Adab-Adab ziarah kubur

1. Ucapkan salam saat memasuki area pemakaman

Ada beragam lafaz, salah satunya:

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ فَكَانَ قَائِلُهُمْ يَقُولُ فِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ وَفِي رِوَايَةِ زُهَيْرٍ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ

Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, katanya: Dahulu Rasulullah ﷺ mengajarkan mereka jika keluar menuju pekuburan, yang mereka ucapkan –dia katakan dalam riwayat Abu Bakar- : “Salam sejahtera atas penduduk negeri “–dalam riwayat Zuhair- “Salam sejahtera atas kalian penduduk negeri kaum mu’minin dan muslimin, dan kami Insya Allah akan benar-benar menjumpai, aku minta kepada Allah keselamatan untuk kami dan kalian.”

(HR. Muslim No. 975)

2. Melepaskan sendal

Nabi ﷺ bersabda:

يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا

Wahai pemakai sendal! Celaka kamu, lepaskan sendalmu! Maka laki-laki itu memandang dan tahu bahwa itu adalah Rasulullah ﷺ  maka dia melepas kedua sendalnya dan melemparnya. (HR. Abu Daud No. 3230, Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad No. 775. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Ada keragaman komentar para ulama kita terhadap hadits ini:

✅ Bahwa berjalan di antara kubur dengan sendal adalah makruh. (‘Aunul Ma’bud, 9/36)

Bahwa berjalan di antara kubur dengan sendal adalah boleh, kecuali sendal sibtiyah. Ini pendapat Imam Ibnu Hazm. Namun pendapat ini dikoreksi, para ulama seperti Imam Ibnu Hajar, yang menurutnya itu merupakan jumud yang parah dari Ibnu Hazm, bagi Imam Ibnu Hajar  larangan tersebut mutlak bagi semua sendal. Ada pun sendal sibtiyah karena memang sendal yang biasa dipakai saat itu. (Fathul Bari, 3/206)

✅ Larangan ini terkait karena kesombongan (khuyala) si pemakainya. Sebagaimana kata Imam Al Khathabi. (‘Aunul Ma’bud, 9/37) Ini juga dikritik oleh Imam Ibnu Hajar, bahwasanya para sahabat terbiasa memakai sendal sibtiyah, bagaimana mungkin itu disebut pakaian khuyala (sombong).  (Fathul Bari, 3/206)

 Perintah melepaskan sendal karena untuk menghormati kuburan dan menghindari kesombongan. Ini dikatakan Imam Al ‘Aini (‘Aunul Ma’bud, Ibid)

✅   Sementara Imam Ath Thahawi mengatakan tidak makruh, sebab larangan Nabi ﷺ kepada laki-laki itu disebabkan adanya kotoran pada sendal laki-laki tersebut. Dalil lain ketidakmakruhannya  adalah hadits shahih   bahwa  mayit mendengarkan suara sendal pengantarnya. Juga hadits shahih bahwa Nabi ﷺ shalat menggunakan sendal di masjid, maka itu menunjukkan jika dimasjid dibolehkan maka di kubur lebih utama untuk dibolehkan.   (‘Aunul Ma’bud, Ibid, Fathul Bari, 3/206  dan 10/309)

Imam Ibnu Hajar mengoreksi Imam Ath Thahawi, bahwa larangan ini untuk menghormati mayit, sebagaimana hadits larangan duduk di kuburan, penyebutan sendal sibtiyah bukan menunjukkan pengkhususan.  Larangan ini sudah disepakati. (Ibid)

Namun jika  melepaskan sendal justru memudharatkan seperti tertusuk duri, panas, terkena najis, atau sulit dan repot membukanya seperti khuf, maka ini tidak apa-apa tetap memakainya. Karena, Adh Dharar Yuzaal – Bahaya mesti dihilangkan. Al Masyaqqat Tajlibut Taysir, kesulitan membawa kemudahan.

3. Menyiram air ke kubur

Menyiramkan air ke kubur adalah sunah menurut mayoritas ulama.

