Ibu Tiri dan Anak Tiri, Apakah Dapat Waris?

💦💥💦💥💦💥

Assalamu’alaikum ustad, ana ingin bertanya. Apakah ibu tiri dan adik tiri yg dzolim berhak mendapatkan hak waris ?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah

Ibu tiri, anak tiri, dan saudara tiri, bukanlah ahli waris, tidak pula mereka mewarisi. Baik dia zalim atau baik hati, sama saja.

Waris itu ada beberapa sebab:

1. Hubungan nasab, yaitu hub nasab hakiki .. seperti ortu kepada anak atau kebalikannya, kakak ke adiknya atau kebalikannya.

2. Hub pernikahan, seperti suami kepada istri dan sebaliknya.

3. Karena pembebasan budak, majikan yang memerdekakan budaknya akan saling mewarisi di antara mereka.

Shingga tiri, saudara sesusuan, ipar, mertua, tdk mendapatkannya. Tp bagi mereka tentu boleh mendapat hibah, juga wasiat.

Wallahu a’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌾🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

[Renungan Para Imam dan Hukama] Melawan Ujub

💢💢💢💢

Berkata Imam Asy Syafi’iy Rahimahullah:

إذا أنت خفت على عملك العجب, فانظر: رضا من تطلب, وفي أي ثواب ترغب, ومن أي عقاب ترهب, وأي عافية تشكر, وأي بلاء تذكر. فانك إذا تفكرت في واحدة من هذه الخصال, صغر في عينك عملك

Jika kau takut pada amalmu ada ‘ujub (kagum dengan amal sendiri), maka lihatlah: ridha siapa yang kau cari, balasan mana yang kamu harap, siksaan mana yang kamu takut, kesehatan mana yang kamu syukuri, dan musibah mana yang kamu ingat. Lalu jika kau renungkan satu saja dari hal-hal ini, maka remehkanlah amalmu dalam pandanganmu.

📖 Hikam wa Aqwaal Al Imam Asy Syafi’iy

🌿🌺🌴🍃🌾🌻🍀🌹

✒ Farid Nu’man Hasan

Benarkah Kisah Tabi’in Penghafal AL Qur’an dan Mujahid, Murtad Karena Wanita Nasrani?

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

([16/11 06.14] +61 404 740xxx)

Assalamu’alaikum. Ustadz, saya pernah membaca ttg kisah Abdah bin Abdurrahim yang seorang tabi’in, mujahid, dan hafidz Qur’an murtad karena wanita romawi. Tapi di kisah yg lain, diceritakan yg murtad tsb adalah pemuda yg menemani Abdah. Yang benar kisahnya seperti apa ya ustadz? Jazakallah khair.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Kisah tersebut memang terlanjur tersebar, bahwa seorang tabi’in, hapal Al Qur’an, Mujahid, murtad gara-gara wanita Nasrani.

Kisah tersebut awalnya, berasal dari penceritaan Imam Ibnu Katsir, sbb:

وفيها توفى عبده بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ قَبَّحَهُ اللَّهُ. ذَكَرَ ابْنُ الجوزي أن هذا الشقي كان من المجاهدين كثيرا في بلاد الروم، فلما كان في بعض الغزوات والمسلمون محاصرو بلدة مِنْ بِلَادِ الرُّومِ إِذْ نَظَرَ إِلَى امْرَأَةٍ من نساء الروم ..

Pada saat itu, Abdah bin Abdurrahim wafat, semoga Allah burukkan dia. Ibnul Jauzi bercerita bahwa orang celaka ini dulunya adalah Mujahidin, banyak perang di negara Romawi.

Pada sebagian peperangan kaum muslimin, saat mengepung Romawi, sat itu dia melihat seorang wanita Romawi …

(Imam Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, Jilid 11, Hal. 64. 1986M/1407H. Darul Fikr)

Lalu .. kita dapati dalam karya Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah ternyata isinya berbeda! Sepertinya dan bisa jadi, ada salah kutip dari Imam Ibnu Katsir Rahimahullah.

Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah menuliskan:

عبدة بن عبد الرحيم .كان من أهل الدين والجهاد

Abdah bin Abdurrahim, dia adalah ahli agama dan jihad.

Kemudian Imam Ibnul Jauzi melanjutkan:

قَالَ عبدة بن عبد الرحيم: خرجنا في سرية إلى أرض الروم، فصحبنا شاب لم يكن فينا أقرأ للقرآن منه، ولا أفقه ولا أفرض، صائم النهار، قائم الليل، فمررنا بحصن فمال عنه العسكر، ونزل بقرب الحصن، فظننا أنه يبول، فنظر إلى امرأة من النصارى تنظر من وراء الحصن، فعشقها فقال لها بالرومية: كيف السبيل إليك؟

Abdah bin Abdurrahim bercerita: kami keluar bersama grup (Safiyah/pleton) ke negeri Romawi. Kami ditemani oleh seorang pemuda yang tidak ada bacaan Al Quran kami lebih baik darinya, tdk ada yang lebih faqih, tidak pula lebih baik menjalankan kewajiban darinya, dia puasa di siang hari, shalat di malam hari.

Kami melewati benteng Romawi, prajurit pun mendekatinya, dan dia turun mendekati benteng. Kami kira dia turun untuk kencing. Lalu dia melihat seorang wanita Nasrani dari belakang benteng, dia pun terpikat hatinya kepada wanita itu. Lalu dia bertanya dengan wanita Romawi itu: Bagaimana aku bisa sampai kepadamu? … Dst.

(Imam Ibnul Jauzi, Al Muntazham fi Tarikhil Umam wal Muluk, Jilid. 12, Hal. 301. Cet. 1, 1992M/1412H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Beirut. Tahqiq: Syaikh Muhammad Abdul Qadir ‘Atha dan Syaikh Mushthafa Abdul Qadir ‘Atha)

Kemudian, yang serupa dengan Imam Ibnul Jauzi adalah apa yang ditulis oleh:

– Imam Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam wa Wafayat Al Masyaahir wal A’laam, Jilid. 5, Hal. 1176. Cet. 1, 2003M. Darul Gharb Al Islamiy. Tahqiq: Dr. Basyar Awwad Ma’ruf

– Imam Ibnu Manshur dalam Mukhtashar Tarikh Dimasyq Libni ‘Asaakir, Jilid. 15, Hal. 296. Cet. 2. 1984M/1402H. Darul Fikr, Damaskus. Tahqiq: Ruhiyah An Nuhaas, Riyadh Abdul Hamid Murad, Muhammad Muthi’

📚 So, kesimpulannya, yg murtad itu adalah pemuda yang menemani Abdah bin Abdurrahim, bukannya Abdah bin Abdurrahim yang murtad.

Demikian. Wallahu a’lam

🎋🍀🍃🌹☘🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Karena Apa Pemimpin Mesti dicopot? – Pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi

💦💥💦💥💦💥

Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyah tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopotnya seorang pemimpin:

وإذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه .
فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .
والثاني ما تعلق فيه بشبهة ، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد …..

Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya.

Pertama, ketaatan kepadanya.

Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah.

Ada dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari kepemimpinannya:

1⃣ Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.
2⃣ Cacat tubuhnya

Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat (dalam prilaku); Kedua, terkait dengan syubhat (pemikiran).

Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya.

Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. ………. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al Islam)

Jika seorang pemimpin fasiq bisa dicopot, tentunya pemimpin kafir radikal lebih layak untuk dicopot.

Wallahu A’lam

🍃🌴🌻☘🌷🌺🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top