rajab) sampai-sampai kami mengatakan Beliau tidak pernah meninggalkannya, dan Beliau pernah meninggalkannya sampai kami mengatakan dia tidak pernah berpuasa (Rajab). (HR. Muslim No. 1157)

Oleh karena itu, jumhur ulama – tiga madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i)- menyunnahkannya (mandub), sementara kalangan Hanabilah (Hambaliyah) memakruhkannya.
(Lihat  Al Fiqhu ‘alal Madzaahib Al Arba’ah, 1/895)

Banyak ulama yang mengatakan shaum Rajab adalah sunnah, baik dengan istilah mustahab (disukai) dan mandub (dianjurkan), seperti : Imam Asy Syaukani (Nailul Authar, 4/621), Imam Ibnu Hajar Al Haitami (Fatawa Ibni Hajar, 1/4), dan lainnya.

5. Bagaimana cara puasanya?

Puasa seperti biasa, menahan makan, minum, jima’, dan semua hal yang dapat membatalkan dan merusak puasa sejak terbitnya fajar sampai tenggelam matahari. Tidak ada tanggal spesifik, bebas kapan saja, baik sejak awal, pertengahan, atau akhirnya. Baik puasa yang ada sunah secara khusus seperti ayyamul bidh atau Senin-kamis, atau hari-hari lainnya.

6. Apakah ada informasi valid tentang fadhilah khusus puasa dan shalat malam di bulan Rajab? Baik pahala, ini, dan itu?

Tidak ada, semua hadits yang menceritakan keutamaan puasa dan shalat malam di bulan Rajab dinyatakan lemah bahkan palsu oleh para imam pakar hadits.

Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah, mengatakan:

قال ابن حجر : لم يرد في فضله، ولا في صيامه، ولا في صيام شئ منه معين، ولا في قيام ليلة مخصوصة منه، حديث صحيح يصلح للحجة

“Tidak ada hadits yang menyebutkan keutamaannya, tidak pula keutamaan puasanya, tidak ada puasa khusus pada Rajab, tidak juga shalat malam secara khusus, dan hadits shahih lebih utama dijadikan hujjah (dalil).” (Dikutip oleh Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, 1/453)

Imam Ibnu Hajar juga berkata dalam Kitab Tabyinul ‘Ajab, sebagaimana dikutip oleh Imam Abdul Hay Al Luknawi:

أما الأحاديث الواردة في فضل رجب أو صيامه أو صيام شيء منه فهي على قسمين ضعيفة وموضوعة

“Adapun hadits-hadits yang ada tentang keutamaan Rajab atau puasanya atau sedikit puasa pada bulan Rajab, terdiri atas dua bagian; yaitu dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu).” (Al Atsar Al Marfu’ah fil Akhbar Al Maudhu’ah, hal. 59)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah, berkata:

وأما الصيام فلم يصح في فضل صوم رجب بخصوصه شيء عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه

Ada pun puasa, tidak ada yang shahih sedikit pun tentang keutamaan puasa Rajab dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam dan tidak pula dari sahabat-sahabatnya. (Al Latha-if Al Ma’arif, Hal. 228)

Imam Al Munawi Rahimahullah berkata:

بل عامة الأحاديث المأثورة فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم كذب

“Bahkan Umumnya hadits-hadits tentang keutamaan Rajab adalah dusta.” (Faidhul Qadir, 4/24)

Imam Muhammad bin Manshur As Sam’ani Rahimahullah, mengatakan:

لم يرد في استحباب صوم رجب على الخصوص سنة ثابتة، والأحاديث التي تروى فيه واهية لا يفرح بها عالم

Tidak ada riwayat dalam sunah yang tsabit (kuat) tentang anjuran puasa Rajab secara khusus, dan hadits-hadits yang diriwayatkan tentangnya adalah lemah dan tidak cukup membahagiakan para ulama. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 4/331)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah , Beliau berkata:

وَأَمَّا صَوْمُ رَجَبٍ بِخُصُوصِهِ، فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ، بَلْ مَوْضُوعَةٌ، لَا يَعْتَمِدُ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا، وَلَيْسَتْ مِنْ الضَّعِيفِ الَّذِي يُرْوَى فِي الْفَضَائِلِ، بَلْ عَامَّتُهَا مِنْ الْمَوْضُوعَاتِ الْمَكْذُوبَاتِ

