Apakah Shalat Syuruq Sama dengan Shalat Dhuha?

▫▪▪▪▪▪▪▪▫

Pertanyaan

Assalamu’alaikum Ustadz Afwan izin bertanya smoga Ustadz dlm keadaan sehat…ana mau tny shalat syuruq/isroq, Sholat syuruq itu sebagian blng katany sm dhn sholat dhuha d awal waktu,ada yg bilang jg syruq ya syuruq duha ya duha
Yg mau ana tny kan
# klo mmng syuruq sm dgn Duha untuk niatny sndri berati
Usholi sunatal duha atau isroq?


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Shalat Syuruq Adalah Shalat Dhuha?

Shalat Isyraq (syuruq), apakah shalat sunnah tersendiri ataukah shalat dhuha juga yang diawal waktu, memang diperdebatkan para ulama.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

الإشراق: صلاة الضحى

Isyraq itu shalat dhuha. (Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, 3/79)

Lalu, dalam kitab para ulama:

أَنَّ صَلاَةَ الضُّحَى وَصَلاَةَ الإْشْرَاقِ وَاحِدَةٌ إِذْ كُلُّهُمْ ذَكَرُوا وَقْتَهَا مِنْ بَعْدِ الطُّلُوعِ إِلَى الزَّوَال وَلَمْ يَفْصِلُوا بَيْنَهُمَا . وَقِيل : إِنَّ صَلاَةَ الإِْشْرَاقِ غَيْرُ صَلاَةِ الضُّحَى ، وَعَلَيْهِ فَوَقْتُ صَلاَةِ الإْشْرَاقِ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ ، عِنْدَ زَوَال وَقْتِ الْكَرَاهَةِ

Bahwasanya Shalat Dhuha dan Shalat Isyraq/Syuruq adalah sama, semua mengatakan bahwa waktunya adalah setelah terbitnya matahari sampai tergelincirnya, kedua shalat ini tidak terpisahkan.  Ada juga yang mengatakan: sesungguhnya shalat isyraq bukanlah shalat dhuha,  waktu pelaksanaannya adalah setelah terbitnya matahari  ketika tergelincirnya waktu dibencinya  shalat. (Tuhfatul Muhtaj, 2/131, Al Qalyubi wal ‘Amirah, 1/412, Awjaza Al Masalik Ila Muwaththa Malik, 3/124,Ihya ‘Ulumuddin, 1/203)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri  mengutip dari Ath Thibiy, dia  berkata:

أي ثم صلى بعد أن ترتفع الشمس قدر رمح حتى يخرج وقت الكراهة، وهذه الصلاة تسمى صلاة الإشراق، وهي أول صلاة الضحى. انتهى

Kemudian dia shalat setelah meningginya matahari setinggi tombak,  sampai keluar waktu dimakruhkan shalat, shalat ini dinamakan shalat isyraq, yaitu awal dari shalat Dhuha.

(Tuhfah Al Ahwadzi,  3/158)

Baca juga: Shalat Awwabin; Shalat Dhuha atau Shalat Ba’da Maghrib?

Dalam madzhab resmi Syafi’iyah, ada perbedaan pendapat, keduanya diklaim sebagai mu’tamad (pendapat resmi). Yg satu mengatakan Shalat Isyraq/Syuruq adalah bukan Shalat Dhuha, yang lain mengatakan Shalat Isyraq dan Dhuha sama saja.

Imam Syihabuddin Ar Ramli mengatakan:

الْمُعْتَمَدُ أَنَّ صَلَاةَ الْإِشْرَاقِ غَيْرُ الضحى

Pendapat yang resmi (dalam madzhab Syafi’i) bahwa shalat Isyraq adalah BUKAN shalat Dhuha. (Nihayatul Muhtaj, 2/116-117)

Sementara Syaikh Bakri ad Dimyathi mengatakan:

(قوله: قال ابن عباس: صلاة الإشراق صلاة الضحى) هو المعتمد. وقيل غيرها

Perkataannya: berkata Ibnu Abbas: Shalat Isyraq/Syuruq adalah Shalat Dhuha. Inilah pendapat resmi. Ada juga yang mengatakan selain itu. (I’anatuth Thalibin, 1/293)

Sebenarnya, baik dinilai sama dengan Dhuha atau bukan, tugas kita adalah melaksanakannya. Niat di hati sebagai Dhuha atau Isyraq juga benar.

