Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 15)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KETIGA, lanjutan

Selanjutnya:

وَإِقَامِ الصَّلاة

dan mendirikan shalat

📌 Shalat Apa Yang Dimaksud?

Yaitu menjalankan shalat fardhu yang lima waktu; subuh, zhuhur, asar, maghrib, dan isya. Ada pun Imam Abu Hanifah menambahkan menjadi enam yakni witir. Tetapi, dia sendirian dalam pendapatnya ini. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وما ذهب إليه أبو حنيفة من وجوب الوتر فمذهب ضعيف. قال ابن المنذر: لا أعلم أحدا وافق أبا حنيفة في هذا

“Apa yang menjadi pendapat Abu Hanifah bahwa witir adalah wajib merupakan pendapat yang lemah. Berkata Imam Ibnul Mundzir: “Aku tidak mengetahui seorang pun yang setuju dengan Abu Hanifah dalam hal ini.” (Fiqhus Sunnah, 1/192. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)

📌 Makna Shalat

Secara bahasa (etimologis- lughah), shalat bermakna do’a. Allah Ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. At Taubah (9): 103)

Makna Shalli ‘alaihim bukanlah shalatlah untuk mereka, melainkan mendoakan orang yang membayar zakat.
Secara istilah syariat (terminologis), shalat bermakna:

الصلاة عبادة تتضمن أقوالا وأفعالا مخصوصة، مفتتحة بتكبير الله تعالى، مختتمة بالتسليم

“Shalat adalah ibadah yang mengandung di dalamnya ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam.” (Fiqhus Sunnah, 1/90)

Maka, dikatakan shalat jika seseorang memenuhi rukun dan syarat sahnya shalat.

📌 Kapan Diwajibkan?

Para nabi dan rasul beserta umatnya, sebelum Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam juga disyariatkan shalat, hal ini diceritakan Al Quran dalam berbagai ayatnya. Begitu pula pada masa risalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang, shalat juga tetap disyariatkan. Bahkan sebenarnya, sebelum peistiwa Isra Mi’raj, Rasulullah dan para sahabat juga sudah melakukan shalat hanya saja tidak sama dengan shalat yang lima waktu.

Barulah pada peristiwa Isra Mi’raj, shalat lima waktu diwajibkan. Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

فُرِضَتْ عَلَى النّبِيّ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ الصَلوَاتُ خَمْسِينَ، ثُمّ نُقِصَتْ حَتّى جُعِلَتْ خَمْساً، ثُمّ نُودِيَ: يا محمدُ: إِنّهُ لاَ يُبَدّلُ الْقَوْلُ لَدَيّ وَإِنّ لَكِ بِهَذِهِ الْخَمْسِ خَمْسينَ

“Telah difardhukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan, “Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali shalat.” (HR. At Tirmidzi No. 213, katanya: hasan shahih gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 213)

Maka, sudah ketahui secara pasti bahwa shalat lima waktu diwajibkan pada malam Isra Mi’raj. Tetapi kapankah Isra Mi’raj? Betulkah 27 Rajab tahun ke 5 sebelum hijriah? Jawab: Wallahu A’lam. Sebab, tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi’ul Awal. (Ibid Hal. 95).

Beliau (Imam Ibnu Rajab) juga berkata:

و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه وقيل: في الخامس والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن محمد: أن الإسراء بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره

“Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih s

atu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27 Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif Hal. 121. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah dusta.” (Tabyinul ‘Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra’ Mi’raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini terputus dan berbeda-beda.

📌 Bagaimanakah Kedudukannya Dalam Islam?

Shalat menduduki posisi tersendiri dalam Islam, dia diwajibkan ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada di langit, sedangkan kewajiban lainnya ketika beliau di dunia. Shalat adalah tiangnya agama, maka dengan melaksanakannya maka agama seseorang menjadi tegak.

Dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

رأس الامر الاسلام، وعموده الصلاة، وذروة سنامه الجهاد في سبيل الله

“Pokoknya urusan adalah Islam dan tiang-tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. At Tirmidzi No. 2616, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2616)

Shalat juga ibadah yang pertama kali akan dihitung pada hari akhirat nanti. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة من عمله صلاته، فإن صلحت فقد أفلح وأنجح، وإن فسدت فقد خاب وخسر

“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihitung dari amal seorang hamba pada hari kiamat nanti adalah shalatnya. Jika shalatnya baik maka dia telah beruntung dan selamat, dan jika buruk maka dia akan rugi dan malang.” (HR. At Tirmidzi No. 411, katanya: hasan gharib, An Nasa’i No. 465. Syaikh Al Albani telah menshahihkan dalam berbagai kitabnya)

📌 Kecaman Bagi Orang-Orang Yang Meninggalkan Shalat

Sungguh malang orang yang mengaku muslim tapi tidak shalat. Pengakuan kosong yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Berikut ini berbagai kecaman untuk mereka yang sengaja meninggalkan shalat.

📌 Kecaman Dalam Al Quran

Allah Ta’ala telah mengecam mereka dalam berbagai ayatNya:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam (19): 59)

Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar. Allah Ta’ala berfirman:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43)

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” mereka menjawab: “Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al Muddatsir (74):42-43)

Mereka mengalami kesulitan sakaratul maut. Allah Ta’ala berfirman:

كَلا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27) وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ (28) وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ (29) إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ (30) فَلا صَدَّقَ وَلا صَلَّى (31) وَلَكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (32) ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى (33) أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (34) ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (35)

“Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”, dan Dia yakin bahwa Sesungguhnya Itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu.” (QS. Al Qiyamah (75): 26-35)

Mereka juga diancam dengan neraka Wail (kecelakaan). Allah Ta’ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Ma’un (107): 4-5)

📌 Kecaman Dalam Al Hadits

Dalam berbagai hadits shahih, orang yang sengaja meninggalkan shalat disebut kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

“Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim No. 82, At Tirmidzi No. 2752, Ibnu Majah No. 1078, Ad Darimi No. 1233, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf 7/222/43, Ibnu Hibban No. 1453, Musnad Ahmad No. 15183, tahqiq: Syu’aib Al Arna’uth, Adil Mursyid, dll)

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر

“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. At Tirmidzi No. 2621, katanya: hasan shahih gharib, An Nasa’i No. 463, Ibnu Majah No. 1079, Ibnu Hibban No. 1454, Sunan Ad Daruquthni, Bab At Tasydid fi Tarkish Shalah No. 2, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 6291, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/222/45, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 11, katanya: “isnadnya shahih dan kami tidak mengetahui adanya cacat pada jalur dari berbagai jalur. Semuanya telah berhujjah dengan Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Muslim telah berhujjah dengan Al Husein bin Waqid, Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya dengan lafaz ini. Hadits ini memiliki penguat yang shahih sesuai syarat mereka berdua.” Ahmad No. 22937, Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: sanadnya qawwy (kuat). Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya)

Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من حافظ عليها كانت له نورا وبرهانا ونجاة من النار يوم القيامة ومن لم يحافظ عليها لم تكن له نورا ولا نجاة ولا برهانا وكان يوم القيامة مع قارون وفرعون وهامان وأبي بن خلف

“Barangsiapa yang menjaga shalatnya maka baginya cahaya, bukti, dan keselamatan dari neraka pada hari kiamat. Barangsiapa yang tidak menjaganya maka dia tidak memiliki cahaya dan tidak selamat (dari api neraka), dan tidak memiliki bukti, serta pada hari kiamat nanti dia akan hidup bersama Qarun, Fir’aun, Hamman, dan Ubai bin Khalaf.” (HR. Ad Darimi No. 2721, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misykah Al Mashabih No. 578. Syaikh Sayyiq Sabiq mengatakan sanadnya jayyid (baik), Fiqhus Sunnah, 1/93. Dar Al Kitab Al ‘Arabi. Ahmad No. 6576, kata pentahqiqnya: sanadnya hasan)

Imam Al Mundziri Rahimahullah mengatakan:

وقال ابن أبي شيبة قال النبي صلى الله عليه وسلم : من ترك الصلاة فقد كفر
وقال محمد بن نصر المروزي سمعت إسحاق يقول صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر

Berkata Ibnu Abi Syaibah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir.”

