Tafsir Surat Al Kafirun (Bag.1)

📓 (Muqaddimah)

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

1). Katakanlah: Hai orang-orang kafir2). Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah3). Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah4). Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah5). Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah6). Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku

📓 A. Identifikasi Surat

✅ Termasuk dalam surat Makiyyah

✅ Urutan surat ke 109

✅ Nama lain surat Al Kafirun:

▪ Al Munabazah

▪ Al Mu’abadah

▪ Al Muqsyaqisyah (pembebas dari sifat nifaq)

▪ Menurut Abu Hafs Sirajuddin Umar (775 H) surat Al Kafirun disebut juga surat Al Bara’ah, surat Al Ikhlas dan surat Al Masyfa’ah (Al Lubab fi ulum al kitab, 20/527)

✅ Terdiri dari 6 ayat, 26 kalimat dan 74 huruf (Tafsir Marah Labid, 2/672)

📓 B. Kandungan umum surat Al Kafirun

Surat Al Kafirun merupakan pernyataan keyakinan yang benar dalam beragama, penegasan atas kebenaran Islam, tauhid dan penyembahan kepada Allah. Pemisahan antara haq dan bathil serta kebebasan beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing dan tidak mencampur adukkan keyakinan.

📓 C. Asbab Nuzul Surat

Imam Asy Suyuthi menyebutkan  riwayat tentang asbab nuzul surat Al Kafirun:

A. Riwayat At Thabrani dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Abbas, bahwa seorang Quraisy menyeru kepada Nabi Muhammad bahwa ia akan diberi harta yang berlimpah hingga menjadi orang terkaya di Makkah dan ia boleh memilih wanita mana saja yang ingin dinikahi Nabi, mereka berkata:

هذا لك يا محمد وتكف عن شتم آلهنتا ولا تذكرها بسوء فإن لم تفعل فاعبد ألهتنا سنة فأنزل الله هذه السورة

Ini semua untuk mu Muhammad, berhentilah mencela tuhan-tuhan kami dan menyebutnya buruk, jika engkau tidak lakukan maka sembahlah tuhan kami selama setahun, lalu Allah turunkan surat ini.

B. Riwayat Abdurrazzaq dari Wahab ia berkata,” Orang kafir Qurasy berkata kepada Nabi,”Jika kau mau engkau menyembah tuhan kami selam setahun, dan kami menyembauh tuhan kamu selama setahun, lalu Allah turunkan surat ini.

C. Riwayat Abi Hatim dari Said bin Mina ia berkata,” Tiga orang Quraisy menemui Rasulullah, mereka  adalah Al Walid bin Mughirah, Al Ashi bin Wa’il, Aswad bin Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf, mereka berkata,”

يا محمد هلم فلتعبد ما نعبد ونعبد ما تعبد ولنشترك نحن وأنت في أمرنا كله , فأنزل الله هذه السورة 

Wahai Muhammad kemarilah, kamu menyembah apa yang kami sembah dan kami menyembah apa yang kamu sembah, dan kita bersama dalam setiap urusan kita, lalu Allah turunkan surat ini.” ( Imam Asy Suyuthi (911H), Asbabun Nuzul, Beirut: Muassasah Al Kutub Ats TSaqafiyah, 2002, h. 310)

📓 D. Keutamaan Surat Al Kafirun

Didalam kitab Al Lubab fi ulum Al Kitab disebutkan beberapa keutamaan surat Al Kafirun, diantaranya:

1⃣ Setara dengan sepertiga Al Qur’an

روى الترمذي من حديث أنس – رَضِيَ اللَّهُ عَنْه -: «إنَّها تعدِلُ ثُلثَ القُرآنِ»

Imam At Tirmizi menyebutkan dari hadits Anas Radhiyallah Anhu,” Surat Al Kafirun setara dengan sepertiga Al Qur’an” (Al Lubab Fi Ulumil Kitab, 20/527)

2⃣ Setara dengan seperempat Al Qur’an

وروى ابن الأنباري عن أنس – رَضِيَ اللَّهُ عَنْه -: قال: قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: «قل يا أيها الكافرون تَعدلُ رُبُعَ القُرآنِ»

Diriwayatkan oleh Ibnu Anbari dari Anas radhiyallahu anhu berkata,”Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam,”Qul Ya Ayyuhal Kafirun setara dengan seperempat Al Qur’an.