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Upah Untuk Imam

Pertanyaan

Assalamualaikum ustadz Farid izin bertanya apa hukum seorang imam masjid mendapatkan upah?

Soalnya dikitab attibiyan imam Nawawi gak boleh. Apa masih ada pendapat ulama yang lain membolehkan. Soalnya saya pengurus mushala. Setiap ramadhan memberikan upah untuk imam masjid.


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bolehkah Imam Mendapat Upah?

Jika upahnya dari makmum setelah shalat, ini yang tidak boleh ..

Jika digaji oleh DKM berasal dari uang kas, itu dibolehkan. Sebab kas masjid untuk kemakmuran masjid, dan adanya imam rawatib adalah bagian dari kemakmuran masjid.

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فلا يجوز للشخص أن يأخذ أجرة على إمامته للناس في الصلاة، أو قراءته للقرآن، إلا إذا أعطي من بيت مال المسلمين، أو كان فقيراً محتاجاً وأخذ لذلك، وإن استعف فهو خيرٌ له. هذا ما ذهب إليه الأئمة الأربعة: أبو حنيفة ومالك والشافعي وأحمد.

Tidak boleh bagi seseorang memgambil upah atas keimamannya kepada orang-orang dalam shalat, atau membaca Al Qur’an. Kecuali diambil dari Baitul maal kaum muslimin, atau dia orang yg membutuhkan, atau dia fakir, dia boleh ambil itu, namun jika dia ‘iffah itu lebih baik baginya. Inilah pendapat imam empat madzhab: Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy, dan Ahmad. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 6575)

Syaikh mengatakan:

وأما أخذ الرَّزق من بيت المال على الإمامة فإن هذا لا بأس به ، لأن بيت المال يُصرف في مصالح المسلمين ، ومن مصالح المسلمين إمامتهم في مساجدهم

Ada pun mengambil pencaharian dari Baitul maal kaum muslimin atas imam maka itu tidak apa-apa, karena Baitul Maal memang dimanfaatkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, dan di antara maslahat kaum muslimin adalah adanya imam di masjid-masjid mereka … (As Su’aal ‘alal Haatif, kaset 173)

Kesimpulan:

-TIDAK BOLEH, jika upah itu diberikan oleh para makmum setelah shalatnya

– BOLEH, jika upah itu dari harta baitul maal karena baitul maal memang untuk kepentingan kaum muslimin termasuk para imam di masjid-masjid mereka. Ini pendapat 4 mazhab. Baitul Maal, di masa kini bisa direpresentasikan oleh uang kas masjid yang merupakan dana untuk maslahat masjid (operasional, perawatan, gaji marbot dan imam, dana kegiatan)

Wallahu A’lam

Baca juga: Mengambil Upah Dari Meruqyah, Mengajar Al Quran, dan Semisalnya, Bolehkah?


Pertanyaan

Assalamu’alaikum
Izin menyampaikan pertanyaan dari teman ustadz;
Ada pengurus masjid yg membuat jadwal imam sholat, untuk 1 Minggu bergantian, untuk itu pengurus masjid memberikan semacam “penyemangat” (kalo ga boleh disebut upah) yg tujuannya supaya para imam sholat tsb bisa datang ke masjid, pertanyaan nya bagaimana hukumnya atas uang penyemangat tadi dan salah kah sikap dkm tsb?
Sebagai catatan uang tsb oleh imam sholat ada yg diambil ada jg yg tidak

Mohon maaf terimakasih


Jawaban

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bolehkah Upah Untuk Imam?

Diupah karena semata-mata shalatnya tidaklah boleh. Sebab, itu merusak keikhlasan dan nilai shalatnya. Karena shalat memang sudah kewajiban bagi setiap muslim.

Tapi jika diupah karena keahliannya menjadi imam shalat dan itu membawa maslahat bagi orang banyak, itu tidak apa-apa. Dia boleh mengambilnya, atau menolaknya, bebas saja. Dengan syarat upah tersebut dari dana masjid, karena dana masjid memang untuk kemaslahatan jamaah. Bukan dari patungan para makmum yang shalat bersamanya.

Dahulu kehidupan para imam masjid juga digaji oleh khalifah, bahkan sampai sekarang di beberapa negeri muslim, yang diambil dari baitul maal.

