Membela Kehormatan Ulama

💦💥💦💥💦💥

Berikut ini adalah fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih terhadap buku yang penjudulannya begitu menghina dan merendahkan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah.

رقم الفتوى 10713 إهانة العلماء وتحقيرهم حرام
تاريخ الفتوى : 16 رجب 1422
السؤال
صدر كتاب في عنوانه إطلاق اسم ( الكلب العاوي ) على العلامة الشيخ القرضاوي حفظه الله ورعاه من كل شر، فهل هذا من الإسلام أن يطلق على العالم المسلم لقب الكلب العاوي والعياذ بالله؟
الفتوى
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فلا يجوز إطلاق هذا الوصف على أحد من العلماء أو الدعاة ، بل ولا يجوز إطلاقه على أي مسلم.
ويجب احترام العلماء وتوقيرهم ، وإحسان الظن بهم ، ولزوم الأدب في نقاشهم أو الرد عليهم.
وإهانة العلماء وازدراؤهم -مع كون ذلك محرماً- يهون من قيمة العلم وأهله ، ويجرئ العامة على ترك التعلم ، والعزوف عن مجالس العلماء ، وربما قادهم ذلك إلى نبذ الدين رأساً. والله المستعان.
المفتي: مركز الفتوى بإشراف د.عبدالله الفقيه

No Fatwa: 10713 : “Menghina Ulama dan Merendahkan Mereka adalah Haram”

Tanggal Fatwa : 16 Rajab 1422H

Pertanyaan:

Telah terbit sebuah buku yang penjudulannya memutlakan penamaan (Al Kalb Al ‘Aawi – Anjing Menggonggong, kaya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i Rahimahullah)  terhadap Al ‘Allamah Asy Syaikh Yusuf Al Qaradhawi -semoga Allah  menjaganya dan melindunginya dari segala keburukan. Apakah hal tersebut termasuk dari Islam memutlakan sebuah gelar kepada seorang ulama muslim dengan  sebutan  Anjing Menggonggong – wal ‘iyadzubillah?

Jawaban:

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi amma ba’d:

Secara mutlak tidak boleh memberikan sifat tersebut kepada seorang  pun dari ulama atau para da’i, bahkan hal itu juga tidak boleh kepada muslim mana pun. Wajib menghormati para ulama dan  menjaga kewibawaan mereka, dan berbaik sangka terhadap mereka, dan mesti menjaga adab dalam berdiskusi dan menyanggah pendapat mereka.

Menghina ulama dan merendahkan mereka –yang mana itu adalah perbuatan haram- (berarti) telah menghina ilmu dan ahlinya, dan membuat orang umum meninggalkan upaya menuntut ilmu, dan menjauhi majelis para ulama, dan barang kali itu juga menuntun mereka untuk mengenyampingkan agama secara langsung. Wallahul Musta’an!

(Mufti: Markaz Al Fatwa, dengan pembimbing: Dr. Abdullah Al Faqih)

🍃🌾🌸🌻🌴🌺🌷☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Fiqih I’tikaf (Bag. 5)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌I’tikaf Wajib di Masjid; Masjid yang Bagaimanakah?

Di masjid adalah syarat sahnya I’tikaf sesuai petunjuk Al Quran Al Baqarah ayat 187, juga contoh dari sunah Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ لِلرَّجُل أَنْ يَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ } ، وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْتَكِفْ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ
وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَقَدْ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهَا كَالرَّجُل لاَ يَصِحُّ أَنْ تَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ ، مَا عَدَا الْحَنَفِيَّةَ فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّهَا تَعْتَكِفُ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا لأَِنَّهُ هُوَ مَوْضِعُ صَلاَتِهَا ، وَلَوِ اعْتَكَفَتْ فِي مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ .

“Fuqaha telah ijma’ bahwa tidak sah bagi laki-laki yang beri’itikaf kecuali di masjid, sesuai firmanNya Ta’ala: sedang kalian sedang   I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187), dan  karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak beri’tikaf kecuali di masjid.

