Perbedaan Khulafaur Rasyidin Dan Khalifah Nubuwah

✉️❔PERTANYAAN

assalamu’alaikum ustadz, ada hadits menggunakan istilah “khulafaur rasyidin”, ada jg yg pakai istilah “khalifah nubuwah”. apakah kedua istilah ini sama?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Hadits ttg Khulafaur Rasyidin:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barang siapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham

(HR. At Tirmidzi no. 2676, At Tirmidzi berkata: hasan shahih)

Hadits tentang Khilafah ‘ala Minhajun Nubuwwah (kekhilafahan menurut sistem kenabian):

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

Dari An Nu’man bin Basyir ia berkata, “Kami pernah duduk-duduk di dalam Masjid bersama Rasulullah ﷺ. kemudian Basyir menahan pembacaan haditsnya. Kemudian datanglah Abu Tsa’labah Al Khusyani dan berkata, “Wahai Basyir bin Sa’d, apakah kamu hafal hadits Rasulullah ﷺ berkenaan dengan Umara` (para pemimpin)?” kemudian Hudzaifah berkata, “Aku hafal Khotbah beliau.” Maka Abu Tsa’labah pun duduk, kemudian Hudzaifah berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kekhilafahan menurut sistim kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya Kemudian berlangsung kerajaan yang bengis selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya …… Dst

(HR. Ahmad no. 17680)

Makna Khulafaur Rasyidin adalah 4 khalifah .. yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiallahu ‘Anhum. Tidak ada perbedaan pendapat para ulama Ahlussunah atas makna ini.

Ada pun Khilafatun ‘ala Minhajin Nubuwwah adalah sistemnya, yaitu kepemimpinan mereka sesuai manhaj kenabian ..

Imam Ali Al Qari menjelaskan:

( على منهاج النبوة ) أي: طريقتها الصورية والمعنوية

Yaitu di atas metode kenabian, baik secara gambaran yang nampak dan mentalitasnya. (Mirqah al Mafatih, 9/248)

Tentunya hal tsb juga dilakukan oleh 4 Khalifah pertama.. di masa setelah mereka adalah mulkan ‘adhon (raja-raja yang menggigit, jahat) lalu mulkan jabriyyah (raja-raja diktator)…

Syaikh Abdullah Al Faqih menjelaskan:

أما عن معنى الحديث: فالخلافة على منهاج النبوة هي خلافة أبي بكر وعمر وعثمان وعلي ، كما هو ظاهر الروايات

Ada pun makna hadits Khilafatun ‘ala Minhajin Nubuwwah adalah kekhilafahannya Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, sebagaimana zahirnya berbagai riwayat.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 36833)

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Tangisan yang Menyelamatkan

Menangis adalah salah satu ekspresi fisik dari jiwa manusia. Baik dari rasa sakit, takut, sedih, haru, iba, bahkan gembira. Menangis yang didasari takut karena dosa dan azab, baik saat tafakkur, muhasabah, dzikrul maut (mengingat kematian) atau membaca Al Quran, adalah tangisan yang dapat melembutkan hati dan jiwa. Inilah tangisan yang menyelamatkan manusia.

Allah ﷻ berfirman:

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

“Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka mereka tersungkur sambil sujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)

Menurut Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menangis dalam ayat ini mencakup bagi yang membaca Al Quran dalam shalat dan di luar shalat. [1]

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Ada dua mata yang tidak akan disentuh api neraka. (Yaitu) mata yang menangis karena takut kepada Allah ﷻ dan mata yang terjaga dalam jihad fisabilillah.” [2]

Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ، قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوعٍ فِي خَشْيَةِ اللهِ، وَقَطْرَةُ دَمٍ تُهَرَاقُ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَأَمَّا الأَثَرَانِ: فَأَثَرٌ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَأَثَرٌ فِي فَرِيضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ.

