Tahajud Sendiri, Mengeraskan Bacaan atau Pelan Saja?

▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz,ijin bertanya.bolehkah bacaan alfatihah & surat2 dibaca jahr saat shalat tahajud sendirian (+62 852-8216-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh..

Shalat siang itu Sunnahnya sirr (lirih) kecuali shalat ‘id dan shalat Jumat, shalat malam sunahnya jahr (dikeraskan) suaranya ..

Tertulis dalam Asy Syabakah Al Islamiyyah:

والحاصل: أن القراءة في صلاة الليل عموماً السنة فيها أن تكون جهراً، أما صلاة النهار، فالقراءة فيها تكون سراً إلا ما استثني

Kesimpulannya: membaca Al Qur’an pada shalat malam secara umum sunahnya adalah jahr, dan shalat siang sunahnya adalah sirr kecuali apa-apa yg dikecualikan syariat.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 19846)

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata:

السنة في صلاة الليل الجهر بالقراءة سواء كان المصلي يصلي وحده أو معه غيره

Sunah dalam shalat malam mengeraskan suara, baik shalat seorang diri atau bersama yg lain ..

(https://www.binbaz.org.sa/fatawa/908)

Namun, kalau membaca sirr saat sendiri tetap sah, tapi ada sunah yang dia tinggalkan.

Baca juga: Hukum Qiyamullail/Sholat Tahajjud Berjamaah

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Uang Tips

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum warahmatullah …

Jika kita dibantu oleh orang, lalu orang itu kita berikan hadiah, apakah hadiah ini terlarang ? (J)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Di dunia Arab, itu istilahnya Baqsyisy atau takrimiyah, pemberian kepada seseorang yang telah membantu kita, walau dia sebenarnya sudah digaji atas kerjaannya, atau kita memberikan hadiah karena puas dengan pekerjaannya. Di negeri kita dikenal dengan UANG TIP. Para ulama berbeda pendapat tentang ini.

– Pertama. BOLEH

Ini pendapat Syaikh Muhammad Al Bahi, Syaikh Ali Jum’ah, dan lain-lain. Dengan syarat tidak dijanjikan sebelumnya. Ini merupakan bagian dari membalas kebaikan dengan hal yang lebih baik lagi ..

Dalilnya adalah:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
كَانَ لِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: bahwa Nabi ﷺ berhutang kepadaku dan dia membayar hutangnya dan memberikan tambahannya.

(HR. Muslim no. 715)

Kita lihat, Nabi ﷺ memberikan tambahan uang saat membayar hutanh. Itu bukan riba, sebab tidak dijanjikan atau disyaratkan sebelumnya.

Para ulama mengatakan:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَابْنُ حَبِيبٍ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَغَيْرِهِمْ إِلَى أَنَّ الْمُقْتَرِضَ لَوْ قَضَى دَائِنَهُ بِبَدَلٍ خَيْرٍ مِنْهُ فِي الْقَدْرِ أَوِ الصِّفَةِ ، أَوْ دُونَهُ ، بِرِضَاهُمَا جَازَ مَا دَامَ أَنَّ ذَلِكَ جَرَى مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ أَوْ مُوَاطَأَةٍ

Mayoritas ahli fiqih dari Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hambaliyah dan Ibnu Habib dari kalangan Malikiyah, dan ulama lainnya, mengatakan bahwa jika orang yang berhutang membayar hutangnya dengan hal yang lebih baik, baik dr sisi jenis, sifat, kadar, atau lainnya, selama keduanya ridha, maka itu dibolehkan, selama memang tidak disyaratkan.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 23/125)

Kesamaan dengan kasus yg ditanyakan adalah sama-sama membalas kebaikan orang dengan lebih.

– TIDAK BOLEH

Sebab, jika memang niatnya membantu atau menolong maka dia tidak boleh diberikan hadiah, sebab hadiah itu menjadi riba bagi yg menerimanya.

Dalilnya, Rasulullah ﷺ bersabda:

من شَفَعَ لأَخِيه بشفَاعةٍ، فأهْدى له هديّةً عليها؛ فقَبِلها؛ فقدْ أتَى باباً عظِيماً منْ أبوابِ الرِّبا

Barang siapa yang memberikan bantuan kpd saudaranya, lalu dia dikasih hadiah (persenan/tip) karena bantuannya itu, dan dia menerimanya, maka dia telah mendatangi pintu besar riba. (HR. Abu Daud No. 3541, hasan)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata:

مَنْ شَفَعَ شَفَاعَةً لِيَرُدَّ بِهَا حَقًّا أَوْ يَرْفَعَ بِهَا ظُلْمًا ، فَأُهْدِيَ لَهُ ، فَقَبِلَ ؛ فَهُوَ سُحْتٌ “. “تفسير الطبري

Barang siapa yang memberikan bantuan, tujuannya untuk mengembalikan hak dan menghilangkan kezaliman, LALU DIA DIBERI HADIAH karena itu, lalu dia menerimanya, Maka itu bagian yang haram. (Tafsir Ath Thabariy, 8/432)

Demikian …

📌 Lalu manakah pendapat yang kuat?

