Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 16)

💥💦💥💦💥💦

SYARAH HADITS KETIGA, lanjutan

📌Kecaman Dari Para Sahabat

Dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة

Para sahabat nabi tidaklah memandang suatu perbuatan yang dapat kufur jika ditinggalkan melainkan meninggalkan shalat.” (HR. At Tirmidzi No. 2757, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2622)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mencatat dalam Al Muhalla-nya:

وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاةَ فَرْضٍ وَاحِدَةٍ مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ

“Telah datang dari Umar, Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan selain mereka dari kalangan sahabat Radhiallahu ‘Anhum, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib sekali saja secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka dia kafir murtad.” (Al Muhalla, 1/868. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhuma, mengatakan:

ومن ترك الصلاة فلا دين له

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5/508. Darul Fikr)

Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu berkata:

لا إيمان لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له رواه ابن عبد البر وغيره موقوفا

“Tidak ada iman bagi yang tidak shalat, dan tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu.” Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dan selainnya secara mawquf. (Atsar ini Shahih mawquf. Lihat Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Maktabah Al Ma’arif)

Imam Al Mundziri Rahimahullah menyebutkan:

وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة عمدا من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر

“Demikian pula, dahulu pendapat ulama dari orang yang dekat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni para sahabat), bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa ‘udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir.” (Ibid)

Wallahu A’lam

Selanjutnya:

وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ:

dan menunaikan zakat ..

Perintah zakat termaktub dalam Al Quran, dan kewajibannya sering digandeng dengan shalat seanyak di 82 ayat. (Fiqhus Sunnah, 1/327). Di antaranya:

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al Baqarah (2): 110)

Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. (QS. Al Maidah (5): 12) dan berbagai ayat lainnya.

📌 Definisi Zakat

Az Zakah – الزَّكَاةِ secara bahasa berarti – الطهارة – Ath Thaharah (kesucian).

Allah Ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. A Taubah (9): 103)

Definisi zakat telah diuraikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sebagai berikut:

الزكاة اسم لما يخرجه الانسان من حق الله تعالى إلى الفقراء
وسميت زكاة لما يكون فيها من رجاء البركة، وتزكية النفس وتنميتها بالخيرات. فإنها مأخوذة من الزكاة، وهو النماء والطهارة والبركة

“Zakat adalah benda yang dikeluarkan manusia berupa hak Allah Ta’ala kepada para fuqara. Dinamakan zakat karena di dalamnya terdapat pengharapan terhadap berkah, mensucikan jiwa, dan mengembangkannya dengan kebaikan-kebaikan. Dia diambil dari Az Zakah yaitu tumbuh, suci, dan berkah.” (Fiqhus Sunnah, 1/327. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)

Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan tentang definisi zakat:

وأَصل الزكاة في اللغة الطهارة والنَّماء والبَركةُ والمَدْح وكله قد استعمل في القرآن والحديث

“Asal dari zakat menurut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Semua ini telah digunakan dalam Al Quran dan Al Hadits.” (Ibnu manzhur, Lisanul ‘Arab, 14/358. Dar Shadir)

Dari definisinya ini, kita bisa memahami bahwa fungsi zakat bagi harta adalah agar menjadi berkah dan tumbuh. Sedangkan bagi

muzakkinya sebagai pensuci dirinya dan mencapai pribadi nyang terpuji.

(Bersambung … masih hadits ke-3)

🌺☘🌷🌴🌻🍃🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Shalat Dalam Keadaan Luka Masih Berdarah

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

assalamu alaikum Ustadz, sehabis bekam apakah kita diperbolehkan langsung sholat karena yang sepertinya darahnya masih keluar (walaupun) sedikit, setelah bekamnya selesai. jazakallah khair. (+61451029xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Kalau sedikit, tidak apa-apa. Itu ma’fu ‘anhu – dimaafkan, menurut mayoritas ulama.

Imam Zakaria Al Anshari Rahimahullah mengatakan:

اذا قلنا الكثير مبطل دون القليل

Jadi, kami katakan banyak itu membatalkan shalat, kalau sedikit tidak.