Tidak ada suatu apa pun yang lebih Allah ﷻ cintai dibandingkan dua tetes dan dua bekas: ada pun dua tetes yaitu tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetes-tetas darah fisabilillah. Sedangkan dua bekas adalah bekas-bekas saat jihad fisabilillah dan bekas dari menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allah ﷻ.
[3]

Inilah tangisan orang-rang yang bartaubat, yang takut terhadap siksa-Nya, tentang azab kubur dan neraka, dan ke- Maha Kuasaan-Nya. Imam al Munawi Rahimahullah mengatakan:

أي من خوف عقابه أو مهابة جلاله

Yaitu air mata karena rasa takut terhadap siksa-Nya atau kehebatan keagungan-Nya. [4]

Syaikh Abul ‘Ala al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

وَهِيَ مَرْتَبَةُ الْمُجَاهِدِينَ مَعَ النَّفْسِ التَّائِبِينَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ سَوَاءٌ كَانَ عَالِمًا أَوْ غَيْرَ عَالِمٍ

Ini adalah kedudukan para mujahidin bersama orang-orang yang bertaubat dari maksiatnya, baik dia seorang berilmu atau bukan. [5]

Maka, tangisilah dosa dan kesalahan kita sebagai awal titik tolak perubahan hidup lebih baik lagi. Jika tidak juga bisa menangis, maka tangisilah; kenapa tidak bisa menangis?!

Wallahu A’lam

Notes:

[1] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah (Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabi, 1977), jilid. 1, hal. 259

[2] At Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2011), no hadits. 1639, Imam at Tirmidzi mengatakan: hasan.

[3] Ibid, no hadits. 1669, Imam at Tirmidzi mengatakan: hasan

[4] Al Munawi, At Taisir bisyarhi al Jami’ ash Shaghir (Riyadh: Maktabah al Imam asy Syafi’I, 1988), jilid. 2, hal. 151

[5] Imam Abu al Hasan al Mubarkafuri, Tuhfah al Ahwadzi (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2018), jilid. 6, hal. 21

✍️ Farid Nu’man Hasan

Memanfaatkan Barang Milik Orang yang Sudah Dibuang

✉️❔PERTANYAAN

Bagaimana hukum memanfaatkan sisa/Potongan-Potongan Bahan Bangunan seperti Pipa yang panjang 5 – 50 Cm, yang menurut saya itu akan hanya menjadi sampah, dan sudah tidak digunakan lagi, dan dipastikan akan berakhir di Pembakaran ketika pembersihan lokasi disaat bangunan tersebut sudah selesai terbangun. Saya mengambil dan memanfaatkannya untuk kerajinan tangan yang bisa menghasilkan nilai jual, Namun saya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya, karna menurutnya saya itu akan hanya menjadi sampah dan berakhir di Pembakaran.Apakah salah jika saya memanfaatkanya ,?
Mohon pencerahanya,, (Akmal-Kendari)

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Ini istilahnya luqathah, yaitu barang temuan di jalan atau di sebuah tempat. Jika barang tsb dugaan kuat oleh pemiliknya sudah tidak dipakai, atau sengaja dibuang, atau jumlahnya sedikit (sepele) sehingga pemiliknya pun tidak lagi berharap, maka tidaklah masalah mengambil dan memanfaatkannya.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

ولا نعلم خلافا بين أهل العلم في إباحة أخذ اليسير والانتفاع به، وقد روي ذلك عن عمر، وعلي، وابن عمر، وعائشة، وبه قال عطاء، وجابر بن زيد، وطاوس، والنخعي، ويحيى بن أبي كثير، ومالك، والشافعي، وأصحاب الرأي

Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama tentang dibolehkannya mengambil benda yang sedikit dan memanfaatkannya. Hal ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Umar, Aisyah, dan diikuti oleh Atha’, Jabir bin Zaid, Thawus, an-Nakha’i, Yahya bin Abi Katsir, Malik, asy-Syafi’i, dan ash-habul ra’y (pengikutnya Abu Hanifah). (Al Mughni, jilid. 8, hal. 296)

Dalilnya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَخَّصَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعَصَا وَالسَّوْطِ وَالْحَبْلِ وَأَشْبَاهِهِ يَلْتَقِطُهُ الرَّجُلُ يَنْتَفِعُ بِهِ

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah ﷺ memberikan keringanan kepada Kami untuk menggunakan tongkat, pecut, tali dan yang semisalnya yang Kami temukan. (HR. Abu Daud no. 1717)