Ada pun wanita, jumhur ulama mengatakan bahwa mereka sama dengan laki-laki; tidak sah I’tikaf kecuali di masjid, kecuali menurut Hanafiyah, mereka mengatakan bahwa waita I’tikaf di masjid di rumahnya, karena di sanalah tempat shalat mereka, dan seandainya mereka I’tikaf   di masjid, boleh saja namun makruh tanzih (makruh yang mendekati boleh).” (Al Mausu’ah, 37/213)

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah:

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوطِيَّة الْمَسْجِدِ لِلِاعْتِكَافِ ، إِلَّا مُحَمَّدَ بْن عُمَر اِبْن لُبَابَةَ الْمَالِكِيَّ فَأَجَازَهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ ، وَأَجَازَ الْحَنَفِيَّةُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَعْتَكِفَ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا وَهُوَ الْمَكَان الْمُعَدُّ لِلصَّلَاةِ فِيهِ

“Ulama telah sepakat atas pensyaratan masjid untuk I’tikaf, kecuali Muhammad bin Umar bin Lubabah Al Maliki yang membolehkan di setiap tempat. Kalangan Hanafiyah membolehkan kaum wanita I’tikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat yang dipersiapkan untuk shalat di dalamnya.” (Fathul Bari, 4/272. Darul Fikr)

Demikian kesepakatannya, ada pun adanya pendapat yang menyendiri yang bertabrakan dengan mainstream dalam hal ini, tidaklah dianggap. Namun walau mereka bersepakat tentang keharusan di masjid, mereka berselisih pendapat tentang jenis masjidnya.

Beliau melanjutkan:

وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَة وَأَحْمَد إِلَى اِخْتِصَاصه بِالْمَسَاجِدِ الَّتِي تُقَام فِيهَا الصَّلَوَات ، وَخَصَّهُ أَبُو يُوسُف بِالْوَاجِبِ مِنْهُ وَأَمَّا النَّفْل فَفِي كُلّ مَسْجِد ، وَقَالَ الْجُمْهُور بِعُمُومِهِ مِنْ كُلّ مَسْجِد إِلَّا لِمَنْ تَلْزَمهُ الْجُمُعَةُ فَاسْتَحَبَّ لَهُ الشَّافِعِيّ فِي الْجَامِع ، وَشَرَطَهُ مَالِكٌ لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ عِنْدهمَا يَنْقَطِعُ بِالْجُمُعَةِ ، وَيَجِبُ بِالشُّرُوعِ عِنْد مَالِك ، وَخَصَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَف كَالزُّهْرِيِّ بِالْجَامِعِ مُطْلَقًا وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيّ فِي الْقَدِيم ، وَخَصَّهُ حُذَيْفَةُ بْن الْيَمَانِ بِالْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَة ، وَعَطَاءٌ بِمَسْجِدِ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَابْنُ الْمُسَيِّبِ بِمَسْجِدِ الْمَدِينَةِ ، وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَا حَدَّ لِأَكْثَرِهِ

“Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad  berpendapat dikhususnya I’tikaf hanya pada masjid yang di dalamnya dilaksanakan berbagai shalat, Imam Abu Yusuf mengkhususkan pada shalat wajib saja, ada pun shalat sunah bisa di semua masjid. Mayoritas (jumhur) berpendapat sesuai keumumannya pada semua masjid, kecuali bagi orang yang juga sekalian shalat Jumat, maka kalangan Imam Asy Syafi’i menyunnahkan di masjid Jami’, ada pun Imam Malik mensyaratkan hal itu (Masjid Jami’) karena menurut mereka berdua, I’tikaf menjadi terputus karena shalat Jumat. Imam Malik mewajibkan hal itu (keberadaan di masjid Jami’) sejak permulaan I’tikaf. Sebagian salaf seperti Az Zuhri mengkhususkan masjid jami’ secara mutlak, hal itu juga diisyaratkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat lamanya.

