Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 13)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KETIGA, lanjutan

Implikasi kalimat Laa Ilaha Illallah adalah ibadah itu hendaknya ditujukan untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata (Al ‘Ibadat Lillah). Tidak memperuntukkan peribadatan semata-mata demi kepuasan, kekhusyu’an, ketenangan, apalagi pujian manusia. Bukan itu. Tetapi menjadikan peribadatan semua untuk Allah Ta’ala, ikhlas dan murni untukNya semata. Sebagai bukti kecintaan, khauf (takut), dan raja’ (harap) kepadaNya. Baik ibadah infiradi (pribadi) atau jama’i (bersama-sama).

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ..” (QS. Al Bayyinah (98): 5)

Ayat lainnya:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An’am (6): 162)

Ayat lainnya:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS. Al Mulk (67): 2)

Siapakah yang paling baik amalnya? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) mengutip dari Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh (w. 187H) sebagai berikut:

قَالَ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَقِيلَ : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ فَقَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ . وَإِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ . وَقَدْ رَوَى ابْنُ شَاهِينَ واللالكائي عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ : لَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إلَّا بِنِيَّةِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّة

(Yaitu) “yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada orang bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya amal itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Dan jika ikhlas tetapi tidak benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah menjadikan ibadah hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu Syahin dan Al Lalika’i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Tidak akan diterima ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 6/345)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim No. 2564. Ahmad No. 7493. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 10088. Ibnu Hibban No. 394)

Ibadah merupakan upaya kita untuk menuju diriNya dan itu merupakan manhaj Allah (manhajullah) yang sudah Dia tetapkan bagi hamba-hambaNya. Jika ingin mendekatkan diri kepadaNya, ingin menjadi ‘ibadurrahman sejati, ingin menjadi keluargaNya, ingin menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai penglihatannya ketika dia melihat, sebagai pendengarannya ketika dia mendengar, sebagai kakinya ketika dia melangkah, maka mengabdikan diri kepadaNya, merendah, tunduk, patuh, cinta, takut, dan harap kepadaNya merupakan manhaj yang harus ditempuh bagi siapa saja yang ingin bertemu denganNya di akhirat dalam keadaan puas, ridha dan diridhai.

Allah ‘Aza wa Jalla berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah

hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr (89): 27-30)

Namun demikian, manhaj ini tidak bisa ditempuh dengan tata cara yang keliru, keluar dari koridor baik mengurangi atau menambahkan (baca: bid’ah) dengan hal-hal yang tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Walau pun dipandang baik oleh manusia dan hawa nafsu, namun tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka menjadi sia-sia. Inilah implikasi dari Muhammadarrasulullah, yakni menjadikan Beliau sebagai satu-satunya teladan yang baik (qudwah hasanah) dalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan pengertian ibadah yang sangat luas, tidak menyelisihinya, apalagi menentangnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab (33): 21)

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran (3): 31)

Jumhur (mayoritas) para ulama salaf mengatakan ayat ini turun karena pada zaman nabi ada kaum yang mengklaim, “Kami mencintai Allah.” Lalu turunlah ayat ini, bahwa jika ingin membuktikan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai panutan, dan itu merupakan tanda dari mencintaiNya. Sedangkan yang lain mengatakan, ayat ini turun merupakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar kaum Nasrani Bani Najran menepati janjinya bahwa mereka mengatakan mencintai Allah dan mengagungkanNya, maka untuk itu mereka harus mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan, 6/322-323. Mu’asasah Ar Risalah)

Ayat lainnya:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur (24): 63)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam), dengan apa-apa yang tidak ada padanya maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550. Muslim No. 1718. Abu Daud No. 4606. Ibnu Majah No. 14. Ahmad No. 24840. Lafaz ini milik Bukhari)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pula, dengan lafaz agak berbeda, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang beramal dengan sebuah perbuatan yang tidak ada contohnya dalam agama kami, maka itu tertolak.” (HR. Muslim No. 1718. Ahmad No. 24298)

