Makan Cacing, Bolehkah?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Mohon penjelasannya Ustadz, memakan cacing dalam kondisi bagaimana kita diperbolehkan?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Memakan cacing, jumhur ulama melarang. Seperti Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hambaliyah.

Sesuai ayat:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.

(QS. Al-A’raf: 157)

Cacing, terlepas di dalamnya mengandung protein, adalah bertentangan tabiat jiwa manusia. Umumnya manusia jijik melihatnya. Oleh karena itu dia masuk Al Khabaaits – yg buruk, shgga terlarang untuk dimakan.

Sedangkan Imam Malik Rahimahullah, tidak mengharamkan karena tidak ada ayat dan hadits yang lugas mengharamkannya. Sedangkan jijik itu sifatnya relatif.

Lalu, bagaimana ketika cacing itu sedikit dan tercampur dengan makanan lain yg halal? Sebagian ulama ada yang membolehkan dan itu dimaafkan.

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya:

الدود الذي يكون داخل التمر هل يجوز أكله ويكون له حكم التمر ؟

Apakah boleh makan cacing yang ada di dalam kurma, apakah dia menjadi hukumnya seperti makan kurma?

Beliau menjawab:

يعفى عنه , يعفى عنه , لأنه تابع للتمر فيعفى عنه . نعم

Itu dimaafkan, dimaafkan, karena cacing mengikuti kurma. Maka itu dimaafkan. Ya. (Selesai)

Ada pun jika cacing untuk obat, dan wujudnya sdh tidak lagi berbentuk cacing .. seperti dalam obat penurun panas ver**t, atau penyegar cap kaki **, maka jika memang tidak ada pilihan lain, silahkan.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Bacaan Tasyahud Awal, Apakah Sampai Shalawat atau Hanya sampai Syahadat?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Afwan ustdaz ana mau tanya apakah sama bacaan saat tasyahud awal dengan tasyahud akhir
Syukron (+62 822-6038-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Bacaan dalam tasyahud awal, ada dua pendapat para ulama.

Pertama. Menurut sebagian ulama tidak berhenti hanya sampai syahadat tapi juga sampai membaca shalawat..

Inilah pendapat Imam Asy Syafi’iy, bahkan menurut Imam Asy Syafi’iy wajib sujud sahwi bagi yang hanya sampai membaca syahadat saja.

Tertulis dalam Al Umm-nya Imam Asy Syafi’iy:

والتشهد والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في التشهد الأول في كل صلاة غير الصبح تشهدان : تشهد أول وتشهد آخر ، إن ترك التشهد الأول والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في التشهد الأول ساهيا لا إعادة عليه ، وعليه سجدتا السهو لتركه

Membaca syahadat dan shalawat kepada Nabi ﷺ di dalam tasyahud awal di tiap shalat kecuali shalat subuh. Tasyahud ada dua yaitu tasyahud awal dan tasyahud akhir. Jika meninggalkan bacaan shalawat pada tasyahud awal karena lupa maka tidak wajib mengulang shalat tapi wajib baginya sujud SAHWI dua kali karena meninggalkannya. (Al Umm, 1/228)

Beberapa ulama juga mengatakan disyariatkan bershalawat, seperti Imam Ibnu Hazm. (Al Muhalla, 2/302)

Juga pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baaz. ( Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz, 11/201) dan Syaikh Al Albani. ( Shifat Shalat Nabi ﷺ, Hal. Hal. 145)

Kedua. Bacaan pada tasyahud awal cukup pada bacaan dua kalimat syahadat saja. Ini pendapat MAYORITAS ulama.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

يرى جمهور الفقهاء أنّ المصلّي لا يزيد على التّشهّد في القعدة الأولى بالصّلاة على النّبيّ صلى الله عليه وسلم وبهذا قال النّخعيّ والثّوريّ وإسحاق

Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang shalat tidaklah pada duduk tasyahud awalnya menambahkan bacaan shalawat kepada Nabi ﷺ, dengan inilah An Nakha’iy, Ats Tsauriy, dan Ishaq berpendapat. ( Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 12/39)

Ini juga dianut oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah, kata beliau:

لا يستحب أن تصلي على النبي صلى الله عليه وسلم في التشهد الأول ، وهذا ظاهر السنة ، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يعلِّم ابن مسعود وابن عباس إلا هذا التشهد فقط ، وقال ابن مسعود : ( كنا نقول قبل أن يفرض علينا التشهد ) وذكر التشهد الأول فقط ، ولم يذكر الصلاة على النبي صلى الله عليه; وسلم في التشهد الأول ، فلو كان سنة لكان الرسول عليه الصلاة والسلام يعلمهم إياه في التشهد