3⃣ Rasulullah membaca surat Al Kafirun pada saat shalat Fajar

Imam Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ بِهِمَا فِي رَكْعَتِي الْفَجْرِ

Bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam membaca surat Al Kafirun dan surat Al Ikhlas pada dua rekaat shalat Fajar. (HR. Muslim, No. 1218)

4⃣ Barangsiapa yang membacanya akan terbebas dari syirik

عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ حَارِثَةَ -وَهُوَ أَخُو زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ-أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إذا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ: ” قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ” حَتَّى تَمُرَّ بِآخِرِهَا، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشَّرَكِ” 

Dari Abu Ishaq dari Jabalah bin Jariyah dia saudara Zaid bin Haritsah, bahwasanya Rasulullah bersabda,”Jika kamu hendak tidur, bacalah Qul Ya ayyuhal kafirun hingga akhir ayat, sesungguhnya ia adalah pembebas dari syirik. (Mu’jam Al Kabir, 2/287)

5⃣ Terbebas dari sifat Nifaq

وقال الأصمعي: كان يقال ل {قُلْ يا أيها الكافرون} و {قُلْ هُوَ الله أَحَدٌ} المقشقشتان، أي: أنهما تبرئان من النفاق

Berkata Al Asmu’I Nabi menyebut surat Qul Ya Ayyuhal Kafirun dan Qul Huwallahu Ahad sebagai Al Muqsyaqisyatani (pembebas dari sifat nifaq). (Al Lubab Fi Ulumil Kitab, 20/528)

والله أعلم

Fauzan Sugiono Lc M.A.

Jangan Tunda Upah Buruh

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Aslm..wr.wb.
Ustadz. ….apakah hukumnya menunda nunda gaji Karyawan, padahal karyawan sudah selesaikan pekerjaannya? Adakah hadits hadits dari Rasulullah yang terkait dengan soal itu? (08180265xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh … Bismillah wal Hamduillah ..

Menunda upah buruh, karyawan, perkerja, tanpa alasan yang benar adalah zalim, dan termasuk perbuatan yang diharamkan dalam Islam.

Dari AbdullAh bin Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

أعط الأجير أجره قبل أن يجف عرقه

Berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah No. 2443, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 11439, dari Abu Hurairah. Sanadnya Hasan kata Imam Ali Al Qari dalam Mirqah Al Mafatih)

“Keringat” di sini tentu bukan sebuah syarat, sebab tidak semua pekerjaan mengeluarkan keringat. Esensinya adalah ketika sudah usai tugas sorang buruh maka jangan tunda upah mereka sebab itu hak mereka, setelah kewajibannya sudah dilaksanakan.

Imam Al Mulla ‘Ali Al Qari Rahimahulah berkata:

والمراد منه المبالغة في إسراع الإعطاء وترك الإمطال في الإيفاء

Maksudnya adalah penegaskan dalam hal mempercepat pemberina upah dan jangan memperlama dalam menunakannya. (Mirqah Al Mafatih, 9/442)

Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:

فيحرم مطله والتسويف به مع القدرة ، فالأمر بإعطائه قبل جفاف عرقه إنما هو كناية عن وجوب المبادرة عقب فراغ العمل

Maka, diharamkan memperlama dan menunda upah padahal dalam keadaan mampu, perintah memberikan upah sebelum keringatnya kering hanyalah sebuah kiasan wajibnya bersegera memberikan upah setelah selesainya pekerjaan.

(Faidhul Qadir, 1/718)

Demikian. Wallahu A’lam

🌵🌷🌱🌴🌾🌸🍃🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Tentang Aqiqah

1⃣ Definisi Aqiqah:

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah, beliau menulis sebagai berikut dalam Al Fath:

قَالَ الْخَطَّابِيُّ : الْعَقِيقَة اِسْم الشَّاة الْمَذْبُوحَة عَنْ الْوَلَد ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا تُعَقّ مَذَابِحهَا أَيْ تُشَقّ وَتَقْطَع . قَالَ : وَقِيلَ هِيَ الشَّعْر الَّذِي يُحْلَق . وَقَالَ اِبْن فَارِس : الشَّاة الَّتِي تُذْبَح وَالشَّعْر كُلّ مِنْهُمَا يُسَمَّى عَقِيقَة