Sedangkan Hudzaifah bin Yaman mengkhususkan di tiga masjid saja (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Mas

jidil Aqsha), Atha’ mengkhususkan pada masjid di Mekkah dan Madinah, Said bin Al Musayyib mengkhususkan masjid di Madinah, dan mereka sepakat tidak ada batasan dalam hal banyaknya.” (Ibid)

Dari penjelasan Al Hafizh, kita bisa simpulkan, bahwa para fuqaha berselisih tentang jenis masjid yang boleh dilakukan i’tikaf di dalamnya:

1.  Sahnya I’tikaf hanya di masjid yang di dalamnya dilakukan shalat yang lima dan shalat Jumat (Istilahnya: masjid jami’). Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Malik, dll

2.  I’tikaf sah di lakukan di semua masjid, termasuk masjid yang tidak mendirikan shalat Jumat. (istilahnya: masjid ghairu Jami’ – surau), inilah pendapat, Syafi’i, Daud,   dll. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).   Imam Bukhari juga mengikuti pendapat ini, beliau menulis dalam Shahihnya:

بَاب الِاعْتِكَافِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالِاعْتِكَافِ فِي الْمَسَاجِدِ كُلِّهَا

Bab I’tikaf di 10 Hari terakhir dan I’tikaf Masjid-Masjid Seluruhnya. (lalu beliau mengutip Al Baqarah 187)

3.  I’tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini pendapat Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu ‘Ahu, ini yang nampak dari  pendapat Syaikh Al Albani Rahimahullah, dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2786.

4.  Hanya  masjid di Mekkah dan Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat ‘Atha

5.  Hanya masjid di Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat Sa’id bin Al Musayyib

Nampak bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnul Utsaimin pada pembahasan selanjutnya.

(Bersambung …)

🍃🌿🌾🌸🌷☘🌳🍁

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Fiqih I’tikaf

Fiqih I’tikaf Bag 1

Fiqih I’tikaf Bag 2

Fiqih I’tikaf Bag 3

Fiqih I’tikaf Bag 4

Fiqih I’tikaf Bag 5

Fiqih I’tikaf Bag 6

Fiqih I’tikaf Bag 7

Fiqih I’tikaf Bag 8

Fiqih I’tikaf Bag 9

Download E-book Fiqih I’tikaf:

Fiqih I’tikaf oleh Farid Nu’man Hasan

Pas Baca Al Quran Mau Buang Angin, Gimana nih?

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum.. yaa tadz, mau nanya..

Saat kita sedang baca qur’an tiba2 kentut , apakah kita harus bersuci / berwudhu lagi ?

📬 JAWABAN

💢💢💢💢💢

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Saat dia hendak buang angin hentikan dulu bacaan, setelah dia buang angin boleh dia lanjutkan bacaan, tapi afdhalnya wudhu lagi.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

منها أنه إذا كان يقرأ فعرض له ريح فينبغي أن يمسك عن القراءة حتى يتكامل خروجها ثم يعود إلى القراءة كذا رواه ابن أبي داود وغيره عن عطاء وهو أدب حسن  ومنها أنه إذا تثاءب أمسك عن القراءة حتى ينقضي التثاؤب ثم يقرأ قال مجاهد وهو حسن

Di antara keunikan ketika membaca Al Quran adalah jika seseorang sedang membaca Al Quran lalu keluar angin (kentut) maka hendaknya dia menahan bacaannya dulu sampai anginnya keluar tuntas semua, lalu dia kembali membacanya. Demikianlah diriwayatkan dari Ibnu Abi Daud dan selainnya dari ‘Atha, dan itu adalah adab yang bagus.

Di antara keunikan juga, jika sedang membaca Al Quran  dia menguap, maka tahan dulu bacaannya sampai selesai menguapnya, lalu dia membaca lagi. Mujahid berkata: Ini bagus.  (Imam An Nawawi, At Tibyan Fi Adab Hamalah Al Quran, Hal. 119)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Selintas Seputar Zakat (Bag. 9)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

F.  Zakat Profesi/Penghasilan/Mata Pencaharian

Ini adalah jenis zakat yang diperselisihkan para ulama sat ini. Sebagaimana dahulu ulama juga berselisih tentang adanya sebagian zakat lainnya, seperti zakat sayur-sayuran, buah-buahan selain kurma, dan zakat perdagangan.

Sebagian kalangan ada yang bersikap keras menentang zakat profesi, padahal perbedaan semisal ini sudah ada sejak masa lalu, ketika mereka berbeda pendapat tentang ada tidaknya zakat sayuran, buah, dan perdagangan tersebut. Seharusnya perbedaan pendapat yang disebabkan ijtihad seperti ini tidak boleh sampai lahir sikap keras apalagi membid’ahkan dan menuduh sesat segala.