Tidak disunahkan bershalawat kepada Nabi ﷺ di tasyahud awal, inilah yang benar dalam Sunnah, sebab Nabi ﷺ tidak pernah mengajarkan Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas kecuali bacaan tasyahud yang seperti ini saja.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Dulu, sebelum diwajibkan tasyahud kepada kami, kami membaca ..”, lalu dia membaca bacaan tasyahud awal saja, tanpa menyebutkan adanya shalawat. Seandainya itu Sunnah, niscaya Nabi ﷺ mengajarkan shalawat tersebut kepada mereka. (Syarhul Mumti’, 3/225)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Menyusui Anak Melebihi Masa Susuan Dua Tahun, Bolehkah?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum Ustadz. Terkait menyusui dalam Alquran disebutkan, masa menyusui dalam ajaran Islam adalah dua tahun. Firman Allah SWT, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan,” (QS al-Baqarah [2]: 233). Bagaimana jika masih tetap menyusui dan usia anak sudah lewat 2 tahun? (+62 811-1344-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Idealnya masa susuan bagi bayi adalah dua tahun. Hal ini sudah diketahui ber sama.

Tapi, Tidak apa-apa menyusui anak melewati masa susuan dua tahun. Apalagi jika anak tsb memang membutuhkannya, dan tidak berbahaya bagi orangtuanya dan mereka ridha.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

والزيادة على الحولين أو النقصان إنما يكون عند عدم الإضرار بالمولود وعند رضا الوالدين

Tambahan atas dua tahun atau pengurangannya, itu hanyalah boleh terjadi saat tidak memunculkan bahaya bagi si bayi dan kedua orangtuanya memang ridha.

(Tafsir Al Qurthubi, 3/162)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

واستمرار الرضاع بعد السنتين لا حرج فيه ، لا سيما إذا كان ذلك لمصلحة الطفل

Melanjutkan penyusunan setelah dua tahun tidak apa-apa, apalagi jika hal itu memiliki maslahat bagi si anak.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 130155)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Sepatu, Tas, Dompet, dari kulit Ular, Emang Boleh?

◽◼◽◼◽◼

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum wr wb.
Ada titipan pertanyaan ustadz…

Ada teman mo beli tas dari kulit sapi, dan ternyata produsen juga bikin tas dari kulit ular piton.

Halalkah tas kulit sapinya Ustadz? (Berhubung alat2 produksi yg digunakan sama)

Krn utk kulit ular yg disamak ada yg menghalalkan tapi ada juga yg mengharamkan.
Wallahu’alam. (+62 852-7281-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaihimussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Untuk kulit sapi BOLEH, berdasarkan hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda: “Kulit apapun jika disamak, maka ia menjadi suci.”

(HR. At Tirmidzi no. 1728, Shahih)

Imam At Tirmidzi menjelaskan:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالُوا فِي جُلُودِ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَتْ فَقَدْ طَهُرَتْ قَالَ أَبُو عِيسَى قَالَ الشَّافِعِيُّ أَيُّمَا إِهَابِ مَيْتَةٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ

Mayoritas ulama menjadikan hadits ini sebagai landasan untuk diamalkan, kata mereka bahwa kulit bangkai jika sudah disamak maka menjadi suci.

Abu Isa (At Tirmidzi) berkata: “Asy Syafi’iy mengatakan bahwa kulit apa pun jika sudah disamak akan menjadi suci kecuali kulit anjing dan babi.” (Sunan At Tirmidzi no. 1728)

Maka, kulit Sapi sama sekali tidak masalah.

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

وَاتَّفَقُوا أَن جلد مَا يُؤْكَل لَحْمه إذا ذكي : طَاهِر ، جَائِز استعماله ، وَبيعه

Para ulama sepakat bahwa kulit dari hewan yg bisa dimakan makan dagingnya, jika disembelih maka itu suci, boleh menggunakannya dan menjualnya.

(Maratibul Ijma’, hal. 23)

Jika tidak disembelih, alias menjadi bangkai, tapi disamak dulu maka juga menjadi suci sebagaimana hadits Ibnu Abbas di atas.

Lalu, bagaimana dgn kulit ular?