Berkata Muhammad bin Nashr Al Marwazi, aku mendengar Ishaq berkata: “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Cet. 5, Maktabah Al Ma’arif. Riyadh)

Bersambung … masih hadits 3

🍃☘🌺🌴🌻🌾🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Satu Masjid Berdiri Dua Jamaah Saat Bersamaa

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum. Ustadz mau bertanya: hukum shalat fardlu di masjid ada dua imam berjama’ah?sjzkllh🙏 (08382122xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Itu tidak boleh, namun Shalatnya tetap sah karena tidak ada Nash khusus yg melarangnya, hanya saja itu makruh sebab membuat gaduh dan bising, serta menyelisihi substansi berjamaah yaitu persatuan dan ikatan hati. Adanya dua jamaah disaat bersamaan di masjid yang sama, sangat mungkin akan menimbulkan perselisihan dan keretakan.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

وأما إقامة جماعتين في مسجد واحد في وقت واحد كما يظهر أنه موضوع السؤال، فذلك مكروه إذا قصد إليه، لما فيه من التشويش وتفريق الكلمة وخلاف مقصود الشارع من الائتلاف ووحدة الصف، وتزداد الكراهة إذا كان المسجد صغيرا لما في ذلك من زيادة التشويش

Ada pun mendirikan dua jamaah shalat di masjid yg sama dan waktu bersamaan, inilah yg tema pertanyaannya, adalah hal yang makruh. Sebab hal itu dapat membuat kekacauan, memecah belah, dan menyelisihi tujuan disyariatkan shalat berjamaah untuk menyatukan hati dan barisan. Kemakruhan semakin bertambah jika masjidnya kecil sehingga kegaduhan semakin besar.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 125990)

Sebagian lain membid’ahkan, Syaikh Sulaiman bin Fahd Al ‘Isa Hafizhahullah mengatakan:

إن إقامة أكثر من جماعة في مسجد واحد وفي وقت واحد بدعة لم تكن على عهد النبي –صلى الله عليه وسلم- وأصحابه – رضي الله عنهم- ، قال الزركشي في إعلام المساجد (ص 366) : ( تكرير الجماعة في المسجد الواحد خلف إمامين فأكثر كما هو الآن بمكة وجامع دمشق لم يكن في الصدر الأول )

Mendirikan lebih dari satu jamaah di waktu yang sama dan di masjid yang sama, adalah bid’ah, tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya Radhiallahu ‘Anhum.

Az Zarkasyi berkata dalam I’lam Al Masajid (Hal. 366):

“Mengulang shalat jamaah di masjid yang sama di belakang dua imam atau lebih seperti yang terjadi saat ini di Mekkah dan Masjid Jaami’ di Damaskus belum pernah terjadi di masa awal Islam.” (selesai)

Maka, sebisa mungkin hindari kemungkinan berbilangnya jamaah shalat di masjid dan waktu yang sama.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌸🍃🌵🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Menampakkan atau Menyembunyikan Amal Shalih, Keduanya Mulia!

💦🌸💦🌸💦🌸💦🌸

Perhatikan ayat-ayat berikut ini:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al Baqarah 274)

Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah menerangkan:

هذا مدح منه تعالى للمنفقين في سبيله، وابتغاء مرضاته في جميع الأوقات من ليل أو نهار، والأحوال من سر وجهار، حتى إنالنفقة على الأهل تدخل في ذلك أيضا

Ini adalah sanjungan dari Allah Ta’ala bagi para pelaku infak dijalanNya, dan orang yang mencari ridhaNya disemua waktu, baik malam dan siang, dan berbagai keadaan baik tersembunyi atau terang-terangan, sampai – sampai nafkah kepada keluarga juga termasuk dalam kategori ini. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/707. Cet. 2. 1999M/1420H. Daruth Thayyibah.)

