Penghalang-Penghalang Jihad .., Adakah Kita Mengalaminya?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah:

  1. “jika bapak-bapak,
  2. anak-anak,
  3. saudara-saudara,
  4. isteri-isteri,
  5. kaum keluargamu,
  6. harta kekayaan yang kamu usahakan,
  7. bisnis yang kamu khawatiri kerugiannya,
  8. dan tempat tinggal yang kamu sukai,

adalah lebih kamu cintai dibanding Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

(Qs. At Taubah: 24)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan urusan-urasan yang biasanya membuat manusia meninggalkan perjuangan. Mereka lebih suka, cinta, dan ridha, itu semua dibanding Allah, Rasul, dan Jihad. Allah Ta’ala mengancam dengan kalimat “fatarabbashu hatta ya’tiyallahu bi amrih …” apa maksudnya?

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah mengatakan:

“Tunggulah sampai Allah mendatang “urusannya” merupakan ancaman bagi mereka, dan urusan di sini adalah hukuman baik yang disegerakan atau yang ditunda.”

(Dr. Wahbah Mushthafa Az Zuhailiy, At Tafsir Al Munir, 10/148. Cet. 2, 1418H. Darul Fikr Al Mu’ashir, Damaskus)

Begitu pula dikatakan Syaikh Ali Ash Shabuni Rahimahullah:

{ فَتَرَبَّصُواْ } أي انتظروا وهو وعيد شديد وتهديد { حتى يَأْتِيَ الله بِأَمْرِهِ } أي بعقوبته العاجلة أو الآجلة

“Yaitu tunggulah oleh kalian ancaman yang keras dan menakutkan, yaitu berupa hukumanNya yang disegerakan atau ditunda.”

(Syaikh Ali Ash Shabuni, Shafwatut Tafasir, 1/386)

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Kesertaan Muslimah Dalam Jihad Islam

Pada masa-masa terbaik Islam, muslimah justru menampakkan peran serta yang sangat penting.

Suara pertama yang mendukung dan membenarkan kenabian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah suara wanita yakni Khadijah binti Khuwailid.

Syuhada pertama dalam Islam adalah seorang wanita, yakni Sumayyah, ibu Ammar bin Yasir, yang dibunuh oleh Abu Jahal karena mempertahankan keislamannya.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu bersembunyi di goa (Jabal Tsur), Asma binti Abu Bakar-lah yang bolak-balik membawakan makanan untuk mereka berdoa, padahal kondisinya sedang hamil.

Ketika perang Uhud, Ummu Salith adalah wanita yang paling sibuk membawakan tempat air untuk pasukan Islam, sebagaimana yang diceritakan Umar bin Al Khathab. (HR. Bukhari, Kitab Al Maghazi Bab Dzikri Ummi Salith, No. 3843). Ummu Salith juga pernah berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya, membuat enam bab tentang peran muslimah dalam peperangan yang dilakukan kaum laki-laki.

1. Bab Ghazwil Mar’ah fil Bahr (Peperangan kaum wanita di lautan)

2. Bab Hamli Ar Rajuli Imra’atahu fil Ghazwi Duna Ba’dhi Nisa’ihi (Laki-laki membawa isteri dalam peperangan tanpa membawa isteri lainnya)

3. Bab Ghazwin Nisa’ wa Qitalihinna ma’a Ar Rijal (Pertempuran wanita dan peperangan mereka bersama laki-laki)

4. Bab Hamlin Nisa’ Al Qiraba Ilan Nas fil Ghazwi (Wanita membawa (tempat) minum kepada manusia dalam peperangan)

5. Bab Mudawatin Nisa’ Al Jarha fil Ghazwi (Pengobatan Wanita untuk yang terluka dalam peperangan)

6. Bab Raddin Nisa’ Al Jarha wal Qatla Ilal Madinah (Wanita Memulangkan Pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah)

Selain ummu Salith, kaum muslimah juga ikut berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti Ummu ‘Athiyah, Umaimah binti Ruqaiqah, dan kaum wanita Anshar. Sebagaimana yang diceritakan secara shahih oleh Imam An Nasa’i. (HR. An Nasa’i No. 4179 – 4181. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 9, hal. 251-253, no. 4179-4181)

Masih banyak lagi peran muslimah pada masa awal seperti peran ketika hijrah ke Habasyah, peran dalam pendidikan, dan lainnya. Semuanya menunjukkan bahwa Islam menempatkan prka dan wanita untuk saling mengisi dan bekerjasama secara normal.

