Niat Baik Sudah Mendapat Pahala

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Mau tanya, benarkah niat yg baik sudah Allah kasih pahala tpi belum dlm bentuk perbuatan.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Hal tersebut dijelaskan dalam hadits berikut ini:

عَن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النبي صلى الله عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالى أَنَّهُ قَالَ: (إِنَّ الله كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ؛ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً،وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمائَةِ ضِعْفٍ إِلىَ أَضْعَاف كَثِيْرَةٍ. وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً،وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً) رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ في صَحِيْحَيْهِمَا بِهَذِهِ الحُرُوْفِ.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai apa yang Beliau riwayatkan dari Rabbnya Tabaraka wa Ta’ala, bahwa Dia berfirman:

Sesungguhnya Allah menetapkan berbagai kebaikan dan berbagai keburukan, kemudian menjelaskan hal itu. Barangsiapa yang ingin melakukan kebaikan namun tidak jadi melakukannya, Allah tetap mencatatnya satu kebaikan secara sempurna. Jika dia ingin melakukan kebaikan lalu benar-benar dia laksanakan, maka di sisi Allah telah dicatat sepuluh kebaikan hingga seratus kali lipat, bahkan berlipat-lipat yang banyak.

Barangsiapa yang ingin melakukan keburukan lalu dia tidak jadi melakukannya maka di sisi Allah akan dicatat satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia jadi melakukan keburukan itu maka Allah mencatatnya hanya satu keburukan. (HR. Bukhari No. 6491, Muslim No. 131, Ahmad No. 2827, Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 334, dll)

Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:

فَالنِّيَّةُ فِي نَفْسِهَا خَيْرٌ وَإِنْ تَعَذَّرَ الْعَمَل بِعَائِقٍ

“Maka, niat itu sendiri pada dasarnya sudah merupakan kebaikan, walau pun dia disibukkan oleh uzur/halangan untuk melaksanakannya.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/352)

Sebagai contoh, Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.  (QS. An Nisa (4): 100)

Jadi,  terhalang oleh halangan yang dibenarkan oleh syara’, bukan tidak jadi karena bermain-main dengan niatnya, mengakal-akalinya, atau karena malas.

Jika kita ringkas, seseorang tidak jadi mewujudkan keinginan atau niatnya disebabkan oleh beberapa faktor:

📕 Pertama, tidak jadi melakukan karena ingin melakukan hal yang lebih baik lagi, atau karena udzur akhirat  bukan udzur masalah dunia. Misal ada seorang yang bernadzar ingin bersedekah satu juta rupiah, ternyata akhirnya dia bersedekah dua juta rupiah. Ini boleh dan sesuai syariat.

Imam Abu Daud (No. 3305, dishahihkan oleh Imam Al Hakim dan Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id)meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang bernadzar jika terjadi Fathul Makkah, maka dia akan melakukan shalat di Baitul Maqdis (Al Aqsha), ketika terjadi Fathul Makkah keinginannya itu disampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu Nabi justru menyuruhnya untuk shalat diMasjidil Haram. Maka, dengan itu dia meninggalkan perbuatan, menuju perbuatan yang lebih utama dan lebih tinggi nilainya.

📘 Kedua,  tidak jadi melakukan karena terhalang oleh urusan dunia.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah bercerita:

مثل أن ينوي أن يصلي ركعتي الضحى،فقرع عليه الباب أحد أصحابه وقال له:هيا بنا نتمشى،فترك الصلاة وذهب معه يتمشى،فهذا يثاب على الهم الأول والعزم الأول، ولكن لا يثاب على الفعل لأنه لم يفعله بدون عذر،وبدون انتقال إلى ما هو أفضل.

Misalnya, seseorang berniat untuk melakukan shalat dua rakaat dhuha, lalu ada seorang sahabatnya yang mengetuk pintu rumahnya, dan berkata: “Kita jalan-jalan yuk!” Lalu dia meninggalkan shalat dan pergi bersamanya untuk jalan-jalan, maka dia diberikan pahala karena keinginannya yang pertama dan tekadnya yang pertama, tetapi dia tidak diberikan pahala atas perbuatannya karena dia tidak jadi melakukannya dengan tanpa udzur, dan bukan berpindah kepada perbuatan yang lebih utama. (Syarh Al Arbain Nawawiyah, Hal. 341)

📗 Ketiga, tidak jadi melaksanakan karena mempermainkan niatnya itu. Dia berniat namun sekaligus merencanakan kegagalan apa yang direncanakannya. Nah, yang seperti ini dia tidak mendapatkan apa-apa.

