Kontribusi Terhadap Perjuangan Islam

Allah ﷻ berfirman:

{ لَّا يَسۡتَوِي ٱلۡقَٰعِدُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ غَيۡرُ أُوْلِي ٱلضَّرَرِ وَٱلۡمُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡۚ فَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ عَلَى ٱلۡقَٰعِدِينَ دَرَجَةٗۚ وَكُلّٗا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَفَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ عَلَى ٱلۡقَٰعِدِينَ أَجۡرًا عَظِيمٗا }

Tidaklah sama antara orang yang beriman yang duduk (yang tidak turut berjihad) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berjihad tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. [Surat An-Nisa’: 95]

– Ayat ini menceritakan kelebihan dan ketinggian derajat orang-orang mukmin yang memperjuangkan agamanya, dibandingkan orang-orang yang beriman namun tidak ikut berjuang tanpa alasan.

– Imam Al Bukhari meriwayatkan bahwa ketika awal ayat ini turun – Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang tuna netra – mengadu kepada Rasulullah ﷺ bahwa dirinya tuna netra, sehingga tidak bisa ikut jihad walau sangat menginginkan, maka turunlah kalimat: Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. (An-Nisa: 95)

– Artinya, jika ketidaksertaan dalam perjuangan didasari alasan (uzur) yang syar’i, padahal mereka sangat menginginkan ikut berjuang maka kedudukan mereka tetap mulia dan dimaafkan.

– Substansi ayat ini adalah mengajarkan umat Islam agar berlomba-lomba memberikan sumbangsih apa pun potensi yang dimiliki untuk kejayaan Islam.

– Tidak ada yang dianggap remeh dari sumbangsih tersebut; baik kontribusi waktu, pemikiran, ilmu, tenaga, dana, sampai nyawa. Semua ini bernilai tinggi jika dipersembahkan utk ‘Izzul Islam wal Muslimin. Inilah yang membedakan antara orang yang berjuang dan duduk-duduk saja.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Salat Berjamaah Sunni-Syiah

✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaikum. semoga Alloh memberkahi ustadz sekeluarga dan orang-orang yang mendukung serta membantu usaha dakwah ustadz…

Saya saat ini kuliah di UK dan alhamdulillah bisa bertemu dengan muslim dari banyak negara. Alhamdulillah juga ada beberapa Gedung kampus yang menyediakan Quiet Room yang bisa dipakai untuk sholat.

Nah dari beberapa kali interaksi itu saya menemukan ada beberapa mahasiswa yang cenderung tidak mau jamaah yang baru saya ketahui ternyata mereka Syiah.

Yang saya lebih heran adalah ternyata teman sekelas saya yang dari Kuwait itu Syiah sementara suaminya Sunni. Lalu, dalam sehari-harinya dia sholat selalu menjamak Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya sehingga seolah dia sholat 3x saja yah.

Pertanyaan saya adalah:

1. Selama ini saya pikir orang-orang Syiah itu di Irak, Iran ato Lebanon tapi ternyata di negara-negara Teluk pun juga ada orang Arab yang memeluk Syiah (berkaca teman saya yang orang Arab dari Kuwait). Tapi mereka bisa hidup rukun bahkan bisa sampai pernikahan. Jadi sebenarnya konflik Sunni-Syiah itu di apanya yah ustadz?

2. Saya pernah mendapati cara orang Syiah sholat di Quiet Room kampus yang agak beda karena ada urutan rukuk sujud yang seingat saya seperti tidak ada tahiyat awal. bagaimanakah interaksi sholat kita dengan mereka, apakah memang tidak bisa Sunni-Syiah itu berjamaah?

3. Saya sholat di Quiet Room tidak selalu dapat jamaah sementara kalo ke masjid terdekat dari kampus (jalan sekitar 15 menit) jadwal adzan dengan iqomahnya kadang cukup lama (bisa setengah jam dari adzan) sementara jadwal kuliah sering bentrok, terlebih di musim Winter ini jadwal antar sholatnya sangat pendek. Apakah masih diperkenankan setelah 3 bulanan ini saya melakukan jamak sholat dengan target bisa sholat di masjid atau tetap menjaga sholat sesuai waktunya tapi tidak di masjid (di Quiet room bahkan pernah di ruang kelas sebelah dengan alas jaket karena jadwal kuliah yang padat atau terkadang di rumah Bersama keluarga).