Berkata Al Khaththabi: Aqiqah adalah nama bagi kambing yang disembelih karena kelahiran bayi. Dinamakan seperti itu karena aqiqah adalah merobek sembelihan tersebut yaitu mengoyak dan memotong. Dia berkata: dikatakan aqiqah adalah rambut yang sedang dicukur. Berkata Ibnu Faris: Kambing yang disembelih dan rambut, keduanya dinamakan aqiqah. (Fathul Bari, 9/586. Darul Fikr)

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:

الْعَقِيقَةُ هِيَ الذَّبِيحَةُ الَّتِي تُذْبَحُ لِلْمَوْلُودِ
وَأَصْلُ الْعَقِّ الشَّقُّ وَالْقَطْعُ وَقِيلَ لِلذَّبِيحَةِ عَقِيقَةٌ لِأَنَّهُ يَشُقُّ حَلْقَهَا وَيُقَالُ عَقِيقَةٌ لِلشَّعْرِ الَّذِي يَخْرُجُ عَلَى رَأْسِ الْمَوْلُودِ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ وَجَعَلَهُ الزَّمَخْشَرِيُّ أَصْلًا وَالشَّاةُ الْمَذْبُوحَةُ مُشْتَقَّةٌ مِنْهُ

“Aqiqah adalah hewan sembelihan yang disembelih untuk bayi. Berasal dari merobek, mengoyak, dan memutus. Dikatakan, sembelihan adalah aqiqah, karena merobek dan mecukurnya. Dikatakan aqiqah pula bagi rambut yang tumbuh di kepala bayi dari perut ibunya. Az Zamakhsyari mengatakan itu adalah kata asal dari aqiqah, dan kambing sembelihan termasuk kata yang berasal dari itu. (Subulus Salam, 6/328. Lihat juga Nailul Authar, 5/ 132. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Lihat juga, Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/25. Darul Kutub Al ‘Ilmiah )

2⃣ Dalil Pensyariatannya:

Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى

“Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. Lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)

Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhabbi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

“Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah (kambing), dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)

Maksud dari “hilangkanlah gangguan darinya” adalah mencukur rambut kepalanya (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah). Imam Ibnu Hajar menyebutkan, bahwa Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Jikalau makna ‘menghilangkan gangguan’ adalah bukan mencukur rambut, aku tak tahu lagi apa itu.” Al Ashmu’i telah memastikan bahwa maknanya adalah mencukur rambut. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad shahih, bahwa Al Hasan Al Bashri juga mengatakan demikian. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 9/593. Darul Fikr)

Apa maksud kalimat “Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya”? Imam Al Khaththabi mengatakan, telah terjadi perbedaan pendapat tentang makna tersebut. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, maksudnya adalah setiap anak yang lahir dan dia belum diaqiqahkan, lalu dia wafat ketika masih anak-anak, maka dia tidak bisa memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya. Sementara, pengarang Al Masyariq dan An Nihayah mengatakan, maksudnya adalah bahwa tidaklah diberi nama dan dicukur rambutnya kecuali setelah disembelih aqiqahnya. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Islamiyah. Imam Abu Thayyib Syamsul Haq ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/27. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Seorang tokoh tabi’in, ‘Atha bin Abi Rabbah mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ahmad, maksud kalimat tersebut adalah orang tua terhalang mendapatkan syafa’at dari anaknya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud,

Hal. 48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

3⃣ Hukumnya

Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:

وذهب الجمهور من العترة وغيرهم إلى انها سنة

“Madzhab jumhur (mayoritas) ulama dan lainnya adalah aqiqah itu sunah.” (Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والعقيقة سنة مؤكدة ولو كان الاب معسرا، فعلها الرسول، صلى الله عليه وسلم، وفعلها أصحابه، روى أصحاب السنن أن النبي، صلى الله عليه وسلم، عق عن الحسن والحسين كبشا كبشا، ويرى وجوبها الليث وداود الظاهري