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menerangkan:

أكَّد كتابة الحسنة إذا همَّ بها ولم يعملها بأنَّها كاملة؛ لئلاَّ يُتوهَّم نقصانها؛ لأنَّها في الهمِّ لا في العمل

Ketetapan satu nilai kebaikan adalah hal yang kuat jika dia memang memiliki keinginan kuat terhadapnya, walaupun dia tidak jadi melakukannya, dan nilainya itu adalah satu kebaikan sempurna, karena dia tidak ada keinginan menguranginya, balasan kebaikan ini berlaku bagi keinginannya bukan pada amalnya. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 112)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah menerangkan:

فإن قال قائل: كيف يكتب له حسنة وهو لم يفعلها ؟ فالجواب على ذلك: أن يقال إن فضل الله واسع، هذا الهم الذي حدث منه يعتبر حسنة لأن القلب همام إما بخير أو بشر فإذا هم بالخير فهذه حسنة تكتب له فإن عملها كتبها الله عشر حسنات إلى سبعمائة ضعف إلى أضعاف كثيرة .

Jika ada yang bertanya: bagaimana bisa seseorang mendapatkan satu nilai kebaikan padahal dia tidak menjalankan kebaikan itu? Jawabannya adalah: “Disebutkan  bahwasanya karunia Allah itu luas. Hasrat yang ada adalah yang membawa  dampak kebaikan, karena hati memiliki hasrat keinginan, baik keinginan yang baik maupun yang buruk. Jika dia ada hasrat untuk melakukan kebaikan maka dicatat baginya satu nilai kebaikan, dan jika dia jadi melakukannya maka dicatat baginya sepuluh nilai kebaikan hingga seratus kali lipat, bahkan lebih dari itu. (Syaikh Utsaimin, Syarh Riyadh Ash Shalihin, 1/13. Mawqi’ Jaami’ Al Hadits An Nabawi)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌼🍃🌼🍃

✏ Farid Nu’man Hasan

[Renungan Para Imam dan Hukama] Hati yang Puas

💦💥💦💥💦💥

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata:

إذا ما كنت ذا قلب قنــوع
فأنت ومالك الدنيا ســواء

Jika engkau memiliki hati yang puas, maka dirimu dan raja dunia adalah sama

📖 Hikam wa Aqwaal Al Imam Asy Syafi’iy

🌷🌾🌸🍃🌴🌻🌺☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Memberikan ASI Lebih Dari Dua Tahun

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

[20/11 16.46] +62 812-6615xxxx :

Assalamualikum ustadz,
Berapa lama seorang ubu memberikan ASI kepada anaknya, bolehkan sampai anak lewat usia 2 thn, brp batas maksimal usia anak masih boleh diberikan ASI?
Syukran ustadz

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh … Bismillah wal Hamdulillah ..

Masa penyusuan dua tahun, bukanlah fardhu, jika kurang atau lebih karena ada alasan syar’i.. tidak masalah, tidak berdosa.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah berkata:

والزيادة على الحولين أو النقصان إنما يكون عند عدم الإضرار بالمولود وعند رضا الوالدين

Melebihkan dari dua tahun atau kurang, itu boleh saja jika memang tidak ada mudharat bagi si anak dan kedua orgtuanya Ridha. (Tafsir Al Qurthubi, 3/162)

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah berkata:

فإن استمر الرضاع بعد الحولين لضعف الطفل ، فلا مانع منه للحاجة

Melanjutkan penyusuan setelah dua tahun karena lemahnya si anak maka itu tidak terlarang karena ada kebutuhan terhadap hal itu. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 36/10)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Bacaan I’tidal

💥💦💥💦💥💦

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Afwan Ustadz Farid, bertanya. Jika kita sebagai makmum masbuk. Datang bertepatan dengan imam pada posisi i’tidal, apakah yg kita ucapkan setelah takbiratul ihram, apakah kita juga harus membaca “Samiallahu liman hamidah” ataukah langsung doa i’tidal “rabbana walakal hamd…” atau keduanya?
JazakumuLLAH atas jawabannya Ustadz.
Ismail Latisi, Samarinda.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Apa yang mesti dibaca oleh makmum setelah imam membaca “sami’allahu liman hamidah”, apakah “rabbana wa lakal hamd” ataukah “sami’allahu liman hamidah” lalu membaca doa i’tidal ?

Dalam hal ini, ada dua pendapat ulama.