📌 Pihak Yang Mendukung

Mereka yang mendukung pendapat ini seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdurrahman Hasan, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, memandang  ada beberapa alasan keharusan adanya zakat profesi:

–  Profesi yang dengannya menghasilkan uang, termasuk kategori harta dan kekayaan.

–  Kekayaan dari penghasilan bersifat berkembang dan bertambah, tidak tetap, ini sama halnya dengan barang yang dimanfaatkan untuk disewakan.  Dilaporkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau  berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencaharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab, walau tanpa haul.

–  Selain itu, hal ini juga diqiyaskan dengan zakat tanaman, yang mesti dikeluarkan oleh petani setiap memetik hasilnya. Bukankah petani juga profesi? Sebagian ulama menolak menggunakan qiyas dalam masalah ini, tetapi pihak yang mendukung mengatakan bukankah zakat fitri dengan beras ketika zaman nabi juga tidak ada? Bukankah nabi hanya menyontohkan dengan kurma dan gandum? Saat ini ada zakat fitri dengan beras karena beras adalah makanan pokok di Indonesia, tentunya ini juga menggunakan qiyas, yakni mengqiyaskan dengan makanan pokok negeri Arab saat itu, kurma dan gandum. Jadi,   makanan apa saja yang menjadi makanan pokok-lah yang dijadikan alat pembayaran zakat.  Jika mau menolak, seharusnya tolak pula zakat fitri dengan beras yang hanya didasarkan dengan qiyas sebagai makanan pokok.

–  Dalam perspektif keadilan Islam, maka adanya zakat profesi adalah keniscayaan. Bagaimana mungkin Islam mewajibkan zakat kepada petani yang pendapatannya tidak seberapa, namun membiarkan para pengusaha kaya, pengacara, dokter, dan profesi  prestise lainnya menimbun harta mereka? Kita hanya berharap mereka mau bersedekah sesuai kerelaan hati?

–  Dalam perspektif maqashid syari’ah (tujuan dan maksud syariat), adanya zakat profesi adalah sah. Sebab lebih mendekati keadilan dan kemaslahatan, serta sesuai ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (keluarkan zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.“ (QS. Al Baqarah (2): 267)

Bukankah zakat penghasilan diambil dari hasil usaha yang baik-baik saja?

–   Mereka berpendapat bahwa zakat profesi ada dua jenis pelaksanaan, sesuai jenis pendapatan manusia. Pertama, untuk orang yang gajian bulanan, maka pendekatannya dengan zakat tanaman, yaitu nishabnya adalah 5 wasaq, senilai dengan 653 Kg gabah kering giling, dan dikeluarkan 2,5%, yang dikeluarkan  ketika menerima hasil (gaji), tidak ada haul. Kedua, bagi yang penghasilannya bukan bulanan, seperti tukang jahit, kontraktor, pengacara, dokter, dan semisalnya,   menggunakan pendekatan zakat harta, yakni nishab senilai dengan 85gr emas setelah diakumulasi dalam setahun, setelah dikurangi hutang konsumtif, dikeluarkan sebesar 2,5%. Untuk jenis yang ini sebenarnya juga diakui oleh pihak yang menentang Zakat Profesi, bahwa zakat harta penghasilan itu ada jika sudah satu haul dan nishabnya 85gr emas itu dan dikeluarkan 2,5%-nya.

📌Dasar Pemikiran Zakat Profesi

Zaman ini kebanyakan manusia mebiayai hidupnya dengan dua cara, bekerja sendiri (wiraswasta) se

perti penjahit, tukang kayu, dokter praktek, arsitek, dll,  atau kepada orang lain (baik swasta atau pegawai negara), seperti guru, menteri, anggota dewan, dll. Penghasilan pekerjaan seperti itu disebut gaji atau upah, kadang juga disebut honor. Bahkan dibeberapa tempat petani pun menggunakan sistem gajian, yakni mereka bekerja pada perusahaaan yang memiliki lahan luas, bibitnya, lalu petanilah sebagai pekerjanya, sebulan sekali pendapat gaji. Contoh Salim Group terhadap petani Sawit di Kabupaten Sambas.