Tapi jika dugaan kuatnya barang temuan tersebut masih diharapkan pemiliknya, karena jumlahnya banyak atau harga dan nominalnya yang tidak murah, maka tidak dibenarkan mengambil dan memanfaatkannya tanpa izin pemiliknya. Hendaknya dia mengumumkan atau menunggu selama setahun, jika ada orang yang mengaku pemiliknya dan bisa membuktikannya maka serahkan kepadanya. Jika sampai setahun belum ada orang yang mengaku maka pihak yang menemukan boleh memanfaatkannya. Tapi Jika datang orang memgaku sebagai pemilik setelah brg itu dimanfaatkan maka wajib baginya menggantinya.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

وإما أن يكون ذا بال تتبعه نفس صاحبه عادة فيجب تعريفه سنة كاملة في مواطن تجمع الناس كأبواب المساجد وكالأسواق، فإن وجد من يصفها بما يميزها سلمها إليه، وإلا فله التصرف فيها بما يشاء، فإن جاء ربها بعد ذلك سلمها إليه إن كانت موجودة، وإلا سلمه مثلها إن كانت مثلية أو قيمتها إن كانت مقومة، فعن زيد بن خالد الجهني رضي الله عنه قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فسأله عن اللقطة فقال: اعرف عفاصها ووكاءها ثم عرفها سنة، فإن جاء صاحبها وإلا فشأنك بها…. رواه البخاري ومسلم

Jika barang tersebut adalah sesuatu yang berharga yang biasanya masih diinginkan oleh pemiliknya, maka wajib mengumumkannya selama satu tahun penuh di lokasi di mana orang-orang berkumpul, seperti di pintu-pintu masjid dan di pasar-pasar. Jika ada yang datang dan dapat mendeskripsikan ciri-ciri barang tersebut dengan tepat, maka barang itu harus diserahkan kepadanya. Jika tidak, orang yang menemukannya boleh memanfaatkannya sesuai keinginannya. Namun, jika pemilik barang itu datang setelah itu, maka barang tersebut harus diserahkan kepadanya jika masih ada. Jika tidak, maka orang yang menemukannya harus menggantinya dengan barang yang serupa jika barang tersebut termasuk jenis yang bisa disamakan, atau dengan nilainya jika barang tersebut dinilai. Dari Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ‘Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya tentang barang temuan.

Maka Rasulullah bersabda: ‘Kenalilah penutupnya dan tali pengikatnya, kemudian umumkan selama setahun. Jika datang pemiliknya, maka serahkanlah kepadanya, dan jika tidak, maka terserah kamu untuk memanfaatkannya…’ (HR. Bukhari dan Muslim).” (selesai)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Shalat Tidak Menghadap Kiblat Karena Kondisi Sakit

✉️❔PERTANYAAN

Assalamualaikum ustadz…mau tanya..seorang pasien laki-laki opname di RS…dipasang infus, selang oksigen, kateter, dan alat pengencer darah, kondisi pasien sadar…..bagaimana cara sholatnya? Apakah harus menghadap kiblat? Sedangkan pasien dilarang dokter agar tidak banyak bergerak ? Mohon penjelasannya… Pasien penyakit jantung…banyak bergerak langsung sesak nafas (S, di Sambas) (+62 852-4533-xxxx)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika kondisinya tidak mungkin menghadap kiblat, tidak bisa, karena sakitnya maka tidak apa-apa dia shalat dalam posisi itu.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertaqwalah kamu semampu kamu. (QS. At Taghabun: 16)

Dalam ayat lain:

{ وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ }

Dan milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 115)

Dalam hadits juga Rasulullah ﷺ bersabda:

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka, jika aku memerintahkan kamu terhadap sesuatu, jalankanlah sejauh yang kalian mampu. (HR. Muslim no. 1337)

Para ulama juga menjelaskan:

فإن له أن يُصَلِّى على حاله ولو لغير القبلة، ولا إعادة عليه كما هو مذهب الحنفية والحنابلة

Sesungguhnya orang yang sakit dia shalat dalam keadaan dirinya itu walau tidak menghadap kiblat, tidak perlu mengulang shalatnya sebagaimana mazhab Hanafi dan Hambali. (Darul Ifta’ Al Mishriyyah no. 7599)

Sementara dalam mazhab Syafi’i dan Maliki wajib mengulangnya setelah kondisi kembali normal.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top