Shalat Awwabin; Shalat Dhuha atau Shalat Ba’da Maghrib?

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘alaikum .., minta penjelasan shalat awwabin .. (08524533×××)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah ..,

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Al Awwaab, dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Ismail Ath Thahawi adalah:

والأواب هو الذي إذا أذنب ذنبا بادر إلى التوبة

Al Awwaab adalah orang yang jika melakukan sebuah dosa dia segera bertaubat. (Hasyiyah Ath Thahawi ‘Ala Miraqi Al Falaah, Hal. 390)

Mayoritas ulama mengatakan bahwa shalat awwabin adalah shalat dhuha.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب قال : وهي صلاة الأوابين

“Tidaklah yang menjaga shalat dhuha melainkan orang yang Awwab,” Dia bersabda: “Itulah shalat Awwabin.” (HR. Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Ath Thabarani. Syaikh Al Albani menghasankan dalam Shahihul Jami’ No. 7628)

Hadits ini menunjukkan pujian bagi orang yang menjaga shalat dhuha, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menamakannya dengan sebutan Al Awwabin (Orang-orang yang taat dan bertaubat).

Dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

“Shalat Awwabin waktunya adalah ketika unta merasakan panas.” (HR. Muslim No. 748, Ad Darimi No. 1457, Ibnu Hibban No. 2539)

Maksud tarmadhul fishal (ketika Unta merasakan panas) adalah ketika dhuha. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

قَالَ أَصْحَابنَا : هُوَ أَفْضَل وَقْت صَلَاة الضُّحَى ، وَإِنْ كَانَتْ تَجُوز مِنْ طُلُوع الشَّمْس إِلَى الزَّوَال

“Sahabat-sahabat kami (syafi’iyah) telah berkata: ‘Itu adalah waktu yang paling utama untuk shalat dhuha, dan boleh saja melakukannya dari terbitnya matahari hingga tergelincirnya matahari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/88. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Tapi, ulama lain juga menganggap shalat awwabin adalah shalat sunnah setelah maghrib, sebanyak 6 rakaat, maksimal 20 rakaat. Semua riwayatnya tidak selamat dari kritikan ulama atas validitasnya.

Di antaranya:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

من صلى بعد المغرب ست ركعات لم يتكلم بينهن بسوء عدلن له بعبادة ثنتي عشرة سنة

Barangsiapa yang shalat setelah maghrib enam rakaat, dan tidak berbicara buruk di antara itu, maka itu setara dengan ibadah selama dua belas tahun lamanya. (HR. Ibnu Majah No. 1167. At Tirmidzi No 435. Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan: dhaif. Lihat Takhrijul Ihya No. 550. Syaikh Al Albani mengatakan: dhaif jiddan. Lihat Dhaiful Jami’ No. 5661)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

من صلى بين المغرب والعشاء عشرين ركعة بنى الله له بيتا في الجنة

Barang siapa yang shalat antara maghrib dan isya sebanyak dua puluh rakaat maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga. (HR. Ibnu Majah No. 1373, Abu Ya’la No. 4948. Para ulama menyatakan kedhaifan hadits ini seperti Imam As Suyuthi. (Jami’ Ash Shaghir, No. 8805, Al Kattaniy. (Mishbah Az Zujajah No. 485), Husein Salim Asad (Musnad Abi Ya’la No. 4948), sementara Syaikh Al Albani menyatakan palsu. (Dhaiful Jami’ No. 5662) )

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ كُتِبَ مِنْ الْأَوَّابِينَ

Barang siapa yang shalat setelah maghrib enam rakaat maka dicatat baginya sebagai orang awwabin. (Hadits ini tertera dalam kitab-kitab induk Hanafiyah, seperti Fathul Qadir-nya Imam Kamaluddin bin Al Hummam 1/444, Al Mabsuth-nya Imam As Sarkhasi, 1/157, Tabyin Al Haqaiq-nya Imam Az Zaila’i, 1/172, Al Bahrur Raiq-nya Imam Ibnu Nujaim, 2/54, Hasyiyah Ath Thahawi ‘Ala Miraqi Al Falah-nya Imam Ahamd Ath Thahawi, Hal. 390)

Semua riwayat ini, atau yang semisalnya, tidak lepas dari kritikan para ulama. Sehingga umumnya tidak menjadikannya sebagai hujjah, bahwa shalat enam rakaat atau dua puluh rakaat itulah yang bernama shalat awwabin.