Ada pun mengkhususkan puasa Rajab, maka semua hadits-haditsnya adalah dhaif bahkan palsu, para ulama tidak berpegang sedikit pun terhadapnya, dan itu bukanlah termasuk dhaifnya riwayat tentang masalah keutamaan (fadhaail), bahkan umumnya adalah palsu lagi dusta … (Al Fatawa Al Kubra, 2/478, Majmu Fatawa, 25/290)

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah, berkata:

كل حديث في ذكر صيام رجب وصلاة بعض الليالي فيه فهو كذب مفترى

Semua hadits yang menyebutkan tentang puasa Rajab dan shalat pada sebagian malam-malamnya adalah dusta. (Al Manar Al Muniif, Hal. 96)

7. Adakah contoh Hadits-hadits yang dimaksud?

Sebagai contoh saja sebagai berikut:

“Sesungguhnya di surga ada sungai bernama Rajab, airnya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa yang berpuasa Rajab satu hari saja, maka Allah akan memberikannya minum dari sungai itu.” (Status hadits: batil. Imam Ibnul Jauzi mengatakan: tidak shahih. Imam Adz Dzahabi mengatakan: batil. Lihat Syaikh Muhammad bin Darwisy bin Muhammad, Asnal Mathalib, Hal. 86)

“Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak: awal malam pada bulan Rajab, malam nishfu sya’ban, malam Jumat, malam idul fitri, dan malam hari raya qurban.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). Lihat Syaikh Khalid bin Sa’ifan, Ma Yatanaaqaluhu Al ‘Awwam mimma Huwa Mansuub li Khairil Anam, Hal. 14)

“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Imam Al Munawi mengutip dari Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan: dhaif jiddan – sangat lemah. Lihat Faidhul Qadir, 4/24)

“Dinamakan Rajab karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). Lihat Imam As Suyuthi, Al Jami’ Ash Shaghir No. 4718)

Dan masih banyak lainnya.

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Mau Ikut Pesta Malam Tahun Baruan Karena Tidak Enak dengan Keluarga

Pertanyaan

Assalamu’alaikum ustadz, afwan, saya mau bertanya. Di keluarga saya pada malam taun baru sering ada acara bakar bakar, dan saya bersama suami juga anak saya tidak pernah ikut tapi saya suka tidak enak menolak ajakan keluarga, apakah boleh saya ikutan hanya sekedar menghargai ajakan dan untuk makan bersama saja, agar mempererat tapi silaturahmi?


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Apa yang sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya yaitu tidak ikut-ikutan, sudah benar dan jangan tergoda dan jangan kalah mental. Apalagi jika ternyata sikap tidak ikut-ikutan tidak memunculkan bahaya sama sekali di tengah keluarga. Pihak keluarga tidak menuduh, tidak memaksa ikut, dan terbukti hubungan tetap baik setelah itu dari tahun ke tahun. Seorang muslim mesti bergaul tapi tetap harus punya value (nilai) yang berbeda dibanding lainnya, tidak larut. Istilah para aktivis Islam yakhtalithun walakin yatamayyazun (bergaul tapi tetap istimewa).

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah, dan janganlah ikuti jalan-jalan lain yang akan memecahkan kalian dari jalan-Nya, demikianlah di wasiatkan kepada kalian agar kalian bertaqwa. (QS. Al An’am: 153)

Rasulullah ﷺ juga memberikan nasihat:

لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ: إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا، وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا، وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ، إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا

“Janganlah kalian menjadi orang yang tidak memiliki pendirian (ima’ah) yang berkata, ‘Jika orang-orang berbuat baik, kami pun berbuat baik, dan jika mereka berbuat zalim, kami pun berbuat zalim.’ Tetapi, teguhkanlah diri kalian; jika orang-orang berbuat baik, kalian juga berbuat baik, dan jika mereka berbuat jahat, maka janganlah ikut kalian berbuat zalim.” (HR. Tirmidzi, no. 2007, hadits hasan)

Salah satu karamah seorang mukmin adalah istiqamah, yaitu tegak lurus di atas kebenaran walau seorg diri. Sebagaimana nasihat para ulama:

اعظم الكرامة لزوم الاستقامة

Karamah yang paling besar adalah tetap komitmen pada istiqamah

Kecuali, jika kondisinya ada ancaman baik ancaman jiwa, harta, dan lainnya, dan tidak mampu mencegah, menghindar, atau melawannya. Maka silahkan ikuti dan itu kondisi dimaafkan.

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua.

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top