Salat Berjamaah di Rumah Menemani Istri yang Demensia

 PERTANYAAN:

Bismillah
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh,
mohon pencerahannya
Istri ana setiap shalatnya dipastikan salah (demensia), karna roka’atnya kurang dari yang disyariatkan.
Jadinya ana harus selalu selalu didepanya sebagai imam.
Persoalannya setiap saat adzan tiba ana ngga bisa shalat di masjid atau berjamaah di tempat lain (saat upa misalnya)
Lalu pilihan terbaiknya bagaimana ini ya ?
Usia ana 70+
Usia istri 60+


 JAWABAN

▪▫▪▫▪▫▪▫

Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh

Robbuna yusahil ‘alaikum wa ahlikum..

Ada pilihan tanpa harus kita meninggalkan berjamaah di masjid. Yaitu kita shalat berjamaah di masjid, begitu pulang bisa menemani istri shalat berjamaah. Ini tidak apa-apa, sudah terjadi sejak masa Rasulullah ﷺ.

Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, bercerita:

كان معاذٌ يُصلِّي مع النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم العشاءَ ، ثمَّ ينطلِقُ إلى قومِه فيُصلِّيها بهم ، هي له تطوَّعٌ ، ولهم مكتوبةٌ

Mu‘adz radhiyallahu ‘anhu biasa shalat Isya bersama Nabi ﷺ, kemudian beliau kembali kepada kaumnya dan mengimami mereka dengan shalat itu. Maka bagi Mu‘adz hukumnya sunnah (shalat tathawwu‘), sedangkan bagi kaumnya hukumnya shalat wajib. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya orang yang sudah selesai shalat wajib, lalu dia ikut menemani shalat wajib orang lain (misal istrinya), dan baginya dinilai sunah sedangkan orang lain itu adalah wajib. Inilah pandangan yang dikuatkan oleh para Imam seperti Imam Ibnul Mundzir dari Atha’, Al Auza’i, Imam Ahmad, Abu Tsaur, dan Sulaiman bin Harb serta Imam An Nawawi dari madzhab Syafi’i, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua.

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Futur; Sebab dan Penanggulangannya

Jika saat ini Anda mengalami:

– Malas hadir halaqah, kajian, ta’lim, padahal dulunya semangat

– Malas membaca Al Quran, padahal dulunya begitu giat

– Tidak merasa bersalah melihat aurat, padahal dulunya sangat takut dosa

– Menghindar dari aktivitas dakwah dan keislaman, setelah dulunya sebagai motor penggerak dan penuh dengan berbagai amanah

– Pembicaraan selalu dunia, dunia, dan dunia, padahal dulunya Allah, Rasul, Islam, Al Quran, dan Sunnah

Ketahuilah, itulah FUTUR, yaitu lemah setelah kuat, malas setelah semangat, menghilang setelah eksis. Jauh-jauh hari, Rasulullah ﷺ telah bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ، وَإِنَّ لِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً ، فَمَنْ كَانَتْ شِرَّتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ ، وَمَنْ كَانَتْ شِرَّتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

Setiap amalan itu ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa malasnya. Siapa yang semangatnya dalam koridor ajaranku, maka ia sungguh beruntung. Namun siapa yang sampai futur (malas) hingga keluar dari ajaranku, maka dialah yang binasa.” (Hr. Ahmad. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, demikian kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Sebab-Sebab Futur

Futur tidaklah muncul begitu saja tapi ada sebab yang mendahuluinya. Di antaranya:

1. Tidak Ikhlas

Ikhlas adalah salah satu unsur utama keistiqamahan seseorang pada kebaikan. Ketika kebaikan yang dia lakukan bertujuan pujian, sanjungan, dan like jempol orang lain, dan ternyata itu tidak dia dapatkan maka biasanya dia akan berhenti dan kecewa. Tidak lagi melanjutkan kebaikan tsb.

Hal ini secara implisit telah dikatakan Rasulullah ﷺ:

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً فَإِنْ كَانَ صَاحِبُهَا سَدَّدَ وَقَارَبَ فَارْجُوهُ وَإِنْ أُشِيرَ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ فَلَا تَعُدُّوهُ

“Sesungguhnya pada setiap sesuatu itu ada saat semangatnya dan setiap masa semangat ada masa melemahnya, jika pelakunya senantiasa bersikap istiqomah dan mendekat, berharaplah dia bisa tetap (semangat), sebaliknya jika ia hanya ingin ditunjuk dengan jari (sanjungan, pent.) maka janganlah orang itu kalian anggap (orang baik).” (HR. At Tirmidzi no. 2453, hasan shanih)