Pendapat yang paling pertengahan adalah dilihat dulu jenis bantuannya.

Jika bantuannya dalam Hal-Hal yang wajib (seperti membantu orang tua yang sulit nyebrang, kakek yang sulit berjalan yg memang seharusnya dibantu), dan bantuan yang sunnah, maka terlarang dia menerima hadiah. Begitu pula membantu dalam hal-hal yang haram maka itu juga haram dihadiahi.

Ada pun jika membantu dalam hal yang mubah maka mubah pula menerima hadiahnya.

Imam Ash Shan’aniy Rahimahullah berkata:

وَلَعَلَّ الْمُرَادَ إذَا كَانَتْ الشَّفَاعَةُ فِي وَاجِبٍ كَالشَّفَاعَةِ عِنْدَ السُّلْطَانِ فِي إنْقَاذِ الْمَظْلُومِ مِنْ يَدِ الظَّالِمِ أَوْ كَانَتْ فِي مَحْظُورٍ كَالشَّفَاعَةِ عِنْدَهُ فِي تَوْلِيَةِ ظَالِمٍ عَلَى الرَّعِيَّةِ فَإِنَّهَا فِي الْأُولَى وَاجِبَةٌ فَأَخْذُ الْهَدِيَّةِ فِي مُقَابِلِهَا مُحَرَّمٌ، وَالثَّانِيَةُ مَحْظُورَةٌ فَقَبْضُهَا فِي مُقَابِلِهَا مَحْظُورٌ، وَأَمَّا إذَا كَانَتْ الشَّفَاعَةُ فِي أَمْرٍ مُبَاحٍ فَلَعَلَّهُ
جَائِزٌ أَخْذُ الْهَدِيَّةِ لِأَنَّهَا مُكَافَأَةٌ عَلَى إحْسَانٍ غَيْرِ وَاجِبٍ وَيَحْتَمِلُ أَنَّهَا تَحْرُمُ لِأَنَّ الشَّفَاعَةَ شَيْءٌ يَسِيرٌ لَا تُؤْخَذُ عَلَي ْهِ مُكَافَأَةٌ

Bisa jadi maksud hadits di atas adalah bantuan dalam perkara wajib -seperti pemimpin yang menyelamatkan orang yang dizalimi dari tangan orang zalim atau dalam perkara terlarang seperti membantu pihak yang menzalimi rakyat- maka untuk jenis yang pertama adalah pembelaan tersebut adalah wajib maka diharamkan menerima hadiah karena itu. Jenis kedua pembelaan jenis tersebut adalah terlarang maka terlarang pula menerima hadiahnya.

Ada pun pertolongan dalam urusan yg BOLEH, maka boleh juga menerima hadiahnya sebab itu balasan atas kebaikan yg tidak diwajibkan.

Hal itu diharamkan jika maksudnya adalah pertolongan dalam hal yang ringan, yg memang tidak ada upah atas hal itu.

(Subulussalam, 2/58)

Begitu pula uang TIP karena kesungguhan seseorang atas kerjanya, itu boleh:

أما إذا كان كانت الهديَّة مقابل جهدٍ وعملٍ قام به الشافع ؛ فلا حرجَ في أخذها

Ada pun jika hadiah itu diberikan karena kesungguhan kerja orang yang menolong, maka tidak apa-apa dia mengambil hadiah tersebut.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 220599)

Lalu, untuk konteks pegawai .. jika memang kantor melarang hal itu, agar menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Maka lebih baik memang dihindari .. aman secara syar’iy sudah, tapi jangan lupa aman secara peraturan negara dan aman secara citra bagi seeeorang, ini juga mesti diperhatikan.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Berobat Dengan Racun Kalajengking

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Ustadz, sy mau tanya terkait yg sdg viral saat ini. Yaitu ttg saran seorang pejabat tertinggi negeri ini yg menyarankan orang yg ingin cepat kaya raya agar mencari racun kalajengking. Krn racun kalajengking bs buat obat. Bgmn hukum berobat pakai racun kalajengking ustadz? (AW)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim …

Tidak boleh makan kalajengking atau racunnya, sebab itu termasuk hasyarat (serangga) yang menjijikan (khabaits) ..