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Dua Rakaat Ba’diyah Ashar; Antara Ada dan Tiada

💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum tad, di tempat kami ada kasus yakni ada ikhwah yg menerapkan sholat sunnah bakdiyah ashar di masjid, kemudian pak imam dan masyarakat setempat mengingkari perbuatan ikhwah tsb yang  mau ana  tanyakan .
Tolong di jelaskan tentang hadits yg mengatakan sholat sunnah bakdiyah ashar dan juga perbedaan para ulama apakah dia sunnah ada tdk sebab yg di pegang masyarakat sunnah bakdiyah ashar di larang sbgaimn dlm kontek hadits . syukron tad

📬 JAWABAN

🌼🌼🌼🌼

Wa ‘alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Langsung aja ya ..

📕 Dalil-Dalil Larangan Shalat Setelah Ashar

1⃣. Riwayat berikut:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

Janganlah shalat setetah subuh sampai terbitnya matahari, dan janganlah shalat setelah ashar sampai terbenamnya matahari. (HR. Al Bukhari No. 586)

2⃣ Dari Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu:

إِنَّكُمْ لَتُصَلُّونَ صَلَاةً لَقَدْ صَحِبْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا رَأَيْنَاهُ يُصَلِّيهِمَا وَلَقَدْ نَهَى عَنْهُمَا يَعْنِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْر

Kalian melakukan shalat, padahal kami telah bersahabat dengan Rasulullah ﷺ dan kami belum pernah melihatnya shalat tersebut, dan dia telah melarangnya, yakni dua rakaat setelah ashar. (HR. Al Bukhari No.  587)

Dan lainnya yang semisal.

📘 Dalil-Dalil Bolehnya Shalat Setelah Ashar

1⃣ Dari Aisyah Radhiallahun’Anha:

رَكْعَتَانِ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَعُهُمَا سِرًّا وَلاَ عَلاَنِيَةً: رَكْعَتَانِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ العَصْرِ

Dua rakaat yang Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkannya, baik secara diam-diam dan terang-terangan; yaitu dua rakaat sebelum shalat subuh, dan dua rakaat setelah shalat Ashar. (HR. Al Bukhari No. 592)

2⃣ Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ عِنْدِي قطّ

Sedikit pun Belum pernah Rasulullah ﷺ meninggalkan shalat setelah ashar ketika bersamaku. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

3⃣ Syuraih bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat setelah ashar, ‘Aisyah menjawab:

صَلِّ إِنَّمَا نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةِ إِذَا طلعت الشمس

Shalatlah (ba’da ashar), sesungguhnya yang Rasulullah ﷺ larang adalah shalat ketika matahari terbit. (HR. Ibnu Hibban No.1568. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Syuaib Al Arnauth, dan lainnya)

4⃣ Dari Aisyah Radhiallahu “Anha:

عَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ العصر في بيتي حتى فارق الدنيا

“Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan dua rakaat setelah Ashar di rumahku sampai meninggalkan dunia. (HR. Ibnu Hibban No. 1573, juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Syuaib Al Arnauth dan lainnya)

5⃣ Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

مَا مِنْ يَوْمٍ كَانَ يَأْتِي عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا صَلَّى بَعْدَ العصر ركعتين

Tidaklah sehari pun kedatangan Rasulullah ﷺ melainkan dia shalat setelah ashar dua rakaat. (HR. Ibnu Hibban No. 1573, juga dishahihkan oeh para ulama)

6⃣ Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كان عندي بعد العصر صلاهما

Dahulu Rasulullah ﷺ jika sedang bersamaku, Beliau shalat dua rakaat setelah ashar. (HR. An Nasa’i No. 576, Abu Daud No. 1160. SHAHIH)

📋 Sikap Manusia Pada Zaman  Salaf

Pada zaman awal Islam, mereka pun terbagi menjadi dua kelompok antara pro dan kontra.