Imam An Nawawi (w. 676H) Rahimahullah mengatakan:

وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات

“Hadits ini merupakan kaidah agung diantara kaidah-kaidah Islam. Ini adalah kalimat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bermakna luas. Ini begitu jelas dalam menolak bid’ah dan hal mengada-ada. “ (Syarh Shahih Muslim, No. 3242. Mauqi’ Ruh Al Islam)

Imam Abul Abbas Ahmad bin Abu Hafsh Al Anshari Al Qurhubi mengomentari hadits ini:

من اخترع في الشرع ما لا يشهد له أصل من أصوله فهو مفسوخ ، لا يعمل به ، ولا يلتفت إليه

“Barangsiapa yang menciptakan dalam syariat sesuatu yang tidak disaksikan oleh dasar dari dasar-dasar syariat, maka hal itu batal, tidak boleh beramal dengannya, dan tidak boleh mengikutinya.” (Al Mufhim Lima 16/85. Al Maktabah Al Misykat)

Maka hendaknya kaum muslimin menjadikan sunah nabi adalah sunah (jalan) bagi hidupnya, tidak yang lainnya. Inilah jalan yang ditempuh umat terbaik pada masa silam. Hanya jalan inilah kebaikan hidup dunia dan akhirat, serta kejayaannya. Demikianlah wasiat para imam kaum muslimin dari zaman ke zaman.

Berkata Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu:

عليكم بالسبيل والسنة فإنه ليس من عبد على سبيل وسنة ذكر الرحمن ففاضت عيناه من خشية الله فتمسه النار وإن اقتصادا في سبيل وسنة خير من اجتهاد في إخلاف

“Hendaknya kalian bersama jalan kebenaran dan As Sunnah, sesungguhnya tidak akan disentuh neraka, orang yang di atas kebenaran dan As Sunnah dalam rangka mengingat Allah lalu menetes air matanya karena takut kepada Allah Ta’ala. Sederhana mengikuti kebenaran dan As Sunnah adalah lebih baik, dibanding bersungguh-sungguh dalam perselisihan.”

Dari Abul ‘Aliyah, dia berkata:

عليكم بالأمر الأول الذي كانوا عليه قبل أن يفترقوا قال عاصم فحدثت به الحسن فقال قد نصحك والله وصدقك

“Hendaknya kalian mengikuti urusan orang-orang awal, yang dahulu ketika mereka belum terpecah belah.” ‘Ashim berkata: “Aku menceritakan ini kepada Al Hasan, maka dia berkata: ‘Dia telah menasihatimu dan membenarkanmu.’“

Dari Al Auza’i, dia berkata:

اصبر نفسك على السنة وقف حيث وقف القوم وقل بما قالوا وكف عما كفوا عنه واسلك سبيل سلفك الصالح فانه يسعك ما وسعهم

“Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah, berhentilah ketika mereka berhenti, dan katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa-apa yang mereka tahan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih, karena itu akan membuat jalanmu lapang seperti lapangnya jalan mereka.”

Dari Yusuf bin Asbath, dia berkata:

قال سفيان يا يوسف إذا بلغك عن رجل بالمشرق أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام وإذا بلغك عن آخر بالمغرب أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام فقد قل أهل السنة والجماعة

“Berkata Sufyan: Wahai Yusuf, jika sampai kepadamu seseorang dari Timur bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya. Jika datang kepadamu dari Barat bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya, sungguh, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sedikit.”

Dari Ayyub, dia berkata:

إني لأخبر بموت الرجل من أهل السنة فكأني أفقد بعض أعضائ

“Sesungguhnya jika dikabarkan kepadaku tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan telah copot anggota badanku.”

Dan masih banyak lagi nasihat yang serupa. (Lihat semua ucapan salaf ini dalam Talbisu Iblis, hal. 10-11, karya Imam Abul Faraj bin Al Jauzi )

bersambung ….

🍃🌷☘🌺🌻🌸🌾🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Wanita Keputihan Gak Boleh Jadi Imam?