Ayat lainnya:

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (QS. Ar Ra’du: 22)

Ayat lainnya:

قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خِلَالٌ

Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS. Ibrahim: 31)

Lihat ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan berinfak baik secara sembunyi atau terang-terangan, Allah Ta’ala tidak memerintahkan yang sembunyi saja, tapi juga memerintahkan yang terang-terangan. Tidak mencelanya, justru memerintahkannya.

Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

وأمر تعالى بالإنفاق مما رزق في السر، أي: في الخفية، والعلانية وهي: الجهر، وليبادروا إلى ذلك لخلاص أنفسهم

Allah Ta’ala memerintahkan untuk berinfak secara as sir, yaitu tersembunyi, dan al ‘alaaniyah yaitu ditampakkan, dan hendaknya mereka bersegara melakukan itu untuk mensucikan diri mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/510. Cet. 2. 1999M/1420H. Daruth Thayyibah)

Terang-terangan atau tersembunyi, keduanya bisa dilakukan pada amal yang wajib atau sunah. Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah:

{سِرًّا وَعَلانِيَةً} وهذا يشمل النفقة الواجبة كالزكاة ونفقة من تجب عليه نفقته، والمستحبة كالصدقات ونحوها

(Tersembunyi dan terangan-terangan) hal ini mencakup infak yang wajib seperti zakat, dan nafkah kepada orang yang wajib baginya untuk dinafkahi, dan juga yang sunah seperti berbagai sedekah dan semisalnya. (Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, Hal. 426. Cet. 1. 2000M/1420H. Muasasah Ar Risalah)

Maka, berinfak –atau amal shalih apa saja- yang dilakukan secara tersembunyi dan menampakkannya, telah dimuliakan, dipuji, dan dianjurkan oleh Allah Ta’ala. Janganlah hawa nafsu manusia justru menganggap tercela yang satu dibanding yang lainnya. Jika tersembunyi, maka itu mulia karena hati Anda lebih selamat dari ‘ujub, riya’, jika terkait sedekah maka orang yang menerima sedekah tidak merasa malu menerimanya. Jika terang-terangan, maka itu juga mulia, karena Anda bisa menjadi pionir kebaikan, menjadi contoh buat yang lain, sehingga selain Anda mendapatkan pahala sendiri, Anda juga mendapatkan pahala mereka lantaran mereka mengikuti kebaikan Anda.

📌 Melaporkan dan menceritakan amal shalih, adalah riya?

Hal ini tidak mengapa, sebagaimana seorang guru yang menanyakan hasil kerjaan, tugas hapalan, siswanya dan si guru memberikan batas waktu. Ini adalah tuntutan profesionalitas dalam beramal. Ini pun dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Tidak mengapa menulis nama dalam list penyumbang, atau laporan masjid, sebab ini termasuk yang dibolehkan oleh syariat sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita tentang amal shalihnya:

وإني لأستغفر الله، في اليوم مائة مرة

Aku benar-benar beristighfar kepada Allah dalam sehari 100 kali. (HR. Muslim, 2702/41)

Riwayat lainnya:

يا أيها الناس توبوا إلى الله، فإني أتوب، في اليوم إليه مائة، مرة

Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya dalam sehari aku bertaubat kepadaNya seratus kali. (HR. Muslim, 2702/42)

Para sahabat pun juga. Perhatikan dialog berikut ini:

عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من أصبح منكم اليوم صائما؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، قال:«فمن تبع منكم اليوم جنازة؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، قال: «فمن أطعم منكم اليوم مسكينا؟» قال أبو بكر رضي اللهعنه: أنا، قال: «فمن عاد منكم اليوم مريضا؟» قال أبو بكر رضي الله عنه: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مااجتمعن في امرئ، إلا دخل الجنة»

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Siapakah diantara kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini mengantar janazah?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda : “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim No. 1028)

Inilah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, dia tidak perlu malu untuk melaporkan apa yang sudah dia lakukan hari itu, setelah Nabi bertanya. Maka, tidak masalah seseorang menceritakan amalnya, yang penting tidak bermaksud memamerkannya, dan membanggakannya, tetapi agar orang lain mendapatkan ‘ibrah (pelajaran) darinya. Pendengar pun tidak dibebani untuk membedah hati orang yang melaporkannya. Itu tidak perlu, tidak penting, dan tidak masyru’. Justru, yang masyru’ adalah kita mesti husnuzhzhan kepadanya.