🌻 Pihak Yang Membolehkan

‘Atha bercerita:

أَنَّ عَائِشَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ كَانَتَا تَرْكَعَانِ بَعْدَ الْعَصْرِ

Bahwa Aisyah dan Ummu Salamah shalat dua rakaat setelah ashar. (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No. 3969)

Dari Ashim bin Abi Dhamrah bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu shalat dua rakaat setelah ashar di tendanya. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 7352)

Hisyam bin Urwah bercerita:

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ ابْنِ الزُّبَيْرِ الْعَصْرَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، فَكَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ، وَكُنَّا نُصَلِّيهِمَا مَعَهُ نَقُومُ صَفًّا خَلْفَهُ

Kami shalat Ashar di masjidil haram bersama Abdullah bin Az Zubair, saat itu dia shalat dua rakaat setelah ashar. Kami shalat juga bersamanya dengan membuat shaf  dibelakangnya . (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No.  3979)

Ibnu Aun bercerita, “Aku melihat Abu Burdah bin Abi Musa shalat dua rakaat setelah ashar.” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 7347)

Selain Aisyah, Ali,  Abdullah bin Az Zubeir Radhiallahu ‘Anhum, masih banyak lagi generasi tabi’in yang shalat dua rakaat setelah Ashar, seperti Abu Sya’tsa, Al Aswad bin Yazid, Amru bin Husein, Abu Wail, Masruq, Syuraih,  dan lainnya. (Lihat dalam Al Mushannaf Ibni Ab Syaibah No. 7347, 7348, 7350)

Apakah mereka tidak tahu ada larangan shalat setelah Ashar? Di jelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar:

فائدة فهمت عائشة رضي الله عنها من مواظبته صلى الله عليه وسلم على الركعتين بعد العصر أن نهيه صلى الله عليه وسلم عن الصلاة بعد العصر حتى تغرب الشمس مختص بمن قصد الصلاة عند غروب الشمس لا إطلاقه

Faidah dari hadits ini,  bahwa Aisyah memahami dari seringnya Nabi ﷺ shalat dua rakaat setelah ashar, bahwa larangan tersebut berlaku khusus bagi mereka yang memaksudkan shalat sampai terbenam matahari bukan larangan secara mutlak. (Fathul Bari, 2/66)

Jadi, bagi Aisyah Radhiallahu ‘Anha, larangan tersebut berlaku untuk mereka yang bermaksud melakukan shalat sampai matahari terbenam, bukan larangan semata-mata ba’diyah ashar.

🌹 Pihak Yang Melarang

Abu Ghadiyah bercerita:

رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَضْرِبُ النَّاسَ عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ

Aku melihat Umar bin Al Khathab memukul orang yang shalat dua rakaat setelah ashar. (Abdurrazzaq,Al Mushannaf, No. 3966)

Perbuatan Umar Radhiallahu ‘Anhu ini  juga diceritakan oleh Jabir dan Ibnu Abbas Radhialahu ‘Anhuma. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 7336, 7341)

Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma juga membencinya. Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas tentang shalat dua rakaat setelah Ashar, maka dia melarangnya, lalu kata Thawus “Tapi Aku tidak pernah meninggalkannya”, maka Ibnu Abbas mengutip ayat: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab: 36). (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No.3975)

Apakah mereka tidak tahu adanya riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu “Anha, bahwa Nabi ﷺpernah melakukannya, bahkan sangat sering? Pastilah mereka tahu, tapi mereka memahami secara berbeda.  Bagi mereka shalatnya Nabi ﷺ dua rakaat setelah ashar adalah menqadha shalat ba’diyah zhuhur, bukan karena semata ingin shalat ba’diyah ashar.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:

قول عائشة ما تركهما حتى لقي الله عز وجل وقولها لم يكن يدعهما وقولها ما كان يأتيني في يوم بعد العصر إلا صلى ركعتين مرادها من الوقت الذي شغل عن الركعتين بعد الظهر فصلاهما بعد العصر ولم ترد أنه كان يصلي بعد العصر ركعتين من أول ما فرضت الصلوات مثلا إلى آخر عمره بل في حديث أم سلمة ما يدل على أنه لم يكن يفعلهما قبل الوقت الذي ذكرت أنه قضاهما فيه

Ucapan Aisyah “Nabi tidak pernah meninggalkannya sampai wafat”, “Dia tidak pernah meninggalkannya”, dan ucapannya “Tidaklah Beliau mendatangiku dalam sehari melainkan dia shalat dua rakaat setelah ashar”, maksudnya adalah pada saat nabi disibukkan oleh sesuatu yang membuatnya tidak melakukan ba’diyah zuhur, maka Beliau pun melakukannya setelah ashar. Beliau bukan bermaksud bahwa Nabi shalat dua rakaat setelah ashar sejak adanya awal kewajiban shalat sampai akhir umurnya. (Fathul Bari,  2/66)