Wacana zakat profesi (penghasilan) telah bergulir lebih dari setengah abad yang lalu. Para ulama, seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf telah mengemukakan wacana ini di Damaskus pada tahun 1952. Adapun Syaikh al Qaradhawy baru menguatkan hal ini pada awal tahun 1970-an (tepatnya 1973 ketika dia menyusun kitab Fiqih Zakatnya). Jadi, sangat aneh dan serampangan, dan bernilai fitnah,  jika ada yang mengatakan bahwa zakat profesi merupakan pemikiran bid’ahnya Syaikh al Qaradhawy seorang diri.  Berikut teks para ulama tersebut (Halaqah Dirasah al Islamiyah, Hal. 248):

“Pencarian dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang pada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad (bin Hasan), bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah, kita dapat menyimpulkan bahwa penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil pencarian setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasarkan hal itu, kita dapat menetapkan hasil pencarian (profesi) sebagai sumber zakat, karena terdapatnya ‘illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fiqih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.

Untuk bisa dianggap kaya bagi seseorang, Islam memiliki ukurannya yakni 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama, maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan miskin penerima zakat.

Dalam hal ini madzhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan ini harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil pencarian dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.”

Mengenai besar zakat, mereka mengatakan, “Pencarian dan profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Imam Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencaharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.

Hal itu sesuai dengan apa yang kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup dipertengahan tahun tetapi cukup diakhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.”  (Ibid)

📌 Gaji dan Upah adalah Harta Pendapatan

Akibat dari  tafsiran itu, kecuali bagi yang menentang, – adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau sejenisnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun dan akhir tahun.

Yang menarik adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil pencarian dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya di atas, bahwa mereka tidak menemukan persamaannya dalam fikih selain apa yang dilaporkan tentan pendapat Imam Ahmad tentang sewa rumah di atas. Tetapi sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu disebutkan id sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan, “yaitu kek

ayaan yang diperoleh seorang muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah “harta penghasilan.”

Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun (Haul). Di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan juga diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Az Zuhri, dan Al Auza’i.

Di dalam penelitiannya, Syaikh al Qaradhawy menilai lemah hadits-hadits tentang ketentuan satu tahun, baik hadits dari Ali, Ibnu Umar, Anas, dan Asiyah. Bukan hanya beliau yang mempermasalahkan, juga Imam Ibnu Hazm, dan Imam Ibnu Hajar. Inilah yang menurutnya tidak ada haul dalam zakat profesi tapi dikeluarkan saat mendapatkan hasil.

📌 Pihak yang menolak

Pihak yang menolak, umumnya para ulama Arab Saudi dan yang mengikuti mereka, berpendapat tidak ada zakat profesi. Sebab Al Quran dan As Sunnah secara tekstual tidak menyebutkannya, dan hendaknya mencukupkan diri dengannya.

Mereka menganggap, aturan main zakat profesi tidaklah konsisten. Kenapa nishabnya diqiyaskan dengan zakat tanaman (5 wasaq), tetapi yang dikeluarkan bukan dengan ukuran zakat tanaman pula? Seharusnya dikeluarkan adalah 5% atau 10% sebagaimana zakat tanaman, tetapi zakat profesi mengeluarkan zakatnya adalah 2,5% mengikuti zakat emas.

Sementara Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Al Munajjid  dan lainnya mengatakan bahwa zakat penghasilan itu ada, tetapi seperti zakat lainnya, mesti mencapai nishab, dan menunggu selama satu haul. Dengan kata lain, tidak diwajibkan zakat penghasilan pada gaji bulanan. Hanya saja nishabnya itu adalah setara 85 gram emas dan dikeluarkan 2,5% setelah satu haul, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Demikianlah perselisihan ini.

Selesai. Wallahu a’lam.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🍃🌴🌾🌸🌺☘🌷🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Sekilas Seputar Zakat

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 1)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 2)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 3)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 4)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 5)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 6)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 7)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 8)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 9)

Download E-book Sekilas Seputar Zakat oleh Farid Nu’man Hasan, di sini

scroll to top