Para ulama mengatakan:

إحسان الظن بالله عز وجل وبالمسلمين واجب

Berprasangka yang baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kaum muslimin adalah wajib. (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 29/325)

Kisah lainnya:

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ، فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى بَعِيرِهِ ، فَكَلَّمْتُهُ،فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، ثُمَّ كَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَنَا أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ، وَيُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: ” مَا فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ، فَإِنَّهُلَمْ يَمْنَعْنِي إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي.

Dari Jabir bin Abdullah katanya: “Saya diperintahkan nabi untuk datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya berbicara lagi dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan bacaan shalat beliau terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan kepala. Setelah beliau selesai shalat beliau bertanya: “Bagaimana tugasmu yang padanya kamu saya utus? Sebenarnya tak ada halangan bagi saya membalas ucapanmu itu, hanya saja saya sedang shalat.” (HR. Muslim No. 540, Ahmad No. 14345, Abu Daud No. 926, Abu ‘Awanah, 2/140, Ibnu Khuzaimah No. 889, Ibnu Hibban No. 2518, 2519)

Dalam kisah ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta laporan kerja dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu tanpa harus khawatir riya-nya Jabir jika dia melaporkannya.

Banyak sekali kitab yang menceritakan para ulama yang berkisah tentang

ibadahnya, shaumnya, shalatnya, jihadnya, bahkan mimpinya. Tentu kita berbaik sangka, jangan menuduh mereka telah riya dalam penceritaannya.

📌Hati-Hati! Menggembosi amal shalih saudaranya dengan menuduh riya adalah Akhlak Kaum Munafiq Terdahulu

Inilah yang terjadi, gara-gara seseorang menuduh saudaranya riya, atau menakut-nakuti dari menampakkan amal shalih, akhirnya perlahan-lahan ada yang membatalkan amal shalihnya karena takut disebut riya, takut tidak ikhlas.

Inilah yang dilakukan orang munafiq pada zaman nabi, mereka menuduh para sahabat riya, padahal mereka (kaum munafiq) sendiri yang riya.

Dari Abu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia bercerita:

“Sesudah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka Abu Uqail bersedekah dengan satu sha’, dan datang seseorang dengan membawa lebih banyak dari itu, lalu orang-orang munafik berkata:

“Allah ‘Azza wa Jalla tidak membutuhkan sedekah orang ini, orang ini tidak melakukannya kecuali dengan riya. Lalu turunlah ayat:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ

“Orang-orang munafik itu yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya.” (QS. At Taubah : 79). (HR. Al Bukhari No. 4668)

📌 Justru Allah Ta’ala menceritakan bahwa kaum munafikinlah yang riya

Perhatikan ayat ini:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6)

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. (QS. Al Ma’un: 4-6)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa ayat ini menceritakan tentang sifat-sifat orang munafiq; lalai dari shalatnya, sekali pun shalat dia riya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengulang sampai tiga kali ucapan: tilka shalatul munaafiq (itulah shalatnya kaum munafik). Sebagaimana disebutkan dalam Shahihain. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/493)

Wallahu A’lam

🍃🌾🌴🌸🌻🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Jari Telunjuk Bergerak-Gerak Ketika Tasyahud/Tahiyat

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum, Wr Wb. Saya sering melihat orang-orang tasyahhudnya berbeda di sisi mengacungkan jari kedepan :
-Ada yang dikibaskan
-Ada yang biasa
-Ada yang menunggu sampai bacaan tertentu..
Saya sering juga melihat orang-orang takbir berbeda
-Ada yang dengan slowmotion/gerak lambat (Enggak bohong !!!!)
-Ada yangg dengan dikekirikan/kanan
-Ada yangg biasa…Yang mana yang benar ?
Tolong pencerahannya