Ini juga dikatakan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:

إنما صلى النبي صلى الله عليه وسلم الركعتين بعد العصر لأنه أتاه مال فشغله عن الركعتين بعد الظهر فصلاهما بعد العصر ثم لم يعد

Sesungguhnya shalatnya Nabi ﷺ sebanyak dua rakaat setelah ashar hanyalah karena telah datang kepadanya harta yang membuatnya sibuk tidak sempat shalat rakaat dua rakaat ba’diyah zuhur, lalu dia melakukannya setelah ashar dan tidak mengulanginya. (HR. At Tirmidzi No. 184, katanya: hasan)

Hal ini tegas sebagaimana riwayat Imam Al Bukhari Rahimahullah berikut:

وَقَالَ كُرَيْبٌ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ

Kuraib berkata, dari Ummu Salamah: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat setelah ashar sebanyak dua rakaat. Beliau bersabda: “Orang-orang dari Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua rakaat setelah zhuhur.” (Shahih Bukhari, diriwayatkan secara mu’allaq dalam Bab Maa Yushalla Ba’dal ‘Ashri wa Minal Fawaa-it wa Nahwiha)

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahmahullah berkata:

قال الكرماني وهذا دليل الشافعي في جواز صلاة لها سبب بعد العصر بلا كراهة

Berkata Al Karmani: “Ini adalah dalil bagi Asy Syafi’i tentang kebolehan shalat  setelah ‘Ashar jika memiliki sebab, sama sekali tidak makruh.” (‘Umdatul Qari, 8/19)

Imam Badruddin Al ‘Aini mengomentari pendapat ini:

قلت هذا لا يصلح أن يكون دليلا لأن صلاته هذه كانت من خصائصه كما ذكرنا فلا يكون حجة لذاك

Aku berkata: tidak benar menjadikan hadits ini sebagai dalil, karena shalatnya ini merupakan bagian dari KEKHUSUSAN bagi Beliau, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atas hal itu. (Ibid)

Artinya Imam Al ‘Aini tetap melarang shalat setelah ashar, walau pun ada sebab. Dan menurutnya pembolehan di atas hanya khusus bagi Nabi ﷺ.

Imam Al Kasani Al Hanafi juga demikian, menurutnya shalatnya Nabi setelah Ashar adalah spesial baginya, bukan selainnya, dan itu dalam rangka qadha ba’diyah zhuhur sbgmn riwayat Ummu Salamah. (Lihat Bada’i Ash Shana’i, 1/296)

Namun, pendapat ini dianggap lemah, sebab kenyataannya para sahabat melakukannya shalat sunah, mereka shalat setelah Ashar yaitu shalat jenazah, dan tidak satu pun sahabat lain yang melarangnya. Sehingga menurut Imam An nawawi dan Imam Abul Hasan Al Mawardi telah ijma’ kebolehannya shalat sunah diwaktu terlarang jika ada sebab.  (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/174. Juga Al Hawi Al Kabir, 3/48)

Demikianlah pihak yang melarang; seperti Umar, Ibnu Abbas, Mu’awiyah, dan umumnya para fuqaha madzhab. Sekali pun mereka membolehkan, itu adalah konteks mengqadha shalat ba’diyah zhuhur, atau jika dilakukan karena sebab khusus, baik karena tahiyatul masjid, shalat jenazah, dan semisalnya sebagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik (Lihat Mukhtashar Al Inshaf, 1/161),  ini pun tidak semua setuju, seperti Atha, An Nakha’i, dan Abu Hanifah  mengingkari kebolehan itu berdasarkan hadits larangannya secara umum (Ibid, lihat juga Al Hawi Al Kabir, 3/48). Pengingkaran ini menganulir klaim ijma’ yang disampaikan oleh Imam An Nawawi dan Imam Al Mawardi sebelumnya.

📔Kenapa bisa terjadi perbedaan?