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 34876:

فالعقرب من الحشرات، والحشرات لا يجوز أكلها في مذهب الحنفية والشافعية والحنابلة، وهو رواية عن الإمام مالك رجحها بعض أصحابه. أما الرواية الأخرى عنه وهي التي عليها المذهب، فهي جواز أكل الحشرات، وهناك قول للمالكية بكراهة أكل العقرب.
والراجح هو مذهب الجمهور؛ لأن الحشرات من الخبائث، والله تعالى يقول: وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ [الأعراف:157]، وقد ورد الأمر بقتل العقرب وتسميتها من الفواسق في الصحيحين عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم.
فالخلاصة أن إطعام العقرب للطفل وغيره حرام على ا لراجح من أقوال العلماء؛ لأنها من الخبائث والفواسق وللأمر بقتلها، إضافة إلى ما فيها من السم.

Kalajengking termasuk hasyarat, dan hasyarat tidak boleh dimakan menurut Hanafiyah, Asy Syafi’iyyah, Hambaliyah, dan ini juga riwayat dari Imam Malik dan dikuatkan oleh sebagian pengikutnya. Ada pun riwayat lain dan ini menjadi pendapat resmi Malikiyah, bahwa boleh makan hasyarat. Dan ada perkataan Malikiyah yang mengatakan makruh makan kalajengking.

Yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama karena Allah Ta’ala berfirman: (Dan diHARAMkan atas mereka semua hal yang buruk) (Al A’raf: 157).

Dan terdapat riwayat dalam Shahihain dari Aisyah, tentang perintah membunuh kalajengking dan dia dinamakan Al Fuwaisiq (si kecil yang fasiq).

Kesimpulannya, haram bagi anak-anak dan selainnya memakan kalajengking berdasarkan pendapat yang lebih kuat dari para ulama, dan perintah untuk membunuhnya dan dia adalah Al Fuwaisiq, dan ditambah lagi dia hewan mengandung racun.

(Selesai)

📌 Lalu Bagaimana jika dijadikan obat ?

Dari Abu Darda’ Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit pasti ada obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud No. 3876, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20173. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. (Tuhfatul Muhtaj, 2/9). Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya terpercaya. (Majma’uz Zawaid, 5/86) )

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ

“Rasulullah ﷺ melarang berobat dengan yang buruk (Al Khabits).

(HR. At Tirmidzi No. 2045, Abu Daud No. 3872, Ibnu Majah No. 3459. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan lainnya)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata:

وَكَذَلِكَ سَائِرُ الْأُمُورِ النَّجِسَةِ أَوْ الْمُحَرَّمَةِ ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ قَوْلُهُ : ( وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ ) أَيْ لَا يَجُوزُ التَّدَاوِي بِمَا حَرَّمَهُ اللَّهُ مِنْ النَّجَاسَاتِ وَغَيْرِهَا مِمَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ نَجَسًا

“Demikian juga seluruh hal yang najis dan haram (tidak boleh dijadikan obat), demikianlah madzhab jumhur (mayoritas), sabdanya: “janganlah berobat dengan yang haram,” artinya tidak boleh pengobatan dengan apa-apa yang Allah haramkan baik berupa benda-benda najis, dan benda lainnya yang diharamkan Allah, walau pun tidak najis.” (Nailul Authar, 8/204)

📌 Pembolehan Hanya jika Darurat

Di atas sudah dijelaskan panjang lebar tentang terlarangnya menggunakan zat-zat haram atau najis untuk berobat. Namun, agama Islam adalah agama yang manusiawi dan membawa kemudahan bagi keberlangsungan hidup. Pada kondisi tertentu, dibolehkan menggunakan benda-benda haram dan najis untuk berobat, yakni jika keadaan sangat mendesak, terpaksa, alias darurat. Ini didasarkan oleh dalil keumuman ayat:

“ Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al An’am (6): 145)

Atau ayat lainnya:

“…tetapi Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah (2): 173)

Dari sini, maka telah ijma’ (sepakat) para ulama bahwa bolehnya memakan bangkai (atau sesuatu yang haram) karena darurat. Berkata Imam Ibnul Mundzir:

وأجمعوا على إباحة الميتة عند الضرورة

“Mereka (para ulama) telah ijma’ bolehnya memakan bangkai ketika darurat.” (Kitabul Ijma’ No. 746)

Jika orang yang terancam jiwanya karena kelaparan, dan tidak ada makanan halal tersedia, maka dia dibolehkan makan yang haram demi keselamatan jiwanya, dengan tanpa melebihi kebutuhan. Begitu pula penyakit yang menimpa seseorang yang mengancam jasad atau jiwanya, dan tidak ditemukan obat lain yang halal, maka kondisi tersebut (penyakit) merupakan alasan yang sama (dengan kelaparan) untuk dibolehkannya berobat dengan yang haram (dalam hal ini adalah racun kalajengking).