(Asnal Mathalib, 1/241)

Begitu juga darah lainnya seperti jerawat, bisul, nyamuk, jika sedikit maka dimaafan.

فصلى فيه أجزأته صلاته وان صلى وفي ثوبه دم البراغيث أو اليسير من سائر الدماء

Maka, shalat tetap sah walau pada pakaiannya terdapat darah kutu, atau darah yg sedikit, dari darah-darah apa pun.

(At Tanbih fil Fiqhi Asy Syafi’iy, 1/28)

Dalilnya adalah, terdapat dalam Shahih Bukhari di ceritakan oleh Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah:

ﻣَﺎ ﺯَﺍﻝَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮﻥَ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻓِﻰ ﺟِﺮَﺍﺣَﺎﺗِﻬِﻢْ

Kaum muslimin senantiasa shalat dalam keadaan mereka terluka.

Demikian. Wallahu a’lam

🌹🌷☘🍀🌸🍃🎋

✍ Farid Nu’man Hasan

Mau Pahala Shalat Seperti Setengah Malam Atau Sepanjang Malam?

💦💥💦💥💦💥💦💥

Dari ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu, “ Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

من صلى العشاء في جماعة فكأنما قام نصف الليل ومن صلى الصبح في جماعة فكأنما صلى الليل كله

Barang siapa yang shalat Isya berjamaah maka seolah dia shalat setengah malam, dan barang siapa yang shalat subuh berjamaah maka seolah dia shalat sepanjang malam.

📚 Shahih Muslim No. 656, Bab Fadhl Shalah Al ‘Isya wa Ash Shubh fi Jamaa’ah

📖 Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah menjelaskan:

فحمل بعضهم حديث مسلم على ظاهره، وأن جماعة العتمة توازي في فضيلتها قيام نصف ليلة، وجماعة الصبح توازي في فضيلتها قيام ليلة

Sebagian ulama memaknai hadits Shahih Muslim ini secara tekstual, bahwa berjamaah shalat Isya keutamaannya setara dengan orang yang shalat selama setengah malam, dan berjamaah Subuh setara keutamaannya dengan shalat selama satu malam. (Syarh Abi Daud, 3/32)

Ulama lain mengatakan bahwa shalat Isya berjamaah itu setingkat dengan setengah malam, dan shalat subuh berjamaah juga setara dengan shalat setengah malam. Ada pun ketika ada yang melakukan kedua-duanya secara berjamaah, maka dia setingkat dengan orang yang shalat sepanjang malam. (Ibid)

Semoga kita, khususnya kaum laki-laki, diberikan kekuatan oleh Allah Ta’ala untuk istiqamah shalat berjamaah di masjid.

Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Tentang Shalat Tahajud Setelah Shalat Witir

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, Ustadz, kalau shalat jam 7 bisa gak? katanya shalat dhuha pun sama kaya tahajud ada waktu mustajabnya.
Syukron

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Ada tiga pertanyaan ya .. biar enak di baca saya buat berseri.

1⃣ Bolehkah setelah shalat witir kita shalat lagi?

Boleh saja bagi seorang yang sudah shalat witir, lalu dia shalat lagi, hanya saja tidak diakhiri dengan witir lagi sebab tidak ada witir dua kali alam satu malam.

Dari Qais bin Thalq, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَة

“Tidak ada dua witir dalam satu malam.” [1]

Tetapi pada kenyataannya terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, berkata Imam At Tirmidzi:

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الَّذِي يُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ يَقُومُ مِنْ آخِرِهِ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ نَقْضَ الْوِتْرِ وَقَالُوا يُضِيفُ إِلَيْهَا رَكْعَةً وَيُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ ثُمَّ يُوتِرُ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ لِأَنَّهُ لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ وَهُوَ الَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ إِسْحَقُ