Dalam Ar Raudhul Murbi’, tertulis:

وقد أجرى السلف أرزاقهم من بيت المال من المؤذنين والأئمة، والقضاة، والعمال، وغيرهم

Telah berlangsung di masa salaf bahwa mereka diberikan harta dari baitul maal yaitu untuk para muazin, para imam shalat, hakim, pegawai, dan selain mereka. (Ar Raudh Al Murbi’, 1/434)

Demikian. Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Tinggal Serumah dengan Non Mahram

Apa hukumnya tinggal serumah dengan non mahram? Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah ini!


Pertanyaan

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bagaimana tinggal bareng sama bukan muhrim satu rumah? Contoh, fulanah dan suaminya juga anak2 ada yg perempuan 7thn, 2thn dan laki2 5thn tinggal bareng sama yg bukan muhrim? Sudah terikat kontrak antara suami dan penghuni lainnya sedangkan istri dan anak2 baru akan ikut dengan suami setelah lama menjalani LDM.


Jawaban

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Serumah dengan Non Mahram

Tinggal serumah antara seseorang atau beberapa orang dengan orang lain (atau beberapa orang) yang bukan mahramnya, tentu terlarang. Sebab, berpotensi khalwat dan ikhtilat. Sedangkan Islam agama yang sangat menutup semua pintu fitnah dan bahaya.

Semata-mata berkumpul, sebenarnya hal yang mubah, seperti manusia berkumpul di sekolah, di rumah sakit, dan tentunya mereka bukan mahram. Tapi, jika itu terjadinya di ruang terbatas dan tidak terpisah serta berlangsung lama maka jelas ini sumber fitnah. Maka itu terlarang karena Sad adz Dzara’i.

Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al Asyqar Hafizhahullah berkata dalam Al Waadhih:

سد الذرائع : هو منع الأمر المباح الذى يتواصل به الى المحرم، سواء قصد به فاعله الوصول الى المحرم، أو لم يقصد ذلك، فيمنع لئلا يتوصل به إلى المحرم غيره من الناس

Sadd Adz- Dzara’i adalah larangan terhadap perkara yang mubah yang bisa mengantarkan kepada hal yang diharamkan. Sama saja, apakah dia memaksudkan dari perbuatan itu sampai kepada perkara haram atau dia tidak memaksudkannya, maka ini dilarang agar dia dan orang lain tidak sampai kepada hal yang diharamkan. (Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Asyqar, Al Waadhih fi Ushul Al Fiqh, Hal. 159)

Wallahu A’lam.

Baca juga: Hukum Ngobrol dengan Non Mahram

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Ragu Terhadap Halal/Haram Suatu Makanan

Makanan yang dijual di luar sering kali tidak tertera status kehalalannya. Lalu bagaimana bila kita ragu terhadap halal atau haram atas sebuah makanan? Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah ini!


Pertanyaan

Assalamualaikum Ustad

Kalau kita tidak tahu apakah penjual makanan memakai kuas bulu babi atau bukan, apakah makanannya masih halal? Saya kihat menjualnya muslimah, tapi saya tidak yakin akan kehati2an beliau

Jzkllh ustad


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah …

Ragu Atas Halal/Haram Suatu Makanan

Ambil sikap berdasarkan keyakinan, bukan dugaan tanpa bukti. Jika belum ada bukti kuat itu kuas bulu babi, masih dugaan/sangkaan, maka silahkan tetap memakai atau memakannya, baca bismillah lalu makanlah.

Tentu akan menyulitkan diri sendiri jika saat kita berinteraksi diliputi berbagai dugaan; beli ayam di Nasi Padang atau Warteg khawatir motongnya tidak syar’i, beli Mie Ayam khawatir pakai minyak babi. Masih bagus jika dugaannya benar, tapi jika salah tentu jadi fitnah kepada sesama muslim..

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada segolongan manusia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum yang medatangi kami sambil membawa daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap daging itu atau tidak.”

Baca juga: Ragu-Ragu Makan Ayam Goreng di Warteg

Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah atasnya, dan makanlah.” (HR. Bukhari No. 1952)

Beda kasus jika kita tinggal di daerah minoritas muslim yang makanan halal tidak mudah, sembelihan halal juga tidak mudah, maka di daerah seperti ini maka harus super hati-hati.

Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top