Berikut ini hadits-haditsnya:

 Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

رُشَّ عَلَى قَبْرِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- الْمَاءُ رَشًّا. قَالَ : وَكَانَ الَّذِى رَشَّ الْمَاءَ عَلَى قَبْرِهِ بِلاَلُ بْنُ رَبَاحٍ بِقِرْبَةٍ بَدَأَ مِنْ قِبَلِ رَأْسَهِ مِنْ شِقِّهِ الأَيْمَنِ حَتَّى انْتَهَى إِلَى رِجْلَيْهِ

Kubur Nabi ﷺ disirami air. Jabir

berkata: Yang menyiramkannya adalah Bilal bin Rabah dengan sebuah qirbah (wadah air dari kulit), dimulai dari bagian kepala sisi bagian kanan sampai ujung kakinya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6990)

 Dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya:

أن النبيّ صلى اللَّه عليه وسلم رَشَّ عَلَى قَبْرِ ابنه إبراهيمَ وَوَضَع عليه حَصْبَاءَ

Bahwa Nabi ﷺ menyiramkan air ke kubur puteranya, Ibrahim, dan meletakkan kerikil di atasnya. (HR. Musnad Asy Syafi’i No. 599, dengan susunan Syaikh As Sindiy)

Dijelaskan dalam kitab Musnad Asy Syafi’iy :

ومعلوم أن إبراهيم مات طفلاً لا وزر عليه وإنما يفعل ذلك الرسول تعليما لنا : أما الحكمة في رش الماء ووضع الحصى فلا نعرفها فما علينا إلا القبول والإمتثال لأن في الشرع أموراً تعبدية لا ندرك أسرارها

Telah diketahui bahwa Ibrahim wafat saat masih kecil dan tidak ada dosa padanya. Perbuatan Rasulullah ﷺ itu merupakan pendidikan buat kita, ada pun apa hikmahnya dalam menyirami air dan meletakkan kerikil itu kita tidak mengetahuinya, yang wajib bagi kita adalah menerimanya dan menjalankannya, karena pada syariat ada perkara peribadatan yang akal kita tidak mencapai apa rahasia-rahasianya. (Musnad Asy Syafi’i, Ibid)

 Dari ‘Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya:

أن النبي قام على قبر عثمان بن مظعون بعدما دفنه وأمر برش الماء

Bahwa Nabi ﷺ berdiri di sisi kubur Utsman bin mash’un setelah dikuburnya dan memerintahkan untuk disiramkan air. (HR. Al Bazzar No. 3822)

Lalu Bagaimana status hadits-hadits di atas ?

Syaikh Muhammad Abdul Malik Az Zaghabi mengatakan bahwa semua sanad hadits tema di atas adalah dhaif, tetapi satu sama lain saling menguatkan sehingga sampai derajat maqbul (bisa diterima), dan menjadi dalil disyariatkannya amal tersebut. (Tsamanun Su’aalan ‘An ‘Adzaabil Qabri wa Na’iimihi, Maktabatul Iman, Manshurah, Mesir)

Menurut mayoritas ulama perbuatan ini adalah SUNNAH, berikut ini keterangannya:

صرح الحنفية والشافعية والحنابلة ؛ بأنه يسن أن يرش على القبر بعد الدفن ماء؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم فعل ذلك بقبر سعد بن معاذ , وأمر به في قبر عثمان بن مظعون. وزاد الشافعية والحنابلة: أن يوضع عليه حصى صغار؛ لما روى جعفر بن محمد عن أبيه ( أن النبي صلى الله عليه وسلم رش على قبر ابنه إبراهيم ووضع عليه حصباء ) , ولأن ذلك أثبت له

Kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah menerangkan bahwa disunahkan menyiramkan air setelah mayit dikubur, sebab Nabi ﷺ melakukan itu pada kuburnya Sa’ad bin Mu’adz, dan memerintahkannya pada kubur Utsman bin Mazh’un. Juga diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ menyiramkan air pada kubur puteranya, Ibrahim, dan juga menaburkan kerikil, karena itu bisa memperkuatnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 32/250)\