“Aqiqah adalah sunah mu’akkadah walau keadaan orang tuanya sulit, Rasulullah telah melaksanakannya, begitu pula para sahabat. Para pengarang kitab As Sunan telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meng-aqiqahkan Hasan dan Husein dengan masing-masing satu kambing kibas. Sedangkan menurut Laits bin Sa’ad dan Daud Azh Zhahiri aqiqah adalah wajib.” (Fiqhus Sunnah, 3/326. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Sedangkan, Imam Abu Hanifah justru membid’ahkan Aqiqah! (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/217. Dar ‘Alim Al Kitab)

Pengarang kitab Al Bahr menyebutkan, bahwa Imam Abu Hanifah menilai Aqiqah merupakan kejahiliyahan. Imam Asy Syaukani mengatakan, jika benar itu dari Abu Hanifah, maka hal itu bisa jadi dikarenakan belum sampai kepadanya hadits-hadits tentang aqiqah. Sementara Imam Muhammad bin Hasan mengatakan Aqiqah adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam dengan qurban. Sementara, justru kalangan zhahiriyah (yakni Imam Daud dan Imam Ibnu Hazm, pen) dan Imam Al Hasan Al Bashri mengatakan wajib. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 38. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa aqiqah adalah wajib. (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)

Pendapat yang benar dan lebih kuat, hukum aqiqah adalah sunah. Hal ini didasari oleh hadits berikut:

من ولد له فأحب أن ينسك عن ولده فليفعل

“Barang siapa dilahirkan untuknya seorang bayi, dan dia mau menyembelih (kambing) untuk bayinya, maka lakukanlah.” (HR. Malik No. 1066. Ahmad No. 22053. Al Haitsami mengatakan, dalam sanadnya terdapat seorang yang tidak menjatuhkan hadits ini, dan periwayat lainnya adalah para periwayat hadits shahih. Majma’ Az Zawaid, 4/57)

Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa penyembelihan dikaitkan dengan kemauan orangnya. Kalau dia mau, maka lakukanlah. Maka, tidak syak lagi bahwa pendapat jumhur (mayoritas) ulama lebih kuat dan benar, bahwa aqiqah adalah sunah.

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai pengalih kewajiban aqiqah menjadi sunah. (Subulus Salam, 6/329)

4⃣ Tentang Mencukur Rambut

Mencukur semuanya, bukan sebagiannya.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ القَزَعِ

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang qaza’. (HR. Bukhari No. 5921 dan Muslim No. 2120)

Apakah Qaza’? Nafi’ –seorang tabi’in dan pelayan Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma menjelaskan:

يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِيِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ

Kepala bayi yang dicukur sebagian dan dibiarkan sebagian lainnya. (HR. Muslim No. 2120)

Contoh qaza’ adalah seorang yang membiarkan bagian depan kepala, tapi mencukur bagian belakangnya, atau yang tengah dibiarkan tapi kanan kirinya dicukur. Inilah yang kita lihat dari model-model rambut orang kafir yang ditiru remaja Islam. Kadang ada orang tua yang mencukur anaknya seperti ini lalu dibuat buntut, sekedar untuk lucu-lucuan.

Lalu, menimbang potongan rambut itu, dan disesuaikan dengan berat perak untuk disedekahkan. Ini jika dalam kelapangan ekonomi.

Sebagian kecil ulama seperti Imam Ar Rafi’i memilih menggunakan emas. Mungkin karena perak jarang dipakai oleh manusia.

Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhayyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”

Hal ini berdasarkan hadits:

Dari Anas bin Malik, Bahwasanya Rasulullah memerintahkan mencukur rambut Hasan dan Husein, anak Ali bin Abi Thalib, pada hari ke tujuh, kemudian bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut Hasan dan Husein itu. (HR. Thabrani dalam Al Ausath, 1/133)

Hadits jalur Anas bin Malik ini dhaif (lemah), namun ada hadits lain yang serupa, dari jalur Abdullah bin Abbas, yang bisa menguatkannya. Sehingga hadits di atas naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi.

