Kafarat Sumpah

Pertanyaan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Assalamu’alaikum ustadz.
Ustadz saya mau konsultasi mengenai sumpah/nazar.
Dulu saya pernah bersumpah sekali setiap kali menonton film dewasa/p**no saya akan berpuasa satu hari. Tetapi saya telah melanggar banyak dan saya tidak bisa berpuasa sebanyak itu.
Jika saya memilih membayar kaffarah apakah saya harus membayar kaffarah berulang-ulang kali ? Ataukah satu kaffarah cukup untuk menebus semua pelanggaran karena sejatinya saya memang hanya bersumpah sekali?

Terimakasih atas jawabannya, ustadz. (EA)

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Jawaban

Wa’Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Semoga Allah Ta’ala menjadikan Anda dan kita semua istiqamah .. amiin

Sumpah itu ada yang dimaksudkan untuk sengaja bersumpah dan ada yang tidak bermaksud untuk bersumpah.

Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan tentang sumpah yang disengaja:

فهي يمين متعمدة مقصودة، وليست لغوا يجري على اللسان بمقتضى العرف والعادة. وقيل: اليمين المنعقدة هي أن يحلف على أمر من المستقبل أن يفعله أو لا يفعله.
وحكمها: وجوب الكفارة فيها عند الحنث.

Itu adalah sumpah yang disengaja dan dimaksudkan untuk bersumpah, bukan karena lisan yang teledor menurut standar yang berlaku dalam tradisi dan kebiasaan. Di katakan, bahwa sumpah yang disengaja itu adalah sumpah atas sebuah perkara yang akan datang, baik dia akan melakukannya atau tidak akan melakukannya. Hukumnya adalah wajib kafarat ketika dia melanggarnya. (Fiqhus Sunnah, 3/19)

Maka, seseorang yang sengaja bersumpah, seperti perkataan: “Demi Allah, aku akan melakukan ini …” atau “Demi Allah, aku tidak akan melakukan ini …”, ini adalah sumpah yang wajib dibayarkan kafarat apabila dia langgar sendiri sumpah itu.

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak kamu maksudkan (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja. (QS. Al Maidah: 89)

Hukum sumpah ini adalah bahwa orang yang mengingkari sumpahnya dia berdosa, dan wajib atasnya kafarat, tapi bagi yang benar-benar menjalankan sumpahnya yang disengaja itu, maka dia tidak berdosa.

Bagaimana cara kafaratnya?

Jika sumpahnya memang hanya sekali, maka kafaratnya pun hanya sekali, sebab al Jaza min jinsil ‘amal (balasan itu sesuai amalnya).

Ada pun jika sumpahnya berulang-ulang secara sengaja (Tikrarul Yamiin), maka kafaratnya mesti ada pada tiap sumpah, hal ini menjadi pendapat dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Fiqhus Sunnah, 3/24)

Detil tata caranya, Allah Ta’ala jelaskan sebagai berikut:

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al Maidah: 89)

Jadi, kafarat sumpah itu:

1. Dengan memberikan makan kepada 10 fakir miskin. Tentang takarannya, menurut Syaikh Sayyid Sabiq tidak ada nash syar’iy yang spesifik menyebutkannya, ini disesuaikan dengan kepantasan yang ada. Sementara Syaikh Abu Bakar Al Jazairi mengatakan masing-masing sebanyak satu mud gandum (atau disesuaikan dengan makanan dan takaran masing-masing negeri), atau mengundang mereka semua dalam jamuan makan malam atau siang sampai mereka puas dan kenyang, dengan makanan yang biasa kita makan.

2. Atau memberikan pakaian yang sah untuk shalat kepada mereka, jika fakir miskin itu wanita, maka mesti dengan kerudungnya juga sebab seperti itulah yang layak dipakai untuk shalat.

3. Atau memerdekakan seorang budak

4. Jika semua tidak sanggup, maka shaum selama tiga hari, boleh berturut-turut atau tidak.

Kafarat ini dilakukan sesuai urutan, jika yang pertama sudah selesai dilakukan maka tuntas sudah kafaratnya. Jika ternyata tidak mampu yang pertama, maka dia lakukan yang kedua, jika mampu maka tuntas kafaratnya. Jika kedua juga tidak mampu, maka lakukan yang ketiga, dan seterusnya.

Jadi, bukan dipilih langsung yang paling ringan dulu.

Demikian. Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌾🌻

Farid Nu’man Hasan

Jangan Dibalik .. Kalianlah Yang Harus Berkoordinasi Kepada Ulama

Manusia memang aneh, Allah ﷻ mengatakan A, tapi mereka kontra A. Jika ini datangnya dari orang yang tidak mengimani Allah ﷻ, tidak mengimani Al Quran, barangkali bisa dimaklumi, tapi ini datangnya dari muslim sendiri yang mengaku mengimani Allah dan kitab suciNya.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون
َ
“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43)

Siapakah Ahludz Dzikri yang dimaksud oleh ayat yang mulia ini?

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب

.Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108, Ihya’ Ats Turats Al ‘Arabi, 1985M-1405H. Beirut-Libanon)

Jadi, kalianlah yang mesti berkoordinasi dengan para ulama, meminta nasihat dan petunjuknya, menanyakan hukumnya, jangan justru ulama disuruh-suruh untuk tunduk dengan maunya kalian. Lalu, menggoyang independensi fatwa mereka dengan segala macam jamuan.

Apakah mereka-mereka ini mau seperti yang disindir oleh Nabi ﷺ?

Dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Bukan termasuk umatku, orang yang tidak menghormati orang besar kami (orang tua, pen), tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak para ulama kami.” (HR. Ahmad No. 22755, Al Bazzar No. 2718, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Atsar No. 1328, Asy Syaasyi dalam Musnadnya No. 1272. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 22755)

Ataukah mereka mau seperti yang Nabi ﷺ kabarkan tentang kondisi akhir zaman …, bahwa manusia akhirnya bertanya agama kepada tokoh-tokoh bodoh (ru’uusan juhhaala) saja ?

…. اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا و اضلوا

… Maka manusia mengangkat tokoh-tokoh bodoh, mereka ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, lalu mereka sesat dan menyesatkan. (HR. Al Bukhari No. 98, Muslim No. 4828)

Ayo .. kita dudukan para ulama kita sesuai haknya sebagaimana perintah Allah dan RasulNya.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

Farid Nu’man Hasan

Fatwa Imam Ibnul Qayyim Tentang Mengucapkan Selamat Natal

Berikut ini fatwa Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah tentang sekedar mengucapkan selamat hari raya agama lain –yang sebenarnya lebih ringan dibanding ikut merayakannya:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll, pen) adalah hal yang diharamkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.

Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, Hal. 162. Cet. 2. 2002M-1423H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

Farid Nu’man Hasan

Khitbah (Melamar/Meminang) (Bag. Terakhir)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

🔟 Mengambil Kembali Hadiah/Seserahan

Dalam tradisi khitbah di tanah air, biasanya pihak laki-laki membawa barang-barang hadiah untuk pihak wanita. Ada yang membawanya saat khitbah, ada pula saat akad nikah. Ini luwes saja. Dalam kitab-kitab fiqih ini juga dibahas dan hal yang baik.

Lalu, bagaimana jika khitbah dibatalkan, apakah hadiah atay seserahan tersebut diambil lagi atau sudah milik pihak wanita?

Harta yang sudah kita hibahkan, sedekah, waqaf, dan semisalnya, tidak boleh diambil lagi.

Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوءِ

“Orang yang mengambil kembali pemberiannya, bagaikan anjing yang menjilat muntahnya sendiri, kami tidak memiliki sebuah perumpamaan yang buruk semisal ini “. (HR. Al Bukhari No. 2589, 6975, Muslim No. 1622)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:

ولعل هذا أبلغ في الزجر عن ذلك وأدل على التحريم

Dan bisa jadi ini peringatan yang paling keras tentang masalah ini, dan menunjukkan keharamannya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/435)

Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

فيه دلالة على تحريم الرجوع في الهبة وهو مذهب جماهير العلماء

Pada hadits ini terdapat dalil keharaman mengambil lagi pemberian. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. (Subulus Salam, 3/90)

Demikianlah secara umum, namun ada pengecualian, yaitu dibolehkan mengambil kembali pemberian jika pemberian orang tua ke anaknya. Misal anak diberikan HP, tp HP itu membuatnya lupa shalat dan belajar, maka tidak apa-apa diambil lagi sebagai hukuman dan pendidikan bagi anak.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده

Tidak halal bagi seseorang memberi suatu pemberian lalu dia ambil kembali, kecuali orangtua, dia boleh mengambil kembali apa yang telah diberikan kepada anaknya”. (HR. At Tirmidzi No. 1298. Hadits ini shahih)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkomentar:

والعلم على هذا الحديث عند بعض أهل العلم من بعض أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم وغيرهم قالوا من وهب هبة لذي رحم محرم فليس له أن يرجع فيها ومن وهب هبة لغير ذي رحم محرم فله أن يرجع فيها ما لم يثب منها وهو قول الثوري وقال الشافعي لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده واحتج الشافعي بحديث عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده

Sebagian ulama dari sahabat nabi dan yang lainnya mempraktekkan hadits ini. Mereka berkata, “Seseorang yang memberi suatu pemberian kepada kerabat mahramnya (orang yg haram menikah dengannya), dia boleh mengambil kembali pemberian tersebut, sementara orang yang memberi suatu pemberian kepada orang lain yang bukan mahramnya, maka dia tidak boleh mengambil kembali pemberian tersebut. Demikian ini juga  pendapat Ats-Tsauri. Asy Syafi’i berkata, “Tidak halal bagi seseorang yang memberi suatu pemberian. lalu mengambilnya kembali. kecuali orangtua, dia boleh mengambil apa yang telah diberikan kepada anaknya.” Asy Syafi’i berdalih dengan hadits Abdullah bin Umar, dari Nabi  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  beliau bersabda:  “Tidak halal bagi seseorang memberikan snatu pemberian lalu mengambilnya kembali, kecuali orangtua”. Dia boleh mengambil kembali apayang telah diberikan kepada anaknya. (Sunan At Tirmidzi No. 1299)

Sebagian ulama membolehkan mengambil lagi barang seserahan itu. Mereka qiyaskan itu dengan jual beli ‘urbun (panjer/DP) dimana mayoritas ulama mengatakan tidak boleh jika ada pembatalan lantas panjer itu menjadi milik pedagang, mesti kembali ke pembelinya.

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat mayoritas ulama  bahwa seserahan tidak boleh diambil lagi. Qiyas pihak yang membolehkan tidaklah pas, sebab ini bukan masalah jual beli, tapi hadiah atau pemberian yang didasari kerelaan.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌴🌻🌺☘🌷

Farid Nu’man Hasan

Bahasan tentang khitbah:

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 1

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 2

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 3

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 4

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 5

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 6

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag Terakhir

scroll to top