Sebab-Sebab “Lenyapnya” Islam

💦💥💦💥💦💥

Berkata Muhammad bin Al Fadhl Rahimahullah:

ذهاب الإسلام من أربعة: لا يعملون بما يعلمون، ويعملون بما لا يعلمون، ولا يتعلمون ما لا يعلمون، ويمنعون الناس من العلم

Hilangnya Islam karena empat hal:

📌 Tidak melaksanakan apa yang diketahui

📌 Melaksanakan apa yang tidak diketahui

📌 Tidak mau belajar apa yang tidak diketahui

📌 Mencegah manusia dari ilmu pengetahuan

🍃🌴🌻🌷🌺☘🌸🌾

📚 Hikam wa Aqwaal As Salaf Ash Shaalih

✏ Farid Nu’man Hasan

Wudhunya Orang Bertato

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum. Ustadz?
Bagaimana Wudhunya Orang Yg Bertato? (+62 897-7011-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaihimussalam wa Rahmatullah ..

Membuat tato adalah berdosa besar ya, sebab masuk kategori mughayyirat al khalqallah (mengubah ciptaan Allah).

Namun demikian, Tato tidak menghalangi wudhu, dan tidak menghalangi SAH-nya shalat, maka wudhu seperti biasa saja.

Dalam fatwa Asy Syabakah Al Islamiyyah:

فلا يخفى عليك أن وضع الوشم على الجسد ذنب عظيم، ومع ذلك لا تأثير له على صحة الصلاة

Maka, tidak samar atas diri Anda bahwa membuat tato di badan adalah dosa besar, namun demikian hal itu tidak berdampak pada sahnya shalat.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 18959)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Wanita Bernyanyi Di Depan Laki-Laki Bukan Mahram

◼◽◼◽◼◽◼

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz
Mohon maaf sebelumnya kalau ternyata sdh pernah dibahas disini 🙏🏼
Mau menanyakan, bolehkah wanita menyanyikan lagu yg suaranya diperdengarkan untuk umum? (+62 851-0075-xxxx)

📬 JAWABAN

============

Wa’alaihimussalam wa Rahmatullah ..

Bismillahirrahmanirrahim alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat; melarang secara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan syarat aman dari fitnah.

📗 Pihak yang melarang. Memiliki sejumlah argumentasi, di antaranya:

1. Dalam syariat Islam wanita tidak dianjurkan mengucapkan SUBHANALLAH saat meluruskan kesalahan imam shalat, tapi bertepuk tangan.

2. Ketika shalat berjamaah, wanita dianjurkan men-sirr-kan (melirihkan) bacaan aminnya jika ada laki-laki yang bukan mahramnya dalam jamaah itu. Kecuali saat bersama dengan sesama wanita dan laki-laki yang mahramnya atau suaminya.

3. Wanita tidak dibenarkan adzan dan iqamah, saat bersama jamaah kaum laki-laki, kecuali untuk sesama kaum wanita saja.

4. Wanita dilarang menghentakkan perhiasan dikakinya sehingga menimbulkan suara, maka suara mereka dalam nyanyian lebih layak untuk dilarang.

Maka, kenyataan ini menunjukkan tidak pantas bagi kaum wanita bernyanyi lalu diperdengarkan laki-laki yang bukan mahramnya, atau bukan suaminya. Padahal membaca subhanallah, amin, dan adzan, adalah dzikir .. maka apalagi nyanyian yang kadang mendayu-dayu, melengking, merendah, dan seterusnya, maka dia lebih layak dilarang lagi.

Syakh Abdurraman Al Jazairi Rahimahullah menjelaskan:

فقد نهى الله تعالى عن استماع صوت خلخالها لأنه يدل على زينتها فحرمة رفع صوتها أولى من ذلك ولذلك كره الفقهاء أذان المرأة لأنه يحتاج فيه إلى رفع الصوت والمرأة منهية عن ذلك وعلى هذا فيحرم رفع صوت المرأة بالغناء إذا سمعها الأجانب سواء أكان الغناء على آلة لهو أو كان بغيرها وتزيد الحرمة إذا كان الغناء مشتملا على أوصاف مهيجة للشهوة كذكر الحب والغرام وأوصاف النساء والدعوة إلى الفجور وغير ذلك

Allah ﷻ telah melarang sengaja mendengarkan suara wanita karena hal itu menunjukkan perhiasan wanita, maka haramnya meninggikan suaranya lebih pantas diharamkan, oleh karena itu para ahli fiqih memakruhkan azan kaum wanita karena azan membutuhkan suara yang ditinggikan dan wanita dilarang untuk itu. Oleh karena itu, diharamkan meninggikan suara wanita dalam nyanyian jika yang mendengarkannya adalah laki-laki bukan mahramnya sama saja apakah pakai alat musik, atau tidak, dan keharamannya bertambah jika nyanyian tersebut mengandung penyifatan yang bisa menimbulkan syahwat seperti senandung cinta, rindu, penggambaran tentang wanita, dan ajakan kepada perbuatan keji dan lainnya.[1]