Berkata Imam Ibnu Hajar, “Seluruh riwayat yang ada sepakat tentang penyebutan bersedekah dengan perak. Tidak ada satu pun yang menyebutkan emas. Berbeda dengan perkataan Ar Rafi’i, bahwa disunnahkan bersedekah dengan emas seberat timbangan rambut, kalau tidak sanggup maka dengan perak. Riwayat yang menyebut bersedekah dengan emas dhaif dan tak ada yang menguatkannya!” (Talkhis al Habir IV/1408)

5⃣ Pemberian Nama

Penamaan pada hari ketujuh, bukanlah keharusan, melainkan hanya keutamaan saja (afdhaliyah). Boleh saja memberikan nama sebelum hari ketujuh, sebab Rasulullah pernah menamakan anaknya yang baru lahir dengan nama Ibrahim.

Dari Anas bin Malik beliau berkata, bahwa Rasulullah besabda: “Semalam telah dilahirkan seorang bayi laki-laki bagiku. Saya namakan dia dengan nama bapakku (maksudnya nenek moyangnya) yaitu Ibrahim.” (HR. Muslim No. 2355, Abu Daud No. 3126, dan Al Baihaqi, 9/589)

Begitu pula beberapa sahabat seperti Abu Musa al Asy’ary, Abu Thalhah, dan Zubeir bin Awwam, anak mereka dinamakan sebelum hari ketujuh.

📌 Memberikan nama-nama yang baik

Hendaknya para orang tua memberikan nama-nama yang baik, dan jangan terpengaruh oleh ucapan tokoh kafir Barat William Shakespare yang mengatakan What is a name? (Apalah arti sebuah nama?) sebab dalam Islam nama bukan sekadar label, tetapi juga doa, citra diri, dan identitas seorang muslim.

📌Nama-nama yang disukai oleh Allah Ta’ala adalah nama-nama yang menunjukkan sikap penghambaan seperti Abdullah dan Abdurrahman. Atau yang secara makna adalah sama yaitu hamba Allah.

Dari Ibnu Umar beliau berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adallah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim, 3/1683, Tirmidzi 5/132, Abu Daud, 4/287, dan Ahmad, 2/24)

Bagus juga memberikan nama anak dengan nama para Nabi, seperti Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan ketika menamakan anaknya dan anak Abu Musa dengan nama Ibrahim.

Dari Yusuf bin Abdullah bin Salam, dia berkata: “Rasulullah menamakan saya Yusuf.” (Riwayat Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, hal. 249)

📌 Nama-nama yang dibenci

Ada nama-nama yang dibenci (makruh) seperti barakah (mengandung berkah), ya’la (yang tinggi), aflah (yang menang), yassar (yang mudah), nafi’ (yang bermanfaat). Nama-nama ini dibenci Karena mengandung makna mengunggulkan diri (tazkiyatun nafs).

Dari Samurah bin Jundub Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُسَمِّيَ رَقِيقَنَا بِأَرْبَعَةِ أَسْمَاءٍ أَفْلَحَ وَرَبَاحٍ وَيَسَارٍ وَنَافِع

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kami menamakan budak kami dengan empat nama: aflah (menang), rabah (beruntung), yasaar (mudah), dan naafi’ (bermanfaat). (HR. Muslim No. 2136)

Dalam riwayat lain dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:

أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْهَى عَنْ أَنْ يُسَمَّى بِيَعْلَى وَبِبَرَكَةَ وَبِأَفْلَحَ وَبِيَسَارٍ وَبِنَافِعٍ وَبِنَحْوِ ذَلِكَ

Rasulullah berkehendak melarang penamaan dengan nama-nama seperti Ya’la, Barakah, Aflah, Yassar, Nafi’, dan semisal itu. (HR. Muslim No. 2138)

Atau nama yang melambangkan kesombongan seperti Maha Raja, Raja Diraja, atau Syahhansyah.

Hal ini didasarkan pada hadits:

Dari Abu Hurairah beliau berkata, bahwa Rasulullah bersabda:

أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَخْبَثُهُ وَأَغْيَظُهُ عَلَيْهِ رَجُلٍ كَانَ يُسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ لَا مَلِكَ إِلَّا اللَّهُ

“Seorang yang paling Allah murkai dan yang paling buruk/keji di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang bernama Malikul Amlak (Raja Diraja/Rajanya para raja), padahal tidak ada raja kecuali Allah.” (HR. Bukhari No. 6205, Muslim No. 2143, ini menurut lafaz Muslim)

Juga dibenci menamakan anak dengan nama-nama yang tidak jelas seperti Juventus, atau nama yang mengandung kekufuran seperti musyrikah (wanita musyrik), Jarimah (Kejahatan), atau Farji (kemaluan). Atau nama-nama neraka seperti jahanam, wail, saqar. Atau nama-nama tokoh kafir Barat, atau nama para ahli maksiat seperti artis dan lain-lain. Diharamkan pula dengan nama Abdul Masih (Hamba al Masih), Abdul Uzza (hamba dewa uzza), dan seluruh nama yang berarti penghambaan kepada selain Allah Ta’ala.