Jazakumullah (dari Ghotic Muslim)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘alaikum Salam Wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Apa yang Anda lihat, bahwa ada yang mengkibaskan (menggerak-gerakkan), atau yang biasa saja, atau ada yang menggerakkan pada bacaan tertentu, adalah khilafiyah yang memang benar-benar ada. Maka Anda tidak usah heran, sebab itu terjadi lantaran perbedaan mereka dalam menafsirkan hadits-hadits nabi tentang hal ini.

Dari Wail Bin Hujr Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا

Bahwa rasulullah meletakkan tangannya yang kiri di atas pahanya dan lututnya yang kiri, dan meletakkan siku kanan di atas paha kanannya, kemudian dia menggenggam jari jemarinya dan membentuk lingkaran. Lalu dia mengangkat jarinya (telunjuk) dan aku melihat dia menggerak-gerakkannya, sambil membaca doa.”[1]

Syaikh Al Albany mengomentari hadits ini:

أولا : مكان المرفق على الفخذ. ثانيا : قبض إصبعيه والتحليق بالوسطى والإبهام .ثالثا : رفع السبابة وتحريكها    .رابعا : الاستمرار بالتحريك إلى آخر الدعاء

Pertama. Tempat siku adalah di paha. Kedua. Menggenggam jari jemari dan membentuk lingkaran antara jari tengah dan jempol. Ketiga. Mengangkat jari telunjuk. Keempat. Terus-menerus menggerakkannya sampai akhir do’a.[2]

Sangat berbeda dengan Syaikh Al Albany, Imam Al Baihaqi mengomentari demikian:

يحتمل أن يكون المراد بالتحريك الاشارة بها. لا تكرير تحريكها، ليكون موافقا لرواية ابن الزبير: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بإصبعه إذا دعا لا يحركها. رواه أبو داود بإسناد صحيح.

“Mungkin yang dimaksud dengan menggerakkan itu adalah memberikan isyarat menunjuk, bukan menggerak-gerakkan secara berulang-ulang, agar hadits ini sesuai dengan riwayat dari Ibnu Zubeir, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan isyarat dengan jarinya jika dia berdoa tanpa menggerak-gerakkannya.” Diriwayatkan Abu Daud dengan sanad shahih. [3]

Lalu Imam An Nawawi Rahimahullahmengatakan:

واما الحديث المروى عن ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم ” تحريك الاصبع في الصلاة مذعرة للشيطان ” فليس بصحيح قال البيهقى تفرد به الواقدي وهو ضعيف

“Adapun hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Menggerakan jari dalam shalat adalah hal yang ditakuti syetan,’ tidaklah shahih. Berkata Al Baihaqi: Al Waqidi meriwayatkannya sendiri, dan dia dha’if.” [4]

Namun Syaikh Al Albany menyanggah pendapat ini karena hadits dari Ibnu Zubeir yang katanya shahih menurut Imam al Baihaqi, ternyata ghairu shahih (tidak shahih) menurut hasil penelitiannya.[5]

Beliau juga memperkuat dengan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لهي أشد على الشيطان من الحديد

“Gerakan telunjuk itu benar-benar lebih ditakuti syetan dibanding besi.” [6]

Beliau mengatakan bahwa para sahabat nabi melakukan itu, yakni menggerakan jari sebagai isyarat ketika doa, karena mereka menyontoh terhadap sesama sahabat lainnya. Sebagaiana yang dikatakan Ibnu Abi Syaibah secara hasan. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun melakukannya pula pada semua duduk tasyahudnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh  An Nasa’i dan Al Baihaqi dengan sanad shahih. [7]