4. Mendoakannya

Bisa membaca dengan doa Nabi ﷺ kepada jenazahnya Abu Salamah Radhiallahu ‘Anhu, atau shalat jenazah, atau doa lainnya.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ

“ALLAHUMMAGHFIR LIABI SALAMAH WARFA’ DARAJATAHU FIL MAHDIYYIIN WAKHLUFHU FI ‘AQIBIHI FIL GHAABIRIIN, WAGHFIR LANAA WALAHU YAA RABBAL ‘ALAMIIN, WAFSAH LAHU FII QABRIHI WA NAWWIR LAHU FIIHI (Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikan derajatnya di kalangan orang-orang yang terpimpin dengan petunjuk-Mu dan gantilah ia bagi keluarganya yang ditinggalkannya. Ampunilah kami dan ampunilah dia. Wahai Rabb semesta alam. Lapangkanlah kuburnya dan terangilah dia di dalam kuburnya).”

(HR. Muslim no. 920)

Nama Abu Salamah, diganti dengan nama yang kita ziarahi kuburnya.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, dalam kitab tafsirnya:

فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما.

“Adapun doa dan bersedekah, maka keduanya telah disepakati (ijma’) akan sampai kepadanya (mayit), dan keduanya memiliki dasar dalam nash syariat.”

(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet. 2, 1999M-1420H)

5. Mengingat kematian dan akhirat

Inilah intisari dari berziarah kubur.

Nabi ﷺ bersabda:

فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْمَوْتَ

.. Maka berziarahlah ke kubur karena itu bisa mengingatkan kalian pada kematian. (HR. An Nasa’i no. 2034, Shahih)

Demikian ini Adab-Adab Ziarah Kubur, yang disepakati umumnya ulama.

Ada pun yang diperselisihkan adalah:

1. Membaca Al Qur’an (Yasin)

Imam Asy Syafi’iy mengatakan Sunnah, bahkan jika sampai khatam bagus menurutnya. (Lihat Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 117. Mawqi’ Al Warraq)

Ini juga pendapat Imam Ahmad bin Hambal. Imam Ibnu Qudamah mengatakan, diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal, beliau berkata: “Jika kalian memasuki kuburan maka bacalah ayat kursi tiga kali, qul huwallahu ahad, kemudian katakan: Allahumma inna fadhlahu li Ahlil Maqabir.” (Al Mughni, 5/78)

Ulama lain memakruhkan hal itu, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.

Syaikh Athiyah Shaqr mengatakan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik memakruhkan membaca Al Quran di kubur, alasannya karena tak ada yang sah dari sunah tentang hal itu. (Fatawa Al Azhar, 7/458)

2. Tabur Bunga

Para ulama berbeda pendapat dalam hal itu.

Pertama, membolehkan bahkan menyunnahkan.

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah berkata:

يسن وضع جريدة خضراء للاتباع و سنده صحيح و لأنه يخفف عنه ببركة تسبيحها اذ هو اكمل من تسبيح اليابسة لما تلك من نوع حياة و قيس بها ما اعتيد من طرح الريحان و نحوه

Disunahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau dalam rangka mengikuti sunah, dan sanadnya shahih, dan hal itu bisa meringankan si ahli kubur mellui keberkahan tasbih pelepah kurma tsb. Lebih sempurna lagi tasbih dr yang pelepah masih basah karena itu termasuk jenis tanaman hidup, dan diqiyaskan dengan hal itu adalah menaburkan kembang harum dan semisalnya
(Tuhfatul Muhtaj, 3/198)

Kedua. Pihak yang melarang bahkan membid’ahkannya.