📌Dianjurkan Ganti Nama jika Terlanjur memiliki nama yang Buruk

Ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah ketika ia memberikan nama-nama para sahabatnya yang baru memeluk Islam. Boleh juga menggunakan nama kun-yah, yaitu nama sandaran yang menjelaskan nasab. Contoh ada orang bernama Abdullah atau apa saja, ia memiliki anak bernama Ahmad, maka ia dipanggil Abu Ahmad (Bapaknya si Ahmad). Atau seorang anak bernama Ahmad punya bapak bernama Abdullah, maka ia dipanggil Ibnu Abdillah (Anaknya si Abdullah).

6⃣ Mengumpulkan Manusia Pada Acara Aqiqahan

Secara khusus sebenarnya ini tidak ada contohnya dari Nabi ﷺ. Namun, secara umum, ini merupakan bagian dari menampakkan nikmat Allah ﷻ atas hambaNya, yang memang dianjurkanNya untuk disiarkan.

Allah ﷻ berfirman:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha (93): 11)

Acara ini semakin baik jika di dalamnya di isi dengan ceramah agama oleh seorang ‘alim yang terkait dengan maslahat kehidupan manusia. Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah berkata tentang hukum berkumpul dalam acara undangan taushiah aqiqah:

وأما التزام إحضار المشايخ والمحاضرين في هذه المناسبات فليس بوارد، لكن لو فُعل في بعض الأحيان انتهازاً لفرصة معينة للتذكير أو للتنبيه على بعض الأمور بمناسبة الاجتماع فلا بأس بذلك.”

“Ada pun membiasakan menghadirkan seorang syaikh dan para undangan dalam acara ini maka tidak ada dalilnya, tetapi seandainya dilakukan untuk memanfaatkan keluangan pada waktu tertentu, dalam rangka memberikan peringatan dan nasihat atas sebagian permasalahan yang terkait dengan berkumpulnya mereka, maka hal itu tidak mengapa.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 086. Maktabah Misykah)

Demikian. Wallahu A’lam

📕📗📘📙📓📔📒

✒ Farid Nu’man Hasan

Cakupan Ibadah

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Aslm ustadz, yang saya tahu dalam islam ada lima hukum suatu perbuatan menjadi wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Dan kita sebsgai muslim harus melaksanakan yg wajib dan sunah dan menjauhi yg haram.

Yang saya tanyakan, apa saja kewajiban seorang muslim. Selama ini yg bisa saya jawab adalah beribadah (sholat, puasa, dll), berbuat baik pada orang tua, menuntut ilmu, dll.

Apakah ada risalah/buku yg memuat lengkap semua kewajiban seorang muslim berdasarkan Al Quran dan hadits. Agar bisa menjadi panduan, apa saja kewajiban yg belum kita lakukan.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Tugas kita secara umum, disebutkan dalam Al Quran secara jelas, yaitu Ibadah kepada Allah semata, tidak yang lainnya.
Sebagimana ayat-ayat berikut:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu. (QS. Adz Dzariyat: 56)

Ayat lainnya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang rasul yang menyeru “Sembahlah Allah semata, dan jauhilah thaghut (sembahan-sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)

📖 Apakah Ibadah?

Banyak orang yang mempersepsikan salah tentang ibadah. Padahal cakupan ibadah begitu luas. Berikut ini penjelasan para ulama kita.

