Ragu dengan Keimanan

Ragu dengan keimanan bisa-bisa membatalkan dua kalimat syahadat. Bagaimana dengan sekadar perasaan was-was? Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah.


Pertanyaan

Assalamualaikum ustadz, jika seseorang merasa sangat ragu dengan keimanannya setelah suatu kasus, bahkan ketika dia bertanya ke dirinya, hatinya merasa ragu dengan keimanannya, merasa tidak yakin atau tidak tahu bahwa dia masih beriman atau tidak. Hal ini mungkin sudah dirasakan sekitar satu bulan lebih. Apakah dia masih dalam agama Islam atau sudah keluar?


Jawaban Untuk Masalah Ragu dengan Keimanan

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillaahirrahmaanirrohiim

Jika maksudnya “Meragukan Keimanan” adalah meragukan kebenaran Islam, maka itu termasuk pembatal dua kalimat syahadat.

Dalam fatwa Asy Syabakah Al Islamiyah yang diasuh oleh Syaikh Abdullah al Faqih disebutkan:

فإن الشك في الدين، والتردد في كون الإسلام هو الحق، ناقض من نواقض الإيمان، وعلامة من علامات أهل النفاق الذين وصفهم الله بقوله: مُذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَلَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلً {النساء: 143}.

Sesungguhnya ragu-ragu terhadap agama, bimbang bahwa Islam sebagai agama yang benar maka itu termasuk pembatal keimanan, dan termasuk tanda munafiq yang Allah Ta’ala ceritakan:

مُّذَبۡذَبِينَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ لَآ إِلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ وَلَآ إِلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ سَبِيلٗا

Mereka dalam keadaan ragu antara yang demikian (iman atau kafir) tidak termasuk kepada golongan ini (orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang kafir). Barang siapa disesatkan oleh Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya. (QS. An-Nisa’, Ayat 143)

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, No. 312760)

Ada pun jika itu hanya was-was saja, maka itu bukan pembatal keislaman. Hilangkan lah was-was dengan meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala, lalu mempelajari Islam segara baik dan serius kepada ahlinya.

Baca juga: Pengertian Iman dan Islam

Ada pun mempertanyakan keimanan, jika maksudnya adalah menanyakan apakah imannya sudah baik atau belum, itu tidak masalah. Itu bagian dari muhasabah, dan sebagian salaf pun melakukannya.

Syaikh Muhammad Abdul Lathif al Khathib mengatakan:

{أُوْلئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً} فتدبر أيها المؤمن الكريم هذه الآية، وسائل نفسك: هل أنت مؤمن حقاً؟ وهل إذا ذكر الله أمامك: وجل قلبك؟ وإذا تليت عليك آياته: زادتك إيماناً؟ وهل أنت تنفق مما رزقكالله، كما أمركالله؟

(Merekalah orang-orang beriman yg sebenarnya), renungilah ayat ini wahai orang-orang mukmin yang mulia. Dan tanyakanlah dirimu, apakah anda beriman dgn benar? Apakah jika disebut nama Allah di hadapanmu hatimu bergetar? Apakah ketika dibacakan ayatNya imanmu bertambah? Apakah anda menginfakkan rezeki dari Allah sebagaimana yang Dia perintahkan?

(Awdhahut Tafasir, hal. 210)

Demikian. Wallahu A’lam.

☘

✍ Farid Nu’man Hasan


Demikian, semoga Allah lindungi kita dari perasaan ragu dengan keimanan. Amin.

Baca juga: Sedekah Sebagai Bukti Keimanan Seorang Muslim

Shalat Berjamaah, Imam di Masjid Tapi Makmum di Rumah

Salat berjamaah di mana makmum di rumah sedangkan imam di masjid pada dasarnya tidak sah, tapi ada pengecualian bila beberapa syarat terpenuhi. Selengkapnya pada artikel di bawah.


Bismillahirrahmanirrahim…

Shalat di rumah tapi imamnya di masjid, menurut umumnya ulama adalah TIDAK SAH, kecuali terjadi kesinambungan shaf dari masjid tersebut ke rumah. Shalat seperti itu juga merusak spirit shalat berjamaah yaitu kebersamaan.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

لَوْ صَلَّى فِي دَارٍ أَوْ نَحْوِهَا بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ وَحَالَ بَيْنَهُمَا حَائِلُ لَمْ يَصِحَّ عِنْدَنَا. وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ

Seandainya seseorang shalat di rumah atau semisalnya, dan Imam di masjid, dan di antara keduanya ada penghalang MAKA TIDAK SAH MENURUT KAMI (SYAFI’IYAH). Ini juga pendapat Imam Ahmad. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/309)

Dalam Syarhul Mumti’:

فالرَّاجح : أنه لا يَصِحُّ اقتداءُ المأمومِ خارجَ المسجد إلا إذا اتَّصلتِ الصُّفوف ، فلا بُدَّ له مِن شرطين :
1. أن يَسمعَ التكبيرَ
2. اتِّصال الصُّفوف

Pendapat yang ROJIH (lebih kuat) adalah TIDAK SAH, makmum di luar Masjid, KECUALI shafnya bersambung, dan mesti memenuhi dua syarat:

1. Mendengar takbir
2. Bersambungnya shaf

(Syarhul Mumti’, 4/300)

Dalam Majmu’ Fatawa wa Rasaail:

إذا كان المأموم خارج المسجد فإن كان في المسجد سعة فائتمامه بالإمام لا يصح سواء رأى الإمام,أو المأموم, أو لم يرهما ؛ لأن الواجب أن يكون مكان الجماعة واحدا

Jika makmum di luar masjid (atau di rumah) padahal masjid luas maka bermakmum ke kepada imam yang di masjid adalah TIDAK SAH. Baik dia melihat imam dan makmum atau tidak, sama saja. Wajin bagi mereka di tempat yang sama.

