Rindu Mati Syahid Tapi Wafatnya di Pembaringan

▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

“Seorang ikhwan berniat untuk berjihad, tetapi ia sebelum melaksanakan jihadnya, ia sudah meninggal dunia karena sakit atau kecelakaan. Apakah pahala jihadnya didapatkan?,” (+62 877-8474-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Ya, Jika dia berharap untuk syahid dan jujur dengan niat dan doanya itu, Insya Allah dia syahid ..

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

“Barangsiapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada’ meski ia meninggal dunia di atas tempat tidur.” (HR. Muslim no. 1909)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

أَنَّهُ إِذَا سَأَلَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ أُعْطِيَ مِنْ ثَوَابِ الشُّهَدَاءِوَإِنْ كَانَ عَلَى فِرَاشِهِ وَفِيهِ استحباب سؤال الشهادة واستحباب نية الخير

Bahwasanya jika meminta mati syahid dengan jujur maka dia akan diberikan pahala mati syahid walau dia wafatnya di pembaringannya.

Dalam hadits ini juga menunjukkan disukainya (disunnahkan) berdoa minta mati syahid dan disunahkan berniat untuk kebaikan. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13/55)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Menikah Tanpa Mahar

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Apakah begitu pentingnya mahar untuk menikahi wanita dan harus berwujud suatu yang bernilai, misalnya emas. Jika tidak dinyatakan adanya mahar apakah pernikahan itu sah?
Karena pernah dengat kalau alat sholat itu belum bisa disebut mahar. Apakah benar demikian! (Rika)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Bismillahirrahmanirrahim ..

Dalam proses akad nikah, mahar itu WAJIB ..

Allah Ta’ala berfirman:

وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. (Qs. An-Nisa’: 4)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah berkata:

هذه الآية تدل على وجوب الصداق للمرأة وهو مجمع عليه ولا خلاف فيه

Ayat ini menunjukkan wajibnya memberikan mahar untuk wanita dan ini telah ijma’ (konsensus) para ulama, dan tidak ada perbedaan pendapat tentang ini.

( Tafsir Al Qurthubi, 5/24)

Hanya saja, walau ini wajib, tapi menurut mayoritas ulama BUKANlah termasuk syarat sahnya nikah dan bukan pula rukun nikah. Dengan kata lain tetap sah pernikahannya tanpa mahar, namun dia (laki-laki) meninggalkan kewajiban dan berdosa karenanya.

Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

والمهر ليس شرطاً في عقد الزواج ولا ركنا عند جمهور الفقهاء، وإنما هو أثر من آثاره المترتبة عليه، فإذا تم العقد بدون ذكر مهر صح باتفاق الجمهور

Mahar itu bukan bukanlah syarat dan rukun dalam pernikahan menurut mayoritas ahli fiqih. Itu hanyalah konsekuensi dari akad itu sendiri. Jika akad nikah sudah sempurna tanpa menyebut mahar, maka itu SAH menurut mayoritas ulama.

( Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/64)

Namun demikian, tidak sepantasnya kewajiban ini ditinggalkan.

Ada pun nilai mahar, apa pun yang memiliki harga tetap sah. Baik sedikit atau banyak.

Nabi ﷺ bersabda:

خير الصداق أيسره

Mahar terbaik adalah yang paling mudah. (HR. Al Hakim, Al Baihaqi. Shahih. Lihat Shahihul Jami’ no. 3279)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

ولم يحدد الشرع المهر بمقدار معين لا يزاد عليه . ومع ذلك فقد رَغَّب الشرع في تخفيف المهر وتيسيره

Tidak ada batasan syariat tentang ukuran mahar secara spesifik. Bersamaan dengan itu, syariat menganjurkan untuk yang ringan dan mudah dalam mahar.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 10525)

Maka, seperangkat alat shalat, buku, atau cincin emas, semua ini boleh jadi mahar, sesuaikan dengan kemampuan dan tradisi layak di sebuah daerah. Tidak ada dalil yang melarangnya.

Hanya saja para ulama berselisih tentang mahar dengan hapalan Al Qur’an semata, kebanyakan menyatakan tidak boleh, kecuali dibarengi oleh mahar yang lain.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Membaca Al-Qur’an dalam Hati (Tanpa Suara)

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum. Ustadz, mau bertanya tentang membaca Al qur’an didalam hati (ketika di kereta atau diruang kantor, yg jika dikeraskan khawatir mengganggu orang lain). Apakah kita akan mendapatkan pahalanya seperti ketika dibaca dengan suara keras? Terima kasih (+62 813-3330-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Membaca Al Qur’an dihati, belum dikatakan “tilawah”. Kecuali membaca satu ayat di sebuah buku pelajaran, majalah, dalam rangka merenungkannya .. tidak apa-apa.

Imam Al Kasani Rahimahullah berkata:

القراءة لا تكون إلا بتحريك اللسان بالحروف ، ألا ترى أن المصلي القادر على القراءة إذا لم يحرك لسانه بالحروف لا تجوز صلاته

Membaca Al Qur’an tidaklah terwujud kecuali dengan menggerakkan lisan terhadap hurufnya, apakah Anda tidak melihat orang yang shalat jika tidak menggerakkan lisannya terhadap huruf-huruf maka shalatnya tidak diperbolehkan? (Bada’iy Shana’iy, 4/118)

Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang shalat namun bacaannya tidak terdengar oleh orang lain dan dirinya. Beliau menjawab:

ليست هذه قراءة ، وإنما القراءة ما حرك له اللسان

Ini bukanlah membaca Al Qur’an, membaca itu hanyalah bagi yg menggerakkan lisannya. (Imam Ibnu Rusyd, Al Bayan wat Tahshil, 1/490)