Sementara Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وقد سئل ابن عباس عن الرجل يدعو يشير بإصبعه؟ فقال: هو الاخلاص. وقال أنس بن مالك: ذلك التضرع، وقال مجاهد: مقمعة للشيطان. ورأى الشافعية أن يشير بالاصبع مرة واحدة عند قوله (إلا الله) من الشهادة، وعند الحنفية يرفع سبابته عند النفي ويضعها عند الاثبات، وعند المالكية، يحركها يمينا وشمالا إلى أن يفرغ من الصلاة، ومذهب الحنابلة يشير بإصبعه كلما ذكر اسم الجلالة، إشارة إلى التوحيد، لا يحركها

“Ibnu Abbas ditanya tentang seorang yang memberikan isyarat dengan telunjuknya. Beliau menjawab: ‘Itu menunjukkan ikhlas.’ Anas bin Malik berkata: ‘Itu menunjukkan ketundukan.’ Mujahid berkata: ‘Untuk memadamkan syetan.’ Sedangkan golongan syafi’iyah memberikan isyarat dengan jari hanya sekali yakni pada ucapan Illallah (kecuali Allah) dari kalimat syahadat. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, mengangkat jari telunjuk ketika ucapan pengingkaran (laa ilaha/tiada Tuhan) lalu meletakkan lagi ketika ucapan penetapan(Illallah/ kecuali Allah). Sedangka menurut Malikiyah menggerak-gerakan ke kanan dan ke kiri hingga shalat selesai. Sedankan madzhab Hanabilah (hambali) memberikan isyarat dengan jari telunjuk ketika disebut lafzul jalalah (nama Allah) sebagai symbol tauhid, tanpa menggerak-gerakkannya.” [8]

📌 Tata Cara Mengangkat Tangan Takbiratul Ihram

Tidak dibenarkan slowmotion (terlalu lama) atau terlalu cepat, dan di main-mainkan ke kanan ke kiri.  Hendaknya  kita melakukan secara wajar mengikuti sunah nabi. Di angkat sejajar bahu atau hampir sejajar bahu, bersamaan dengan takbir atau sebelum membaca takbirtul  ihram.

Berkata Syaikh Muhammad NashiruddinAl Albany Rahimahullah:

( البخاري وأبو داود وابن خزيمة ) و ( كان يرفع يديه تارة مع التكبير وتارة بعد التكبير وتارة قبله )
( أبو داود وابن خزيمة ) كان يرفعهما ممدودة الأصابع [ لا يفرج بينها ولا يضمها ] )

( البخاري وأبو داود ) و ( كان يجعلهما حذو منكبيه وربما كان يرفعهما حتى يحاذي بهما [ فروع ] أذنيه )

“Rasulullah mengankat kedua tangannya, kadang bersamaan dengan takbir, kadangkala setelah takbir, dan kadang kalasebelum takbir. “ (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Ibnu Khuzaimah)

“Rasulullah mengangkat kedua tangannya dengan jari terbuka (tidak merenggangkan dan tidak menggenggamnya) (HR. Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah)

“Rasulullah mengangkat tangannya hingga sampai sejajar kedua bahunya, dan terkadang sampai kedua telinganya.” (HR. Bukhari dan Abu Daud) [9]

Berkata Syaikh Sayyid SabiqRahimahullah:

والمختار الذي عليه الجماهير، أنه يرفع يديه حذو منكبيه، بحيث تحاذي أطراف أصابعه أعلى أذنيه، وإبهاماه شحمتي أذكيه، وراحتاه منكبيه.
قال النووي: وبهذا جمع الشافعي بين روايات الاحاديث فاستحسن الناس ذلك منه.
ويستحب أن يمد أصابعه وقت الرفع.
فعن أبي هريرة قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة رفع يديه مدا. رواه الخمسة إلا ابن ماجة.
وقت الرفع: ينبغي أن يكون رفع اليدين مقارنا لتكبيرة الاحرام أو متقدما عليها.
فعن نافع: أن ابن عمر رضي الله عنهما كان إذا دخل في الصلاة كبر ورفع يديه، ورفع ذلك إلى النبي صلى الله عليه وسلم.
رواه البخاري والنسائي وأبو داود.
وعنه قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يرفع يديه حين يكبر حتى يكونا حذو منكبيه أو قريبا من ذلك.
الحديث رواه أحمد وغيره.
وأما تقدم رفع اليدين على كبيرة الاحرام فقد جاء عن ابن عمر قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة رفع يديه حتى يكونا بحذو
منكبيه ثم يكبر، رواه البخاري ومسلم.
وقد جاء في حديث مالك بن الحويرث بلفظ: (كبر ثم رفع يديه) رواه مسلم.
وهذا يقيه تقدم التكبيرة على رفع اليدين، ولكن الحافظ قال: لم أر من قال بتقديم التكبيرة على الرفع.