📕 Pihak yang membolehkan. Mereka memberikan sejumlah argumentasi, di antaranya sebagai berikut:

1. Nabi Muhammad ﷺ dan sebagian sahabat yang paling utama pernah mendengarkan wanita bernyanyi

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ. فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ

Rasulullah ﷺ keluar melakukan peperangan, ketika sudah kembali datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan memainkan rebana dan BERNYANYI di hadapanmu.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya.” Maka wanita itu pun memainkan rebananya, lalu masuklah Abu Bakar dia masih memainkannya. Masuklah Ali dia masih memainkannya. Masuklah Utsman dia masih memainkannya. Lalu ketika Umar yang masuk, dibantinglah rebana itu dan dia duduk (ketakutan). Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Umar syetan saja benar-benar takut kepadamu, ketika aku duduk dia memukul rebana, ketika Abu Bakar masuk dia masih memainkannya, ketika Ali datang dia masih memainkannya, ketika Utsman datang dia masih memainkannya, tapi ketika Engkau yang datang dia lempar rebana itu. [2]

Imam Ali Al-Qari Rahimahullah mengomentari kisah ini:

دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ

Ini merupakan dalil bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada fitnah. [3]

2. Nabi Muhammad ﷺ juga mendengarkan beberapa gadis wanita bernyanyi saat resepsi pernikahan

Ar Rubayyi binti Mu’awidz Radhiallahu ‘Anha bercerita:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ

Pada hari pernikahanku Rasulullah ﷺ datang, dia duduk di permadaniku ini, aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang memainkan rebana, mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika terbunuh dalam perang Badar, maka mereka berkata, “Di tengah kita ada seorang nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ucapan yang ini, janganlah kalian berdua ucapkan.” [4]

Syakh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah – sebagian kalangan mnyebutnya Imam An Nawawinya zaman ini- juga mengatakan:

فلا يحرم سماع صوت المرأة ولو مغنية، إلا عند خوف الفتنة

Maka, tidaklah diharamkan mendengarkan suara wanita walau wanita penyanyi kecuali jika khawatir terjadinya fitnah. [5]

Jadi, tidak ada pembolehan secara mutlak. Pihak yang membolehkan pun memberikan syarat yaitu tidak memunculkan fitnah bagi pendengarnya; yaitu munculnya syahwat atau angan-angan syahwat. Sementara di sisi penyanyinya, mesti sopan dan berpakaian yang dibenarkan syariat, ada pun yang penampilannya seronok, tarian, goyangan, dan lirik lagunya pun berisikan kekejian akhlak, maka tidak syak lagi keharamannya, walaupun penyanyinya laki-laki pun tidak dibenarkan yang seperti itu.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah berkata:

صوت المرأة عند الجمهور ليس بعورة؛ لأن الصحابة كانوا يستمعون إلى نساء النبي صلّى الله عليه وسلم لمعرفة أحكام الدين، لكن يحرم سماع صوتها بالتطريب والتنغيم ولو بتلاوة القرآن، بسبب خوف الفتنة

Suara wanita menurut mayoritas ulama bukanlah aurat karena dahulu para sahabat Nabi ﷺ mendengarkan dari istri-istri Nabi ﷺ untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita jika melahirkan gairah dan mendayu-dayu walau pun membaca Al Quran, disebabkan khawatir lahirnya fitnah. [6]

“Munculnya fitnah” kadang menjadi sesuatu yang sulit diukur karena masing-masing orang berbeda dampaknya, dan jangan dikira ini hanya dialami laki-laki, wanita pun bisa mengalami hal serupa saat mendengarkan nyanyian atau rayuan laki-laki. Oleh karena itu, mengambil sikap hati-hati dan mengambil sadd adz dzara’i (preventif) adalah lebih utama dan lebih aman bagi manusia yang cemburu kepada agama dan akhlak yang luhur.

Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al Asyqar Hafizhahullah berkata dalam Al Waadhih:

سد الذرائع : هو منع الأمر المباح الذى يتواصل به الى المحرم، سواء قصد به فاعله الوصول الى المحرم، أو لم يقصد ذلك، فيمنع لئلا يتوصل به إلى المحرم غيره من الناس

Sadd Adz Dzara’i adalah larangan terhadap perkara yang mubah yang bisa mengantarkan kepada hal yang diharamkan. Sama saja, apakah dia memaksudkan dari perbuatan itu sampai kepada perkara haram atau dia tidak memaksudkannya, maka ini dilarang agar dia dan orang lain tidak sampai kepada hal yang diharamkan.[7]

Demikian. Wallahu A’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Syaikh Abdurrahman Al Jazairiy, Al Fiqh ‘Alal Madzaahib Al Arba’ah, 5/26

[2] HR. At Tirmdzi No. 3690, katanya: hasan shahih

[3] Imam Ali Al Qari, Mirqah Al-Mafatih, 9/3902

[4]HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 44/570

[5] Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, 2/116

[6] Ibid, 1/665

[7] Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al Asyqar, Al Waadhih fi Ushul Al Fiqh, Hal. 159

 

Hukum Berhubungan Intim Setelah Selesai Haid Tapi Belum Mandi Wajib

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum, Wr. Wb. Ust, Apa hukumnya bersetubuh tapi belum mandi haid, namun sudah bersih dari haid? Bolehkah mandi haid dan mandi junub dengan sekali mandi? (085252330xxx)

📬 JAWABAN

Wa ‘alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh .. Bismillahirrahanirrahim.