Manakah yang lebih Utama? Satu-satunya sholat jamaah di masjid yang bisa lebih konsisten saya lakukan hanya sholat Shubuh karena tidak terkendala jadwal kuliah.

Jazakallohu khoiron katsir atas penjelasan ustadz.


✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

1. Konflik Sunni dan Syiah itu pasang surut. Kadang keras dan kadang tidak. Itu bisa terjadi di mana-mana bukan hanya di Irak dan Iran. Pernikahan individu Sunni dan Syiah, adalah urusan pribadi. Bisa jadi mereka tidak paham itu, karena cinta itu buta. Itu sama sekali tidak menganulir realita bahwa Sunni-Syiah memang ada konflik, namun konflik tidak selalu bermakna perang, tapi juga pada pemikiran, dsb.

2. Salat berjamaah sunni-syiah, ini perlu dirinci dulu:

– Syiah yang sudah taraf kafir seperti syiah Ghulat, syiah nushairiyah, maka tidak boleh jadi makmum mereka. Kalo mereka yang jadi makmum, maka itu urusan mereka, itu tidak menganggu keabsahan shalat jamaah lainnya.

– Jika syiahnya Rafidhah (syiah Ismailiyah, Syiah Imam 12, Syiah Ja’fariyah), rata-rata di Iran dan Iraq, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan tidak sah menjadi makmum mereka, karena mereka sudah kafir (Ini pendapat Imam Malik dll), sebagian mengatakan sah tapi makruh, karena mereka masih muslim tapi ahli bid’ah.

– Jika Syiah Zaidiyah (syiahnya Yaman) maka mereka masih muslim, salat bersama mereka masih sah, sebab mereka masih memuliakan para sahabat nabi tapi mrka lebih memuliakan Ali dibanding lainnya.

3. Jamak selalu diperkenankan selama alasannya ada, tidak dibatasi waktu. Beda dgn qashar yg memang dibatasi oleh waktu, untuk jenis safar tertentu. Jadi selama “kesulitan” selalu dialami, maka jamak itu boleh. Tidak boleh jamak jika tanpa ada kesulitan atau hajat (kebutuhan).

Wallahu A’lam.

Baca juga: Shalat jadi ma’mumnya orang syiah

✍️ Farid Nu’man Hasan

Jihad Islam; Antara Ofensif atau Difensif?

Jihad Islam dapat dimaknai secara fleksibel sesuai konteks, baik ofensif maupun defensif. Tujuannya adalah dakwah Islam dan nilai kebaikan


Ini termasuk diskusi panjang para ulama sejak dulu

Sebagian mengatakan – seperti Imam asy Syafi’i- jihad Islam itu ofensif, menyerang, dengan arti jihad melawan orang kafir itu karena kekafiran mereka.

Ayat ‘toleransi’ seperti Lakum Diinukum waliyadin telah mansukh (dihapus) oleh beberapa ayat yg mereka istilahkan ayatus saif (ayat-ayat pedang).

Imam Al Qurthubi menjelaskan tentang surat Al Kafirun:

وكان هذا قبل الأمر بالقتال ، فنسخ بآية السيف . وقيل : السورة كلها منسوخة . وقيل : ما نسخ منها شيء لأنها خبر . ومعنى لكم دينكم أي جزاء دينكم ، ولي جزاء ديني

– Ayat ini turun sebelum adanya perintah perang, lalu dihapus oleh ayat-ayat pedang (ayat-ayat ttg jihad)

– Dikatakan bahwa seluruh surat ini telah dihapus (hukumnya)

– Dikatakan bahwa sedikit pun tidak ada yang dihapus pada surat ini, karena isinya tentang berita (khabar), yg maknanya buat kalian balasan agama kalian, buatku balasan agamaku.

(Tafsir Al Qurthubi, jilid. 20, hal. 229)

Ayat-ayat pedang yang dimaksud adalah firman Allah ﷻ yang berbunyi:

Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. (QS. At Taubah: 5)

Ayat lainnya:

Dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan… (QS. Al Baqarah: 191)

Ayat lainnya:

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama itu hanya bagi Allah semata. (QS. Al Anfal: 39)

Dan beberapa ayat lainnya.