Riwayat yang dipilih oleh jumhur(mayoritas) adalah mengangkat tangan itu harus sejajar dengan kedua bahu sampai ujung jari sejajar dengan puncak kedua telinga, kedua ibu jari dengan ujung bawahnya serta kedua telapak tangan dengan kedua bahunya.

An Nawawi mengatakan: “Dengan cara ini Asy Syafi’i telah menghimpun beberapa riwayat hadits hingga ia mendapat pengakuan dari kalangan ulama.” Dan, disunnahkan merenggangkan jari jemari pada saat mengangkat tangan. Dari Abu HurairahRadhiallahu ‘Anhu:

“Jika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamhendak melakukan shalat maka beliau mengangkat kedua tangannya sambil merenggangkannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, An Nasa’i, dan At Tirmidzi kecuali Ibnu Majah)

Saat mengangkat kedua tangan. Hendaknya mengangkat kedua tangan itubersamaan waktunya dengan mengucapkan takbiratul ihram atau mendahulukannya sebelummembaca takbiratul ihram. Nafi’ berkata:

“Jika Ibnu Umar hendak memulai shalat, maka ia membaca takbir dan mengangkat kedua tangannya. Hal ini dinyatakannya berasal dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari An Nasa’i dan Abu Daud)

Dari Nafi’ juga: “Bahwa RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya ketika takbir hingga sejajar dengan kedua bahu atau hamper sejajar dengannya.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Adapun mendahulukan mengangkat kedua tangan sebelum takbiratul ihram, maka telah ada riwayat dari Ibnu Umar dia berkata: “Apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri hendak mengerjakan shalat maka beliau mengangkat kedua belah tangannya sehingga sejajar dengan kedua bahunya, lalu beliau membaca takbir.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan telah diterima hadits dari Malik binAl Huwairits dengan lafaz: “Ia membaca takbir, lalu mengangkat kedua tangannya.” (HR. Muslim)

Hadits ini membolehkan mendahulukan takbir daripada mengangkat tangan. Akan tetapi, Al Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Saya tidak pernah melihat adanya orang yang mengatakan bahwa didahulukannya takbir daripada mengangkat kedua tangan.”[10] Demikian.

Wallahu A’lam

🍃🌿🌴🌾🌻🌺🍂🌹🍀

✒ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. An Nasa’i, Kitab Al Iftitah Bab Maudhi’Al Yamin minasy Syimali fish Shalah, Juz. 3, Hal. 433 No hadits. 879. Ahmad, Juz.38, Hal. 331, No hadits. 18115.
[2] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany, Tamam Al Minnah, Juz. 1, Hal. 221.
[3] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 170. Lihat juga Imam An Nawawi,Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 454.
[4] Imam An Nawawi, Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 454-455. Darul Fikr.
[5] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Tamamul Minnah, Juz. 1, Hal. 217.
[6] HR. Ahmad, Juz. 12, Hal. 265, No hadits. 5728, Lihat pula Tamamul Minnah, Juz. 1 Hal. 220. Dan Shifah ash Shalah an Nabi, Hal. 159.
[7] Ibid
[8] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 171.  Lihat juga Imam An Nawawi, Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 455.
[9] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shifah Ash Shalah An Nabi, Hal.  86. Maktabah Al Ma’arif  Linasyr wat Tauzi’.
[10] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 142-143.

 

scroll to top