Namun, legalitas shalat awwabin jenis ini, tertera tegas dalam kitab-kitab induk madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyyah

Imam Kamaluddin bin Al Hummam berkata:

وَاعْلَمْ أَنَّهُ نُدِبَ إلَى سِتٍّ بَعْدَ الْمَغْرِبِ ….

Ketahuilah, bahwa disunahkan shalat enam rakaat setelah maghrib … (lalu beliau menyebut hadits Ibnu Umar). (Fathul Qadir, 1/444)

Imam As Sarkhasi mengatakan:

وَإِنْ تَطَوَّعَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ بِسِتِّ رَكَعَاتٍ فَهُوَ أَفْضَلُ

Dan jika shalat sunah setelah maghrib dilakukan enam rakaat maka itulah yang lebih utama. (Al Mabsuth, 1/157)

Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

وانفرد الشافعية بتسمية التطوع بين المغرب والعشاء بصلاة الأوابين ، وقالوا : تسن صلاة الأوابين ، وتسمى صلاة الغفلة ، لغفلة الناس عنها ، واشتغالهم بغيرها من عشاء ، ونوم ، وغيرهما ، وهي عشرون ركعة بين المغرب والعشاء ، وفي رواية أخرى أنها ست ركعات

Golongan Syafi’iyah menyendiri dalam penamaan shalat antara maghrib dan isya adalah awwabin. Merkea mengatakan: disunahkan shalat awwabin, dinamakan juga shalat ghfalah (lalai), karena manusia biasa melalaikannya, mereka disibukkan oleh makan malam, tidur, dan selainnya, jumlahnya dua puluh rakaat antara maghrib dan isya, dalam riwayat lain enam rakaat. (Al Mausu’ah, 27/135)

Bagi mereka hadits-hadits tersebut bisa dijadikan dalil, sebagaimana keterangan berikut:

وَقَدْ وَرَدَ فِي إِحْيَاءِ هَذَا الْوَقْتِ طَائِفَةٌ مِنَ الأَْحَادِيثِ الشَّرِيفَةِ، وَإِنْ كَانَ كُل حَدِيثٍ مِنْهَا عَلَى حِدَةٍ لاَ يَخْلُو مِنْ مَقَالٍ، إِلاَّ أَنَّهَا بِمَجْمُوعِهَا تَنْهَضُ دَلِيلاً عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا

Telah ada sekumplan hadits tentang menghidupkan waktu ini (antara maghrib ke isya), semua hadits tersebut tidak ada yang sepi dari perbincangan, hanya saja jika dikumpulkan semuanya dapat menjadi kuat dan dalil disyariatkannya ibadah tersebut. (Al Mausu’ah, 2/237)

Demikianlah masalah ini. Dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama mengatakan bahwa maksud shalat awwabin adalah shalat dhuha sebab dalilnya lebih shahih. Namun, sebagian ulama juga memasukkan shalat setelah maghrib sebanyak enam rakaat adalah shalat awwabin, berdasarkan gabungan semua hadits yang ada. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa shalat awwabin itu adalah dhuha dan shalat sunah ba’da maghrib.

Berikut ini keterangannya:

قال الجمهور : هي صلاة الضحى ، والأفضل فعلها بعد ربع النهار إذا اشتد الحر واستدلوا بحديث النبي صلى الله عليه وسلم : صلاة الأوابين
حين ترمض الفصال

Mayoritas ulama mengatakan: itu adalah shalat dhuha. Waktu aling utama adalah dilakukan setelah seperempat siang ketika matahari mulai panas, mereka berdalil dengan hadits Nabi ﷺ: shalat awwabin adalah ketika unta mulai kepanasan. (Al Mausu’ah, 27/134)

Lalu disebutkan:

وتطلق أيضا على التنفل بعد المغرب .فقالوا : يستحب أداء ست ركعات بعد المغرب ليكتب من الأوابين

Secara mutlak juga, shalata wwabin adalah shalat sunah setelah magrib. Mereka mengatakan disunahkan menunaikannya enam rakaat setelah maghrib agar tercatat baginya sebagai awwabiin.