Untuk hak ini, Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah memiliki pandangan yang sederhana tapi jitu, katanya:

وَأَمَّا اخْتِلَافُهُمْ فِي الصَّلَاةِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ فَسَبَبُهُ تَعَارُضُ الْآثَارِ الثَّابِتَةِ فِي ذَلِكَ، وَذَلِكَ أَنَّ فِي ذَلِكَ حَدِيثَيْنِ مُتَعَارِضَيْنِ: أَحَدُهُمَا حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ الْمُتَّفَقِ عَلَى صِحَّتِهِ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ»
وَالثَّانِي: حَدِيثُ عَائِشَةَ قَالَتْ: «مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَاتَيْنِ فِي بَيْتِي قَطُّ سِرًّا وَلَا عَلَانِيَةً: رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ»
فَمَنْ رَجَّحَ حَدِيثَ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بِالْمَنْعِ، وَمَنْ رَجَّحَ حَدِيثَ عَائِشَةَ أَوْ رَآهُ نَاسِخًا ; لِأَنَّهُ الْعَمَلُ الَّذِي مَاتَ عَلَيْهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ بِالْجَوَازِ

Ada pun perbedaan mereka tentang shalat setelah Ashar disebabkan oleh adanya atsar-atsar yang bertentangan. Dalam hal ini ada dua riwayat yang bertentangan.

PERTAMA. Hadits Abu Hurairah yang disepakati keshahihannya bahwa: “Rasulullah ﷺ melarang shalat setelah Ashar sampai terbenamnya matahari dan melarang shalat setelah subuh sampai terbitnya matahari.”

KEDUA. Hadits ‘Aisyah, Beliau berkata: “Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan dua shalat di rumahku sedikit pun baik diam-diam atau terang-terangan, yaitu dua rakaat sebelum Subuh, dan dua rakaat setelah Ashar.”

Maka, bagi siapa yang menguatkan hadits Abu Hurairah akan berpendapat hal itu terlarang, dan siapa yang menguatkan hadits ‘Aisyah atau menilainya hadits ini menghapus hadits sebelumnya, karena ini adalah perbuatan yang Beliau ﷺ lakukan sampai wafat, akan berpendapat ini boleh. (Bidayatul Mujtahid, 1/110)

📚 Sikap Terbaik

Sikap terbaik adalah seperti yang diajarkan oleh para imam, agar kita toleran atas perselisihan fiqih seperti ini.

Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hambal tentang shalat sunah setelah Ashar, beliau berkata:

لا نفعله ولا نعيب فاعله

Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya. (Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)

Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’,  3/ 133)

Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, 1/285)

Wallahu A’lam

🌷🍃🍂🌾🌻🌹🌿🍀

✏ Farid Nu’man Hasan

Khathib Jumat Melawak

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

❓PERTANYAAN:

Asw. Ustadz Farid Nu’man Hasan -semoga Allaah SWT senantiasa menjaga Ustadz sekeluarga. Ana mau bertanya:

1. Bagaimana dengan Khatib Shalat Jum’at yang bercerita lucu sampai membuat sebagian besar jamaah tertawa (bahkan sampai 2 kali)?

2. Tentang tidak bolehnya memisahkan 2 orang yg sedang duduk pada shalat jum’at, bagaimanakah hukumnya? apakah mutlak, apapun keadaannya tidak boleh atau gimana? soalnya jamaah jum’at banyak yg tidak mengisi shaf depan terlebih dahulu.

Jazakumullaah khairan katsir.

💡JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

1⃣  Khutbah Jumat adalah momen yang bagus bagi para du’aat untuk mengingatkan manusia kepada Allah Ta’ala, mengingatkan mereka kepada ukhuwah, ibadah, akhirat, kondisi umat, dan semisalnya, yang bisa menggiring manusia pada opini yang positif dan semangat dalam beragama. Oleh karenanya, mestilah hal itu menggunakan kata-kata yang baik, serius, dan dapat dimengerti.

Hendaknya momen ini tidak diisi dengan hal-hal yang dapat mengaburkan itu semua, dengan selingan-selingan yang tidak perlu bahkan melalaikan, ngawur, dan melantur, dan tidak berbekas di hati manusia, sehingga umat lupa dengan maksud dan materi khutbah. Di sisi lain, membuat nilai khutbah tersebut menjadi rusak dan  tidak sempurna, walau tidak sampai membatalkannya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika berkhutbah, memerah matanya, suaranya meninggi, emosinya begitu nampak, seakan Beliau sedang memperingatkan pasukan yang berkata: siap siagalah kalian pagi dan sore!” (HR. Muslim No. 867)