1⃣ Pertama, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

” الْعِبَادَةُ ” هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ ، وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ ؛ فَالصَّلَاةُ ، وَالزَّكَاةُ ، وَالصِّيَامُ ، وَالْحَجُّ ، وَصِدْقُ الْحَدِيثِ ، وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ ، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، وَصِلَةُ الْأَرْحَامِ ، وَالْوَفَاءُ بِالْعُهُودِ ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَالْجِهَادُ لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِينَ ، وَالْإِحْسَانُ إلَى الْجَارِ ، وَالْيَتِيمِ ، وَالْمِسْكِينِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالْمَمْلُوكِ مِنْ الْآدَمِيِّينَ وَالْبَهَائِمِ ، وَالدُّعَاءُ ، وَالذِّكْرُ ، وَالْقِرَاءَةُ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَةِ . وَكَذَلِكَ حُبُّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَخَشْيَةُ اللَّهِ وَالْإِنَابَةُ إلَيْهِ ، وَإِخْلَاصُ الدِّينِ لَهُ ، وَالصَّبْرُ لِحُكْمِهِ ، وَالشُّكْرُ لِنِعَمِهِ ، وَالرِّضَا بِقَضَائِهِ ، وَالتَّوَكُّلُ عَلَيْهِ ، وَالرَّجَاءُ لِرَحْمَتِهِ ، وَالْخَوْفُ لِعَذَابِهِ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ هِيَ مِنْ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ

“Ibadah adalah nama yang mencakup untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan, amal batin dan lahir. Maka, shalat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berkata, memenuhi amanah, berbakti kepada dua orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf, nahi munkar, jihad melawan orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan, doa, dzikir, membaca, dan yang sepertinya, itu semua termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada Allah dan kembali kepadaNya, ikhlas dalam beragama untukNya, sabar atas hukumNya, syukur atas nikmatNya, ridha atas ketetapanNya, tawakal kepadaNya, mengharap rahmatNya, takut atas adzabNya, dan yang semisal itu, juga termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala.” (Majmu’ Al Fatawa, 10/149)

Beliau juga berkata:

أَنَّ الْعِبَادَةَ تَتَضَمَّنُ كَمَالَ الْحُبِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى الْحَمْدِ ، وَتَتَضَمَّنُ كَمَالَ الذُّلِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى التَّعْظِيمِ ، فَفِي الْعِبَادَةِ حُبُّهُ وَحَمْدُهُ عَلَى الْمَحَاسِنِ ، وَفِيهَا الذُّلُّ النَّاشِئُ عَنْ عَظَمَتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ

“Bahwa Ibadah adalah mencakup di dalamnya totalitas rasa cinta, mencakup di dalamnya makna pujian, mencakup totalitas kehinaan, mencakup makna pengagungan, maka dalam ibadah terdapat cinta kepadaNya dan pujian kepadaNya atas segala bentuk kebaikan, dan dalam ibadah ada kerendahan pada malam hari terhadap keagunganNya dan kebesaranNya.” (Ibid, 10/251)

2⃣ Kedua, menurut Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, beliau mendefinisikan makna ibadah secara syara’ adalah:

وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف

“Secara syariat, (makna ibadah) adalah semua makna (‘ibarah) tentang apa-apa yang mencakup kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1/ 134)

Demikianlah makna ibadah, selanjutnya dari sisi sasaran, ibadah terbagi atas dua, yakni; pertama, bagian hablum minallah (hubungan kepada Allah) yang selanjutnya manusia menyebutnya ibadah mahdhah. Kedua, hablum minannas (hubungan kepada sesame manusia) selanjutnya manusia menyebutnya ibadah ghairu mahdhah.

📌 Ibadah mahdhah, sering pula disebut ibadah ritual, ibadah khusus, atau vertikal, yaitu pengabdian kepada Allah Ta’ala sebagai pencipta, yang memang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya atas hambaNya yang taklif (sudah baligh), dan diberikan contoh oleh RasulNya pula, sehingga ibadah ini memiliki praktek yang sudah digariskan tata caranya. Sehingga dia disebut mahdhah, yang berarti murni, bersih, tiada bercampur, sebab ibadah mahdhah tidak memberi peluang kepada akal-akalan manusia melainkan ittiba’ (mengikuti) dalil-dalil syara’ (Al Qur’an dan As Sunnah).

Termasuk ibadah mahdhah adalah shalat (tentunya dengan thaharah pula), puasa, zakat, dan haji. Jenis ibadah-ibadah ini adalah ‘langsung’ kepada Allah Ta’ala. Bukan hanya itu tetapi juga aqiqah dan qurban.