Di zaman modern, pendapat ini diikuti oleh Syaikh Sayyid Quthb, Syaikh Abul A’la Al Maududi, Syaikh Bin Baaz, dll, semoga Allah ﷻ merahmati mereka.

Di masa klasik, mazhab Syafi’i menekankan agar penguasa muslim senantiasa melakukan futuhat (jihad Islam) setahun sekali ke berbagai negeri yang belum dibebaskan oleh penguasa Islam. Tujuannya untuk melindungi eksistensi umat Islam dan negerinya. Mirip istilah sekarang, ‘Pertahanan terbaik adalah menyerang.’

Di masa selanjutnya, dalam mazhab Syafi’i makna futuhat (pembebasan) diartikan dengan perspektif luas bukan semata serangan militer, tapi juga memgirim duta dakwah dan pemikiran.

Imam Al Khathib Asy Syarbini Asy Syafi’i menjelaskan:

َوُجُوبُ الْجِهَادِ وُجُوبُ الْوَسَائِلِ لَا الْمَقَاصِدِ ، إذَا الْمَقْصُودُ بِالْقِتَالِ إنَّمَا هُوَ الْهِدَايَةُ وَمَا سِوَاهَا مِنْ الشَّهَادَةِ ، وَأَمَّا قَتْلُ الْكُفَّارِ فَلَيْسَ بِمَقْصُودٍ حَتَّى لَوْ أَمْكَنَ الْهِدَايَةِ بِإِقَامَةِ الدَّلِيلِ بِغَيْرِ جِهَادٍ كَانَ أَوْلَى مِنْ الْجِهَادِ

Kewajiban jihad (Islam) adalah kewajiban yang bernilai sebagai ‘sarana’ bukan ‘maksud’ (al maqaashid). Jika maksud dari peperangan adalah mengantarkan hidayah dan kalimat syahadah, maka memerangi orang kafir bukanlah tujuannya. Sehingga, jika memungkin hidayah dapat disampaikan dengan menegakkan dalil tanpa jihad, maka itu lebih utama dibanding jihad. (Imam Asy Syarbini,Mughni Muhtaj, 17/226. Mawqi’ Al Islam)

Ada pun mazhab jumhur (mayoritas) – seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal- mengatakan jihad dalam Islam adalah difensif (bertahan); yaitu diawali permusuhan dan serangan orang kafir kepada umat Islam dan negerinya, bukan semata-mata mereka kafir.

Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Katsir, Syaikh Hasan al Banna, Syaikh Muhammad Al Ghazali, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi -semoga Allah ﷻ merahmati mereka.

Pendapat ini didasari oleh ayat-ayat yang menunjukkan bahwa perang melawan orang kafir itu setelah umat Islam diperangi dulu. Ketetapan ini tidak pernah dimansukh (dihapus) oleh ayat apa pun. Misalnya, firman Allah ﷻ:

Tidak ada paksaan dalam beragama .. (QS. Al Baqarah: 256)

Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Muntahanah: 8)

Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu. (QS. Al Haj: 39)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Baqarah: 190)

Dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka telah memerangi kamu semuanya.. (QS. At Taubah: 36)

Ayat-ayat ini secara jelas dan tegas menunjukkan peperangan dalam Islam adalah “jika diserang dulu”, bukan semata-mata kekafiran mereka.

Baca Juga: Jihad Islam; Memerangi Musuh Karena Kekafiran Musuh Semata Atau Karena Mereka Menyerang Terlebih Dulu kepada Islam?