Lalu juga disebutkan, dan ini merupakan kesimpulannya:

ويؤخذ مما جاء عن صلاة الضحى والصلاة بين المغرب والعشاء أن صلاة الأوابين تطلق على صلاة الضحى ، والصلاة بين المغرب والعشاء . فهي مشتركة بينهما كما يقول الشافعية

Dengan menjadikan riwayat tentang shalat dhuha dan shalat anrara maghrib dan isya, maka shalat awwabin secara mutlak adalah shalat dhuha dan shalat antara maghrib dan ‘Isya, keduanya adalah shalat awwabin sebagaimana dikatakan Syafi’iyah. (Al Mausu’ah, 27/135)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌸🌷🌺🌾☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Kesempurnaan Hanya Milik Allah

▪▫▪▫▪▫

✖ Tidak ada ulama yang selalu jitu dalam fatwa-fatwanya

✖ Tidak ada pembalap yang tidak pernah tergelincir

✖ Tidak ada koki yang tidak pernah gagal dalam meracik makanan

✖ Tidak ada Sang Juara tanpa pernah kalah dan gagal

✖ Tidak ada suami yang selalu menjadi Pelindung dan Pengayom bagi istrinya

✖ Tidak ada istri yang selalu jadi ratu cantik di rumahnya

✖Tidak ada manusia hidupnya tanpa kurang, aib dan cela

Al Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah berkata:

من طلب أخا بلا عيب، بقي بلا أخ

Siapa yang mencari saudara tanpa aib maka dia tidak akan pernah punya saudara selamanya.

(Durar min Aqwaal Aimmah As Salaf)

🌿☘🍂🌸🌼🍀💐🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Dadu dalam Hadits Nabi dan Pemahaman Salaf

Hukum bermain dadu pada dasarnya terlarang karena ada hadits yang tegas menyatakan keharamannya. Dalam artikel ini akan dipaparkan juga penjelasan dari para ulama salaf.


Dari Burairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ berabda:

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ، فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ

Barang siapa yang bermain dadu maka seolah dia mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi. (HR. Muslim No. 2260)

Hukum Bermain Dadu

Disamakannya bermain dadu dengan memegang langsung daging dan darah babi menunjukkan keharamannya, dan itu merupakan pendapat mayoritas ulama. Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وهذا الحديث حجة للشافعي والجمهور في تحريم اللعب بالنرد وقال أبو إسحاق المروزي من أصحابنا يكره ولا يحرم

Hadits ini menjadi hujjah (dalil) bagi Imam Asy Syafi’i dan mayoritas ulama tentang haramnya bermain dadu. Abu Ishaq Al Marwazi mengatakan makruh, tidak haram. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 15/15)

Imam Ali Al Qaari Rahimahullah berkata:

قال المنذري ذهب جمهور العلماء إلى أن اللعب بالنرد حرام وقد نقل بعض مشايخنا الإجماع على تحريمه

Berkata Al Mundziriy: “Mayoritas ulama berpendapat haramnya bermain dadu. Sebagian guru kami menukil adanya ijma’ (konsensus) atas keharamannya.” (Mirqah Al Mafatih, 13/242)

Keharaman ini walau pun tanpa dibarengi uang, sebab dadu sendiri sudah termasuk judi, mengundi nasib. Ada pun jika pakai uang tentu lebi berat lagi.
Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

النَّرْدُ هِىَ الْمَيْسِرُ

Dadu adalah judi. (Imam Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 6507)

Baca juga: Hukum Bermain Catur dalam Islam

Naafi’ bercerita tentang Ibnu Umar:

كان إذا وجد أحدا من أهله يلعب بالنرد ضربه وكسرها

Jika dia mendapatkan salah satu keluarganya bermain dadu maka dia akan memukulnya (anggota keluarganya) dan menghancurkannya (dadu). (Syu’abul Iman No. 6506)

Aslam Al Munqiriy bercerita:

كَانَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ إذَا مَرَّ عَلَى أَصْحَابِ النَّرْدِ لَمْ يُسَلِّمْ عَلَيْهِمْ

Dahulu Sa’id bin Jubeir jika melewati para pemain dadu, dia tidak akan mengucapkan salam kepada mereka. (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 26697)

Ziyad bin Hudair melewati sekelompok orang bermain dadu, dia mengucapkan salam kepada mereka, dia tidak tahu mereka sedang main dadu, lalu dia kmbali lagi dan berkata:

رُدُّوا عَلَيَّ سَلاَمِي

Kembalikan kepadaku salamku. (Ibid No. 26698)

Demikian. Wallahu alam

 Farid Nu’man Hasan


Demikian penjelasan mengenai hukum bermain dadu berdasarkan hadits nabi dan penjelasan para ulama salaf. Semoga bermanfaat.