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

يستحب كون الخطبة فصيحة بليغة مرتبة مبينة من غير تمطيط ولا تقعير ولا تكون الفاظا مبتذلة ملففة فانها لا تقع في النفوس

“Khutbah disunahkan dengan kata-kata yang fasih dan lancar, tersusun dan teratur rapi, mudah dimengerti jangan terlalu tinggi, dan bertele-tele, atau melantur sebab hal itu tidak  berbekas dihati. Seharusnya Khathib memilih kata-kata yang mudah, singkat dan berisi.” (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab,  4/528)

Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah berkata:

ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت

“Ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yaitu memberikan kabar gembira dan menakut-nakuti manusia. Inilah hakikat yang menjadi jiwa sebuah khutbah yang karenanya khutbah menjadi disyariatkan.” (Imam Shiddiq Hasan Khan, Ar Raudhah An Nadiyah, 1/137)

2⃣ Tidak ada larangan kita duduk di antara dua orang, jika memang dua orang itu renggang dan kita pun ada ruang yang cukup untuk duduk di antara mereka. Dengan kata lain, shaff yang ada sangat longgar. Maka, duduknya kita di antara mereka justru   bagus karena mengisi kekosongan shaf. Jika hal itu dilarang, tentu shaff tidak akan pernah penuh karena duduknya mereka  takut dianggap memisahkan di antara dua orang. Tentu tidak demikian.

Yang terlarang adalah jika kita melewati atau berjalan di antara bahu manusia yang berdekatan secara kasar, tergesa-gesa,  atau kita duduk di antara mereka secara paksa padahal tidak ada ruang yang cukup, dan saat itu khutbah sedang berlangsung. Hal itu dilakukan supaya kita bisa dapat shaff yang di depan.  Maka hal itu menyakitkan mereka, oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.

Abdullah bin Busr Radhiallahu ‘Anhu, berkata:

جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى ا

للَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ

Datang seorang laki-laki yang melangkah di antara bahu manusia, pada hari Jumat, saat itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah, maka Beliau bersabda kepadanya: “Duduklah, engkau telah menyakiti (orang lain, pen).” (HR. Abu Daud No. 1118, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1704, Ibnul Jarud dalam Al Muntaqa No. 294, Ibnu Khuzaimah No. 1811, Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 1954. Syaikh Al A’zhami mengatakan: shahih. Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah No. 1811, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1061, katanya: shahih sesuai syarat Muslim. Disepakati oleh Imam Adz Dzahabi. Imam Al ‘Aini mengatakan: isnadnya jayyid. Lihat ‘Umdatul Qari, 10/101)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:

ولا يجوز لإنسان أن يتخطى رقاب الناس يوم الجمعة وكذلك في غير الجمعة، وعلى الإنسان أن يأتي مبكراً ويجلس في الأماكن المتقدمة دون أن يتخطى رقاب الناس، لا أن يأتي متأخراً ثم يتخطى رقاب الناس من أجل أن يجلس في مكان متقدم، ولتتم الصفوف الأول فالأول، ولا ينشأ الصف الثاني إلا إذا امتلأ الصف الأول، ولا ينشأ الصف الثالث إلا إذا امتلأ الصف الثاني، ولا ينشأ الصف الرابع إلا إذا امتلأ الصف الثالث وهكذا، وبذلك يكون كل من جاء يجلس حيث ينتهي به المجلس، أو يقف حيث ينتهي به الموقف

Tidak boleh bagi manusia melangkah di antara bahu orang lain pada hari (shalat) Jumat dan juga pada selain Jumat.  Mestinya manusia datang bersegera dan duduk di tempat-tempat terdepan dengan tidak melangkahi bahu manusia,  bukannya memperlambat kemudian dia melangkah di antara bahu manusia dengan harapan bisa duduk di tempat terdepan, dan untuk menyempurnakan shaff yang pertama. Janganlah dia mengisi shaff kedua, kecuali jika shaff yang pertama sudah penuh, dan jangan dia memenuhi shaff ketiga, kecuali jika telah penuh shaff yang kedua, dan jangan dia memnuhi shaff keempat kecuali jika telah penuh shaff yang ketiga, begitu seterusnya. Dengan demikian setiap orang yang datang akan duduk ditempat akhir dari majelis, atau berhenti di bagian akhir orang berhenti. (Syarh Sunan Abi Daud,  6/394)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🌺☘🌴🌻🍃🌾🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top