Beberapa penjelasan ulama:

Imam Ibnu Taimiyah:

…لأن القتال هو لمن يقاتلنا إذا أردنا إظهار دين الله كما قال الله تعالى : { وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين }

“…. Karena sesungguhnya peperangan adalah bagi siapa saja yang memerangi kita,  jika kita menghendaki kemenangan bagi agama Allah ﷻ, sebagaimana firman Allah ﷻ : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Baqarah (2): 190)

(Imam Ibnu Taimiyah, As Siyaasah Asy Syar’iyyah, Hal. 159. Darul Ma’rifah)

Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah:

ومن تأمل سيرة النبي صلى الله عليه و سلم تبين له انه لم يكره أحدا على دينه قط وانه انما قاتل من قاتله وأما من هادنه فلم يقاتله ما دام مقيما على هدنته لم ينقض عهده بل أمره الله تعالى أن يفي لهم بعهدهم ما استقاموا له كما قال تعالى فما استقاموا لكم فاستقيموا لهم ولما قدم المدينة صالح اليهود وأقرهم على دينهم فلما حاربوه ونقضوا عهده وبدؤوه بالقتال قاتلهم فمن على بعضهم وأجلى بعضهم وقتل بعضهم وكذلك لما هادن قريشا عشر سنين لم يبدءهم بقتال حتى بدءوا هم بقتاله ونقضوا عهده فعند ذلك عزاهم في ديارهم وكانوا هم يغزونه

Bagi siapa yang memperhatikan sirah Nabi ﷺ, akan jelas baginya bahwa Beliau tidak pernah sekali pun memaksakan seseorang untuk masuk keagamanya (Islam). Sesungguhnya Beliau hanyalah memerangi  orang yang memeranginya, ada pun yang mau berdamai dengannya Beliau tidak akan memeranginya, selama perjanjian itu berlaku dan dia tidak melanggarnya. Bahkan Allah ﷻ memerintahkan Beliau untuk menepati janji dengan mereka, sejauh mereka konsisten berlaku lurus dengan janji itu, sebagaimana firman Allah ﷻ: maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. (QS. At Taubah (9): 7)

Ketika Beliau datang ke Madinah, Beliau berdamai dengan Yahudi dan mengakui agama mereka. Namun ketika mereka memeranginya dan melanggar janjinya serta memulai menyerangnya dengan peperangan, maka Beliau pun memerangi mereka, sebagian mereka diusir, sebagian lagi diperangi. Demikian juga ketika Beliau berdamai dengan Quraisy selama sepuluh tahun, Beliau tidak pernah memulai penyerangan terhadap mereka sampai mereka dahulu yang memeranginya dan melanggar janjinya. Nah, saat itulah Beliau memerangi mereka di negeri mereka padahal dahulu mereka dulu yang memerangi Beliau.  (Lihat Imam Ibnul Qayyim, Hidaayah Al Hiyari fi Ajwibah Al Yahuud wan Nashaara, Hal. 12. Al Jami’ah Al Islamiyah, Madinah Al Munawarah)

Imam Abu Fida’ Ibnu Katsir:

قال أبو جعفر الرازي، عن الربيع بن أنس، عن أبي العالية في قوله تعالى: { وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ } قال: هذه أول آية نزلت في القتال بالمدينة، فلما نزلت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقاتل من قاتله، ويكف عَمَّن كف عنه حتى نزلت سورة براءة وكذا قال عبد الرحمن بن زيد بن أسلم حتى قال: هذه منسوخة بقوله: { فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ } [التوبة: 5] وفي هذا نظر؛ لأن قوله: { الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ } إنما هو تَهْييج وإغراء بالأعداء الذين همّتْهم قتال الإسلام وأهله، أي: كمايقاتلونكم فقاتلوهم أنتم

Berkata Abu Ja’far Ar Razi, dari Ar Rabi’ bin Anas, dari Abul ‘Aliyah, tentang firmanNya: (Berperanglah  di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi kalian), dia berkata: ini adalah ayat pertama tentang perang yang diturunkan di Madinah, maka ketika ayat ini turun Rasulullah ﷺ memerangi orang yang memeranginya. Dia menahan diri terhadap orang yang tidak mengganggunya, sampai turunnya surat Bara’ah. Demikian juga yang dikatakan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, katanya: ayat ini mansukh (dihapus) dengan ayat: (maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menemukan mereka) (QS. At Taubah (9): 5), namun pendapat ini (yang mengatakan mansukh,pen) perlu didiskusikan lagi. Karena firmanNya : (Orang-orang yang memerangi kalian), itu adalah sebagai penggerak dan pembangkit untuk melawan musuh yang telah menyusahkan mereka dengan memerangi Islam dan pemeluknya, yaitu sebagaimana mereka memerangi kalian, maka kalian perangilah mereka.