Fatwa di Al Lajnah Ad Daimah:

وضع الأزهار أو الريحان أو ورق الشجر الأخضر أو غيرها على القبر زعمًا أنها تستغفر لصاحب القبر ما لم تيبس كل ذلك محدث وبدعة لا أصل له في الشرع المطهر، والمشروع هو الاستغفار للميت والدعاء له عند قبره أو في أي مكان، فذلك الذي ينفعه، وأما ما يحتج به بعض الناس على مشروعية وضع الجريد أو الورق الأخضر على القبور بحديث ابن عباس رضي الله عنهما، أن
(الجزء رقم : 7، الصفحة رقم: 450)
النبي صلى الله عليه وسلم مر بقبرين فقال: إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير، أما أحدهما فكان لا يستتر من البول، وأما الآخر فكان يمشي بالنميمة ثم أخذ جريدة رطبة فشقها نصفين فغرز في كل قبر واحدة، فسئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال: لعله يخفف عنهما ما لم ييبسا رواه البخاري . فالجواب عن ذلك أن هذه الحادثة واقعة عين لا عموم لها في شخصين، أطلع الله نبيه صلى الله عليه وسلم على تعذيبهما وذلك خاص برسول الله صلى الله عليه وسلم، ولم يكن ذلك منه سنة مطردة في قبور المسلمين.

Meletakkan kembang, bunga, daun-daunan, dengan menyangka bisa memohonkan ampun bagi ahli kubur adalah bid’ah, tidak ada dasarnya.

Yang disyariatkan itu adalah mendoakannya memohonkan ampun di sisi kuburnya atau di mana saja

Dasar pihak yang membolehkan, yaitu kisah Nabi ﷺ melewati dua kubur yang penghuninya sedang diazab, lalu Beliau menanamkan pelepah kurma basah ke dua kubur itu, yang dengan itu bisa meringankan siksa kuburnya. (HR. Bukhari)

 Keistimewaan ini khusus bagi Nabi ﷺ saja, tidak berlaku umum.

 Maka tidak boleh kaum muslimin mengamalkannya karena bukan Sunnah.

(Fatwa no. 20517)

Jadi, perbedaan ini dikarenakan beda paham dalam memahami perbuatan Nabi ﷺ. Pihak yang menyunnahkan menilainya sebagai hujjah yang berlaku umum, pihak yang membid’ahkan menganggap itu adalah khusus bagi Nabi ﷺ saja.

Maka kita lihat kubur-kubur di negeri yang umumnya bermazhab Syafi’iy seperti Asia Tenggara, banyak ditumbuhi dedaunan, dan bunga-bunga. Sementara di Arab Saudi, tidak demikian. Dibiarkan kering, ini tidak semata kondisi tanah atau iklim, tapi juga dipengaruhi pilihan pendapat fiqih ulamanya.

Demikian. Wallahu a’lam

Larangan-Larangan Saat Ziarah Kubur

1. Sering Ziarah Bagi Wanita

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لعن زوارات القبور

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ melaknat zawaaraat (wanita peziarah) kubur.

(HR. At Tirmidzi No. 1056, katanya: hasan shahih)

Disebutkan dalam Tuhfah Al Ahwadzi:

قال القارىء لعل المراد كثيرات الزيارة وقال القرطبي هذا اللعن إنما هو للمكثرات من الزيارة

Berkata Al Qari bahwa bisa jadi maknanya adalah banyak berziarah. Al Qurthubi berkata: laknat ini adalah untuk yang banyak melakukan ziarah. (Syaikh Abul ‘Ala Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwdzi, 4/126)

2. Bersolek, bertabarruj, dan niyahah (meratap)

Imam As Suyuthi mengatakan, bahwa yang dilaknat dalam hadits ini adalah wanita yang berziarah dengan tanpa menjaga adab dan akhlak, katanya:

إن اللعن محمول على زيارتهم بما لا يجوز كالتبرج والجزع والصياح وغير ذلك مما لا ينبغي ، وأما إذا أمن جميع ذلك فلا مانع من الإذن لهن

Sesungguhnya laknat di sini dimaknai bahwa ziarahnya mereka itu dibarengi dengan hal-hal yang tidak diperbolehkan seperti tabarruj (bersolek), mengeluh, berteriak, dan hal-hal tidak pantas lainnya. Ada pun jika aman dari semua hal ini, maka tidak terlarang mengizinkan mereka (untuk ziarah). (Misykah Al Mashabih, 5/1033)

Termasuk mitos, yaitu berpakaian hitam saat ziarah kubur.