Allah Ta’ala berfirman:

“Apa yang datang dari Rasul kepadamu, maka ambil-lah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr (59): 7)

Tentang shalat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kamu sebagaimana aku shalat.”(HR. Al Bukhari)
Tentang haji, Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu melihat Rasulullah pada siang hari sedang melempar jumrah sambil di atas hewan tunggangannya, lalu beliau bersabda:

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

“Hendaklah ambil (pelajari) manasik haji kalian, sesungghnya aku tidak tahu apakah aku bisa haji lagi setelah hajiku yang sekarang.” (HR. Muslim)

Tentang wudhu, dari Humran Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Bahwa Utsman bin ‘Affan mengajak untuk berwudhu, maka dia berwudhu. Dia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudia dia berkumur-kumur, lalu dia menghirup air kehidungnya, lalau mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci tangannya sebelah kanan hingga ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan sebelah kiri juga demikian, lalu membasuh kepalanya, lalu dia mencuci kakinya yang kanan hingga dua mata kaki sebanyak tiga kali, lalu dia mencuci kaki kirinya juga demikian. Lalu Utsman berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku tadi.” Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangispa yang berwudhu seperti wudhuku lalau dia shalat dua rakaat, tanpa bicara antara keduanya, maka diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Muslim)

Ketiga hadits di atas menunjukkan bahwa urusan ibadah ritual (mahdhah), maka sikap kita adalah mengikuti dalil, atau contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Atau istilahnya tauqifi (menunggu dalil). Maka, ibadah mahdhah tidak boleh dimodif, baik di tambah-tambah, atau dikurangi, berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia.

Dan mencontoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam ibadah mahdhah, merupakan syarat diterimanya amal. Allah Ta’ala berfirman:

“Dia lah Yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) – untuk menguji kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya (ahsanu ‘amala); dan ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun, (bagi orang-orang Yang bertaubat).” (QS. Al Mulk: 2)

Tentang makna Ahsanu ‘amala (amal yang paling baik), ini ditafsirkan oleh Imam Fudhail bin ‘Iyadh sebagai berikut:

قَالَ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَقِيلَ : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ فَقَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ . وَإِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ . وَقَدْ رَوَى ابْنُ شَاهِينَ واللالكائي عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ : لَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إلَّا بِنِيَّةِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّة

Al Fudhail bin Iyadh berkata: “yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada orang bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya amal itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Dan jika ikhlas tetapi tidak benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah menjadikan ibadah hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu Syahin dan Al Lalika’i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Tidak akan diterima ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah.” (Majmu’Al Fatawa, 28/177)

📌 Ibadah Ghairu mahdhah, sering juga disebut ibadah umum, ibadah mu’amalah, atau horisontal, yang hubungannya antara sesama manusia. Seperti silaturrahim, menyantuni anak yatim, menjenguk orang sakit, saling memberi nasihat, belajar mengajar, mencari nafkah, dan lain-lain.

Semua hal di atas, walau termasuk urusan dunia, namun dinilai sebagai ibadah di sisi Allah Ta’ala karena memang memiliki landasan dalam Al Quran dan As Sunnah untuk melaksanakannya. Hanya saja, keduanya tidak merinci dan tidak membakukan bahwa silaturrahim –misal- harus dihari libur, menyantuni anak yatim minimal harus satu juta rupiah per anak, menjenguk orang sakit harus membawa makanan, dan seterusnya. Itu semua tidak ada aturannya. Syariat menyerahkan kepada kita untuk menyesuaikan sesuai adat yang ma’ruf pada zaman masing-masing, asalkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat.

Maka, lakukanlah semua kebaikan baik ritual dan non ritual, dan jauhilah semua larangan, lalu ikhlaskanlah dalam menjalankannya, seimbangkan antara dunia dan akhirat, fisik dan ruhani, pribadi dan masyarakat, maka pada hakikatnya kita sudah menjadi ahli ibadah.

Buku-buku yang bisa dikaji dalam hal ini, Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Al Jazairi, atau Komitmen Muslim Kepada Harakah Islamiyah karya Syaikh Fathi Yakan, dan lainnya.

Wallahu A’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top