(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/523. Cet. 2, 1999M-1420H. Dar Ath Thayyibah)

Di zaman sekarang, melihat kondisi dan realita umat Islam dan para pemimpinnya yang lemah dan terpecah belah, maka pendapat yang mengatakan (jihad Islam) ofensif sangat sulit dijalankan. Jangankan menyerang, bertahan pun masih sangat sulit.

Namun demikian kita harus selalu optimis semoga Allah ﷻ menangkan Islam dan kaum muslimin; kalau pun tidak dengan ekspedisi militer, masih bisa dengan dakwah dan pemikiran.

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Shalat Sunnah Saat Khutbah

▫▪▫▪▫▪▫▪

 PERTANYAAN:

Jika ada yang mengatakan pendapat menjawab adzan hukum Sunnah sedangkan mendengarkan khutbah Jum’at adalah wajib, jika menunggu adzan selesai kita baru sholat Sunnah dan Khotib naik. Maka lebih baik langsung sholat Sunnah karena lebih baik mendahulukan yang wajib dari pada yang Sunnah

Apakah tepat pendapat ini Ustadz Farid ?


 JAWABAN

Orang yang shalat sunah pun masih bisa dengar khutbah, dan tidak terlarang shalat sunnah saat khutbah berlangsung. Justru Rasulullah ﷺ yang mengizinkan..

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا قَالَ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ

Datang seorang laki-laki dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah di hadapan manusia pada hari Jumat. Beliau bersabda: “Wahai fulan, apakah engkau sudah shalat?” orang itu menjawab: “Tidak (belum).” Beliau bersabda: “Bangunlah dan shalatlah dua rakaat.”

(HR. Bukhari No. 930, dan Muslim No. 875)

Wajib mendengar khutbah bukan berarti wajib diam 100% .. masih boleh shalat sunnah saat khutbah berlangsung, shalawat, dan menjawab salam .. dalil-dalilnya banyak, yang terlarang adalah mengucapkan hal yang melalaikan.

Imam Al Bujairimiy Rahimahullah mengatakan:

ووجب رد السلام، وسن تشميت العاطس ورفع الصوت بالصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – عند قراءة الخطيب {إن الله وملائكته يصلون على النبي} [الأحزاب: ٥٦]

Wajib menjawab salam, sunah mendoakan orang bersin, dan meninggikan suara bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam disaat khatib membaca: Innallaha wa malaaikatahu yushalluuna ‘alan nabiy

(Hasyiyah Al Bujairimiy ‘alal Khathib, 2/202)

Syaikh Abdurrahman Ba’alawiy Rahimahullah mengatakan:

ينبغى لسامع الصلاة علي النبي أو الترضي عن الصحابة حال الخطبة أن يصلي على النبي و يترضى عنهم فهو افضل من الانصات

Seyogyanya seorang yang mendengar khutbah dia shalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam dan taradhi (mengucapkan Radhiallahu ‘Anhum), kepada para sahabat. Itu lebih utama dibanding diam.

(Bughyah Al Mustarsyidin, Hal. 137)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

وفرض على كل من حضر الجمعة – سمع الخطبة أو لم يسمع – أن لا يتكلم مدة خطبة الإمام بشيء ألبتة، إلا التسليم إن دخل حينئذ، ورد السلام على من سلم ممن دخل حينئذ، وحمد الله تعالى إن عطس، وتشميت العاطس إن حمد الله، والرد على المشمت، والصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا أمر الخطيب بالصلاة عليه، والتأمين على دعائه

Wajib bagi yang menghadiri shalat Jumat baik bagi yang mendengar khutbah atau tidak kedengaran, untuk tidak berbicara sepanjang khutbah berlangsung, kecuali mengucapkan salam bagi yang baru masuk, menjawab salam orang tersebut, mengucapkan hamdalah bagi yang bersin, tasymit (yarhamukallah) untuk orang yang bersin tersebut, bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam ketika khatib memerintahkan itu, dan mengaminkan doa khatib.

(Al Muhalla, 3/269)

Baca juga: Khutbah Jum’at Memegang Tongkat

Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

scroll to top