3. Berdoa (meminta) kepada penghuni kubur.

Ini syirik Akbar, dan sudah jelas. Minta mudah rezeki, jodoh, atau apa pun seperti yang dilakukan orang-orang awam dan jahil. Mereka bukan meminta kepada Allah Ta’ala tapi kepada penghuni kubur, “Wahai Syaikh, saya punya hutang lunaskan hutang saya.” Ini syirik sangat nyata.

Ada pun jika berkata: ”Ya Allah, dengan kedudukan Syaikh Fulan, mudahkanlah urusanku.” Ini namanya tawasul kepada orang Shalih dan diperselisihkan hukumnya, antara yang melarang dan membolehkan.

4. Mengambil Tanah Kubur Untuk Jimat

Ini juga jelas kemungkaran besar.

Demikian. Wallahu a’lam

 Farid Nu’man Hasan

Memanfaatkan Masjid, Uang Kas, Areanya Untuk Kepentingan Qurban

  Untuk uang kas masjid yang sifatnya muqayyad alias terikat oleh peruntukkan khusus, maka memang tidak boleh buat operasional qurban. Dia mesti diperuntukkan untuk keperluan khususnya tersebut. Jika memang itu hanya utk Masjid dan kemakmurannya, maka hanya untuk itulah pemanfaatannya.

Syaikh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawiy Rahimullah mengatakan:

فما يجمعه الناس و يبذلونه لعمراتها بنحو نذر أو هبة و صدقة مقبوضين بيد الناظر أو وكيله كالساعى فى العمارة بإذن الناظر يملكه المسجد و يتولى الناظر العمارة بالهدم و البناء و شراء الآلة والاستئجار

Apa yang dikumpulkan oleh manusia dan mereka persembahkan untuk kemakmuran masjid baik dengan jalan nazar, hibah, sedekah, yang dikumpulkan di tangan DKM atau wakilnya, seperti usaha untuk kemakmuran masjid, maka itu milik masjid. DKM diberikan mandat utk memanfaatkannya untuk kemakmuran masjid baik berupa renovasi, membangun, membeli alat atau menyewa. (Bughyah Al Mustarsyidin, Hal. 65)

Halaman masjid, pada prinsipnya boleh-boleh saja, sebab itu bagian dari memakmurkan Masjid (‘imarah ma’nawiyah), maslahat umum umat Islam, yang dengan melakukan ibadah dan qurban termasuk makna memakmurkan di dalamnya. Sebab, itu utk maslahat kaum muslimin, qurban termasuk.

Di halaman masjid, markir motor dibolehkan, latihan pedang para sahabat nabi di halaman masjid dan di dalamnya.

Kecuali jika alasannya krn kebersihan tentu lain lagi ceritanya. Sebab, mengucurkan darah akan membawa dampak najis, sebagaimana pendapat mayoritas ulama tentang najisnya darah. Di sisi inilah kenapa qurban mesti terpisah dengan area Masjid.

Ada pun pemanfaatan aset Masjid utk kepentingan jama’ah dan ibadah, apa pun bentuknya maka itu boleh. Sebab itu bagian dari memakmurkan secara maknawi (‘imarah ma’nawiyah).

Syaikh Sayyid Abdurrahman Ba’alawiy berkata:

ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد في المسجد من قهوة و دخون و غيرهما مما يرغب نحو المصلين

Boleh, bahkan dianjurkan, sebagai bentuk penghargaan, dengan melakukan apa-apa yang menjadi kebiasan di masjid baik berupa kopi, dukhun (bukhur/aroma terapi), atau lainnya yang bisa menstimulus orang yang shalat.

(Bughyah Al Mustarsyidin, Hal. 65)

Ada pun qurban di dalam masjid memang tidak boleh, dan belum pernah ada panitia qurban melakukannya, bahkan tidak akan kepikiran sama sekali.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Mabit di Mina, Wajibkah?