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang witir pada awal malam, lalu dia mendirikan lagi pada akhir malam. Sebagian ulama dari kalangan sahabat nabi dan setelah mereka menyatakan witir tersebut (yang akhir, pen) batal. Mereka mengatakan: hendaknya dia menambahkan witirnya itu satu rakaat lagi lalu dia shalat seperti permulaan kemudian barulah dia witir pada akhir shalatnya, hal ini karena tidak ada dua witir pada satu malam. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ishaq. [2]

Hal ini dilakukan oleh para sahabat Radhiallahu ‘Anhum, seperti Utsman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Sa’ad bin Malik. [3]

Jadi tidak boleh dua kali witir, jika dilakukan juga maka witir yang kedua adalah batal. Namun jika setelah bangun dia memulai dengan satu rakaat untuk menggenapkan witir sebelumnya, lalu shalat lagi seperti awal dia shalat, barulah dia boleh witir, karena witir sebelumnya sudah digenapkan dengan satu rakaat tadi. Maka, witir yang dilakukan terakhir itulah witir yang sebenarnya.

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata tentang pendapat kedua:

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ إِذَا أَوْتَرَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ يُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ وَلَا يَنْقُضُ وِتْرَهُ وَيَدَعُ وِتْرَهُ عَلَى مَا كَانَ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ وَأَحْمَدَ وَهَذَا أَصَحُّ لِأَنَّهُ قَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ صَلَّى بَعْدَ الْوِتْرِ

Sebagian ulama dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan selain mereka mengatakan bahwa jika seorang melakukan witir di awal malam kemudian dia tidur lalu shalat lagi di akhir malam, maka dia shalat sebagaimana awal dia melakukan, hal itu tidak membatalkan witirnya itu dan tidak usah dia tinggalkan witir yang sudah dia lakukan. Inilah pendapat Sufyan Ats Tsauri, Malik bin Anas, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, penduduk Kufah, dan Ahmad, inilah pendapat yang lebih shahih. Diriwayatkan dari jalan lain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat setelah dia witir. [4]

Berkata Syaikh Abdurrahman Mubarkafuri Rahimahullah:

قَالَ اِبْنُ الْعَرَبِيِّ فِي عَارِضَةِ الْأَحْوَذِيِّ : مَعْنَاهُ أَنَّ مَنْ أَوْتَرَ فِي آخِرِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ ذَلِكَ لَا يُعِيدُ الْوِتْرَ اِنْتَهَى

“Berkata Ibnul ‘Arabi dalam ‘Aridhah Al Ahwadzi: Artinya adalah bahwa barangsiapa yang shalat witir pada akhir malam kemudian shalat setelahnya, maka hendaknya dia tidak mengulangi witir, selesai. “ [5]

Jadi, pendapat kedua adalah ketika telah melakukan shalat witir di awal malam, lalu tidur, maka ketika bangun, hendaknya shalat malam dilakukan seperti biasa saja tidak susah membatalkan witir sebelumnya dengan menambahkan satu rakaat. Selesainya tidak usah lagi ada witir, karena witirnya sudah dilakukan pada awal malam. Inilah pendapat yang benar menurut Imam At Tirmidzi.

Wallahu A’lam

Bersambung


🌿🍃🌿🍃🌿🍃

[1] At Tirmidzi No. 470, katanya: hasan, Abu Daud No. 1439, An Nasa’i No. 1679, juga dalam As Sunan Al Kubra-nya No. No. 1388, Ahmad No. 16339, Ibnu Hibban No. 2449, Ibnu Khuzaimah No. 1101, dll. Imam Ibnul Mulqin mengatakan: hasan. Lihat Badrul Munir, 4/317. Al Hafizh Ibnu Hajar juga menghasankannya. Lihat Fathul Bari, 2/488)
[2] Sunan At Tirmidzi No. 470
[3] Tuhfah Al Ahwadzi, 2/469
[4] Sunan At Tirmidzi No. 470
[5] Syaikh Abdurrahman Mubarakafuri, Tuhfah al Ahwadzi, 2/469

🍃🌴🌻☘🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top