Putri Duyung, Adakah ?

💢💢💢💢💢💢

Beberapa orang bertanya kepada kami ttg ini .., ini jawaban kami:

Bismillah wal Hamdulillah..

Ya, Putri Duyung, atau Insaanul Maa’, Adamiyah Bahriyah, atau Al Huuriyah, memang ada dan diakui oleh ilmuwan masa kini dan juga fuqaha Islam sejak masa salaf.

Sebagai contoh, Imam Al Laits bin Sa’ad, dia sezaman dengan Imam Malik, pernah berkata:

أما إنسان الماء فلا يؤكل على شيء من الحالات

Ada pun “manusia air” tidak boleh dimakan sedikit pun, dia termasuk kasus berbeda. (Imam Ibnul Mundzir, Al Isyraaf ‘alal Madzaahib Al ‘Ulama, 3/467)

Ini juga dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Abidin:

وما عدا أنواع السمك من نحو إنسان الماء وخنزيره خبيث فبقي داخلا تحت التحريم، وحديث «هو الطهور ماؤه والحل ميتته» المراد منه السمك

Ada pun selain macam-macam ikan, seperti Manusia Ikan, Babi Laut, adalah buruk dan masuk kategori haram. Sedangkan hadits: (Laut itu suci airnya dan halal bangkainya) maksudnya adalah ikan. (Ad Dur Al Mukhtar, 6/307)

Imam Ibnu ‘Abidin adalah seorang ulama Hanafiy, telah dimaklumi bahwa kalangan Hanafiyah hanya membolehkan semua jenis ikan dari hewan laut, ada pun selain ikan walau hidup di laut tetap dilarang di makan bangkainya.

Sementara Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla mengatakan halalnya makan Putri Duyung, sebab termasuk makhluk yang hidup di air, sesuai keumuman dalil bahwa semua yg hidup di air adalah Halal, Beliau berkata:

وأما ما يسكن جوف الماء ولا يعيش إلا فيه فهو حلال كله كيفما وجد، سواء أخذ حيا ثم مات أو مات في الماء، طفا أو لم يطف، أو قتله حيوان بحري أو بري هو كله حلال أكله. وسواء خنزير الماء، أو إنسان الماء، أو كلب الماء وغير ذلك كل ذلك حلال أكله

Ada pun segala apa yang hidup di laut dan tidak bisa hidup kecuali di sana, maka itu halal bagaimana pun kondisinya. Sama saja apakah ditemukan dalam keadaan hidup lalu mati, mengapung atau tidak, atau mati di air, atau dibunuh oleh hewan laut atau darat, semuanya halal. Baik itu Babi laut, Manusia laut, anjing laut, semua ini halal memakannya.

(Al Muhalla, 6/60)

Sementara Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah, membolehkan memakan Putri Duyung.

Beliau ditanya:

يذكر بعض المختصين بالأسماك في البحر أن هناك سمكة رأسها كرأس المرأة ولها شعر ووجه كوجه المرأة ، فهل يجوز أكلها , وهي ما يسمى بالحورية؟

Sebagian pakar ikan laut menceritakan adanya ikan yang kepalanya seperti kepala wanita, memiliki wajah dan rambut layaknya wanita, apakah boleh memakannya, dan hewan ini dinamakan Al Huuriyah ?

الجواب قمت بتفريغه
فيه إنسان البحر فيه شيء من السمك على شكل إنسان يسمونه إنسان البحر يؤكل كل صيد البحر يؤكل ولو كان على شكل رجل أو شكل إمرأة نعم

Jawaban tentang ini, manusia laut adalah termasuk ikan, wujudnya berbentuk manusia dinamakan dengan “manusia laut”, semua hasil laut boleh dimakan walau dalam wujud laki-laki atau wanita. Ya.

Sumber: http://alfawzan.af.org.sa/node/2605

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top