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustad,
Saya ingin bertanya:
“Apakah benar jika seorang perempuan sedang mengalami keputihan maka ia tidak boleh menjadi imam dalam sholat berjamaah bersama (sesama perempuan)?”
Mohon penjelasannya ustad 🙏🙏
Sukron katsiron

Afwan , menambahkan pertanyaan mengenai keputihan. Keputihan termaksud najis atau bukan ya ustadz ? Bila sudah wudhu kemudian keluar keputihan apakah wudhunya perlu diulang ?
Syukron katsir ustadz

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Keputihan/Ar Ruthubah secara bahasa bermakna Al Ballal yang artinya basah, lembab, berembun.

Adapun secara terminologi, seperti yang dijelaskan ulama:

وَهِيَ مَاءٌ أَبْيَضُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ الْمَذْيِ وَالْعَرَقِ

Yaitu cairan putih yang samar antara madzi dan keringat. (Nihayatul Muhtaj, 1/229)

Ada pun madzi adalah cairan yang keluar dari kemaluan ketika syahwat, dan lebih sering dialami wanita. Statusnya disepakati najisnya.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memberikan penjelasan:

وهو ماء أبيض لزج يخرج عند التفكير في الجماع أو عند الملاعبة، وقد لا يشعر الانسان بخروجه، ويكون من الرجل والمرأة إلا أنه من المرأة أكثر، وهو نجس باتفاق العلماء

Itu adalah air berwarna putih agak kental yang keluar ketika memikirkan jima’ atau ketika bercumbu, manusia tidak merasakan keluarnya, terjadi pada laki-laki dan wanita hanya saja wanita lebih banyak keluarnya, dan termasuk najis berdasarkan kesepakatan ulama. (Fiqhus Sunnah, 1/26. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Pembahasan tentang keputihan ada dua hal:

1. Najiskah keputihan?

Para ulama membedakan antara keputihan yang keluarnya dari dalam kemaluan, dengan yang keluarnya dari permukaan bagian luar kemaluan.

Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah:

وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إلَى نَجَاسَةِ رُطُوبَةِ الْفَرْجِ الْخَارِجَةِ مِنْ بَاطِنِهِ ، لأَِنَّهَا حِينَئِذٍ رُطُوبَةٌ دَاخِلِيَّةٌ ، أَمَّا الْخَارِجَةُ مِنْ ظَاهِرِ الْفَرْجِ وَهُوَ مَا يَجِبُ غَسْلُهُ فِي الْغُسْل وَالاِسْتِنْجَاءِ فَهِيَ طَاهِرَةٌ .
وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ وَالْحَنَابِلَةُ : إِلَى طَهَارَةِ رُطُوبَةِ الْفَرْجِ مُطْلَقًا

Mayoritas ahli fiqih mengatakan najisnya keputihan yang keluar dari dalam kemaluan, karena itu merupakan cairan yang keluar dari dalam.

Ada pun yang keluar dari bagian permukaan, yaitu yg wajib dicebok, maka itu SUCI.

Ada pun Abu Hanifah dan Hanabilah mengatakan keputihan adalah suci secara muthlaq.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 32/85)

Sementara Malikiyah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, mengatakan najis, bahkan dzakar laki-laki juga jadi najis jika jima’, atau jari jemari dan pembalut yang masuk ke dalamnya. (Ibid, 22/260)

Sementara madzhab Syafi’i, menyatakan SUCI yg keluar dari permukaan kemaluan yg bisa keluar saat duduk.

Adapun keputihan yang dari dalam kemaluan adalah najis, itulah yg menempel dikemaluan laki-laki saat jima’.
(Ibid)

Pendapat yg paling kuat adalah SUCI, sebab tidak ada dalil khusus yg menyatakan itu najis. Dan ini pendapat mayoritas ulama.