Alasan-alasan ini dikuatkan oleh dalil-dalil lain, yakni pemakaian kain sutera oleh Zubeir bin Awwam dan Abdurrahman bin ‘Auf ketika mereka kena penyakit Kudis dalam sebuah perjalanan.

Dengan demikian, para ulama juga telah membuat kaidah:

الضَّرُورِيَّاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ

“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.” (Al Asybah wan Nazhair, 1/155)

📌Kapankah Darurat Itu?

Darurat itu jika situasi sudah mengancam jiwa, agama, akal, harta, dan keturunan.

Namun, dalam konteks penyakit, seseorang disebut mengalami darurat jika memenuhi syarat berikut:

🌸 Keadaan benar-benar mendesak yakni terancam keutuhan jasad atau jiwa.

🌸Telah terbukti bahwa ‘obat haram’ tersebut adalah memang obatnya, dan ini dibutuhkan petunjuk dokter yang bisa dipercaya. Bukan karena asumsi pribadi, kira-kira, atau ikut-ikutan kata orang.

🌸Memang tidak ada obat lain yang halal. Jika masih banyak obat halal yang tersedia, maka tetap tidak boleh. Dalam konteks berobat dengan Kalajengking nampaknya syarat ini belum terpenuhi, mengingat masih sangat banyak obat-obatan lain yang halal.

Kemudian … seharusnya pejabat tersebut memberikan peluang kerja kepada pribumi, bukan menyuruh pribumi ternak kalajengking yg halal haramnya tidak jelas, disaat justru membiarkan tenaga kerja asing dibuka selebar-lebarnya bekerja di sini. Ironi.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Tidak Mengingkari Kebiasaan Baik Di Sebuah Negeri

💥💦💥💦💥💦💥💦

Kadang kita temui adanya para pemuda yang semangat terhadap Islam. Ketika mendapatkan ilmu baru dari sebuah buku, atau ceramah, dia anggap sebagai satu-satunya kebenaran yang mesti dihidupkan.

Lalu dia memaksakan kepada manusia sekitarnya untuk mengikutinya, padahal mereka sudah memiliki keyakinan dan kebiasaan yang baik, yang juga rekomendasi para imam kaum muslimin.

Akhirnya, yang terjadi adalah fitnah dan ketegangan. Lucunya para pemuda ini menganggap penolakan masyarakat itu sebagai “ujian dalam da’wah” dan “kebodohan masyarakat”, padahal itu disebabkan ketidakpahaman mereka sendiri dalam menerapkan sebuah pendapat dan mengkaitkannya dengan objek fiqihnya (baca: tahqiqul manath).

Coba perhatikan mutiara para salaf berikut ini ….

📌 Imam Ad Darimi berkata:

أخبرنا يزيد بن هارون عن حماد بن سلمة عن حميد قال قلت لعمر بن عبد العزيز لو جمعت الناس على شيء فقال ما يسرني انهم لم يختلفوا قال ثم كتب إلى الآفاق أو إلى الأمصار ليقضي كل قوم بما اجتمع عليه فقهاؤهم

Mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid, dia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Abdil ‘Aziz: “Alangkah baiknya engkau menyatukan manusia dalam satu pendapat.”

Beliau menjawab: “Aku tidak senang jika mereka tidak berbeda pendapat.” Humaid berkata: “Lalu Umar bin ‘Abdil Aziz menulis surat ke semua penjuru negeri: “Setiap penduduk di suatu negeri hendaknya memutuskan urusannya sesuai kesepakatan ahli fiqih mereka (di negeri masing-masing).” (Sunan Ad Darimi No. 652, Bab Ikhtilaf Al Fuqaha)

Sikap Umar bin ‘Abdul Aziz Rahimahullah ini memiliki dasar dari generasi sahabat Radhiallahu ‘Anhum sebagaimana riwayat di bawah ini.

📌 Imam Abu Bakar Al Khathib Al Baghdadi berkata:

عن أبي عبيدة قَالَ: قَالَ عَلِيّ: اقضوا ما كنتم تقضون فإني أكره الاختلاف حتى يكون للناس جماعة، أو أموت كما مات أصحابي

Dari Abu Ubaidah, dia berkata: Berkata Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:

Putuskanlah dengan keputusan yang biasa kalian putuskan. Sungguh, saya tidak suka dengan perselisihan sampai aku mendapati manusia memiliki jamaahnya sendiri-sendiri, atau aku mati sebagaimana matinya para sahabatku. (Tarikh Baghdad, 8/42)

Wallahu A’lam

🌴🌻🍃☘🌺🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top