2. Trend atau Ikut-ikutan

Ini juga faktor futur yang sering terjadi. Kebaikan yang dilakukan tidak muncul dari kesadaran dirinya tapi karena melihat fenomena orang lain. Manusia ke Barat dia ikut, manusia ke Timur dia ikut. Ketika trend ini sedang hit dia pun ikut, ketika trend ini surut maka dia pun ikut surut, walau bisa jadi ada yg awalnya karena trend lalu berubah menjadi kesadaran. Rasulullah ﷺ memberikan nasihat:

لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ: إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا، وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا، وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ، إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا

“Janganlah kalian menjadi orang yang tidak memiliki pendirian (ima’ah) yang berkata, ‘Jika orang-orang berbuat baik, kami pun berbuat baik, dan jika mereka berbuat zalim, kami pun berbuat zalim.’ Tetapi, teguhkanlah diri kalian; jika orang-orang berbuat baik, kalian juga berbuat baik, dan jika mereka berbuat jahat, maka janganlah ikut kalian berbuat zalim.” (HR. Tirmidzi, no. 2007, hadits hasan)

3. Maksiat yang dibiarkan

Seorang yang berada dalam arus kebaikan, tidak lantas menjadi manusia suci. Sebab, semua pasti pernah berbuat salah dan dosa, dan yang terbaik dari yang berbuat dosa adalah yang mau bertobat.

Namun, masalah muncul jika dia membiarkan dosa tersebut berlarut-larut, dianggap enteng, akhirnya maksiat tersebut dominan dalam hati, pikiran, jiwanya dan tindakan. Sampai akhirnya dia sulit keluar dari situasi itu, maka kebaikan pun tidak lagi menjadi budayanya.

Imam Ibnul Qayyim menerangkan salah satu bahaya pembiaran thdp maksiat:

حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ

Di antara dampak buruk dari dosa adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya dosa tidak membawa hukuman apa pun kecuali membuat seseorang luput dari satu amal ketaatan yang seharusnya menjadi gantinya, lalu memutus jalannya menuju amal ketaatan yang lain, kemudian tertutup pula jalan menuju amal ketiga, lalu keempat, dan seterusnya—maka cukuplah itu (terhalangnya dari ketaatan, pent) sebagai hukuman yang besar. Sebab, dengan satu dosa saja, seseorang bisa kehilangan banyak kesempatan untuk beramal saleh. (Ad Da’u wad Dawaa’)

4. Adanya Konflik

Adanya konflik seseorang kepada orang lain, baik persoalan keluarga, tempat kerja, masyarakat, bahkan konflik dengan sesama teman pengajian juga menjadi faktor terjadinya futur. Baik konflik persoalan politik, utang piutang, dsb.

Tadinya, sekadar ingin menjaga jarak dengan satu-dua orang yang konflik dengannya, namun lama kelamaan berubah menjauh dari semuanya. Awalnya tidak suka dengan satu-dua orang, lama kelamaan tidak suka dengan semuanya. Akhirnya budaya kebaikan yang dulu menjadi rutinitasnya bersama kawan-kawannya tidak lagi dia lakukan.

5. Berlebihan dalam ibadah tanpa keseimbangan

Melakukan banyak amal sekaligus, secara ekstrem, tanpa jeda atau tanpa hikmah, bisa menyebabkan kelelahan ruhani. Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ ..

“Sesungguhnya agama ini mudah. Siapa yang memaksakan diri dalam agama, maka ia akan dikalahkan olehnya…”
(HR. Bukhari no. 39)

6. Jenuh

Ini juga menjadi faktor futur yang cukup sering. Sebab, jenuh dan semangat adlh dua sisi manusiawi yang selalu menghampiri manusia di tengah aktivitasnya, apa pun itu.

Ketika kejenuhan itu menghampiri, dan dia tidak pandai mensiasatinya maka dia akan berlama-lama dengan kejenuhan itu dan sulit untuk kembali bangkit. Sekali pun bangkit, dia tidak lagi bangkit bersama kebaikan yang dulu pernah menyelamatkan masa lalu hidupnya dari kegelapan dan kebodohan tapi dia bersama kondisi dan komunitas yang menjerumuskannya dalam kegelapan baru.

Solusi dan obatnya

– Taubat dan istighfar – karena dosa adalah sumber penyakit hati.

– Membangun rutinitas ibadah yang ringan tapi kontinyu – seperti sabda Nabi ﷺ:

“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari-Muslim)

– Menjaga lingkungan yang shaleh – dekat dengan orang-orang berilmu dan beramal.

– Menghidupkan hati dengan tadabbur Al-Qur’an dan dzikir.

– Menghadiri majelis ilmu dan peringatan akhirat.

– Berdoa agar diteguhkan hati – Nabi ﷺ sering berdoa:

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu.”

– Tidak perfeksionis dalam memandang manusia dan komunitas, posisikan mereka sebagaimana manusia biasa yang bisa salah dan benar. Agar kita tidak mudah kecewa dan bad mood hanya karena kekeliruan mereka.

Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️Farid Nu’man Hasan

Non Muslim Ikut Patungan Kurban

 PERTANYAAN:

Assalamualaikum Ustad Farid, sehat2 selalu ya Ustad, aamiin.

Bertanya terkait hewan qurban sapi.

Jika sapi utk 7 pequrban, diantara pequrban salah satunya diatasnamakan utk orang kafir. Apakah hewan qurban sapi tersebut tetap sah utk 6 orang lainnya?

Sebelumnya jazakallah khairan atas penjelasannya.

Abdillah


 JAWABAN

▪▫▪▫▪▫▪▫

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Perlu diketahui, seandainya patungan tidak sampai 7 orang, maka itu tetap sah. Tujuh orang itu bukan kewajiban dan bukan syarat sah, itu maksimal saja.

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

وإذا كانوا أقل من سبعة أجزأت عنهم ، وهم متطوعون بالفضل

Jika mereka kurang dari 7 orang maka itu SAH bagi mereka, mereka telah mendapatkan keutamaan tathawwu’ (sunnah). (Al Umm, 2/244)

Artinya, jika hanya 6 yg patungan maka itu sudah cukup, tanpa perlu ditambah non muslim. Sebab, tambahan non muslim tersebut diperdebatkan ulama dampaknya kepada yang lain.

Semua sepakat non muslim tersebut tidak sah dan tidak dapat apa-apa dari qurbannya. Tapi 6 orang muslim yang qurban, maka sebagian ulama mengatakan tidak sah juga karena syarat qurban patungan adalah semuanya harus yang sah untuk berqurban. Sebagian lain mengatakan tetap sah seperti yang dikatakan Darul Ifta Al Mishriyah, sebab ketidakabsahan 1 org kafir tersebut tidaklah mempengaruhi pada 6 orang lainnya.

Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

Orang Awam Ikut Mazhab yang Mana?

 PERTANYAAN:

Mohon maaf , saya kadang menemui muslim Indonesia yang bersikeras bahwa muslim harus taklid ke salah satu madzhab, dan khususnya di Indonesia harus bermadzhab Syafii; tapi ketika ditanya tentang aurat perempuan justru mengikuti madzhab Hanafi .

Padahal jika bertaklid ke Madhab Hanafi harusnya tidak makan udang & cumi, jika batal puasa sunnah jadi wajib membayar, rela anak perempuannya nikah tanpa wali, dan mengikuti aturan-aturan madzhab Hanafi lainnya.
Wallaahu alam


 JAWABAN

▪▫▪▫▪▫▪▫

Bagi orang awam, tidak diwajibkan secara ketat harus mengikuti satu Mazhab saja di semua persoalan. Dia bisa mengikuti mazhab A di suatu masalah tapi ikut mazhab B di masalah lain setelah berkonsultasi dengan ahlinya. Sebab mazhabnya orang awam adalah ulama yang dia jadikan rujukan saat itu.

Syaikh Walid bin Rasyid As Su’aidan mengutip dari Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah, pemuka madzhab Syafi’i yang dijuluki Sulthanul ‘Ulama di masanya:

يجوز تقليد كل واحدٍ من الأئمة الأربعة رضي الله عنهم ، ويجوز لكل واحدٍ أن يقلد واحداً منهم في مسألة ويقلد إماماً آخر منهم في مسألة أخرى ، ولا يجوز تتبع الرخص

Diperbolehkan taklid terhadap salah satu imam madzhab yang empat, dan setiap orang boleh saja mengikuti salah satu dari pendapat mereka dalam satu masalah dan mengikuti pendapat imam lainnya dalam masalah yang lain, namun tidak diperkenankan mencari-cari rukhshah (yang gampang-gampang). (Syaikh Walid bin Rasyid As Su’aidan,

Ta’rif ath Thulab bi Ushul al Fiqh fi Su’al wa Jawab, hal. 102)

Syaikh Abdul Fattah Rawwah Al Makki menjelaskan:

(انه) يجوز تقليد كل واحد من الآئمة الآربعة رضي الله عنهم ويجوز لكل واحد آن يقلد واحدا منهم فى مسالة ويقلد اماما آخر في مسالة آخرى ولا يتعين تقليد واحد بعينه في كل المسائل

Bahwa sesungguh nya diperbolehkan taklid terhadap salah satu imam madzhab yang empat, dan setiap orang boleh saja mengikuti salah satu dari mereka dalam satu masalah dan mengikuti imam lainnya dalam masalah yang lain. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan mengikuti satu mazhab dalam semua masalah.

(Syaikh Abdul Fattah Rawwah Al Makki, Al Ifshah ‘ala Masailil Idhah ‘alal Madzahib al Arba’ah, hal. 219)

Demikian. Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

scroll to top