 PERTANYAAN:

Mau tanya sehubungan dengan haji. Apakah mabit di Mina di hari tasyrik itu wajib?
Qadarullaah hotel kami jaraknya dekat ke jamarat Dan jauh ke tenda Mina. Jadi rencananya kami akan tinggal di hotel, ke jamaratnya di saat melempar jumrah saja. Pemerintah juga ada program tanazul Mina utk jamaah yg hotelnya dekat jamarat. Mohon penjelasannya Ustadz. (+62 816-963-xxx)


 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Para ulama sepakat bahwa mabit di Mina disyariatkan dalam rangkaian haji. Hanya saja mereka berbeda pendapat; apakah wajib atau tidak.

Mayoritas ulama (jumhur) dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa mabit di Mina adalah wajib dalam ibadah haji. Jika seseorang meninggalkannya tanpa uzur, maka dia wajib membayar dam (denda) berupa menyembelih seekor kambing.

Sdgk Mazhab Hanafi menyatakan bahwa mabit di Mina adalah sunnah muakkadah, dan bukan wajib. Ini juga pendapat Hasan al Bashri, Ibnu Abbas, dan lainnya. Namun tetap dianjurkan untuk tidak ditinggalkan tanpa alasan yang syar’i.

Para ulama zaman ini pun berbeda pendapat. Antara yang tetap mewajibkan seperti:

Mantan Mufti Arab Saudi, Syaikh Bin Baaz:

المبيت في منى فيه خلاف بين أهل العلم، من أهل العلم من قال: إنه واجب، وهو الأرجح والأصح؛ لأن النبي ﷺ بات في منى، وقال: خذوا عني مناسككم ورخص للعباس وللرعاة في ترك المبيت، العباس من أجل السقاية، والرعاة من أجل الرعي في الليل، فلما رخص لهم دون غيرهم دل على وجوبه على غيرهم، وهذا هو الأرجح، وقد ذهب بعض أهل العلم إلى أنه لا يجب يروى عن ابن عباس وفي صحته عن ابن عباس نظر، فالأولى والأرجح والأقرب إلى الصواب هو أنه يجب المبيت على الحجاج في منى

Mabit (bermalam) di Mina merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa mabit itu wajib, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih benar, karena Nabi ﷺ bermalam di Mina dan beliau bersabda: “Ambillah dariku manasik (tata cara berhaji) kalian.” Beliau memberikan keringanan kepada Al-Abbas dan para penggembala untuk tidak mabit: Al-Abbas karena tugas memberi minum jamaah haji, dan para penggembala karena mereka harus menjaga ternak di malam hari. Maka, ketika beliau memberikan keringanan hanya kepada mereka dan bukan kepada yang lain, hal ini menunjukkan bahwa mabit itu wajib bagi selain mereka. Inilah pendapat yang lebih kuat.

Sebagian ulama memang berpendapat bahwa mabit tidak wajib, dan pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, namun kesahihan riwayat tersebut dari Ibnu Abbas masih perlu ditinjau.

Maka yang lebih utama, lebih kuat, dan lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa mabit di Mina itu wajib bagi para jamaah haji. (Fatawa Nuur ‘alad Darb)

Sedangkan yang mengatakan mabit di Mina adalah sunnah -bukan wajib- seperti Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawi Rahimahullah, Beliau berkata dalam fatwanya di web resminya:

فمن لم يكن  له حاجة ولا مصلحة في ترك المبيت بمنى،فيسن له أن يبقى بها تأسّيا بالنبي صلى الله عليه وسلم. وهو تأس مطلوب طلب الاستحباب، وليس طلب الوجوب فيما أرى.
ومن كان يشق عليه المبيت بمنى، أو كانت له حاجة أو مصلحة في عدم المبيت بمنى، فلا حرج عليه في ذلك. إذ لا دليل يدل على الوجوب. وقوله صلى الله عليه وسلم:” خذوا عني مناسككم” لا يدل على أن كل أفعال الحج واجبة، ففيها الأركان والواجبات والمستحبات. والحديث أشبه بحديث ” صلوا كما رأيتموني أصلي” ومع هذا يوجد في الصلاة ما هو فرض، وما هو واجب، وما هو مستحب.