Ada dua pendapat ulama, yaitu:

Pertama. Tidak Boleh, sebab itu termasuk hewan yang tidak bisa dimakan dan buas

Ada pun kulit hewan buas, seperti ular, harimau, dan semisalnya, para ulama sejak masa sahabat memakruhkannya. Pembolehan hanya berlaku untuk kulit hewan yang bisa dimakan dagingnya.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

والأظهر أن جلد الحيوان الذي لا يؤكل لحمه غير طاهر ، سواء دبغ أم لم يدبغ ؛ لأن الجلود النجسة لا تطهر بالدباغ

Pendapat yg benar bahwa kulit hewan yang tidak bisa dimakan tidaklah suci, sama saja apakah disamak atau tidak, sebab kulit yang najis tidaklah menjadi suci walau disamak.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no.147632)

Imam At Tirmidzi berkata:

و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ إِنَّهُمْ كَرِهُوا جُلُودَ السِّبَاعِ وَإِنْ دُبِغَ وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَشَدَّدُوا فِي لُبْسِهَا وَالصَّلَاةِ فِيهَا قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا مَعْنَى قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ جِلْدُ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ هَكَذَا فَسَّرَهُ النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ و قَالَ إِسْحَقُ قَالَ النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ إِنَّمَا يُقَالُ الْإِهَابُ لِجِلْدِ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ

Sebagian ulama` dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan selain mereka tetap memakruhkan kulit binatang buas meskipun telah disamak. Ini adalah pendapat Abdullah Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq.

Dan mereka bersikap tegas dalam memakainya, serta mengenakannya dalam shalat. Ishaq bin Ibrahim berkata, “Sesungguhnya makna dari sabda Rasulullah ﷺ, ‘Kulit apapun jika disamak, maka ia menjadi suci’, maksudnya adalah kulit dari hewan yang boleh dimakan dagingnya. Demikianlah yang dijelaskan oleh An Nadhr bin Syumail.”

Ishaq berkata lagi, Nadhar bin Syumail mengatakan; ungkapan disamak, adalah untuk kulit dari binatang yang dagingnya boleh dimakan.” (Ibid)

Dalil-Dalil pelarangan begitu kuat, di antaranya:

Dari Abul Malih bin Usamah, dari ayahnya, dia berkata:

أنَّ رَسولَ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم نهى عن جُلودِ السِّباعِ

Bahwa Rasulullah ﷺ melarang kulit hewan buas.

(HR. Abu Daud no. 4132, At Tirmidzi no. 1771, Imam An Nawawi mengatakan: Shahih. Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdab, 1/220)

Hadits lain:

عَنْ خَالِدٍ قَالَ وَفَدَ الْمِقْدَامُ بْنُ مَعْدِيكَرِبَ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ لَهُ
أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُبُوسِ جُلُودِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا قَالَ نَعَمْ

Dari Khalid, ia berkata; Al Miqdam bin Ma’dikarib datang kepada Mu’awiyah sebagai utusan kemudian berkata; saya bersumpah kepada Allah dan bertanya kepadamu, apakah engkau mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ melarang memakai kulit binatang buas dan menaikinya? Ia berkata; ya.

(HR. An Nasa’i no. 4255, Shahih)

Kedua. BOLEH

BOLEH digunakan selama sudah disamak sesuai keumuman hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Kulit apapun jika disamak, maka ia menjadi suci.”

Ada pun larangan memakai kulit hewan buas maksudnya adalah jika kulit itu belum disamak.

Imam Taqiyuddin Al Hishniy Rahimahullah mengatakan:

الْحَيَوَان الَّذِي ينجس بِالْمَوْتِ إِذا دبغ جلده يطهر بالدباغ سَوَاء فِي ذَلِك مَأْكُول اللَّحْم وَغَيره

Hewan yang menjadi najis karena matinya, jika disamak kulitnya maka akan menjadi suci karena samak itu, sama saja apakah hewan itu bisa dimakan atau tidak.

(Kifayatul Akhyar, Hal. 18)

Syaikh Yasir Burhamiy berkata:

فالصحيح أن جلد الثعبان داخل في عموم قول النبي -صلى الله عليه وسلم-: (أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ) (رواه أحمد والترمذي، وصححه الألباني)، وعند مسلم: (إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ).

Yang benar adalah kulit ular termasuk keumuman hadits Nabi ﷺ : “Kulit apa pun yang disamak maka itu menjadi suci.” (HR. At Tirmidzi, Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani)

Dan Shahih Muslim: “Jika kulit sudah disamak maka itu mensucikan.” (selesai)

Demikian …

Jalan keluarnya adalah walau kulit ular diperselisihkan, lebih baik ditinggalkan.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

أنه لا حرج في استعمال الأشياء المصنوعة من جلد الحيوان المأكول اللحم ، وأما المصنوع من جلود السباع ، فلا يجوز استعماله مطلقا
وأما ما صنع من جلد حيوان غير مأكول اللحم ، فالأولى ترك استعماله ؛ لقوة الخلاف فيه

Tidak masalah memanfaatkan apa saja yang terbuat dari kulit hewan yang bisa dimakan dagingnya, ada pun yang terbuat dari kulit hewan buas tidak boleh memakainya secara muthlaq.

Ada pun apa-apa yang terbuat dari kulit hewan yang tidak bisa dimakan dagingnya, maka lebih utama ditinggalkan, karena begitu kuat perselisihan tentang itu.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 221753)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top