(Majmu Fatawa wa Rasaail, 15/213)

Demikian. Wallahu a’lam

Baca juga: Berjamaah Tapi Makmum di Rumah Imam di Masjid

Baca juga: Sudah Shalat, tapi Diminta Lagi Jadi Imam?

✍ Farid Nu’man Hasan

Bersyukur Sebagai Muslim

Bersyukur sebagai muslim karena ada begitu banyak nikmat yang kita dapatkan.


Bersyukurlah sebagai muslim, sebab itu nikmat terbesar dan paling sempurna.

Bersyukurlah sebagai muslim, sebab di sisi Allah kita termasuk umat yang terbaik

Bersyukurlah sebagai muslim, yang pembawa risalahnya adalah pimpinan para nabi dan rasul

Bersyukurlah sebagai muslim, sebab Allah menurunkan Al Quran sebagai pedoman paling lurus dan tetap terjaga

Bersyukurlah sebagai muslim, yg hari agungnya adalah Jumat, yaitu hari di mana Adam diciptakan, diturunkan ke bumi, diwafatkan, dikabulkannya doa manusia, dan terjadinya kiamat.

Bersyukurlah sebagai muslim, umat yang pertama yang akan memasuki surganya Allah

Bersyukurlah sebagai muslim, diberikan nikmat puasa Ramadhan, sebuah ritual panjang dan diikuti miliaran manusia tanpa keluh kesah

Bersyukurlah sebagai muslim, diberikan anugerah Lailatul Qadar, malam yang kebaikannya lebih dari 1000 bulan

Bersyukurlah sebagai muslim, kita dianugerahi gerakan kedermawanan massal terbesar di dunia yaitu zakat dan qurban

Bersyukurlah sebagai muslim, walau umatnya paling banyak mengalami penindasan, tapi pertumbuhannya tercepat di dunia

Bersyukurlah sebagai muslim, sebab kita tidak mengenal kasta, semua manusia adalah sama kecuali taqwanya

Bersyukurlah sebagai muslim, yang memuliakan perempuan baik sebagai ibu, anak, atau saudara kandung

Bersyukurlah sebagai muslim, sebab surga telah menanti asalkan istiqamah

Wallahul Muwaffiq Ilaa aqwamith Thariq

✍ Farid Nu’man Hasan


Itulah berbagai nikmat yang menjadi alasan kita bersyukur sebagai muslim.

Baca juga: Bersyukurlah Pagi Ini Masih Sebagai Muslim

Baca juga: Islam Itu Sempurna, Walau Muslim Tidak Sempurna

Mengucapkan Selamat Hari Raya Sebelum 1 Syawwal: BOLEH, Bukan Bid’ah

Ucapan selamat hari raya sebelum 1 Syawwal boleh saja dan bukan bid’ah. Berikut ini artikel penjelasannya:


Ini adalah perkara adat kebiasaan di tengah umat Islam. Sudah berlangsung sangat lama, termasuk di Indonesia. Dahulu mereka menggunakan kartu ucapan hari raya, yang biasanya sudah saling mengirim sebelum hari H-nya satu hari atau beberapa hari, baik oleh pribadi atau instansi. Oleh karena itu para ulama pun tidak mempermasalahkan hal itu.

Syaikh Ibn ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

فإنها الآن من الأمور العادية التي اعتادها الناس، يهنئ بعضهم بعضاً ببلوغ العيد واستكمال الصوم والقيام

Ucapan selamat hari raya telah menjadi adat kebiasaan yang terjadi di tengah manusia, mereka saling memberikan selamat satu sama lain dengan kedatangan hari raya dan sempurnanya puasa dan shalat tarawih.

(Majmu’ Fatawa wa Rasaail, 16/208)

Maka, ketika puasa sudah berakhir dan tarawih sudah berakhir, manusia mengucapkan selamat hari raya, silahkan saja. Ini adalah urusan kebiasaan duniawi manusia, bukan perkara ibadah khusus yang dituntut adanya dalil.

Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid Hafizhahullah berkata:

فظاهر فعل الصحابة والمنقول عنهم : أن التهنئة بالعيد تكون بعد صلاة العيد ، فلو اقتصر الإنسان على ذلك ، فحسن ؛ اقتداءً بأصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ، وإن هنأ به قبل ذلك ، مبادرة لصاحبه : فالظاهر أنه لا بأس به إن شاء الله ؛ لأن التهنئة بالعيد من باب العادات ، والأمر في باب العادات فيه سعة ، ومرجعه إلى العرف السائد بين الناس

Apa yang dilakukan sahabat nabi dan apa yang diriwayatkan dari mereka, secara zhahir menunjukkan bahwa ucapan selamat hari raya itu dilakukan setelah shalat ‘id. Seandainya berinisiatif dilakukan sebelum waktunya, maka yang benar adalah TIDAK APA-APA, karena ucapan selamat itu adalah perkara adat kebiasaan, dan urusan adat itu lapang dan kembali kepada tradisi yang terjadi di tengah manusia.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 192665)

Baca juga: Adab dan Sunah Berhari-Raya

Syaikh Abdullah al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فلم نقف على دليل يمنع التهنئة قبل صلاة العيد

Kami belum jumpai adanya dalil larangan ucapan selamat hari raya SEBELUM SHALAT ‘ID.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 187467)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu’ ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️ Farid Nu’man Hasan


Saran bacaan dari sumber lain: Hukum Ikut Merayakan Hari Raya Agama Lain

scroll to top