Maka barang siapa yang tidak memiliki kebutuhan atau kepentingan untuk meninggalkan mabit (bermalam) di Mina, maka disunnahkan baginya untuk tetap tinggal di sana, meneladani Nabi ﷺ. Menurut pendapatku, ini adalah bentuk peneladanan yang diperintahkan dalam rangka sunah, bukan kewajiban.

Adapun siapa yang merasa kesulitan untuk mabit di Mina, atau memiliki keperluan tertentu atau kepentingan untuk tidak mabit di sana, maka tidak mengapa baginya (untuk tidak mabit). Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mabit itu wajib. Adapun sabda Nabi ﷺ: ‘Ambillah dariku manasik kalian,’ tidak menunjukkan bahwa semua perbuatan dalam haji itu wajib, karena di dalamnya terdapat rukun, kewajiban, dan sunah.

Hadis ini mirip dengan hadis: ‘Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku salat,’ padahal dalam aktivitas shalat itu ada yang fardhu, yang wajib, dan yang sunnah. (selesai)

Bisa jadi program pemerintah untuk tanazul Mina bagi sebagian jamaah yang hotelnya dekat jamarat mengambil pandangan pihak yang menyunnahkan karena adanya hajat dan maslahat bagi mereka.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Numan Hasan

Belum Aqiqah Apakah Boleh Qurban?

 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz Farid. Ijin bertanya , ini ada orang tua blm bs mengaqiqahi anak² nya. kl ada rezeki, lbh baik aqiqah dulu atau qurban dulu tadz?
Jazakallahu khoiron. (+62 813-9347-xxxx)


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Sebagian ulama mengatakan aqiqah didahulukan dibanding qurban, seperti Qatadah Rahimahullah, melarang berqurban bagi yang belum aqiqah. Beliau berkata:

لَا تُجْزِئُ عَنْهُ حَتَّى يُعَقَّ عَنْهُ

Tidak sah qurban sampai dia aqiqah dulu. (Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf no. 24269)

Hanya saja pendapat ini menyendiri. Umumnya para ulama menilai keduanya sebagai ibadah Sunnah yang berdiri sendiri dgn sebab yang berbeda, dan tidak saling menganulir. Alias, tidak ada larangan sama sekali berqurban dulu walau belum aqiqah.

Jika rezeki lapang maka lakukan saja kedua-duanya diwaktu yang bersamaan, dgn kata lain hewannya masing-masing untuk qurban dan aqiqah, inilah pendapat mayoritas ulama. Tetapi jika dalam keadaan susah dan sempit dananya, silahkan ambil pendapat yg membolehkan qurban dan aqiqah bisa digabungkan niatnya pada satu kambing. Inilah pendapat Hasan al Bashri, Ibnu Sirin, Imam Ahmad, dan lainnya.

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فهذه المسألة اختلف فيها أهل العلم على قولين منهم من أجازها كما هو مذهب أحمد رحمه الله ومن وافقه . ومنهم من منعها لأن المقصود مختلف، فالمقصود بالأضحية الفداء عن النفس ومن العقيقة الفداء عن الطفل وعليه فلا يتداخلان. ولاشك أن الأخذ بهذا القول أولى لمن كانت عنده سعة وقدرة عليه فمن لم تكن له سعة فالأخذ بمذهب أحمد أولى له

Masalah menyatukan niat (qurban dan aqiqah) adalah diperselisihkan ulama, ada yang membolehkan seperti Imam Ahmad dan pihak yang sepakat dengannya.

Di antara mereka ada yang melarangnya, karena keduanya memiliki maksud yang berbeda. Qurban itu merupakan tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah tebusan untuk kelahiran anak, oleh karena itu keduanya tidak saling mencakup.

Maka, tidak ragu lagi inilah (pendapat yang melarang) adalah pendapat yang lebih utama untuk diikuti bagi yang sedang lapang rezekinya. Ada pun bagi yg sempit rezekinya maka pendapat Imam Ahmad lebih utama baginya.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 885)

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Numan Hasan

scroll to top