📌 Pertama. Kelompok yang mengatakan bahwa makmum hanya membaca “Rabbana wa Lakal Hamdu”, bukan membaca “Sami’allahu liman Hamidah.”

Alasan kelompok ini adalah hadits berikut:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:

……وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ….

…. Ketika (Imam) membaca “Sami’allahu liman Hamidah” maka bacalah oleh kalian: “Rabbana wa Lakal Hamdu…..” (HR. Al Bukhari No. 689, 732, 805, Muslim No. 411)

Inilah pendapat sebagian sahabat nabi dan Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal, seperti keterangan Imam At Tirmidzi berikut ini:

والعمل عليه عند بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم ومن بعدهم أن يقول الإمام سمع الله لمن حمده [ ربنا ولك الحمد ] ويقول من خلف الإمام ربنا ولك الحمد وبه يقول أحمد

Hadits ini diamalkan oleh sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan setelah mereka, bahwasanya Imam membaca “Sami’allahu Liman Hamidah Rabbana walakal Hamdu.” Lalu makmum membaca “Rabbana walakal Hamdu.” Ini juga pendapat Imam Ahmad. (Sunan At Tirmidzi, No. 267)

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:

يستدل به من يقول إن التسميع مختص بالإمام فإن قوله: “ربنا ولك الحمد” مختص بالمأموم وهو اختيار مالك رحمه الله

Hadits ini menjadi dasar bagi pihak yang mengatakan bahwa “tasmi’” (Ucapan Sami’allahu Liman Hamidah) adalah khusus bagi imam, sedangkan ucapannya “Rabbana walakal Hamdu” adalah khusus bagi makmum. Inilah yang dipilih Imam Malik Rahimahullah. (Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdah Al Ahkam, Hal. 141)

Imam Ibnu Abdil bar mengatakan:

وقال مالك وأبو حنيفة وأصحابهما والثوري وأحمد بن حنبل لا يقول المأموم سمع الله لمن حمده وإنما يقول ربنا ولك الحمد فقط وحجتهم حديث أنس هذا وحديث أبي موسى المذكور في هذا الباب

Malik, Abu Hanifah, dan para sahabat mereka berdua, lalu Ats Tsauri, Ahmad bin Hambal, mereka mengatakan makmum tidak membaca “Sami’allahu liman hamidah”, tapi hanya membaca “Rabbana wa lakalhamdu”, dalilnya adalah hadits Anas ini, dan hadits Abu Musa yang disebutkan dalam bab ini. (At Tamhid, 6/150)

📌 Kedua. Kelompok yang mengatakan bahwa makmum juga membaca “Sami’allahu liman hamidah,” lalu dilanjutkan dengan “Rabbana walakal hamdu.” Inilah pendapat para imam seperti Imam Ibnu Sirin, Imam Asy Syafi’i, Imam Ishaq bin Rahuya, dan lainnya. Bagi kelompok ini, maksud hadits di atas adalah bentuk pengajaran Rasulullah ﷺ kepada para sahabatnya, tentang apa yang mesti di baca ketika i’tidal, yaitu “Rabbana walakal hamdu,” yang dibacanya setelah mereka membaca “Sami’allah liman hamidah.”

Imam At Tirmdzi berkata:

وقال ابن سيرين وغيره يقول من خلف الإمام سمع الله لمن حمده ربنا ولك الحمد مثل ما يقول الإمام
وبه يقول الشافعي و إسحق

Ibnu Sirin dan lainnya mengatakan bahwa siapa yang menjadi makmum dan imam membaca “Sami’allahu Liman Hamidah Rabbana wa Lakal Hamdu” hendaknya mengucapkan seperti yang diucapkan oleh imam juga. Inilah pendapat Asy Syafi’i dan Ishaq. (Ibid)

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan:

وقال الشافعي ويقول المأموم أيضا سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد كما يقول الإمام المنفرد لأن الإمام إنما جعل ليؤتم به

Asy Syafi’i berkata: makmum juga mengatakan “Sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu” sebagaimana yang dibaca oleh imam seorang diri, sebab imam dijadikan untuk diikuti. (At Tamhid, 6/149-150)

Imam An Nawawi dan Imam Ash Shan’ani menguatkan pendapat ini.

Jadi, para imam kaum muslimin telah berselisih masalah ini. Tapi, perselisihan ini bukan dalam masalah batal atau tidaknya shalat. Semua pilihan bacaan tersebut sah dan baik, tidak membatalkan shalat sama sekali.

Wallahu A’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top