Hendaklah bersabar dan jangan terburu-buru. Sempurnakanlah kesucian Anda dengan mandi wajib. Selain memang itu lebih bersih dan menyegarkan bagi Anda berdua.

Sebenarnya para ulama kita berbeda pendapat dalam hal ini, namun kebanyakan melarang jima’ dengan isteri yang sudah selesai haid tetapi belum mandi haid. Allah Ta’ala berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

(QS. Al Baqarah: 222)

Dalam Tafsir Ath Thabari disebutkan tentang makna “Suci” dalam ayat tersebut:

فقال بعضهم: هو الاغتسال بالماء، لا يحل لزوجها أن يقربها حتى تغسل جميع بدنها. وقال بعضهم: هو الوضوء للصلاة. وقال آخرون: بل هو غسل الفرج، فإذا غسلت فرجها، فذلك تطهرها الذي يحلّ به لزوجها غشيانُها

“Sebagian mereka berkata: maksudnya adalah mandi dengan air, tidak halal bagi seorang suami mendekati isterinya (maksudnya bersetubuh), sebelum dia memandikan seluruh badannya.

Sebagian mereka berkata: maksudnya adalah wudhu untuk shalat

Sedangkan yang lain mengatakan: maksudnya adalah mencuci kemaluan, jika sudah mencuci kemaluannya, maka itu telah mensucikannya, yang dengannya maka suaminya halal untuk bersetubuh dengannya.” [1]

Keterangan dari Imam Ath Thabari ini membuktikan bahwa memang telah terjadi perselisihan pendapat dalam masalah ini.

Imam Ath Thabari Rahimahullah melanjutkan:

فتأويل الآية إذًا: ويسألونك عن المحيض قل هو أذى، فاعتزلوا جماع نسائكم في وقت حيضهنّ، ولا تقربوهن حتى يغتسلن فيتطهرن من حيضهن بعد انقطاعه

“Maka, takwil ayat tersebut adalah: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah dia adalah penyakit, maka jauhilah bersetubuh dengan wanita kalian pada waktu haid mereka, dan jangan dekati mereka (bersetubuh) sampai mereka mandi, yang bisa mensucikan mereka dari haidnya setelah terhentinya darah.” [2]

Berkata Imam Hasan Al Bashri Radhiallah ‘Anhu :

لا يغشاها زوجُها حتى تغتسل وتحلَّ لها الصلاة

“Suami tidak boleh bersetubuh dengan isterinya, sampai isterinya mandi, yang dengan mandi itu dibolehkan baginya shalat.” [3]

Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Utsman bin al Aswad, dan Ibrahim an Nakha’i.

Kemudian, tentang bolehkah mandi junub dan haid dalam sekali mandi? Ya boleh, sebab Nabi ﷺ pernah menggilir beberapa istrinya dalam satu malam tapi Beliau ﷺ hanya melakukan sekali mandi.

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يطوف على نسائه بغسل واحد

Bahwa Nabi ﷺ pernah berkeliling menggilir istri-istrinya dengan sekali mandi. [4]

Hal ini sama dengan orang yang buang angin, lalu dia buang besar, buang air kecil, maka dia tidak usah tiga kali wudhu, cukup baginya hanya sekali wudhu saja untuk menghilangkan kondisi hadats itu semua. Juga sama dengan orang yang junub di hari Jumat, lalu dia mandi junub dan mandi jumat sekaligus, maka ini juga boleh.

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

ولو نوى بغسله غسل الجنابة والجمعة حصلا جميعا هذا هو الصحيح

Seandainya mandinya itu berniat dengan mandi janabah dan Jumat, maka kedua mandi itu telah didapatkannya. Inilah yang benar. [5]

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata:

فإن اغتسل للجمعة والجنابة غسلا واحدا ونواهما أجزأه ولا نعلم فيه خلافا

Sesungguhnya mandi karena Jumat dan Junub dengan sekali mandi dengan meniatkan keduanya itu sudah mencukupi, dan kami tidak ketahui adanya perselisihan dalam masalah ini.[6]

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

✍ Farid Nu’man Hasan


[1] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 4, Hal. 384. Mu’asasah Risalah, cet.1, 2000M/1420H.

[2] Ibid, 4/385

[3] Ibid, 4/386

[4] HR. Muslim No. 309

[5] Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/368

[6] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 2/199

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

 

scroll to top