2. Apakah membatalkan wudhu? (otomatis shalat pun batal karena wudhunya batal)

Mayoritas ulama mengatakan wudhu batal karena keluar keputihan, walau keputihan itu suci. Hal ini sama seperti air mani, walau suci, tetaplah membatalkan wudhu dan shalat.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

أنها ناقضة للوضوء ، وهذا مذهب الجمهور ، واستدلوا بأن النبي – صلى الله عليه وسلم – أمر المستحاضة أن تتوضأ لكل صلاة ، وتلك الرطوبة أو السوائل ملحقة بالاستحاضة

Itu membatalkan wudhu, inilah madzhab Jumhur, mereka berdalil karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada wanita yg sdg istihadhah untuk berwudhu setiap akan shalat. Sedangkan keputihan akan ikut keluar bersamaan dgn istihadhah.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 44980)

Sementara ulama lain, seperti Imam Ibnu Hazm mengatakan tidak batal. Juga salah satu pendapat Imam Ibnu Taimiyah. (Al Ikhtiyarat, Hal. 27), walau dalam kitab lain dia menyatakan tidak batal. (Majmu Al Fatawa, 21/221)

Jadi, jika dalam keadaan normal dan wajar sebagaimana umumnya keputihan itu membatalkan wudhu dan shalat, maka wajar jika ada yang melarangnya menjadi imam.

Bagaimana jika sudah jadi penyakit?

Ada wanita tertentu yang keputihannya tidak wajar. Sangat banyak dan keluar terus menerus, yang disebabkan sakit. Maka, ini kondisi masyaqqat (kesulitan) baginya, baginya boleh menjamak shalat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:

فإذا كانت هذه الريح التي ليس لها جرم وأنها هواء ناقضة للوضوء فما له جرم فهو أخبث منها وينقض الوضوء، لكننا نرى أن هذه الرطوبة الدائمة مع المرأة وإن نقضت الوضوء فإنها طاهرة لا يلزمها أن تغسل ثيابها منها. وأما جواز جمعها بين الصلاتين لمشقة الوضوء لكل صلاة فهو جائز، يجوز أن تجمع بين الظهر والعصر، وبين المغرب والعشاء إذا كان يشق عليها أن تتوضأ لكل صلاة، أما إذا كان لا يشق عليها، فإن الواجب أن تصلي كل صلاة في وقتها

Jika angin (yang keluar dari dubur dan kemaluan) yang tidak berbau saja bisa membatalkan wudhu, maka apa-apa yang keluar darinya dan berbau tentu lebih busuk lagi, maka itu juga membatalkan wudhu. Tapi kami berpendapat, wanita yang keputihan keluar terus menerus dan itu membatalkan wudhunya, tetaplah keputihannya itu suci tidak wajib mencucinya saat kena pakaian. Jika dia mau jamak karena kesulitan wudhu setiap mau shalat, maka itu boleh. Boleh baginya menjamak zuhur dan ashar, Maghrib dan isya, jika memang sulit wudhu tiap shalat.

Tapi, jika dia tidak kesulitan maka dia wajib shalat pada waktunya masing-masing.

(Liqa Asy Syahriy, 2/212)

Demikian. Wallahu a’lam

🌸🍀☘🌷🍃🎋🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

Surat Jihad Imam Abdullah bin Al Mubarak kepada Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh

Ini adalah surat Imam Abdullah bin Al Mubarak di medan jihad kepada Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh yang sedang asyik beribadah di Haramain (Mekkah dan Madinah). Berikut ini teksnya:

روى الحافظ بن عساكر في ترجمة عبد الله بن المبارك من طريق محمد بن إبراهيم بن أبي سكينة، قال: أملى علي عبد الله بن المبارك هذه الأبيات بطرسوس، وودعته للخروج، وأنشدها معي إلى الفضيل بن عياض في سنة سبعين ومائة، وفي رواية سنة سبع وسبعين ومائة:
يا عابد الحرمين لو أبصرتنا … لعلمت أنك في العبادة تلعب
من كان يخضب خده بدموعه … فنحورنا بدمائنا تتخضب
أو كان يتعب خيله في باطل … فيخولنا يوم الصبيحة تتعب
ريح العبير لكم ونحن عبيرنا … وهج السنابك والغبار الأطيب
ولقد أتانا من مقال نبينا … قول صحيح صادق لا يكذب
لا يستوي وغبار خيل الله في … أنف امرئ ودخان نار تلهب
هذا كتاب الله ينطق بيننا … ليس الشهيد بميت لا يكذب
قال: فلقيت الفضيل بن عياض بكتابه في المسجد الحرام، فلما قرأه ذرفت عيناه وقال:
صدق أبو عبد الرحمن ونصحني، ثم قال: أنت ممن يكتب الحديث؟ قال: قلت: نعم، قال فاكتب هذا الحديث كراء حملك كتاب أبي عبد الرحمن إلينا وأملى علي الفضيل بن عياض:
حدثنا منصور بن المعتمر عن أبي صالح عن أبي هريرة أن رجلا قال: يا رسول الله، علمني عملا أنال به ثواب المجاهدين في سبيل الله، فقال «هل تستطيع أن تصلي فلا تفتر، وتصوم فلا تفطر؟» فقال: يا رسول الله، أنا أضعف من أن أستطيع ذلك، ثم قال النبي صلى الله عليه وسلم «فو الذي نفسي بيده لو طوقت ذلك ما بلغت المجاهدين في سبيل الله، أو ما علمت أن الفرس المجاهد ليستن في طوله، فيكتب له بذلك الحسنات»

📒📕📘📗

Al Haafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dalam biografi Imam Abdullah bin Al Mubarak, dari jalan Muhammad bin Ibrahim bin Abi Sukainah, katanya: Abdullah bin Al Mubarak mendiktekan kepada saya bait-bait syair di daerah Tharsus. Lalu saya meninggalkannya dan pergi. Saya membawa surat itu dan menjumpai Al Fudhail bin ‘Iyadh pada tahun 170 –dalam riwayat lain tahun 177:

“Wahai ahli ibadah di dua tanah Haram … seandainya kau melihat kami, niscaya kau akan tahu bahwa engkau dan ibadahmu itu hanyalah main-main belaka ..

Orang yang membasahi pipinya dengan linangan air matanya … sementara kami membasahi leher kami dengan darah-darah kami ..

Atau orang yang membuat lelah kuda perangnya dalam kesia-siaan … sementara kuda-kuda kami lelah payah di medan pertempuran ..

Aroma bagimu adalah wewangian yang semerbak, sementara wewangian kami …. adalah pasir dan debu-debu yang mengepul …

Telah datang kepada kita sabda sang nabi …. Perkataan yang jujur lagi benar dan tidak dusta …

Bahwa tidaklah sama debu-debu kuda di jalan Allah yang menempel di hidung seseorang dan kobaran asap dan api yang menyala-nyala …

Inilah kitabullah yang berbicara di antara kita … orang mati syahid itu tidaklah mati, dan ini bukanlah kedustaan …”

🍀🍃🍂🌾🌷🌴

Muhammad bin Ubrahim bin Abi As Sukainah berkata: Saya menemui Al Fudhail bin ‘Iyadh di Masjidil Haram dan dia bersama surat itu. Ketika dia membacanya, nampak kedua matanya berlinang, dan dia berkata: “Abu Abdirrahman (Abdullah bin Al Mubarak) telah benar dan dia telah menasihatiku.” Muhammad bin Ibrahim bertanya: “Apakah engkau termasuk yang menuliskan haditsnya?” Beliau menjawab: “Ya”, lalu dia bekata lagi: “Tulislah hadits ini, sebagai balasan untukmu yang membawakan surat Abu Abdirrahman untukku.” Lalu Al Fudhail bin ‘Iyadh mendiktekan untukku:

Berkata kepada kami Manshur bin Al Mu’atamar, dari Abu Ash Shaalih, dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah ada amal perbuatan yang sebanding dengan jihad fi sabilillah?, beliau menjawab: “Kalian tidak akan mampu.” Mereka bertanya hingga dua atau tiga kali, semuanya dijawab: “Kalian tidak akan mampu.” Begitu yang ketiga kalinya, beliau bersabda: “Perumpamaan mujahid di jalan Allah bagaikan seorang yang berpuasa, shalat malam, berdzikir membaca ayat Allah, tidak pernah henti dari puasa dan shalatnya itu sampai pulangnya si mujahid di jalan Allah Ta’ala.” (selesai)

📚 Kisah ini terdapat dalam:

– Tarikh Dimasyqi, karya Imam Ibnu ‘Asakir (w. 571 H), Juz. 32, Hal. 450, Th. 1415 H – 1995M. Darul Fikr, Beirut.

– Siyar A’lam An Nubala, karya Imam Adz Dzahabi (w. 758 H), Juz, 7, Hal. 386, Th. 1427H – 2006M. Darul Hadits, Kairo.

– Thabaqat Asy Syafi’iyah, karya Imam Tajjuddin As Subki (w. 771 H), Juz. 1, Hal. 287, Cet. 2, Th. 1413H. Hijr. Tahqiq: Dr. Mahmud Muhammad Ath Thanahi, dan Dr. Abdul Fattah Muhammad Al Halwi.

– Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, karya Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), Juz. 2, Hal. 179, Cet. 1, 1419 H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tahqiq: Muhammad Husein Syamsuddin

– Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi (w. 1285 H), Hal. 382, Cet. 7, Th. 1377 H – 1957 M, Mathba’ah As Sunnah Al Muhammadiyah, Mesir. Tahqiq: Muhammad Haamid Al Faqi

– At Tafsir Al Wasith Al Karim, karya Syaikh Muhammad Sayyid Ath Thanthawi, Juz. 2, Hal. 387, Cet. 1, Th. 1997 M, Darun Nahdhah, Mesir.

– Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq (w. 1420 H), Juz. 2, 631-632, Cet. 3, Th. 1397H – 1977M, Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut, Libanon.

🍃🌴🌺🌷🌾🌸🌻☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Najisnya Daging Babi

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum…
Mau tanya, hukum megang daging babi gimana ?
Apalagi TKI yg kerjanya mau ga mau harus megang daging babi, walaupun tki tersebut tidak memakannya. Mohon penjelasannya ustadz/dzah
📝

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa ‘alaikumussalam …, Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Najisnya daging babi sudah disepakati para ulama, ada pun selain dagingnya, seperti kulit dan bulunya, terjadi khilafiyah di antara mereka (Insya Allah akan dibahas kapan-kapan).

Dalilnya adalah:

قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ …

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena Sesungguhnya semua itu kotor (rijs) … “. (QS. Al An’am (6): 145)

Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar:

قل -أيها الرسول- : إني لا أجد فيما أوحى الله إليَّ شيئًا محرمًا على من يأكله مما تذكرون أنه حُرِّم من الأنعام، إلا أن يكون قد مات بغير تذكية، أو يكون دمًا مراقًا، أو يكون لحم خنزير فإنه نجس

Katakanlah –wahai Rasul: sungguh aku tidak temukan pada apa yang Allah wahyukan kepadaku makanan yang diharamkan untuk dimakan, dari apa yang kalian sebutkan bahwa telah diharamkan hewan ternak, melainkan hewan yang matinya tidak disembelih, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis. (Tafsir Al Muyassar, 2/440)

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah menjelaskan:

{ أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ } يعني نجساً حراماً

(atau daging babi, karena itu adalah rijs/kotor) yakni najis lagi haram. (An Nukat wal ‘Uyun, 1/453)

Namun Imam Asy Syaukani berbeda dengan kesepakatan ini, dia menyendiri, menurutnya daging babi adalah suci. Makna rijs bukanlah najis, tetapi haram. Tak ada hubungan antara haramnya sesuatu dengan kenajisannya. Sebab yang haram belum tentu najis, seperti menikahi ibu dan anak kandung sendiri adalah haram, tapi mereka bukan najis. (As Sailul Jarar, 1/38)

Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top