Jadi, saran saya gerakkan bibir, bacalah sesuai tajwid, minimal di dengar untuk diri sendiri.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Wanita Sholat Dengan Tangan dan Wajah Terbuka (Tanpa Cadar)

◽◼◽◼◽◼◽

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustadz… Afwan ana mau nanya.., Setiap ana ngaji,ana sering melihat akhwat yg make nicob ataupun tidak make niqob,pd saat sholat mereka menampakan telapak tangan pd saat sujud dan duduk..mereka tdk memakai mukena krn beralasan jilbabnya sdh panjang.tp pd saat sholat telapak tangannya jelas sekali nampak.. Apakah sholat nya syah..? (+62 857-8892-xxxx)

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Terbuka telapak tangan dan punggungnya tangan, saat shalat boleh, sah, tetapi menutupnya Afdhal (lebih utama) menurut sebagian ulama.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah berkata:

أما اليدان فإن شاءت كشفتهما على الصحيح وإن شاءت سترهما وهو أفضل، خروجاً من خلاف من قال بوجوب سترهما، أما القدمان فيستران

Ada pun kedua (telapak) tangan, jika dia mau membukanya maka itu sah, jika dia mau menutupnya maka itu lebih utama, dalam rangka keluar dr perselisihan pendapat thdp yg mengatakan wajibnya menutup kedua tangan. Ada pun telapak kaki mesti ditutup.[1]

Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata:

الستر أفضل ، ولا حرج في كشفهما

Menutupnya Afdhal, dan tidak apa-apa membukanya. [2]

Tetapi yg mengatakan hendaknya telapak tangan terbuka adalah pendapat mayoritas ulama. Berkata Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah:

وأما الكفان: فجمهور أهل العلم على أن لها كشفهما في الصلاة وذهب الحنابلة إلى أنهما عورة فيجب سترهما في الصلاة وخارجها وعن أحمد رواية ثانية: أنهما ليسا من العورة: اختارها المجد وشيخ الإسلام، وصوبها المرداوي في الإنصاف

Ada pun dua telapak tangan, menurut mayoritas ulama keduanya hendaknya terbuka saat shalat. Sedangkan menurut Hanabilah, keduanya aurat dan wajib ditutup baik di dalam shalat dan diluar shalat. Sementara dalam riwayat yg kedua dari Imam Ahmad, bahwa kedua telapak yg tangan bukan aurat dan inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah), dan Al Mardawiy dalam Al Inshaaf.[3]

Ada pun membuka wajah, juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Aku diperintahkan sujud di atas tujuh tulang: di atas jidat, dan beliau mengisyaratkan dengan tangan kanan beliau ke hidung, dua tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua telapak kaki.” [4]

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:

وَنَقَلَ اِبْن الْمُنْذِرِ إِجْمَاع الصَّحَابَة عَلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِئ السُّجُود عَلَى الْأَنْف وَحْده ، وَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى أَنَّهُ يُجْزِئُ عَلَى الْجَبْهَة وَحْدهَا ، وَعَنْ الْأَوْزَاعِيِّ وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَابْن حَبِيب مِنْ الْمَالِكِيَّة وَغَيْرهمْ يَجِب أَنْ يَجْمَعهُمَا وَهُوَ قَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ أَيْضًا

“Dikutip dari Ibnul Mundzir adanya ijma’ (kesepakatan) sahabat nabi bahwa menempelkan hidung saja tidaklah cukup ketika sujud. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa menempelkan jidat saja sudah cukup. Sedangkan dari Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, Ibnu Habib dari kalangan  Malikiyah dan selain mereka mewajibkan menggabungkan antara jidat dan hidung. Ini juga pendapat Asy Syafi’i.” [5]

Memang ada ulama (umumnya ulama Saudi) zaman ini yang tetap mewajibkan wanita menutup wajahnya ketika shalat jika ada kaum laki-laki bukan mahram, sebab khawatir mengundang fitnah. Namun, pendapat tersebut menyelisihi nash (teks) hadits di atas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وَأَمَّا سَتْرُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجِبُ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ بَلْ يَجُوزُ لَهَا إبْدَاؤُهُمَا فِي الصَّلَاةِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ كَأَبِي
حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِمَا وَهُوَ إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَد

“Ada pun menutup wajah dalam shalat tidaklah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin, bahkan boleh bagi wanita menampakkan wajah dan kedua telapak tangan dalam shalat menurut jumhur ulama, seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan lainnya, serta satu riwayat dari Ahmad.” [6]

Imam Al Bahuti Rahimahullah berkata:

لَا خِلَافَ فِي الْمَذْهَبِ أَنّ

َهُ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ كَشْفُ وَجْهِهَا فِي الصَّلَاةِ ذَكَرَهُ فِي الْمُغْنِي وَغَيْرِهِ

“Tidak ada perbedaan pendapat dalam madzhab (Hambali), bahwa boleh bagi wanita merdeka membuka wajahnya dalam shalat, sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni dan lainnya.” [7]

Sementara Imam An Nawawi mengatakan, jika membuka wajah itu wajib, maka itu musykil, maka untuk kehati-hatian lebih baik memang wajah dan telapak tangan dibuka, paling tidak salah satunya.  [8]

Sementara ulama lain mengatakan makruh bagi wanita menutup wajahnya ketika shalat, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid dan Ibnu Qudamah dalam Asy Syarh Al Kabir.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] https://www.binbaz.org.sa/noor/5696

[2] Fatawa Nuur ‘alad Darb, 7/249

[3] Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 4523

[4] HR. Bukhari no. 812

[5] Fathul Bari, 3/204

[6] Majmu’ Al Fatawa, 22/114

[7] Kasysyaaf Al Qinaa’, 2/247

[8] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdab, 2/52

 

scroll to top